Jenis Pendidikan Seksualitas Kebijakan dan Praktek Pendidikan Seksualitas di Sekolah

22 seksual, aborsi, dan HIVAIDS Kirby dkk., 2007; Pamela dkk., 2008; Linberg Zimet, 2012; Kohler Lafferty, 2008.

1. Jenis Pendidikan Seksualitas

a. Pendidikan seksualitas abstinence Pendidikan seksualitas abstinence bertujuan untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan dari perilaku seksual dengan cara menunda perilaku seksual hingga menikah. Pendidikan seksualitas ini berlandaskan ajaran agama yang melarang seseorang untuk melakukan perilaku seksual hingga saatnya menikah Chin dkk., 2012, Kohler dkk., 2008. b. Pendidikan seksualitas komprehensif Pendidikan seksual komprehensif meliputi pendidikan seksualitas abstinence ditambah informasi mengenai metode pengontrolan kelahiran untuk mencegah kehamilan dan penyakit menular seksual PMS Kohler dkk., 2008. Pendidikan seksualitas komprehensif bertujuan untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan dari perilaku seksual seperti kehamilan yang tidak diinginkan KTD, HIVAIDS, dan penyakit menular seksual PMS dengan cara menunda melakukan perilaku seksual hingga saatnya menikah abstinence dan memakai alat kontrasepsi ketika melakukan perilaku seksual beresiko Chin dkk., 2012; Gelperin dkk., 2004; Kohler dkk., 2008, Kabiru Orpinas, 2009. 23

2. Kebijakan dan Praktek Pendidikan Seksualitas di Sekolah

a. Sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas berdasarkan teori Kirby Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan di lembaga pendidikan. Sedangkan menurut Ebert, dan Culyer 2011, kurikulum adalah metode dan materi pengajaran yang digunakan oleh guru dalam mendidik siswa di sekolah. Menurut review yang dilakukan oleh Kirby dkk 2007, pendidikan seksualitas yang efektif adalah pendidikan seksualitas berdasarkan kurikulum yang terdiri dari proses pengembangan kurikulum, isi kurikulum, dan implementasi. Adapun struktur kurikulum pendidikan seksualitas sebagai berikut: i. Proses pengembangan kurikulum yang terdiri dari: 1. Melibatkan berbagai orang yang ahli dibidang seksualitas dalam proses pengembangan kurikulum. 2. Memberikan pendidikan seksualitas berdasarkan kebutuhan siswa. 3. Merancang aktivitas dalam pendidikan seksualitas yang konsisten sesuai dengan nilai yang dianut oleh siswa dan ketersediaan sumber daya fasilitas, waktu yang dimiliki pengajar. 24 4. Spesifik ditujukan untuk tujuan kesehatan, faktor resiko dan faktor protektif yang mempengaruhi perilaku, dan aktivitas yang menunjukkan faktor resiko dan faktor protektif. 5. Uji coba program pendidikan seksual apakah sesuai dengan apa yang siswa butuhkan. ii. Isi kurikulum a. Tujuan kurikulum 1. Fokus pada tujuan kesehatan yang jelas 2. Fokus pada perilaku yang mempengaruhi tujuan kesehatan misalnya menjauhi perilaku seksual abstinence program atau menganjurkan menggunakan alat kontrasepsi bagi yang aktif secara seksual dan abstinence bagi yang belum pernah melakukan perilaku seksual komprehensif program. Sekolah diharapkan memberikan pesan yang jelas tentang perilaku tersebut. 3. Menjelaskan faktor resiko dan protektif dari segi sosial dan psikologi seperti pengetahuan, persepsi tentang resiko, sikap, persepsi tentang norma yang berlaku, dan self- efficacy. b. Aktivitas dalam pemberian materi pendidikan seksualitas dan metode pengajaran 1. Menciptakan lingkungan sosial yang nyaman pada siswi ketika memberikan pendidikan seksualitas. 25 2. Meliputi berbagai aktivitas dalam menjelaskan faktor resiko dan faktor protektif. 3. Metode pengajaran yang membantu siswa untuk menerima informasi yang berhubungan dengan seksualitas yang dirancang untuk mengubah faktor resiko. 4. Aktivitas, instruksi, dan pesan yang disampaikan dalam pendidikan seksualitas disesuaikan dengan budaya, tahapan perkembangan, dan pengalaman seksual. 5. Memberikan materi seksualitas berdasarkan topik yang berurutan. iii. Implementasi 1. Mendapatkan dukungan untuk melaksanakan pendidikan seksualitas dari pihak yang berwenang misalnya pejabat sekolah. 2. Pengajar memiliki kriteria tertentu dalam mengajar pendidikan seksualitas di sekolah. Memberikan pelatihan untuk para pengajar. Memberikan pengawasan, pengarahan, dan dukungan bagi para pengajar. 3. Jika dibutuhkan, mengadakan aktivitas untuk menarik remaja dari luar sekolah untuk berpartisipasi dalam mengikuti pendidikan seksualitas di sekolah. 4. Menerapkan program pendidikan seksualitas dengan alasan yang tepat. 26 b. Sekolah yang memberikan materi seksualitas berdasarkan kurikulum nasional di Indonesia tidak memiliki kurikulum khusus pendidikan seksualitas Berdasarkan wawancara dengan guru Bimbingan Konseling, materi seksualitas diberikan melalui mata pelajaran Biologi, dan Agama. Dinas Kesehatan menyarankan untuk membuat suatu kurikulum khusus yang berisi mengenai kesehatan reproduksi kepada tiap sekolah. Cara pengajaran dan materi yang dipakai dalam mengajar kesehatan reproduksi diserahkan sepenuhnya pada tiap sekolah. Namun pada kenyataannya, tidak semua sekolah yang membuat kurikulum khusus kesehatan reproduksi. Materi kesehatan reproduksi diberikan melalui pelajaran Biologi dan pesan moral disampaikan melalui pelajaran Agama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Creagh 2004 pada sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas, pendidikan seksualitas diberikan melalui mata pelajaran Biologi, Agama, dan Bimbingan Konseling. Materi seksualitas yang diberikan berupa kesehatan reproduksi, dan pacaran sehat dari sudut pandang agama dan psikologi. Metode pengajaran berupa presentasi yang dilakukan oleh guru Agama, Biologi, dan Bimbingan Konseling. Pendidikan seksualitas di sekolah ini menjelaskan faktor resiko dan faktor protektif dari segi biologi, agama, dan psikologi. Namun materi seksualitas diberikan tidak lengkap sehingga siswa memiliki 27 pengetahuan yang kurang mengenai seksualitas. Sekolah ini tidak melakukan asesmen kebutuhan pada siswanya karena materi seksualitas sudah tersedia di buku pelajaran. Pendidikan seksualitas disesuaikan dengan budaya dan tahapan remaja pada umumnya, tanpa melihat pengalaman seksual yang dimiliki remaja. Jenis pendidikan seksualitas di sekolah ini adalah pendidikan seksualitas abstinence dengan tujuan membentuk perilaku sehat sesuai dengan norma agama. Pada sekolah negeri, guru Bimbingan Konseling tidak memberikan pendidikan seksualitas pada siswanya karena menurutnya sekolah tersebut merupakan sekolah pilihan dan siswanya memiliki status sosial ekonomi menegah keatas sehingga jauh dari pergaulan yang beresiko. Sekolah tersebut mengundang beberapa tokoh ahli di bidang seksualitas satu kali dalam satu tahun. Program ini disarankan oleh BKKBN untuk tiap sekolah di Indonesia. Namun pada kenyataannya tidak semua sekolah menggunakan saran dari BKKBN tersebut.

D. Perbedaan Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual ditinjau