Analisis Pertunjukan Toping-Toping oleh Tiga Kelompok Toping-Toping pada Pesta Rondang Bittang ke XVIII di Saribu Dolok Kecamatan Silimakuta Kabupaten Simalungun

(1)

ANALISIS PERTUNJUKAN TOPING-TOPING OLEH TIGA KELOMPOK TOPING-TOPING PADA PESTA RONDANG BITTANG KE XVIII DI SARIBU DOLOK KECAMATAN SILIMA KUTA KABUPATEN SIMALUNGUN

SKRIPSI SARJANA O

L E H

NAMA: TETI ELENA SIBURIAN NIM: 090707008

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

DISETUJUI OLEH:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA DEPARTEMEN

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D NIP. 196512211991031001


(3)

PENGESAHAN Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Medan Hari : Tanggal :

FAKULTAS ILMU BUDAYA USU DEKAN,

Dr. Syahron Lubis, M.Si.,Ph.D. NIP. 195110131976031001 PANITIA UJIAN

No. Nama Tanda Tangan

1. ( )

2. ( )

3. ( )

4. ( )


(4)

ABSTRAKSI

Tari toping-toping merupakan suatu seni pertunjukan Simalungun yang menggunakan media topeng wajah manusia dan burung enggang yang diiringi oleh alat musik tradisional Simalungun yaitu ansambel gonrang sidua-dua. Secara fungsional, penyajian tari ini dibagi menjadi dua konseptual yaitu tari toping-toping yang disajikan dalam upacara dan non-upacara. Sehingga skripsi ini secara umum membahas tentang tari toping-toping Simalungun dan secara khusus penulis membahasnya dari segi aspek pertunjukan yang disajikan dalam konsep non-upacara yaitu pertunjukan seni yang ditampilkan dalam pesta rondang bittang.

Hal-hal yang menjadi bahan kajian dalam skripsi ini adalah aspek pertunjukan tari toping-toping, aspek gerak tari, dan aspek musikal yang mengiringi tari toping-toping tersebut. Pertunjukan tari toping-toping maksudnya adalah pertunjukan yang disajikan oleh beberapa kelompok (tiga kelompok sesuai judul skripsi) penari toping-toping dalam pesta rondang bittang di Saribudolok. Aspek gerak tari maksudnya gerak tari yang disajikan oleh penari toping-toping dengan melihat setiap motif gerakan yang sesuai dengan kekhasan tari Simalungun. Sedangkan dalam aspek musikal penulis melihat bagaimana musik yang digunakan dalam mengiringi tari tersebut.


(5)

Adapun bahan kajian dalam skripsi ini dikerjakan berdasarkan teori dan metode dalam etnomusikologi. Kemudian hasil data tersebut menghasilkan kesimpulan yang menjadi penyelesaian masalah dalam skripsi ini.


(6)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan kekuatan, kemampuan, dan berkat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul ANALISIS PERTUNJUKAN TARI

TOPING-TOPING OLEH TIGA KELOMPOK TOPING-TOPING-TOPING-TOPING PADA PESTA RONDANG BITTANG XXVIII DI SARIBU DOLOK KECAMATAN SILIMA KUTA KABUPATEN SIMALUNGUN, yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (Ssn) pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis secara khusus mengucapkan terima kasih kepada orang tua penulis yaitu ayahanda S. Siburian dan ibunda G. Simamora, yang telah banyak memberikan dukungan dan semangat yang tidak ada habisnya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Syahron Lubis,M.Si,Ph.D, selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya USU, Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D, selaku ketua Departemen Etnomusikologi. Begitu juga kepada Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si, sebagai dosen pembimbing I dan Ibu Arifni Netrirosa , SST, sebagai dosen pembingbing yang telagh banyak memberikan bombingan dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, serta dosen-dosen lainnya yang menjadi staff pengajar di departemen


(7)

Etnomusikologi yang juga telah membantu penulis dalam menyelesaikan mata kulah selama di perkuliahan.

Penulis juga tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada bapak Riduan Purba sebagai informan pangkal penulis yang telah bersedia dengan kemurahan hati membantu penulis dalam mengumpulkan data selama melakukan penelitian.

Penulis telah berusah membrikan yang tebaik untuk menyelesasikan tulisan ini, akan tetapi penulis tetap menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dalam penyempurnaan tulisan ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kaih dan meminta maaf kepada pembaca apabila terdapat kesalahaan dalam tulisan yang diluar kesengajaan penulis.

Medan, 18 Oktober 2013 Penulis

Teti Elena Siburian


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

Pokok Permasalahan ... 8

1.2 Tujuan dan Manfaat 1.2.1 Tujuan ... 9

1.2.2 Manfaat ... 9

1.3 Konsep dan Teori 1.3.1 Konsep ... 9

1.3.2 Teori ... 12

1.4 Metode Penelitian ... 14

1.4.1 Studi Kepustakaan ... 14

1.4.2 Kerja Lapangan ... 15

1.4.3 Kerja Laboratorium ... 16

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SIMALUNGUN 2.1 Letak Geografis Simalungun ... 18

2.2 Sistem Kekerabatan ... 20

2.3 Mata Pencaharian ... 24

2.4 Bahasa ... 26

2.5 Kesenian ... 28


(9)

2.5.2 Seni Musik ... 30

2.5.3 Seni Tari ... 31

2.5.3 Seni Rupa ... 33

2.6 Agama dan Kepercayaan ... 33

BAB III PERTUNJUKAN TOPING-TOPING DALAM UPACARA SAYUR MATUA DAN PESTA RONDANG BITTANG 3.1 Sejarah Toping-toping ... 36

3.2 Upacara Sayur Matua ... 40

3.2.1 Toping-toping Dalam Upacara Sayur matua ... 41

3.3 Toping-toping Dalam Pesta Rondang Bittang ... 45

3.3.1 Jalan Pertunjukan Toping-toping Dalam Pesta Rondang Bittang ... 47

3.3.2 Pendukung Pertunjukan ... 52

3.3.2.1 Penari ... 52

3.3.2.2 Pemain Musik ... 53

3.3.2.3 Penonton ... 53

3.3.3 Perlengkapan Pertunjukan ... 54

3.3.3.1 Panggung ... 55

3.3.3.2 Kostum ... 56

3.3.3.2.1 Pakaian Toping Dalahi ... 56

3.3.3.2.2 Pakaian Toping Daboru ... 58

3.3.3.2.3 Pakaian Huda-huda ... 59

3.3.3.3 Alat Musik Yang Dimainkan ... 60

3.3.3.3.1 Gonrang ... 60


(10)

3.3.3.3.3 Mong-mongan ... 61

3.3.3.3.4 Ogung ... 61

BAB IV ANALISIS PERTUNJUKAN TOPING-TOPING OLEH TIGA PEMAIN TOPING-TOPING ... 62

4.1 Proses Analisis ... 63

4.2 Analisi Pertunjukan Toping-toping ... 65

4.3 Analisis Tari ... 70

4.4 Analisis Musik ... 74

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 80

5.2 Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 86


(11)

ABSTRAKSI

Tari toping-toping merupakan suatu seni pertunjukan Simalungun yang menggunakan media topeng wajah manusia dan burung enggang yang diiringi oleh alat musik tradisional Simalungun yaitu ansambel gonrang sidua-dua. Secara fungsional, penyajian tari ini dibagi menjadi dua konseptual yaitu tari toping-toping yang disajikan dalam upacara dan non-upacara. Sehingga skripsi ini secara umum membahas tentang tari toping-toping Simalungun dan secara khusus penulis membahasnya dari segi aspek pertunjukan yang disajikan dalam konsep non-upacara yaitu pertunjukan seni yang ditampilkan dalam pesta rondang bittang.

Hal-hal yang menjadi bahan kajian dalam skripsi ini adalah aspek pertunjukan tari toping-toping, aspek gerak tari, dan aspek musikal yang mengiringi tari toping-toping tersebut. Pertunjukan tari toping-toping maksudnya adalah pertunjukan yang disajikan oleh beberapa kelompok (tiga kelompok sesuai judul skripsi) penari toping-toping dalam pesta rondang bittang di Saribudolok. Aspek gerak tari maksudnya gerak tari yang disajikan oleh penari toping-toping dengan melihat setiap motif gerakan yang sesuai dengan kekhasan tari Simalungun. Sedangkan dalam aspek musikal penulis melihat bagaimana musik yang digunakan dalam mengiringi tari tersebut.


(12)

Adapun bahan kajian dalam skripsi ini dikerjakan berdasarkan teori dan metode dalam etnomusikologi. Kemudian hasil data tersebut menghasilkan kesimpulan yang menjadi penyelesaian masalah dalam skripsi ini.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Masyarakat Simalungun memiliki suatu pertunjukan seni yang dikenal dengan istilah toping-toping.Toping-toping merupakan suatu seni pertunjukan yang menggunakan topeng wajah manusia dan topeng burung enggang dengan iringan musik tradisional Simalungun.Dalam penyajian toping-toping, penari yang memakai topeng burung enggang bergerak sebagaimana layaknya seekor kuda yang dalam bahasa Simalungun disebut dengan huda. Sehingga tari inisering juga disebut dengan tari huda-huda.

Tari toping-toping adalah salah satu bentuk kesenian yang telah diwarisi dari masa lampau. Kebudayaan khususnya kesenian tari toping-toping ini merupakan tradisi yang secara turun-temurun diwarisi oleh masyarakat Simalungun. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan1, hal ini disebabkan untuk memenuhi kebutuhan upacarasayurmatua2

1

Wawancara dengan beberapa grup pemain toping-toping pada saat pesta rondang bittang.

2

Jenis-jenis kematian usia lanjut yang dikenal dalam masyarakat Simalungun yaitu (1) namatei sayurmatuah, (2) namatei sayurmatua, dan (3) namatei matua. Namatei sayur matuah adalah seseorang yang meninggal dalam usia lanjut, mempunyai anal laki-laki dan perempuan. Telah mempunyai cucu dari anak laki-laki dan dari anak perempuan, serta tidak ada lagi anaknya yang belum berkeluarga. Namatei sayur matua adalah seseorang yang meninggal dunia dalam usia lanjut yang mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan, namun masih ada yang selum berumah tangga. Namatei matua adalah seseorang yang meninggal dalam usia lanjut, telah mempunyai cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah.

di daerah kecamatan setempat. Upacara kematian pada masyarakat Simalungun terbagi menjadi dua bagian, yaitu mandingguri dan mangiliki. Mandingguri adalah suatu acara yang


(14)

ditampilkan pada malam hari dengan memberikan penghormatan melalui penabuhan musik dan tari yang disajikan kepada keluarga yang berduka dengan menari mengelilingi jenazah. Sedangkan mangiliki adalah suatu acara yang dilakukan pada siang hari untuk menyambut para pelayat dengan menampilkan tarian toping-toping. Begitulah pada dasarnya bahwa tarian toping-toping digunakan untuk upacara kematian.

Pada zaman kerajaan Simalungunyaitu zaman kerajaan Nagur3, tari toping-toping ini pertama kali digunakan pada konteks upacara kemalangan. Hal ini diawali ketika istri raja yang terus-menerus menangis karena puteranya yang meninggal dunia. Dalam hal ini, penyajian tari toping-toping pada awalnya hanya digunakan untuk menghibur istri raja saja dan hal ini dilakukan oleh beberapa paragat4tanpa sebuah konsep yang jelas, dan pada dasarnya para penari toping-toping menggunakan gerakan yang lucu-lucu. Pada masa zaman pecahnya kerajaan Nagur, terbagilah kerajaan Simalungun menjadi empat bagian yang disebut dengan kerajaan Maropat5. Seiring berjalannya waktu, setelah terjadi pemekaran kerajaan pada masa itu yaitu pada masa kerajaan Napitu6

3

Kerajaan Nagur merupakan pemerintahan tradisional tertua yang pernah dikenal dalam masyarakat Simalungun. Menurut sumber Tiongkok pada tahun 1416 kerajaan Nagur teletak di daerah Pidie dekat pantai barat Aceh. (Buku Tole Den Timorlan Das Evangelium 2003:30-34 )

4

Paragat dalam masyarakat Simalungun merupakan sebutan orang atau petani yang mengambil tuak di ladang. Kata par (orang) di sini berupa imbuhan untuk kata dasar agat (pohon agat).

5

Pada tahun 1883 daerah Simalungun dibagi menjadi 4 kerajaan yang terdiri dari kerajaan Siantar (Damanik), Kerajaan Panei (Purba Dasuha), Kerajaan Dolok Silou (Purba Tambak), dan Tanah Jawa (Sinaga).

6

Setelah datangnya pemerintahan Belanda, keempat kerajaan Simalungun sebelumnya berkembang menjadi 7 kerajaan dari perkembangan kerajaan Silou yaitu kerajaan Siantar (Damanik), Kerajaan Panei (Purba Dasuha), Kerajaan Dolok Silou (Purba Tambak), Tanah Jawa


(15)

tari toping-toping ini hanya disajikan kepada orang yang sudah berusia uzur dan masih keturunan raja.

Kemudian sesuai dengan perkembangan zaman, penyajian tari toping-toping dapat dimainkan oleh siapapun. Jika ada salah satu dari anggota keluarga dalam masyarakat Simalungun, saat dia sudah sayurmatuamaka pertunjukan tari toping-toping boleh dilaksanakan sebagai hiburan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Istilah toping-toping berasal dari kata toping yang berarti topeng. Pada penyajiannya semua penari memakai topeng sebagai penutup muka. Topeng yang dipakai terdiri dari beberapa bentuk yaitu topeng laki-laki (topingdalahi), topeng perempuan (toping daboru) dan topeng burung enggang (huda-huda).

Toping-toping dalam konteks upacara sayurmatuamemiliki beberapa unsur yang tidak dipisahkan, yaitu tor-tor, gual dan upacara sayurmatuaitu sendiri. Tor-tor dalam tradisi Simalungun diartikan sebagai seni gerak yang dapat memberikan arti, dapat melayani kebutuhan adat juga dapat memenuhi kebutuhan religi serta kebutuhan hiburan. Tor-tor yang dipakai dalam penyajian toping-toping sebagai konteks hiburan adalah tor-tor sombah dan tor-tor huda-huda. Tor-tor sombah merupakan tarian yang berfungsi sebagai penyambut tamu pada awal pertunjukan. Sedangkan tor-tor huda-huda merupakan tarian utama dalam pertunjukan tersebut.

Penyajian tari toping-toping sekarang ini sudah jarang digunakan oleh masyarakat Simalungun. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya tari


(16)

toping-toping ini hanya digunakan pada upacara sayurmatua, jadi intensitasnya sedikit sekali. Di samping itu, sudah jarang yang dapat memainkan tari toping-toping ini. Oleh karena itu, seniman-seniman Simalungun mengangkat tari toping-toping menjadi suatu bentuk seni pertunjukan.

Seperti yang ditradisikan oleh masyarakat Simalungun, tari toping-toping pada dasarnya disajikan pada upacarasayurmatua. Bagi masyarakat Simalungun kematian seseorang layak untuk dihormati dengan mengadakan acara adat-istiadat. Pada saat itulah ada kalanya kematian menjadi sebuah kebanggaan bagi keluarga yang ditinggalkan, di mana orang yang meninggal tersebut sudah memiliki anak yang sudah berkeluarga dan juga memiliki cucu dari setiap anaknya. Orang yang meninggal dalam keadaan sayurmatua dianggap sempurna dalam tradisi Simalungun.

Untuk melengkapi kegiatan upacara sayurmatua maka disajikanlah tari toping-toping pada siang harinya yang dilakukan pada acara mangiliki tersebut. Tari toping-toping dalam upacara ini digunakan untuk menyambut kedatangan pihak tamu (tondong) dengan persiapan oleh pihak keluarga mendiang (suhut). Dan sebalik itu masih ada norma-norma yang dilakukan untuk melengkapi dan mendukung kegiatan ini. Untuk pertunjukan maupun penyajian tari ini, penari toping-toping datang ke rumah duka untuk menghibur para pelayat terkhusus bagi keluarga yang berduka. Para penari toping-toping ini mengawali aksi mereka dengan menjenguk keluarga yang berduka kemudian beraksi dengan bertingkah lucu untuk menghibur orang-orang yang datang ataupun orang yang berada di sekitar lokasi acara tersebut. Dalam acara ini juga tari toping-toping ini juga


(17)

digunakan untuk mengiring sampai ke tempat penguburan yang disajikan sambil menari-nari yang diiringi dengan musiknya.

Masih dalam konteks seni pertunjukan bahwa tari ini sudah disajikan dengan pertunjukan yang berbeda seperti dalam upacarasayur matua. Pada tahun 1980, tari toping-toping sudah digunakan untuk hiburan dan bahkan dipertandingkan. Hal ini dilakukan dalam acara tahunan Simalungun yaitu pesta Rondang Bittang7

7

Rondang Bittang adalah bentuk rutinitas tahunan masyarakat Simalungun untuk tujuan mempererat persatuan dan kesatuan masyarakat Simalungun, dan pada dasarnya ditujukan untuk kegiatan kawula muda masyarakat Simalungun, di mana dulunya acara ini digunakan untuk ajang mencari jodoh oleh para pemuda-pemudi Simalungun. Dalam kesempatan pesta Rondang Bittang telah dibudayakan bentuk kesenian Simalungun baik itu permainan rakyat, tari

tradisioanl, musik tradisional, umpasa (pantun/puisi Simalungun), lagu rakyat Simalungun, dihar (seni bela diri Simalungun), dan kesenian lainnya. Dengan kegiatan Rondang Bittang ini pula segala jenis bentuk kesenian ini dipertunjukkan dan dipertandingkan antar kecamatan yang ada di kabupaten Simalungun.

. Pesta Rondang Bittang ini pada dasarnya merupakan acara pesta untuk para muda-mudi di seluruh kecamatan yang berada di seluruh kecamatan yang berada di kabupaten Simalungun. Di samping itu dalam acara tahunan Rondang Bittang telah diatur oleh pemerintah setempat dalam kabupaten Simalungun di setiap kecamatannya untuk menyediakan seni budaya Simalungun. Dan dalam acara itu dipertandingkan seni budaya Simalungun untuk memeriahkan acara tersebut yang termasuk di dalamnya tari toping-toping. Namun, hanya beberapa kecamatan saja yang menampilkan tari toping-topingdikarenakan hanya sedikit yang dapat memainkan tari toping-toping dan keterbatasan perlengkapan, seperti pakaian (kostum) dan properti-properti lainnya untuk mendukung tari toping-toping ini.


(18)

Terkait dengan pertunjukan tari toping-toping dalam pesta rondang bittang tersebut, tari ini disajikan dengan menyerupai kegiatan sayurmatua juga. Dalam hal ini ada sejumlah norma-norma tradisi yang dilewatkan seperti upacara sayurmatua yang biasa dilakukan. Kegiatan toping-toping di sini didukung oleh objek-objek yang membuatnya terasa nyata dipertunjukan. Dalam pesta rondang bittang tersebut mempertunjukkan beberapa tari toping-toping dari berbagai kecamatan untuk diperlombakan sebagai salah satu bentuk kreativitas masyarakat Simalungun.

Dari hasil pengamatan di lapangan8

Tidak hanya dalam seni pertunjukannya saja, keberadaan musik iringan dalam tari toping-toping merupakan hal yang berkaitan juga. Dimana musik menjadi pembentuk suasana, dan juga untuk memperjelas tekanan gerakan. Adapun ensambel musik dalam masyarakat Simalungun yang umum digunakan sebagai musik pengiring diantaranya gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu. penulis melihat bentuk koreografi yang tersusun dengan tarian toping-toping yang diiringi oleh gonrang sipitu-pitu. Dari penampilan tersebut saya juga mengamati beberapa gerakan yang diadaptasi dari beberapa gerakan khas Simalungun yang memiliki makna tersendiri seperti manerser, marsombah, mangondak, lakkah sitolu-tolu, dan lakkah huda-huda. Gerakan-gerakan tersebut sangat menonjol dalam kebudayaan tradisi Simalungun. Setiap gerakan yang ditunjukkan disesuaikan dengan penyajian pertunjukan tersebut dengan suasana yang dibentuk oleh objek yang ada di lokasi pertunjukan dan juga oleh musik pengiringnya sendiri.


(19)

Untuk mengiringi pertunjukan toping-toping, ensambel yang digunakan awalnya adalah gonrang sidua-dua. Namun, sekarang ini sudah mengalami perubahan. Ensambel yang digunakan adalah gonrang pitu. Ensambel gonrang sipitu-pitu terdiri dari satu buah sarune bolon (serunai, double reeds aerophone) sebagai pembawa melodi, tujuh buah gonrang (gendang, double head membranophone) sebagai pembawa ritem, dua buah mongmongan (sejenis gong ukuran kecil, idiofon), dan dua buah ogung (sejenis gong berukuran besar, idiofon) sebagai pembawa tempo. Repertoar yang digunakan adalah gual9

Melihat hal-hal di atas, maka penulis tertarik dan juga layak mengkaji pertunjukan toping-toping ini untuk menjadi bahan ilmiah. Perihal tulisan ini penulis akan melihat tiga kelompok pemain toping-toping yang disajikan dalam pesta rondang bittang tersebut. Dalam hal ini disebabkan karena penulis melihat beberapa perbedaan dan persamaan yang diperagakan oleh setiap kelompoknya. Setiap kelompoknya menampilkan bentuk kreativitas yang berbeda untuk menarik perhatian penontonnya. Dari pertunjukan tersebut juga dapat dilihat bagaimana pengadaptasian yang dilakukan seperti upacara sayurmatua sehingga dapat dilihat makna-makna yang berbeda dalam konteks pertunjukan tersebut. Dan didukung oleh pendapat Barbara Krader

huda-huda.

10

9

Repertoar tradisional Simalungun

10

Barbara Krader dalam tulisannya berjudul Ethnomusicology dari buku terjemahan Etnomusikologi: Definisi dan Perkembangannya oleh Rizaldi Siagian.

bahwa etnomusikologi pada dasarnya berurusan dengan budaya yang masih hidup yang termasuk di dalamnya musik dan tari. Sehingga tulisan ini dimaksudkan untuk melihat semua komponen-komponen yang terdapat dalam pertunjukan tari toping-toping yang termasuk di dalamnya


(20)

tari, musik, properti yang digunakan, dan juga persiapan yang dilakukan oleh tiga kelompok pemain toping-toping tersebut. Untuk itu penulis akan meneliti dan mengkaji tulisan ini untuk dijadikan skripsi dengan judul “ANALISIS PERTUNJUKAN TOPING-TOPING OLEH TIGA KELOMPOK

TOPING-TOPING PADA PESTA RONDANG BITTANGXXVIII DI DESA SARIBU

DOLOK KECAMATAN SILIMAKUTA KABUPATEN SIMALUNGUN”

1.2Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah

1. Bagaimana pertunjukan tiga kelompoktoping-topingyang disajikan pada pesta Rondang BittangXXVIII di Saribu Dolok?

2. Perlengkapan apa saja yang diperlukan dalam mendukung pertunjukan oleh tiga kelompok toping-topingtersebut pada pesta Rondang BittangXXVIII di Saribu Dolok?

3. Bagaimana pola gerak yang dibawakan oleh tiga kelompoktoping-topingtersebut dengan musik pengiringnya?


(21)

1.3Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan

1. Untuk melihat pertunjukan toping-toping pada pesta Rondang Bittang di Saribu Dolok

2. Untuk mengetahui hal-hal yang mendukung dalam pertunjukan toping-toping

3. Untuk menganalisis pola gerak toping-toping dan musik pengiringnya

1.3.2 Manfaat

1. Dapat menjadi dokumentasi untuk eksistensi pertunjukan tradisi toping-toping dalam masyarakat Simalungun

2. Dapat digunakan sebagai bahan perbandingan untuk studi berikutnya sehingga dikaji lebih dalam tentang objek tulisan ini

3. Sebagai sarana untuk memperkenalkan seni tari masyarakat Simalungun kepada masyarakat lainnya, terutama masyarakat di luar Simalungun

1.4Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep merupakan kesatuan pengertian tentang suatu hal yang perlu dirumuskan. Untuk memperjelas konsep yang saya gunakan mengenai pertunjukan toping-toping. Dalam penelitian dan penulisan ini yang dimaksud


(22)

dengan kata analisis, yaitu penyelidikan dan penguraian terhadap satu masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan sebenarnya (Kamus Umum Bahasa Indonesia:1991).

Pertunjukan juga merupakan sesuatu yang selalu memiliki waktu pertunjukan yang terbatas, awal dan akhir, acara kegiatan yang terorganisir, sekelompok pemain, sekelompok penonton, tempat pertunjukan, dan kesempatan untuk mempertunjukkannya (Siger, 1996:165). Penulis juga menggunakan pendapat Mugiarto (1996:165), yaitu seni pertunjukan yang merupakan tontonan bernilai seni drama, tari, musik yang disajikan sebagai pertunjukan di depan penonton. Dan pertunjukan toping-toping termasuk sebagai seni pertunjukan. Dalam hal ini seni yang terdapat dalam pertunjukan toping-toping adalah seni musik, properti, dan tari. Musik di sini maksudnya adalah musik yang digunakan untuk mengiringi setiap grup pemain toping-toping tersebut dengan instrumen musik yang digunakan. Properti dalam hal ini merupakan apa saja alat-alat maupun komponen-komponen yang dikenakan oleh penari maupun pemusik untuk mendukung penyajian tari toping-toping tersebut. Sedangkan garis utamanya adalah tari yang digunakan untuk menyajikan tari toping-toping ini, di mana terdapat pola yang digunakan untuk menampilkannya dalam bentuk pertunjukan.

Toping-toping adalah salah satu bentuk kesenian tradisional Simalungun yang memakai media topeng. Dalam hal ini topeng yang digunakan adalah toping dalahi, toping daboru, dan topeng burung enggang (huda-huda), yang


(23)

dipakai oleh tiga orang penari, dimana gerak yang digunakan diadaptasi dari gerakan khas Simalungun dan gerakan burung enggang dan gerakan seekor kuda. Serta menggunakan musik pengiring dari alat musik tradisional Simalungun, yang terdiri dari gonrang sipitu-pitu, sarune bolon, mongmongan dan ogung.

Dalam tulisan ini saya akan menganalisis pertunjukan yang disajikan oleh tiga kelompok pemain toping-toping pada acara rondang bittang. Dari setiap kelompoknya akan menunjukkan beberapa bentuk penyajian yang berbeda, sehingga saya dapat melihat dan menyimpulkan beberapa aspek yang turut berkembang dengan patokan pertunjukan yang selayaknya dilakukan dalam pertunjukan upacara namatei sayur matua.

Rondang Bittang adalah pesta kebudayaan masyarakat Simalungun yang biasa dilaksanakan setelah panen raya. Pada zaman dahulu masyarakat Simalungun dalam setiap melaksanakan panen hasil-hasil pertanian selalu dilakukan dengan cara bergotong royong, dan selesai panen mereka mengadakan pesta sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam pelaksanaan pesta Rondang Bittang dilaksanakan menari bersama dengan mengenakan pakaian adat Simalungun, serta melaksanakan pertandingan olahraga tradisional dan kesenian Simalungun, diantaranya toping-toping, hagualon, tor-tor sombah, taur-taur dan urdou-urdou, sordam, tulila, sulim, ilah, tor usihan, cipta lagu Simalungun, margalah, marjelengkat dan marlittun. Kegiatan ini diikuti oleh 32 kecamatan yang berada di kabupaten Simalungun.


(24)

1.4.2 Teori

Teori merupakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta dan mungkin juga dugaan untuk menerangkan sesuatu. Sebagai landasan cara berpikir dalam membahas permasalahan penelitian ini. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat ( 1977:30 ), bahwa pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen, serta pengalaman kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran umtuk memperoleh pengertian tentang teori-teori yang bersangkutan. Teori yang digunakan akan bermanfaat bagi penelitian untuk mengumpulkan data-data dan informasi yang diharapkan.

Dalam menganalisis pertunjukan toping-toping, maka penulis menggunakan teori yang dikatakan Milton Siger (dalam MSPI, 1996:164-165) juga menjelaskan bahwa pertunjukan selalu memiliki: (1) waktu pertunjukan yang terbatas, (2) awal dan akhir, (3) acara kegiatan yang terorganisir, (4) sekelompok pemain, (5) sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan, dan (7) kesempatan untuk mempertunjukkannya.

Edi Sediawaty (1981:48-66) juga mengemukakan bahwa suatu analisis pertunjukan sebaiknya selalu dikaitkan dengan kondisi lingkungan di mana seni pertunjukan tersebut dilaksanakan atau didukung masyarakatnya, pergeseran-pergeseran yang terdapat di dalam pertunjukan, dan kemungkinan yang muncul dari interaksi setiap orang (penyaji dan penyaji), (penyaji dan penonton) diantara variabel-variabel wilayah yang berbeda. Menurut Qurensi (1988:135-136) bahwa analisis proses pertunjukan yang mana dalam proses pertunjukan aspek


(25)

yang mendasar terdiri dari ketegasan perilaku dari semua partisipan, musisi, dan penonton, yang semua berinteraksi dalam pertunjukan.

Melihat adanya tiga kelompok tari toping-toping yang akan diteliti, maka saya menggunakan teori komparatif untuk melihat persamaan maupun perbedaan dengan melihat fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang diteliti. Menurut Nazir (2005:58), teori ini akan mengamati secara mendasar objek yang diteliti dengan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya suatu fenomena tertentu. Maka dari itu dengan melihat aspek-aspek yang mempengaruhi objek tersebut akan dapat membandingkan beberapa sampel yang berbeda. Sehingga dalam mengkaji pola geraknyaakan dibuat dalam bentuk pendeskripsian terhadap tari tersebut yang akan melihat bentuk dan pola yang disajikan oleh ketiga kelompok tersebut. Begitu juga dengan properti-properti yang digunakan oleh setiap kelompoknya.

Untuk mentranskripsi musik pengiringnya, penulis menggunakan teori Nettl (1964:98) yang memberikan dua pendekatan, yaitu: (1) menganalisa dan mendeskripsikan apa yang didengar, dan (2) mendeskripsikan apa yang dilihat dan menulisnya di atas kertas dengan suatu cara penulisan tertentu. Dengan teori ini akan dapat melihat secara konseptual pertunjukan yang dibawakan oleh ketiga kelompok tari toping-toping tersebut dengan musik pengiringnya masing-masing. Mengingat musik yang dibawakan mempengaruhi suasana pertunjukan yang sedang berlangsung.


(26)

1.5Metode Penelitian

Untuk memperoleh data secara sistematis, maka penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu suatu penelitian yang menghasilkan data dengan menggambarkan ataupun memaparkan secara detail berupa ungkapan-ungkapan, suatu data ataupun suatu tingkah laku masyarakat. Di dalamnya juga dilihat penyajian tari toping-toping untuk melihat karakteristik dari tari tersebut. Data yang diperoleh berdasarkan dari sumber data yang tepat melalui kata-kata dan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen ataupun bahan lainnya, sumber data tertulis, foto, dan rekaman.

Dalam mengumpulkan data-data yang nantinya dapat digunakan untuk menjawab segala permasalahan yang ada, Nettl (1963:62-64) menawarkan dua kerja lapangan yaitu field work dan desk work. Dalam penelitian lapangan saya berinteraksi langsung dengan penyaji tari toping-toping. Kegiatan ini dilakukan dengan melihat dan mengamati pertunjukan tari tersebut.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Dalam melakukan penelitian terhadap objek penelitian, saya melakukan studi kepustakaan agar mendapatkan bahan-bahan tentang kesenian Simalungun khususnya tradisional toping-toping ini. Dan selama studi di lapangan saya telah banyak mengumpulkan bahan-bahan berupa informasi yang berkaitan dengan tulisan ini dengan melakukan banyak wawancara dengan beberapa tokoh


(27)

masyarakat Simalungun, pemain toping-toping, hingga orang yang paling berpengalaman di bidang tradisi toping-toping ini.

Bahan tertulis yang berkaitan dengan objek tulisan ini saya cari dari tulisan ilmiah yang sudah pernah dibuat juga dalam skripsi sarjana Etnomusikologi USU dan juga beberapa buku-buku yang mendasar tentang kebudayaan Simalungun. Salah satu tulisan ilmiah yang penting mengenai seni pertunjukan toping-toping ini adalah skripsi sarjana yang ditulis oleh mahasiswa Etnomusikologi Rudi A S yang mendeskripsikan toping-toping pada masyarakat Simalungun.

1.5.2 Kerja Lapangan

Pengumpulan data di lapangan meliputi observasi, wawancara, dan merekam pertunjukan toping-toping, dan mengambil beberapa foto untuk dokumentasi. Sebelumnya saya memulai penelitian ini di bulan November tahun 2012 melaui observasi yang meliputi peninjauan dan pengamatan lokasi-lokasi serta serta melihat pertunjukan toping-toping di beberapa tempat yang berbeda.

Dalam wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara terbuka dan tidak berstruktur. Penulis mengajukan pertanyaan-pertanyaan tidak hanya pada satu pokok masalah dan jawaban responden akan dicatat atau direkam dengan menggunakan alat perekam. Dalam hal ini penulis menggunakan wawancara


(28)

terfokus dan wawancara bebas. Wawancara terfokus pada pokok permasalahan dari pertanyaan yang penulis ajukan yang berhubungan dengan kebutuhan penelitian.

Penulis juga mengumpulkan data dari beberapa pemain toping-toping, pemusik dan tokoh-tokoh adat Simalungun. Sebelum melakukan wawancara, penulis terlebih dahulu menetapkan informan yang dapat memberikan informasi yang mendukung tulisan.

Dalam penelitian terdapat dua jenis informan, yaitu informan pangkal dan informan kunci. Sebelum melakukan penelitian lapangan penulis melakukan wawancara dengan informan pangkal, yaitu bapak Setia Dermawan Purba selaku dosen Etnomusikologi. Melalui bapak Setia Dermawan Purba penulis mendapatkan informan yang dapat penulis jadikan sebagai informan kunci. Penulis melakukan wawancara dengan mendatangi rumah Bapak Riduan Purba sebagai pemain toping-toping. Penulis tidak terfokus pada satu informan saja, penulis juga melakukan wawancara dengan beberapa pemain toping-toping lain dan orang-orang yang terlibat dalam pertunjukan toping-toping.

1.5.3 Kerja Laboratorium

Pada tahap akhir penulis melakukan kerja laboratorium, yaitu tahap penganalisisan data yang telah terkumpul dari hasil pengamatan dan wawancara untuk mendapat jawaban dari permasalahan yang ada. Semua data yang diperoleh dikumpulkan dalam kerja laboratorium untuk dianalisis. Penulis juga


(29)

melihat beberapa pertunjukan toping-toping di tempat lain sebagai data tambahan agar data yang diperoleh semakin baik. Semua data yang diperoleh diklasifikasikan sesuai dengan jenis dan kebutuhan penulis dengan melihat relevansi dari data tersebut. Pengklasifikasian bertujuan untuk menghindari data yang bertumpang tindih dan untuk mempermudah penulis dalam mengolah data.

Untuk mentranskrip musik, penulis mendengarkan secara detail dan berulang-ulang dari rekaman pertunjukan dan melihat hubungan musik dengan pola gerak tari, sehingga menghasilkan data yang akurat. Hasil dari data yang telah diolah tersebut penulis jadikan sebagai laporan dalam bentuk skripsi.


(30)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SIMALUNGUN

2.1 Letak Geografis Simalungun

Pada umumnya keadaan alam suatu wilayah ditentukan oleh letak geografis wilayah tersebut di mana kondisi dan tempat sangat menentukan. Letak wilayah tersebut dapat mencerminkan budaya yang berlaku di masyarakat setempat. Untuk dapat mengetahui ataupun mengenal budaya suatu tempat dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan etnografi. Etnografi dapat diartikan sebagai berikut, 1. Etnografi merupakan studi deskriptif tentang masyarakat-masyarakat yang sederhana, serta gambaran dari suku-suku bangsa yang hidup; 2. Etnografi merupakan ilmu yang melukiskan tentang kebudayaan dari setiap suku bangsa yang tersebar di muka bumi ini; 3. Etnografi adalah suatu gambaran tentang suku-suku bangsa dan bahan-bahan penyelidikannya yang telah dikumpulkan, kemudian diuraikan dalam suatu metode ilmiah tertentu dengan cara mempelajari bahan yang terkumpul (Ariyono Suyono 1985:113). Dengan pendekatan inilah penulis akan membahas bahan kajiannya dengan metode-metode ilmiah yang terdapat dalam disipin etnomusikologi.

Berdasarkan sistem administratif, wilayah tempat tinggal masyarakat Simalungun terletak dalam wilayah kabupaten Simalungun khususnya. Daerah ini merupakan salah satu pemerintahan kabupaten di Sumatera Utara dengan ibukota


(31)

memiliki ketinggian rata-rata 369 m di atas permukaan laut. Luas daerah Simalungun sekitar 4.386,60 km² (6,12% dari luas wilayah Sumatera Utara) yang terdiri dari 30 kecamatan dan 311 kelurahan/desa.

Wilayah Pemerintahan Kabupaten Simalungun berada di antara Kabupaten-Kabupaten lain di Sumatera Utara, dengan tata letak sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang 2. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir 4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan

Jika ditinjau secara keseluruhan Kabupaten Simalungun termasuk daerah yang berbukit-bukit, daerah tersebut berada di dataran tinggi dan dialiri sungai-sungai, antara lain Sungai Bah Bolon (118 Km), Sungai Bah Tonggiman (91 Km), Sungai Bah Sibalakbak (98 Km). Sedangkan gunung (dolok) yang terdapat di daerah Simalungun antara lain, Gunung Sipiso-piso, Gunung Singgalang, Gunung Simarsolpah, Gunung Simarjarunjung, Gunung Simbolon dan Gunung Simarsolpit. Dan juga daerah Simalungun masih memiliki hutan-hutan yang cukup luas. Keadaan suhu di sebagian besar daerah Simalungun termasuk dingin, seperti di daerah Pematang Raya, Tiga Runggu, Parapat, Pematang Purba, Simarjarunjung dan lain-lain.


(32)

2.2 Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan merupakan sistem pertalian keluarga yang sedarah maupun yang masih memiliki hubungan keluarga. Sistem kekerabatan sangat penting dalam kehidupan masyarakat tradisi karena selalu memerlukannya dalam segala aktivitas budayanya. Dalam sistem kekerabatan Simalungun, ada dua cara untuk menentukan bagaimana jauh dekatnya seseorang di dalam kekerabatan menurut adat istiadat Simalungun, pertama menurut garis keturunan pihak laki-laki (ayah) disebut juga patrilineal dan kedua adanya pertalian darah akibat perkawinan sehingga dapat ditarik garis keturunan dari kedua orangtua disebut juga bilateral. Menurut M.D. Purba dalam bukunya yang berjudul Adat perkawinan Simalungun, masyarakat Simalungun termasuk masyarakat yang menarik garis keturunan dari salah satu pihak saja, yaitu dari garis keturunan ayah (garis keturunan laki-laki) yang secara otomatis jika anak laki-laki dan perempuan lahir akan mengikuti garis keturunan ayah (1985:108). Oleh karena itu kekerabatan menyangkut jauh dekatnya hubungan seseorang dengan seseorang (individu) dan antara seseorang dengan sekelompok orang (keluarga) dapat dilihat berdasarkan posisi dari kedua hal tersebut.

Ditegaskan kembali oleh Kenan Purba dalam bukunya Adat Istiadat Simalungun yang menyatakan bahwa kekerabatan timbul akibat dua hal, yaitu disebabkan adanya hubungan darah dan akibat adanya perkawinan. Adapun kekerabatan yang dilihat dari hubungan darah merupakan kekerabatan yang dilihat dari garis keturunan sedarah yang masih keluarga ataupun yang masih dalam garis keturunan ayah (garis keturunan laki-laki). Dengan menerapkan pengertian


(33)

seperti itu membuat masyarakat Simalungun menggunakan paham patrilineal yaitu mengikuti garis keturunan ayah. Sedangkan kekerabatan yang disebabkan adanya perkawinan merupakan kekerabatan yang dilihat dari keluarga dari kedua belah pihak yang dilihat dari relasi dari setiap keluarganya. Sehingga dapat dilihat bagaimana peran garis keturunan pihak laki-laki untuk generasi penerus dalam masyarakat Simalungun.

Bukti bahwa garis keturunan diambil dari pihak laki-laki adalah dengan adanya marga dalam masyarakat Simalungun. Setiap anak yang lahir dalam suatu keluarga di etnis Simalungun, secara otomatis akan memiliki marga yang sama dengan marga si ayah. Tradisi seperti ini membuat posisi seorang anak laki-laki dalam sebuah keluarga sangat penting karena merupakan generasi penerus marga keluarganya. Sehingga jika dalam sebuah keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka penerus marga sang ayah dalam keluarga tersebut akan terputus. Dan pada umumnya masyarakat Simalungun lebih condong terhadap keturunannya laki-laki mengingat pentingnya peran laki-laki dalam sistem tradisi masyarakat Simalungun.

Sistem kekerabatan dalam masyarakat Simalungun juga dilihat dari garis keturunan marga-marga induk yang akan dilihat hubungannya dengan garis keturunan ayah dan ibu. Adapun golongan marga induk yang ada di Simalungun adalah Purba, Saragih, Damanik, dan Sinaga. Masing-masing marga tersebut mempunyai cabang sendiri yang merupakan satu keturunan. Adapun marga-marga di Simalungun beserta cabang-cabangnya dilihat dari tempat asalnya pada zaman kerajaan dulu adalah sebagai berikut :


(34)

1. Marga Purba berpusat di Pematang Purba dan terbagi atas: - Purba Tambak

- Purba Tambunsaribu - Purba Sidadolok - Purba Dasuha - Purba Girsang - Purba Sigumonrong - Purba Siboro - Purba pak-pak - Purba Sidagambir - Purba Tanjung - Purba Tondong

2. Marga Saragih berpusat di Pematang Raya dan terbagi atas: - Saragih Garingging

- Saragih Sumbayak - Saragih Munthe - Saragih Dajawak - Saragih Simanihuruk - Saragih Simarmata - Saragih Sidauruk - Saragih Sitio - Saragih Turnip


(35)

3. Marga Damanik berpusat di Pematang Siantar dan terbagi atas: - Damanik Malau

- Damanik Barita - Damanik Limbong - Damanik Tomok - Damanik Rampogos

4. Marga Sinaga berpusat di Pematang Tanah Jawa dan terbagi atas: - Sinaga Sipayung

- Sinaga Haloho - Sinaga Sitopu - Sinaga Dadihoyong

Sistem kekerabatan yang dimiliki oleh masyarakat Simalungun berdasarkan prinsip tolu sahundulan dan lima saodoran. Tolu sahundulan terdiri dari tondong11, sanina12, anak boru13

11

Tondong adalah saudara laki-laki dari ayah atau ibu

12

Sanina adalah sanak saudara satu marga

13

Anak boru adalah pihak ipar

. Dalam pengaturan tempat duduk (parhundulan) pihak dari sanina di jabu bona (sebelah kanan rumah), pihak kelompok tondong di sebelah kanan pihak sanina, dan pihak anak boru di sebelah kanan pihak tondong. Itulah sebabnya dikatakan tolu sahundulan (pengaturan tempat duduk dalam tiga kelompok). Lima saodoran ialah kerabat keluarga luas yang merupakan gabungan dari seluruh lembaga adat dan hal ini terjadi pada saat upacara besar. Jadi pengertian lima disini ialah pesta upacara yang dihadiri oleh


(36)

lima kelompok kerabat yang terdiri dari tondong (kelompok istri), sanina (sanak saudara satu keturunan/marga), anak boru (pihak ipar), tondong ni tondong (kelompok pemberi istri kepada tondong), anak boru mintori (kelompok boru dari ipar). Dalam setiap upacara adat, para kerabat-kerabatnya akan membawa rombongan masing-masing dengan bawaannya (buah tangan) masing-masing juga. Tetapi karena mereka terdiri dari satu kaum kerabat, maka buah tangannya dibuat menjadi satu. Sebagai contoh misalnya pada saat upacara perkawinan, rombongan dari tiap kaum kerabat membuat acaranya secara bergiliran dalam upacara tersebut. Pihak perwakilan pesta akan memanggil mereka untuk mempersembahkan sesuatu untuk pihak yang melakukan upacara perkawinan tersebut. Hal ini merupakan suatu kehormatan bagi masyarakaat Simalungun untuk menunjukkan sistem kekerabatannya (Kenan Purba 1997:32).

2.3 Mata Pencaharian

Secara umum mata pencaharian masyarakat Simalungun adalah petani, pegawai negeri, pegawai swasta juga wiraswasta, bagi yang berdomisili di tepi Danau Toba umumnya bekerja sebagai nelayan, dan melihat daerah Simalungun lebih banyak daratan maka pada umumnya bekerja sebagai petani. Masyarakat yang bekerja sebagai petani biasanya menanam makanan pokok seperti padi, ada juga yang menanam palawija dan sayur-mayur. Pekerjaan bertani merupakan rutinitas yang dilakukan oleh masyarakat Simalungun dulunya untuk memenuhi segala kebutuhan sehari-hari. Dan hingga sekarang masih ada masyarakat


(37)

Simalungun yang melakukan rutinitas tersebut mengingat adanya kegiatan tahunan yang dilakukan untuk merayakan hasil panennya.

Dalam masyarakat Simalungun ada dikenal sistem gotong royong yang disebut dengan marharoan. Marharoan adalah sekelompok masyarakat yang bertetangga bersama-sama mengerjakan ladang atau sawah secara bergiliran. Keikutsertaan seseorang dalam marharoan ini adalah sukarela dan merasa meiliki kebutuhan yang sama. Lamanya marharoan tergantung dari pekerjaan yang harus dikerjakan serta merupakan hasil keputusan bersama. Marharoan kini sudah jarang ditemukan pada masyarakat Simalungun, namun di beberapa desa seperti daerah Saribu Dolok dan sekitarnya masih sering dilakukan. Kegiatan ini dulunya dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaan ladang dengan ditambah sebagai bentuk solidaritas antar masyarakat di dalamnya.

Masyarakat Simalungun juga ada yang berprofesi sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta. Sebagai pegawai negeri mereka berprofesi sebagai guru, polisi, dokter, pejabat pemerintahan dan lain-lainnya. Sebagai pegawai swasta meraka bekerja di pabrik, perkebunan dan perusahaan milik swasta. Sedangkan bagi masyarakat yang berwiraswata pekerjaannya adalah pedagang, pengusaha kilang, bertenun, dan lain sebagainya. Pekerjaan-pekerjaan seperti ini pada umumnya pekerjaan yang sudah mendekati daerah kota dan adapun di daerah desa sudah disebabkan oleh pengaruh dari luar ataupun kota. Dan tidak hanya pekerjaan seperti itu saja, sebagian kecil dari daerah Simalungun juga memiliki pekerjaan dan usaha budidaya ikan. Masyarakat nelayan di Simalungun terdapat di sekitar tepian Danau Toba, seperti Haranggaol, Parapat dan sekitarnya.


(38)

Pembudidayaan ikan mas salah satu mata pencaharian yang berkembang untuk saat ini. Oleh karena itu, masyarakat Simalungun secara keseluruhan daerah memiliki pekerejaan yang sesuai dengan kependudukan masing-masing sehingga memiliki keberagaman mata pencaharian.

2.4 Bahasa

Bahasa adalah alat komunikasi yang dipakai oleh manusia untuk mengungkapkan dan mengemukakan apa yang dipikirannya terhadap orang lain. Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Ritus Peralihan di Indonesia menulis “bahasa adalah sistem perlambangan manusia yang lisan maupun tulisan untuk berkomunikasi satu dengan yang lain” (1986:339). Melalui bahasa juga kebudayaan tiap bangsa dapat dikembangkan dan diwariskan kepada generasi yang akan datang. Suatu bahasa menentukan bagaimana ciri dan khas suatu masyarakat dan khususnya suatu kebudayaan, sehingga dapat dilihat peran bahasa yang diguakan suatu masyarakat.

Masyarakat Simalungun memiliki bahasa yang disebut dengan bahasa Simalungun, secara umum merupakan bahasa pengantar dalam kehidupan keseharian masyarakatnya yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan adat istiadat, acara kebaktian gereja, perkumpulan-perkumpulan marga dan lain sebagainya. Meskipun demikian, bagi masyarakat Simalungun yang telah berdomisili di luar wilayah Simalungun, bahasa Simalungun tidak selamanya menjadi bahasa pengantar utama, melainkan bahasa Indonesia atau bahasa daerah domisili


(39)

mereka. Masyarakat Simalungun juga kadang menggunakan bahasa yang dicampur dengan bahasa di luar kebudayaannya mengingat dekatnya perbatasan daerah Simalungun dengan daerah kebudayaan lain. Sistem bahasa yang digunakan masyarakat Simalungun memiliki ciri tersendiri yang menjadi lambang maupun status sebagai masyarakt Simalungun.

Salah satu ciri masyarakat Simalungun adalah memiliki tingkatan bahasa yang disebut dengan ratting ni hata. Adapun tingkatan tersebut adalah:

1. Lapang ni hata, merupakan bahasa sehari-hari yang dipakai oleh masyarakat umum Simalungun. Bahasa ini merupakan bahasa yang menjadi kebiasaan masyarakat Simalungun dan pada umumnya selalu digunakan para remaja karena menggunakan bahasa yang dicampur dengan bahasa kebudayaan lain mengingat mereka yang selalu berinteraksi dengan di luar kebudayaannya.

2. Guru ni hata, merupakan bahasa yang paling halus, baik dari cara penyampaiannya maupun kata-katanya. Ini merupakan bahasa yang hormat dan biasanya dipergunakan untuk memberi nasehat, sering sekali disampaikan melalui perumpamaan ataupun peristilahan.

3. Sait ni hita, merupakan bahasa yang kasar baik cara penyampaiannya maupun kata-katanya. Ini biasanya bahasa seseorang dalam mengungkapkan kemarahan, yang berisi dengan makian dan sindiran.

Pada masa sekarang, yang paling sering dipakai adalah lapang ni hata, karena merupakan bahasa yang sangat umum dipakai dalam kehidupan masyarakat,


(40)

namun dalam keadaan tertentu seseorang bisa saja mempergunakan bahasa yang kasar ketika sedang marah atau mempergunakan bahasa yang halus ketika hendak memberi nasehat. Penggunaan bahasa dalam masyarakat Simalungun disesuaikan dengan posisi tempat dan keadaan saat melakukan komunikasi. Seperti yang dijelaskan di atas dapat dilihat dari situasi dan tempatnya, sebagai contoh penggunaan bahasa yang digunakan dalam suatu upacara adat yang digunakan oleh ketua adat atau pemimpin adatnya yang selalu menggunakan bahasa ni guru. Penyampaian bahasanya akan menunjukkan integritas si pembicara dalam posisi maupun jabatannya sebagai pembicara dan hal itu menjadi simbolis seseorang dalam berkomunikasi di kehidupan sehari-hari.

2.5 Kesenian

Menurut Koentjaraningrat (1982:395-397), kesenian merupakan ekspresi manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif. Kesenian dalam masyarakat Simalungun menggambarkan bagaimana deskripsi masyarakat tersebut dan pada umumnya seperti itu dalam suatu masyarakat yang memiliki tradisi sendiri. Kesenian juga akan menentukan identitas suatu masyarakat sehingga bentuk kesenian dalam masyarakat Simalungun disesuaikan dengan bentuk, sistem, bahasa, kepercayaan, dan sejarah yang terdapat dalam masyarakat Simalungun. Masyarakat Simalungun memiliki berbagai macam bentuk kesenian, yaitu seni sastra, seni musik, seni tari dan seni rupa.


(41)

2.5.1 Seni Sastra

Seni sastra dikenal di Simalungun dalam bentuk cerita-cerita baik dongeng atau legenda, dan pantun-pantun. Masih banyak dongeng maupun legenda yang dikenal oleh masyarakat Simalungun, dan bahkan yang dipercayai dalam bentuk keyakinan. Salah satu contoh dongeng yang cukup terkenal adalah Turi-turin ni paes pakon begu. Mengingat masyarakat Simalungun dulunya menganut paham animisme, maka banyak sejarah legenda yang menceritakan di luar akal dan pikiran masyarakat sekarang. Tapi bukan hanya disebabkan oleh itu juga, melainkan melihat masyarakat Simalungun yang menghargai tradisi dan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakatnya.

Seni berbalas pantun juga pernah berkembang di Simalungun, perkembangan kata-kata perumpamaan, pepatah-pepatah, hutinta (teka-teki) dan lain-lain. Kesenian ini biasanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan bahkan juga digunakan dalam kepentingan adat, seperti pantun yang diungkapkan dalam acara makkioi daboru14

14

Makkioi daboru merupakan tradisi Simalungun yang dilakukan untuk memberi ulos kepada perempuan yang menikah dengan membalutnya di bagian punggungnya.

yang menyampaikan pesan sesuatu dalam bentuk pantun dengan menyampaikan kiasan dahulu kemudian makna sebenarnya. Kesenian yang dtunjukkan dalam bentuk pelafalan bahasa merupakan hal yang umum dalam masyarakat Simalungun melihat bagaimana pentingnya tradisi yang digunakan dalam masyarakat tersebut.


(42)

2.5.2 Seni Musik

Masyarakat Simalungun memiliki dua jenis musik yaitu musik vokal/seni suara (inggou) dan musik instrumental (gual). Musik vokal (inggou) ada dua jenis yaitu musik vokal solo dan musik vokal berkelompok. Musik vokal solo disebut dengan doding sedangkan musik vokal kelompok disebut ilah. Seperti yang diungkapkan dalam tesis Setia Dermawan Purba bahwa ada berbagai jenis nyanyian Simalungun diantaranya taur-taur dan simanggei, ilah, doding-doding, urdo-urdo,tihta, yangis, tangis-tangis, manalunda, orlei dan mandogei. Musik instrumental (gual) yang tedapat di Simalungun juga terbagi atas dua yaitu ensambel (gonrang) dan instrumen tunggal/ solo instrument.

Adapun gonrang Simalungun terbagi dua yaitu gonrang sipitu-pitu dan gonrang sidua-dua. Gonrang sipitu-pitu adalah ensambel yang menggunakan tujuh buah gendang masing-masing memiliki ukuran yang berbeda, satu buah sarune, dua buah ogung danmongmongan. Sedangkan gonrang sidua-dua adalah ensambel yang terdiri dua buah gendang, satu buah sarune, dua buah ogung danmongmongan.Ada juga beberapa instrumen musik tradisional Simalungun yang dimainkan secara tunggal, antara lain sordam, saligung, sulim, tulila, sarunei buluh, sarunei bolon, arbab, hodong,hodong, garantung dan sitalasayak. Alat musik ini (ansambel atau solo instrument) ada yang digunakan untuk upacara-upacara adat ataupun untuk menghibur diri sendiri. Instrumen musik dalam tradisi masyarakat Simalungun sangat penting karena perannya yang selalu digunakan dalam setiap upacara-upacara yang diadakan. Setiap alat musik baik itu yang dimainkan secara ansambel maupun yang dimainkan secara tunggal


(43)

memiliki fungsi dan peranan masing-masing dalam upacara-upacara seperti upacara adat, upacara ritual, ataupun acara hiburan semata.

2.5.3 Seni Tari

Dalam masyarakat Simalungun tari merupakan hal yang penting apalagi dalam konteks adat istiadat. Tari dapat membedakan kelompok status yang menari, misalnya kelompok suhut, tondong, dan sanina boru. Peran tari dalam masyarakat Simalungun sangat mempengaruhi setiap jalannya suatu upacara. Hal ini disebabkan dalam suatu upacara dalam masyarakat Simalungun dengan contoh upacara perkawinan akan membuat suatu konsep acara dengan urutan atau rentetan acara yang sudah ditetapkan. Tari atau disebut juga tor-tor dalam masyarakat Simalungun ada yang dipergunakan untuk upacara adat istiadat, upacara bersifat kepercayaan, ada juga dipakai dalam pergaulan muda-mudi. Dalam seni tari masyarakat Simalungun memiliki dua jenis pola dasar yaitu gerak serser15 dan ondok16

Dalam upacara kepercayaan juga dipakai tor-tor sebagai pelengkap maupun pendukung upacara yang digunakan sebagai makna simbolis, danini biasanya dilakukan oleh orang yang sedang kesurupan. Tor-tor ini disebut tor-tor nasiaran. Gerakan tarian ini bebas dimulai dengan tempo yang lambat kemudian semakin lama semakin cepat. Gerakan yang dilakukan oleh penari merupakan

.

15

Gerakan serser adalah gerakan tekhnik menggeser telapak kaki dengan cara yang berlawanan tetapi tujuannya sama

16

Gerakan ondok adalah gerakan dengan menekukkan kaki ke depan seperti hendak menjatuhkan pinggul dan kembali tegak, dilakukan secara berulang-ulang


(44)

gerakan yang dilakukan di luar kesadarannya yang artinya penari tersebut hanya merupakan media bagi roh yang memasukinya. Dasar gerakannya adalah tangan atau jarinya yang mengepal dan juga menggunakan ekspresi yang tidak jelas yang terkadang menggunakan bahasa yang sulit dipahami. Ada beberapa tari yang digunakan untuk upacara kepercayaan seperti:

1. Tor-tor turahan, tor-tor ini bersifat gotong royong digunakan pada waktu menarik balok besar dari hutan untuk dijadikan losung17

2. Tor-tor podang,tor-tor ini dilakukan oleh dua laki-laki yang masing-masing memegang pedang sambil menari dan diiringi dengan musik.

. Tujuan dari tarian ini adalah untuk menambah semangat orang-orang yang sedang bekerja. Kegiatan ini dilakukan dengan

3. Tor-tor tunggal panaluan,tor-tor ini dilakukan oleh seorang guru bolon (dukun) untuk mengayun tunggalpanaluan18

4. Tor-tor muda-mudi dan tor-tor pencak adalah jenis tor-tor yang bersifat hiburan. Tor-tor muda-mudi biasanya digunakan dalam acara-acara yang bersifat sukacita, misalnya rondang bittang, marsapu-sapu, dan maranggir borngin. Tor-tor pencak adalah tarian dengan gerakan dasar pencak yang dihiasi dengan gerakan lain dan seirama dengan gonrang. Biasanya dilakukan oleh dua orang. Dulunya gerak tor-tor pencak ini digunakan juga oleh orang yang kesurupan karena digunakan sebagai

.

17

Losung adalah benda yang terbuat dari kayu, dibentuk sedemikian rupa yang berfungsi sebagai alat menumbuk padi, sayur, kopi dan sebagainya.

18


(45)

media dalam sebuah upacara ritual, dan hal ini menunjukkan suatu bentuk ekspresi marah dari roh yang merasukinya.

2.5.4 Seni Rupa

Seni rupa dalam masyarakat Simalungun disebut dengan gorga yaitu motif-motif hiasan berbentuk hewan, manusia, tumbuhan, dan berbentuk geometris. Motif-motif ini biasanya terdapat pada kain adat (hiou), rumah adat, alat musik, sarung, gagang pedang, dan peralatan-peralatan lainnya. Motif-motif khas Simalungun ini diaplikasikan terhadap benda-benda yang merupakan bentuk maupun ciri tradisi masyarakatnya dan yang sudah biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari terkhusus dalam aktivitas budayanya.

2.6 Agama dan Kepercayaan

Menurut Purba (1998:28-31), sebelum masuknya agama Islam dan Kristen di Simalungun, masyarakat Simalungun masih menganut Aninisme yang disebut supajuh begu-begu dan politeismeyaitu kepercayaan pada sang pencipta alam yang bersemayam di langit tertinggi yang disebut Ompung Naibata yang terdiri tiga Naibata yaitu:

1. Naibata na I babou ( benua atas) 2. Naibata na I tongah (benua tengah) 3. Naibata na I toruh (benua bawah)


(46)

Selain mempercayai adanya ketiga Naibata tersebut, penganut supajah begu-begu juga mempercayai roh nenek moyang mereka. Masyarakat Simalungun juga mempercayai roh-roh orang mati (begu) dan dianggap memiliki kekuatan gaib dan biasanya berdiam di tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat. Selain itu ada juga kepercayaan masyarakat Simalungun bhwa suatu tempat juga memiliki penghuni, misalnya penghuni perladangan yang disebut dengan pangianni talun. Masyarakat Simalungun juga mengenal pemberian sesajen atau persembahan terhadap hal-hal yang dipercayai mereka dengan tujuan meminta berkah dan keselamatan. Tempat pemberian sesajen tersebut disebut dengan parsinumbahan.

Berdasarkan kepercayaan sipajuh begu-begu, ada beberapa ritual yang mereka lakukan seperti :

1. Maranggir yaitu upacara ritual untuk membersihkan diri dari gangguan roh jahat.

2. Manumbah yaitu upacara ritual untuk mendekatkan diri pada sembahan mereka.

3. Ondos Hosah yaitu upacara ritual untuk seluruh penduduk suatu desa atau satu keluarga agar terhindar dari marabahaya.

4. Manabari/manulak bala yaitu upacara ritual untuk mengusir marabahaya dalam suatu desa atau diri seseorang.

5. Marbahbah yaitu upacara ritual untuk menjauhkan penyakit atau menunda kematian seseorang dengan membuang patung orang tersebut. Patung ini biasa terbuat dari batang pisang.


(47)

6. Mangindo pasu-pasu yaitu upacara ritual untuk meminta berkah dan doa restu dari roh nenek moyang agar tetap sehat dan mendapat rezeki.

7. Mardilo tonduy yaitu upacara ritual pegobatan untuk memanggil roh seseorang yang mengalami sakit yang disebabka roh jahat.

Masuknya agama ke daerah masyarakat Simalungun memberikan pengaruh terhadap bentuk dan sistem tradisi yang ada di dalam masyarakat tersebut. Ada sebagian norma-norma yang ditinggalkan dan bahkan ditambahi juga yang sesuai dengan aliran agama tersebut. Agama Islam masuk ke Simalungun pada abad ke-15 melalui daerah Asahan dan Bedagai yang dibawa oleh orang-orang dari kerajaan Aceh. Awalnya perkembangan agama Islam berada di daerah sekitar Perdagangan dan Bandar (Sihotang 1993:23). Sedangkan agama Kristen masuk ke Simalungun pada awal abad ke-20 tepatnya pada tanggal 2 September 1903, yang dibawa oleh misionaris bernama August Theis di pematang Raya. Pada mulanya agama Kristen mendapat kesulitan untuk berkembang karena kuatnya pengaruh kepercayaan mereka dan kalangan bangsawan dan raja yang juga enggan untuk menerimanya. Melihat masuknya agama dalam masyarakat Simalungun tidak juga mempengaruhi rasa kebudayaan akan nilai-nilai tradisi dalam masyarakatnya.


(48)

BAB III

Pertunjukan Toping-toping dalam Upacara SayurMatua dan Pesta Rondang Bittang

3.1 Sejarah Toping-Toping

Sistem tradisi kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Simalungun pada umumnya dilakukan secara oral dan dilanjutkan secara regenerasi maupun alamiah. Eksistensi suatu kebudayaan dapat dilihat hingga saat ini disebabkan oleh masyarakat pendukungnya yang turut berpartisipasi dalam menjalani aktivitas budaya tersebut. Melihat budaya yang hidup dapat dilihat dari kesadaran masyarakatnya untuk mengetahui pentingnya kebudayaan dalam segala aktivitas masyarakat tersebut. Sehingga tradisi kebudayaan hingga saat ini dapat bertahan dengan melihat bagaimana suatu masyarakat menyalurkan maupun menyampaikan suatu tradisi kebudayaan kepada generasinya.

Proses penyampaian suatu tradisi kebudayaan dilakukan secara oral baik itu dalam bentuk pembelajaran, pemahaman, dan bahkan dalam bentuk cerita maupun sejarah. Terkait dengan tulisan ini (tradisi toping-toping), penulis melihat bagaimana tradisi ini tetap hidup dalam masyarakat Simalungun. Keberadaan tradisi toping-toping ini pada awalnya tidak dilihat bagaimana proses pembelajarannya melainkan bagaimana tradisi toping-toping ini muncul dalam masyarakat Simalungun. Sejarah yang menceritakan tradisi ini memberikan


(49)

Simalungun hingga saat ini dan hal ini dapat dilihat dari bagaiamana peran tradisi ini digunakan dalam suatu aktivitas budaya tersebut.

Adapun sejarah yang menceritakan tentang awal mula tradisi toping-toping ini diasumsikan oleh kalangan masyarakat Simalungun dengan berbagai versi. Mengingat kebudayaan sifatnya tidak statis maka sejarah yang menceritakan tradisi toping-toping ini memiliki cerita yang berbeda walaupun masih dalam satu masyarakat. Tetapi cerita yang dianggap sejarah ini bukan menjadi penentu kebenaran dari cerita sebenarnya, mengingat sebuah cerita rakyat atau foklor sifatnya fleksibel yang memberikan beberapa macam versi maupun asumsi atas cerita tersebut. Sehingga dalam hal ini penulis tidak melihat dari sudut pandang kebenaran akan cerita ini melainkan asumsi masyarakat akan cerita ini yang merupakan suatu kebudayaan terlebih kesenian yang berada di tengah-tengah kehidupan mereka.

Selama penelitian lapangan yang membahas tentang tradisi toping-toping ini, penulis mendengar dua versi yang memunculkan kesenian toping-toping ini dalam masyarakat Simalungun. Ketika berbicara tentang sejarahnya, penulis telah melakukan wawancara dengan salah seorang informan yaitu bapak Riduan Purba selaku seorang penari huda-huda. Menurut keterangan beliau, munculnya toping-toping berawal dari meninggalnya seorang putra mahkota kerajaan Simalungun yang mengakibatkan kesedihan dan keharuan pada keluarga kerajaan. Dan lebih sedihnya permaisuri raja yang tidak bisa menerima kenyataan atas meninggalnya puteranya tersebut. Sang permaisuri selalu menangis di depan jenazah anaknya tersebut hingga tidak mengijinkan siapapun untuk mengebumikan puteranya


(50)

tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran untuk sang raja akan kesehatan sang permaisuri dan juga kondisi jenazah yang sudah mengeluarkan bau tidak sedap sampai-sampai sang raja memerintahkan anggota keluarga kerajaan hingga masyarakat kerajaan untuk membujuk permaisuri tetapi tetap tidak berhasil. Berita ini tersebar di seluruh masyarakat kerajaan sehingga suatu saat ada beberapa orang masyarakat kerajaan yang berprofesi sebagai paragat di sebuah ladang di tengah-tengah hutan. Pada saat mereka memasuki ke tengah hutan dalam perjalanan tiba-tiba jatuh beberapa pelepah pohon yang menarik perhatian beberapa bodat (kera). Pada awalnya kera-kera tersebut hanya melihat-lihat pelepah tersebut sembari para paragat tersebut memperhatikan tingkah kera-kera tersebut. Begitu lucunya kera-kera tersebut yang mengambil pelepah kayu dan memasangnya tepat di wajah kera tersebut layaknya menggunakan sebuah topeng. Hal ini membuat para paragat tersebut tertawa terbahak-habak melihat kelucuan kera tersebut, dan di waktu yang sama tiba-tiba datang seekor burung enggang yang sedang memperhatikan tingkah kera tersebut juga. Burung enggang tersebut memperhatikan kera tersebut sambil menggoyangkan ekor dan badannya yang sebenarnya menunjukkan pembelaan diri si burung enggang yang melihat tingkah aneh kera-kera tersebut. Pada saat melihat kejadian seperti inilah salah seorang paragat tersebut memberikan sebuah ide untuk meghibur si permaisuri yang bersedih atas meninggalnya putranya dengan meniru kelakuan si kera dengan topengnya dan tingkah si burung enggang yang lucu. Keesokan harinya seluruh kerajaan gempar akan kehadiran tari toping-toping atau huda-huda yang ditampilkan oleh para paragat tersebut di halaman kerajaan. Keramaian penonton


(51)

dari masyarakat kerajaan hingga anggota keluarga kerajaan menarik perhatian atas pertunjukan tari tersebut. Dan seketika itu juga permasiuri ikut melihat pertunjukan tersebut ke luar halaman sehingga ada kesempatan untuk mengebumikan jenazah puteranya tersebut. Melihat situasi tersebut raja memerintahkan untuk segera mengebumikan jenazah puteranya tersebut karena si permaisuri sudah terhibur dengan pertunjukan toping-toping tersebut. Begitulah salah satu cerita yang menjelaskan sejarah timbulnya tradisi ini dalam masyarakat Simalungun dahulunya.

Dari sisi pandangan sebagian masyarakat Simalungun terkait sejarah tradisi toping-toping ini memiliki cerita yang berbeda dari cerita yang di atas. Adapun cerita lain disebutkan juga Versi yang lain yang menceritakan sejarah tradisi ini diawali pada saat meninggalnya seorang raja dalam masyarakat Simalungun dulunya. Kabar dan perasaan duka tentu dialami oleh keluarga kerajaan dan bahkan rakyat kerajaan tersebut. Dan lebih sedih lagi adalah sang permaisuri ataupun istri raja yang tidak dapat merelakan kepergian sang raja. Adapun alasan utama sang permaisuri tidak merelakan suaminya tersebut disebabkan oleh “kejantanan” sang raja dalam melayani sang permaisuri. Oleh alasan itulah permaisuri tidak dapat merelakannya hingga rakyat pun resah dengan kondisi jenazah sang raja yang sudah mulai mengeluarkan bau tidak sedap. Untuk itu salah seorang dukun di kerajaan itu mencari inspirasi agar dapat mengubur jenazah sang raja, dan singkat cerita terpikirlah untuk menarikan tari lucu dengan menggunakan topeng dan juga burung enggang di depan kerajaan. Dengan dilaksanakannya salah satu ide dukun ini, akhirnya perhatian sang permaisuri


(52)

tertuju kepada hiburan tari toping-toping dengan huda-huda ini. Sehingga dengan diam-diam rakyat mengubur jenazah sang raja, sampai akhirnya sang permaisuri mengetahuinya dan menerimannya.

Secara fungsional dapat dilihat persamaan dari kedua cerita tersebut yang menjelaskan digunakannya tari toping-toping ini untuk menghibur sang permaisuri raja dan dengan konsep dalam situasi duka atau atas meninggalnya seorang putra raja maupun rajanya. Sejarah dari tradisi ini yang sampai saat ini diyakini oleh masyarakat Simalungun dan terlebih pengaplikasiannya terhadap aktivitas budaya yang dilakukan. Tradisi toping-toping hingga saat ini masih tetap digunakan oleh masyarakat Simalungun dengan konsep-konsep ritual dan musikal yang menunjukkan identitas dari sejarah yang membawanya hingga sekarang.

3.2 Upacara Sayur Matua

Dalam kehidupan manusia ada kelahiran, tumbuh menjadi dewasa dan akhirnya meninggal dunia. Hal ini merupakan proses alam yang telah terjadi sejak adanya manusia di atas bumi. Semua manusia tak seorangpun yang yang dapat menolak kematian, yang merupakan sebuah akhir dari kehidupan dan interaksinya dalam kehidupan sosial dalam bermasyarakat.

Bagi masyarakat Simalungun kematian seseorang layak untuk dihormati dan diselesaikan dalam acara adat istiadat. Kematian salah satu anggota keluarga


(53)

dapat menjadi sebuah kebanggan bagi keluarga yang ditinggalkan, misalnya orang yang meninggal tersebut telah sayur matua.

Sayur matua adalah orang yang meninggal dunia di saat dia telah memiliki anak yang semuanya sudah berkeluarga dan juga memiliki cucu dari masing-masing anaknya. Pada situasi seperti ini biasanya kematiannya menjadi kebanggan bagi keluarga yang ditinggalkan. Orang yang meninggal dalam keadaan sayur matua dianggap telah sempurna menurut adat Simalungun. Dengan demikian sudah selayaknya dilaksanakan upacara adat na gok19

Toping-toping dalam upacara sayur matua dilakukan pada acara mangiliki, yaitu sebuah acara yang dipersiapkan oleh pihak keluarga yang kemalangan untuk menyambut kedatangan sanak keluarga yang akan melayat. Mangiliki adalah

.

Ada dua kegiatan yang dilaksanakan pada saat upacara sayur matua yaitu acara mandingguri dan mangiliki. Mandingguri dilakukan pada malam hari sampai dini hari. Acara mandingguri adalah acara menggendangi orang meninggal dan terlihat bahwa keluarga yang ditinggalkan tidak sedih tetapi bangga dan terharu karena orangtua mereka telah sayur matua. Mangiliki dilakukan pada siang hari, acara ini ditujukan untuk menyambut tamu yang datang. Pada acara ini dipertunjukan toping-toping.

3.2.1 Toping-toping dalam Upacara Sayur Matua

19

Adat na gok adalah semua komponen adat dapat dipakai karena orang yang bersangkutan sudah pantas untuk mendapatkannya


(54)

sebuaah acara yang diawali dengan keluarga mendiang (suhut) berbaris di depan rumah. Tujuannya adalah untuk menyambut kedatangan pihak keluarga mertua dari yang meninggal (tondong). Kegiatan ini ditandai dengan dibuatnya titik pertemuan antara suhut dan tondong. Titik pertemuan itu berupa kain putih atau ulos yang dibentangkan di atas tanah. Kegiatan ini diiringi dengan gual, yaitu gual huda-huda.

Pada acara ini pihak suhut dan tondong masing-masing sudah mempersiapkan toping-toping mereka. Biasanya pihak tondong akan membawa toping-toping dari dareah asal mereka. Hal ini dipersiapkan untuk mengantisipasi jika di tempat tujuan, mereka tidak menemukan orang yang mampu untuk memainkan toping-toping. Toping-toping dari pihak suhut maju ke titik pertemuan tepat dihadapan pohak suhut dan melakukan gerakan menyembah. Gerakan menyembah ini adalah gerakan dengan merapatkan kedua belah telapak tangan di depan dada.

Dalam situasi ini terlihat bahwa toping-toping mencerminkan penghormatan kepada pihak tondong. Setelah selesai menyembah pihak tondong,toping-toping menyodorkan sirih yang di dalamnya berisi sejumlah uang yang diletakkan di atas piring. Kemudian pihak tondong menari dengan membawa ulos ragi pane20dan bulang21

20

Ulos ragi pane adalah ulos yang digunakan dalam pesta adat oleh masyarakat Simalungun. Ulos ini dipakai dengan cara disarungkan oleh seseorang kepada yang akan memakainya dalam suatu proses adat dan yang biasa memakainya adalah pria. Ulos ini berwarna dasar kebiru-biruan.

21

Bulang adalah penutup kepala yang berbentuk sedemikian rupa. Warnanya ada yang coklat,


(55)

Setelah itu barulah toping-toping dari pihak tondong mulai menari dan menerima porong berisi sirih dan uang dari toping-toping pihak suhut, dilanjutkan dengan membuka sirih yang berisi uang yang dihadapan pihak tondong22. Setelah membuka sirih biasanya toping-toping akan terlihat sedang marah karena merasa uang yang berada dalam lipatan sirih tersebut masih kurang jumlahnya. Toping-toping akan berbalik seolah-olah meminta agar uang tersebut ditambah lagi oleh pihak suhut sambil mengembalikan piring yang berisi sirih dan uang. Pihak suhut akan menambah uang ke dalam sirih, dan menyerahkan kembali sirih beserta piringnya, kegiatan seperti ini akan terjadi berulang-ulang, dan toping-toping tidak akan pernah merasa puas23

Setelah anak yang diserahkan oleh pihak suhut diterima oleh toping-toping dari pihak tondong, barulah pihak tondong memberikan ulos ragi pane dan bulang

.

Toping-toping akan merasa puas jika pihak suhut menyerahkan salah satu anak mereka untuk dijadikan menantu. Hal inilah yang sebenarnya diinginkan oleh toping-toping. Ini dianggap bertujuan untuk meneruskan tali persaudaraan, mereka merasa bahwa kematian anggota keluarga mereka tersebut dapat menyebabkan putusnya tali persaudaraan diantara mereka. Dalam upacara kematian masyarakat Simalungun terlihat ada upaya yang bertujuan untuk selalu mempersatukan keturunan agar selalu berhubungan.

22

Dalam adat Simalungun menetapkan bahwa penyambutan ini pihak suhut dan pihak tondong tidak dapat berkomunikasi secara langsung, namu diperantarai oleh toping-toping. Salah satu ciri khas acara membuka sirih ini adalah pembuka sirih biasanya topeng laki-laki.

23


(56)

beserta tinombu24

. Setelah selesai penyerahan barang-barang tersebut maka pihak suhut dan pihak tondong bersama-sama masuk ke dalam rumah untuk mengelilingi jenazah sambil menari dan tetap diiring dengan musik. Setelah itu pihak tondong menutupi jenazah tersebut dengan kain putih.

Acara selanjutnya dala acara mangilikiini adalah penyambutan pihak sanina (saudara semarga). Pihak sanina membawa uang sebagai sumbangan yang diletakkan di dalam mangkuk, dan juga makanan yang diisi ke dalam bambu yang disebut tombuan. Pada saat penyambutan ini toping-toping turut berpartisipasi, untuk menerima persembahan yang dibawa oleh pihak sanina juga masih diiringi dengan gual huda-huda. Setelah selseai penyerahan barang, bersama-sama mereka masuk ke dalam rumah untuk melayat sambil menari. Dalam acara ini tidak ada kegiatan tawar-menawar seperti yang dilakukan pihak suhut kepada pihak tondong. Acara untuk sanina ini diakhiri dengan penyelimutan jenazah dan memberikan kata-kata nasihat.

Selesai penyambutan pihak sanina, maka dilanjutkan dengan menyambut pihak boru. Toping-toping masihturut serta untuk menyambutpihak boru. Pihak boru biasanya akan membawa biasanya akan membawa ulos pangolat (pangolat maksudnya adalah penahan), dan ulos ini mereka pergunakan masuk ke dalam rumah. Pihak boru juga menyelimuti jenazahdengan kain putih dan dilanjutkan dengan menyampaikan kata-kata penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan.


(57)

Setelah semua kegiatan ini selsesai barulah toping-toping menghibur orang-orang yang melayat. Mereka mengawali aksi menghibur mereka dengan terlebih dahulu menjenguk pihak keluarga yang berduka, maka penari toping-toping beraksi dengan tingkah lucu mereka untuk menghibur orang-orang yang datang ataupun yang berada di sekitar lokasi acara tersebut. Sekali-kali toping-toping akan menari dengan serius, baru kemudian mereka melanjutkan dengan tingkah lucu.

Acara terakhir dari upacara sayur matua ini adalah acara penguburan. Ini dianggap sebagai akhir dari acara mangiliki. Acara penguburan meliputi mengantar ke kuburan dan mengubur mayat. Dalam acara ini toping-toping turut untuk mengiringi sampai ke kuburan sambil menari-nari dan tetap diiringi dengan musik.

3.3 Toping-toping dalam Pesta Rondang Bittang

Pesta rondang bittang adalah pesta rutinitas bagi masyarakat Simalungun yang diadakan setiap tahunnya. Pesta rondang bittang pertama kali digelar pada tahun 1980, sehingga sebenarnya sudah berlalu selama 33 tahun belakangan ini. Tapi pada tahun 2000 sampai tahun 2005 pesta rondangbittang tidak dilaksanakan karena keputusan kepemerintahan Simalungun pada saat itu, sehingga pesta ini dinyatakan sebagai pesta rondang bittang ke-28. Pada dasarnya pesta rondang bittang ini merupakan suatu acara untuk muda-mudi yang dilakukan setelah musim panen, hal ini dilakukan untuk mengucap syukur kepada Sang Pencipta.


(58)

Dan awalnya acara ini juga dimanfaatkan sebagai sarana perjodohan bagi para muda-mudi Simalungun. Perjodohan di sini maksudnya adalah dengan adanya acara pesta rondang bittang ini maka biasanya seluruh muda-mudi masyarakat Simalungun turut serta dalam acara ini, sehingga mereka dapat berkomunikasi ataupun berkenalan dengan satu sama lain. Hal inilah yang mendukung terbentuknya pesta rondang bittang ini hingga sekarang.

Dalam pesta rondang bittang, tidak hanya urusan muda-mudi saja yang digunakan untuk setiap acaranya. Melainkan dalam acara ini semakin dituntut untuk melestarikan dan mengembangkan aktivitas dan kreativitas kebudayaannya sendiri untuk tetap hidup. Bentuk aktivitas dan kreativitas masyarakat Simalungun yang digunakan dalam acara pesta rondang bittang ini berupa kreasi-kreasi tradisi masyarakat Simalungun seperti seni musik, seni tari, seni bela diri, seni sastra, dan seni tradisi masyarakat kerajaan Simalungun dulu.

Untuk mengikuti jalan tulisan ini, maka penulis akan melihat kreasi tradisi masyarakat Simalungun yang menampilkan seni tari terkhusus objek penelitian penulis yaitu tari toping-toping. Tari toping-toping dalam pesta rondang bittang dipertunjukkan secara khusus untuk mendukung acara pelestrian budaya Simalungun dengan cara memperlombakan kesenian ini. Acara ini didukung oleh masyarakat Simalungun dengan menyediakan satu kelompok penari toping-toping di setiap kecamatannya.


(59)

3.3.1 Jalan Pertunjukan Toping-toping dalam Pesta Rondang Bittang

Toping-toping dalam pesta rondang bittang dipertunjukkan dengan cara memperlombakan kesenian ini untuk memicu semangat masyarakat Simalungun. Dalam pertunjukan toping-toping pada pesta rondang bittang di mana pertunjukan tersebut dilakukan secara bergilir mengingat pertunjukan ini disajikan dalam bentuk kompetisi. Setiap kelompok penarinya sudah memiliki nomor urut yang sudah ditentukan oleh panitia untuk mempertunjukkan tariannya di panggung yang sudah disediakan.

Pertunjukan toping-toping dalam pesta rondang bittang di Saribudolok dilakukan pada sore hari di hari kedua mengingat padatnya jadwal lain yang akan dilaksanakan. Panggung yang sudah disediakan oleh panitia pesta rondangbittang juga tersedia seperangkat ensambel gonrang sipitu-pitu yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan toping-toping. Dan di atas panggung juga sudah lengkap dengan tiga orang juri yang akan menilai pertunjukan di setiap kelompoknya.

Pada saat dimulainya pertunjukan, penari toping-toping terlebih dahulu mempersiapkan diri di bawah panggung sambil menunggu pertunjukan partangis-tangis. Pertunjukan partangis-tangis merupakan pertunjukan utama yang dilakukan untuk mendatangkan pertunjukan penari toping-toping. Jadi konsepnya adalah seteelah pertunjukan partangis-tangis maka dilakukanlah pertunjukan toping-toping, dengan kata lain pertunjukan toping-toping ditampilkan karena pertunjukan partangis-tangis disajikan. Partangis-tangistersebut pada umumnya seorang perempuan. Partangis-tangis akan menangisi sebuah patung yang


(60)

dianggap sebagai mayat suaminya yang telah meninggal sehingga akan menunjukkan rasa duka terhadap partangis-tangis. Sedangkan penari toping-toping menunggu tanda bunyi musik yang dimainkan di bawah panggung untuk memulai pertunjukannya.

Adanya tanda yang diberikan oleh pemain musik melalui bunyi permainan sarune menjadi tanda pembuka masuknya penari toping-toping. Pertunjukan toping-toping diawali dengan masuknya para penari di dalam panggung sementara musik dimainkan, partangis-tangis juga belum menyelesaikan pertunjukannya. Penari yang pertama kali menaiki panggung adalah penari huda-huda yang selanjutnya diikuti oleh kedua penari toping-toping lainnya. Jadi pada saat itu ada tiga pertunjukan yaitu pertunjukan partangis-tangis, pertunjukan toping-toping, dan pertunjukan ensambel gonrang sipitu-pitu.

Gambar: pertunjukan awal tari toping-toping

Penari huda-huda naik ke atas panggung


(61)

Gambar: Pertunjukan toping-toping, musik dan partangis-tangis

Dalam iringan musik gonrang sipitu-pitu, para penari toping-toping menari mengelilingi partangis-tangis dan dengan tujuan toping-toping semula yaitu untuk membujuk partangis-tangis. Gerakan improvisasi maupun gerakan khas Simalungun ditarikan oleh toping-toping maupun huda-huda dalam mengelilingi partangis-tangis. Sedangkan aksi membujuk partangis-tangis dilakukan oleh ketiga penari tersebut dan pada umumnya diawali oleh bujukan atau anggukan dari penari huda-huda dengan menundukkan kepala huda-huda ke depan wajah partangis-tangis. Kemudian seolah-olah dihiraukan oleh partangis-tangis, datanglah penari toping-toping yang datang untuk membantu membujuk partangis-tangis. Adapun aksen yang ditunjukkan oleh penari toping-toping adalah aksi yang akan menimbulkan canda bagi para penonton seperti penari toping-toping yang seolah-olah ikut menangis, melakukan gerakan lucu, dan juga aksen yang menarik perhatian.

Pertunjukan musik

Pertunjukan

toping-toping

Pertunjukan partangis-tangis


(62)

Gambar: Penari toping-toping membuat adegan lucu

Setelah pertunjukan partangis-tangis selesai, pada saat itulah penari toping-toping kembali membujuk partangis-tangis tersebut untuk tidak bersedih lagi. Di sinilah peran penting penari toping-toping yaitu membujuk partangis-tangis dan mengajaknya untuk ikut menari.

Gambar: penari toping-topingdan huda-huda membujuk partangis-tangis

Aksen penari

toping-toping

yang menangis

Penari toping-toping

dan huda-huda

membujuk partangis-tangis


(63)

Partangis-tangis telah menyelesaikan pertunjukannya sehingga partangis-tangis tersebut ikut menari dengan penari toping-toping lainnya. Dalam selang waktu tersebut para penari toping-toping termasuk partangis-tangis akan menari untuk memberikan aksen lucu yang menarik perhatian para juri. Dan dalam kesempatan itu para penari mencoba meminta sumbangan kepada juri berupa uang dengan menggodanya melalui tari khas Simalungun ditambah dengan gerakan dan aksen lucu tadi yang mengundang juri untuk menari juga.

Gambar: Aksi penari toping-toping

Kegiatan para penari toping-toping dilanjutkan dengan permintaan sumbangan kepada juri baik itu dilakukan oleh penari toping-toping, huda-huda, dan bahkan partangis-tangis. Hal itu dilakukan sambil menari-nari di atas panggung hingga menjadi akhir pertunjukan toping-toping. Setelah itu para penari toping-toping juga partangis-tangis turun dari atas panggung.

Penari toping-toping

meminta uang kepada juri


(64)

Gambar: Penari toping-toping meningalkan panggung sekaligus mengakhiri pertunjukan

3.3.2 Pendukung Pertunjukan

Sebuah pertunjukan harus didukung oleh beberapa pendukung pertunjukan agar pertunjukan tersebut dapat berjalan dengan baik. Beberapa pendukung pertunjukan, yaitu adanya penari, pemain musik dan penonton. Pendukung tersebut memiliki peran penting untuk penyajian tari toping-toping ini yang akan menciptakan rasa seni tradisi tersebut.

3.3.2.1 Penari

Penari merupakan bagian penting dalam pertunjukan toping-toping karena penarilah yang memegang peranan penting dalam pertunjukan toping-toping. Penari ini terdiri dari tiga orang, diantaranya dua orang penari toping-toping dan

Penari toping-toping turun dari atas panggung


(65)

satu orang penarihuda-huda. Dari hasil pengamatan penulis bahwa banyaknya penari dalam penyajian tari toping-toping pada umumnya hanya tiga orang baik itu dalam upacara sayurmatua maupun dalam pesta rondang bittang.

3.3.2.2 Pemain musik

Pertunjukan toping-toping yang disajikan dalam pesta rondang bittang diiringi dengan ensambel gonrang sipitu-pitu. Adapun pemain musiknya terdiri dari lima orang pemain musik, diantaranya satu orang memainkan sarune bolon, satu orang memainkan mong-mongan, satu orang memainkan ogung, dan dua orang memainkan gonrang.Kelima pemain musik ini memiliki bagian masing-masing dalam memainkan komposisinya untuk mengiringi penyajian tari toping-toping tersebut.

3.3.2.3 Penonton

Menurut Sal Murgiyanto (1996:156), pertunjukan adalah sebuah komunikasi yang dilakukan oleh satu orang atau lebih, pengirim pesan merasa bertanggung jawab pada seseorang atau lebih penerima pesan, dan kepada sebuah tradisi seperti yang mereka pahami bersama melalui sepeerangkat tingkah laku yang khas. Komunikasi akan terjadi jika pengirim pesan (pelaku pertunjukan) benar-benar mempunyai maksud (intention) dan penonton memiliki perhatian (attention) untuk menerima pesan. Dengan kata lain, dalam sebuah pertunjukan


(1)

5.2 Saran

Suatu bentuk kemajuan yang terjadi dalam masyarakat Simalungun yang mengangkat sebuah tradisi kebudayaan menjadi sebuah kebutuhan dalam aktivitas kehidupan berbudayanya. Dapat dilihat dalam aktivitas tahunan yang dilaksanakan dalam pesta rondang bittang bahwa pertunjukan toping-toping

sudah dijadikan menjadi sebuah pertunjukan seni dengan konsep hiburan. Walaupun kenyataannya budaya tersebut seharusnya disajikan dalam konsep upacara sayurmatua dengan memberikan ungkapan sakral atau norma tradisi tertetu.

Melihat perkembangan zaman baik dari segi kesenian maupun sistem kemasyarakatan, pertunjukan toping-toping disajikan dalam bentuk hiburan sebaiknya lebih dipertahankan. Tidak hanya dalam pertunjukan yang diadakan dalam pesta rondang bittang, seharusnya pertunjukan seni ini lebih dikembangkan dalam kaum muda yang kini sudah mengalami ketidaksadaran akan pentingnya tradisi kebudayaan. Sedangkan pertunjukan toping-toping yang diadakan dalam bentuk upacara seharusnya lebih ditekankan lagi kepada masyarakatr Simalungun untuk tetap menggunakan tradisi ini sesuai dengan norma tradisi yang digunakann.

Untuk itu dengan mengetahui suatu tradisi kebudayaan seperti ini, baik itu melalui tulisan ini maupun sistem tradisi yang sudah diketahui oleh masyaraklat Simalungun mampu melestarikan atau bahkan mengembangkan tradisi


(2)

kebudayaan terkhusus dengan objek penelitian yaitu tari toping-toping dapat merangsang kesadaran masyarakatnya akan pentingnya kesenian ini.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Department of Education and Culture Directorat General of Culture North Sumatera Government Museum

1994 The Simalungunesse Traditional Musical Instruments

Dermawan, dkk

2012 Sejarah Etnis Simalungun

Edi, Sedyawati

1981 Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta, Pustaka Jaya

Hutagalung, Flora

2003 Analisis Pertunjukan Tari Piring pada Upacara

Perkawinan Adat Masyarakat Minangkabau di Kota Medan. Medan:

Skripsi USU

Koentjaraningrat

1990 Pengantar Antropologi. Jakarta, Rineka Cipta

Malm, William. P

1976 Traditional Music Of The Pasific and The Near East.


(4)

Merriam, Alan P

1964 The Anthropology of Music. Chicago: Northwestern

University Press

Nettl, Bruno

1964 Theory and Method in Ethnomusicology. New York

The Free Press of Glenco

Purba, Kenan

1996 Adat Istiadat Simalungun. Pematang Siantar: Bina Budaya

Simalungun

Sal, Mugiarto

1996 Cakrawala Pertunjukan Budaya Mengkaji Batas-Batas Dan Arti Pertunjukan. Yogyakarta, Jurnal MSPI

Saragih, Rudi

1998 Studi Deskriptif Toping-Toping Simalungun dalam

Bentuk Pertunjukan oleh Sanggar Inggou. Medan,


(5)

Siger, Milton

1996 Cakrawal Pertunjukan Budaya Mengkaji Batas dan Arti Pertunjukan. Yogyakarta, Jurnal MSPI

Sipayung, Juniadi

2013 Mengenal Tortor dan Hagualon Simalungun. Jakarta, Bhatara Guru

Soedarsono

1972 Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari. Yogyakarta,


(6)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Riduan Purba Usia : 51 tahun

Pekerjaan : Pemusik Simalungun dan penari huda-huda

2. Nama : Rosmaulina Malau Usia : 48 tahun

Pekerjaan : Penari toping-toping

3. Nama : Rocky Laspe Gonrang Purba Usia : 18 tahun

Pekerjaan : Pemusik Simalungun

4. Nama : Ny. Alvenol Purba br. Saragih Usia : 60 tahun

Pekerjaan : Pemerhati budaya dan penari Simalungun

5. Nama : Jaisman Sinaga Usia : 50 tahun