Sekolah yang Memiliki Kurikulum Pendidikan Seksualitas

45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian

1. Orientasi Kancah Penelitian

Penelitian dilakukan di SMA Swasta yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan SMA Swasta yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Kedua SMA Swasta tersebut berada di Yogyakarta. Remaja perempuan yang bersekolah di kedua sekolah tersebut memiliki tingkat sosial ekonomi yang relatif sama. Observasi dan wawancara dengan guru Bimbingan Konseling pada tiap sekolah dilakukan untuk mengetahui materi seksualitas yang diberikan di kedua sekolah.

a. Sekolah yang Memiliki Kurikulum Pendidikan Seksualitas

Berdasarkan wawancara dengan guru Bimbingan Konseling, kurikulum pendidikan seksualitas pada sekolah yang menjadi subyek penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut: i. Proses pengembangan kurikulum 1. Guru Bimbingan Konseling bekerja sama dengan guru mata pelajaran Biologi dan guru mata pelajaran Agama dalam proses pengembangan kurikulum. 2. Di kelas XI, siswi diajarkan mengenai pengembangan diri. Hal ini dirasa penting agar siswi dapat memiliki bekal yang positif 46 dalam pengembangan dirinya. Pendidikan seksualitas merupakan salah satu pendidikan yang berguna untuk bekal siswi dalam mengembangkan dirinya terutama yang berkaitan dengan kehidupan seksualitas. Oleh karena itu, pendidikan seksualitas diberikan di kelas XI karena siswi membutuhkan informasi mengenai seksualitas dalam proses pengembangan dirinya yang terkait dengan seksualitas. 3. Merancang aktivitas dalam pendidikan seksual disesuaikan dengan waktu yang dimiliki guru Bimbingan Konseling. 4. Spesifik bertujuan untuk memberikan bekal pada siswi dalam proses pengembangan dirinya ke arah positif terutama yang berkaitan dengan seksualitas. ii. Isi dari kurikulum a. Tujuan kurikulum 1. Fokus untuk menciptakan kehidupan seksual yang positif bagi siswi 2. Fokus pada pendidikan seksualitas komprehensif karena siswi memiliki latar belakang yang berbeda-beda, ada yang memiliki pengalaman seksual dan ada yang belum memiliki pengalaman seksual. 3. Menjelaskan faktor protektif dan faktor resiko dari perilaku seksual dari segi sosial dan psikologi 47 b. Aktivitas dalam pemberian materi pendidikan seksualitas dan metode pengajaran 1. Menciptakan lingkungan sosial yang nyaman dalam memberikan materi pendidikan seksualitas untuk para siswi. 2. Meliputi berbagai aktivitas yang dapat mengubah faktor resiko dari perilaku seksualitas 3. Mengadakan diskusi dengan guru Bimbingan Konseling, Romo, Dokter, dan Psikolog agar siswi mendapatkan informasi yang jelas langsung dari ahlinya. 4. Pendidikan seksualitas diberikan pada siswi disesuaikan dengan budaya Timur, ada tidaknya pengalaman seksual siswi, dan tahapan perkembangan remaja dimana remaja memiliki ketertarikan di seksualitas, mulai menjalin hubungan dengan lawan jenis, dan adanya konformitas dengan teman sebayanya. 5. Memberikan materi seksualitas berdasarkan topik yang berurutan. Topik yang dibahas meliputi perkembangan individu fisik, sosial, emosi, dan intelektual, hubungan dengan lawan jenis, penjelasan mengenai perilaku seksual, kemampuan diri dalam mengatasi masalah seputar seksualitas, kesehatan seksual dari segi fisik, psikologis, sosial, dan budaya. 48 iii. Implementasi kurikulum a. Mendapatkan dukungan dan persetujuan dari Dewan Komite Sekolah. b. Pengajar pendidikan seksualitas hanya guru Bimbingan Konseling, namun guru Biologi dan guru Agama juga memberikan informasi yang berkaitan dengan seksualitas sesuai dengan topik yang ada di buku pelajaran Biologi dan Agama. c. Tidak melibatkan remaja dari luar sekolah untuk mengikuti pendidikan seksualitas di sekolah. Pendidikan seksualitas hanya ditujukan untuk siswi di sekolah tersebut. d. Memberikan pendidikan seksualitas pada siswi dengan alasan yang tepat yaitu berguna dalam proses pengembangan dirinya terutama yang berkaitan dengan kehidupan seksualitas.

b. Sekolah yang Tidak Memiliki Kurikulum Pendidikan Seksualitas