27
pengetahuan yang kurang mengenai seksualitas. Sekolah ini tidak melakukan asesmen kebutuhan pada siswanya karena materi
seksualitas sudah tersedia di buku pelajaran. Pendidikan seksualitas disesuaikan dengan budaya dan tahapan remaja pada umumnya, tanpa
melihat pengalaman seksual yang dimiliki remaja. Jenis pendidikan seksualitas di sekolah ini adalah pendidikan seksualitas abstinence
dengan tujuan membentuk perilaku sehat sesuai dengan norma agama. Pada sekolah negeri, guru Bimbingan Konseling tidak memberikan
pendidikan seksualitas pada siswanya karena menurutnya sekolah tersebut merupakan sekolah pilihan dan siswanya memiliki status
sosial ekonomi menegah keatas sehingga jauh dari pergaulan yang beresiko. Sekolah tersebut mengundang beberapa tokoh ahli di bidang
seksualitas satu kali dalam satu tahun. Program ini disarankan oleh BKKBN untuk tiap sekolah di Indonesia. Namun pada kenyataannya
tidak semua sekolah menggunakan saran dari BKKBN tersebut.
D. Perbedaan Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual ditinjau
dari Ada Tidaknya Kurikulum Pendidikan Seksualitas di Sekolah
Banyaknya kasus perilaku seksual di kalangan remaja cukup membuktikan bahwa perilaku seksual rentan dilakukan oleh remaja. Pada
masa remaja, mulai muncul ketertarikan pada hal seputar seksualitas. Remaja memperlihatkan bentuk egosentrisme dimana mereka memandang dirinya
sebagai sosok yang unik. Hal ini mendorong remaja mengambil resiko dari
28
perilaku seksual. Dalam keadaan emosi, dorongan seksual remaja dapat membatasi
kemampuannya dalam
mengambil keputusan
sehingga memungkinkan remaja terjerumus pada perilaku seksual sebelum menikah.
Bentuk-bentuk perilaku seksual seperti memegang tangan, memeluk, cium pipi, cium bibir, cium leher, petting, oral genital, vaginal intercourse, dan
anal intercourse. Perilaku seksual membawa dampak yang cukup merugikan bagi remaja terutama remaja perempuan dari segi fisik, psikologis, dan
lingkungan sosial budaya. Salah satu faktor yang dapat mencegah atau mengurangi dampak dari perilaku seksual adalah pemberian pendidikan
seksualitas di sekolah. Hal ini didukung oleh pernyataan Needlman 2004 bahwa sekolah merupakan lingkungan kedua bagi remaja untuk melakukan
berbagai aktivitas dan menjalin hubungan sosial dengan teman-temannya sehingga bisa dikatakan sekolah mempunyai pengaruh yang besar bagi remaja.
Tujuan pendidikan seksualitas adalah mencegah dan mengurangi dampak yang ditimbulkan dari perilaku seksual sebelum menikah seperti kehamilan
yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual, aborsi, dan HIVAIDS Kirby dkk., 2007; Pamela dkk., 2008; Linberg Zimet, 2012; Kohler
Lafferty, 2008. Pendidikan seksualitas terdiri dari 2 jenis yaitu pendidikan seksualitas
abstinence dan pendidikan seksualitas komprehensif. Pendidikan seksualitas abstinence adalah pendidikan seksualitas yang berlandaskan ajaran agama
yang melarang seseorang yang belum menikah melakukan perilaku seksual yang berguna untuk menunda remaja melakukan perilaku seksual. Pendidikan
29
seksualitas komprehensif adalah pendidikan seksualitas abstinence ditambah dengan informasi mengenai metode pengontrolan kelahiran dan alat
kontrasepsi yang berguna untuk menunda dan mengurangi dampak dari perilaku seksual Chin dkk., 2012; Gelperin dkk., 2004; Kabiru Orpinas,
2009; Kohler dkk., 2008. Pendidikan seksualitas di sekolah diberikan pada siswa melalui dua
cara yaitu materi yang disusun dalam kurikulum tertentu dan melalui materi yang diberikan secara acak tanpa kurikulum tertentu. Menurut review yang
dilakukan oleh Kirby dkk 2007, menemukan bahwa pendidikan seksualitas yang efektif adalah pendidikan seksualitas berdasarkan kurikulum. Pada
sekolah yang
memiliki kurikulum
pendidikan seksualitas,
dalam pengembangan kurikulum melibatkan berbagai orang yang ahli dibidang
seksualitas, melakukan asesmen kebutuhan sebelum merancang program sehingga pendidikan seksualitas dapat berguna secara efektif pada siswanya,
merancang aktivitas yang konsisten sesuai yang dianut oleh siswa dan adanya ketersediaan pengajar. Pendidikan seksualitas diberikan berdasarkan tujuan
kesehatan dan mampu menjelaskan faktor resiko dan protektif perilaku seksual dari segi sosial dan psikologi. Sekolah ini melakukan uji coba pada materi
pendidikan seksualitas. Dalam aktivitasnya, pendidikan seksualitas yang diberikan mampu menciptakan lingkungan sosial yang nyaman, meliputi
berbagai aktivitas dalam memberikan materi seksualitas, dan metode pengajaran dirancang untuk membantu siswa dalam menerima informasi
mengenai faktor resiko dan protektif dari perilaku seksual. Aktivitas, instruksi,
30
dan pesan dalam pendidikan seksualitas disesuaikan dengan budaya, tahap perkembangan remaja, dan pengalaman seksual yang dimiliki siswa. Materi
seksualitas diberikan pada siswa secara berurutan. Pada implementasinya, pendidikan seksualitas mendapatkan dukungan dari pihak berwenang di
sekolah. Para pengajar diberikan pelatihan sebelum memberikan pendidikan seksualitas pada siswanya. Pengajar harus memiliki kriteria tertentu untuk
mengajar pendidikan seksualitas. Pihak sekolah perlu memberikan pengawasan, pengarahan, dan dukungan bagi para pengajar. Bila perlu,
menarik remaja di luar sekolah untuk mengikuti pendidikan di sekolah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Creagh 2004
menemukan bahwa pada sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas, materi seputar seksualitas diberikan oleh guru Biologi, Agama,
dan Bimbingan Konseling. Pendidikan seksualitas di sekolah ini menjelaskan mengenai faktor resiko dan faktor protektif dari segi biologi, agama, dan
psikologi. Namun materi seksualitas diberikan tidak lengkap sehingga siswa memiliki pengetahuan yang kurang mengenai seksualitas. Metode pengajaran
yang digunakan adalah presentasi di kelas. Materi seksualitas yang diberikan berupa kesehatan reproduksi, dan pacaran sehat dari sudut pandang agama dan
psikologi. Pada sekolah ini tidak melakukan asesmen dan uji coba karena materi seksualitas sudah tersedia di buku pelajaran masing-masing. Jenis
pendidikan seksualitas di sekolah ini adalah pendidikan seksualitas abstinence dengan tujuan membentuk perilaku sehat sesuai dengan norma agama.
31
Pendidikan seksualitas disesuaikan dengan budaya dan tahapan remaja pada umumnya, tanpa melihat pengalaman seksual yang dimiliki remaja.
Pada sekolah negeri, guru Bimbingan Konseling tidak memberikan pendidikan seksualitas pada siswanya karena menurutnya sekolah tersebut
merupakan sekolah pilihan dan siswanya memiliki status sosial ekonomi menegah keatas sehingga jauh dari pergaulan yang beresiko. Sekolah tersebut
mengundang beberapa tokoh ahli di bidang seksualitas satu kali dalam satu tahun. Program ini disarankan oleh BKKBN untuk tiap sekolah di Indonesia.
Namun pada kenyataannya tidak semua sekolah menggunakan saran dari BKKBN tersebut.
Pendidikan seksualitas tidak dapat secara spesifik menjelaskan pengaruhnya terhadap perilaku seksual tanpa adanya faktor mediator. Sikap
merupakan salah satu faktor mediator pendidikan seksualitas Kirby dkk., 2007. Menurut Myers 2010, sikap yang dimiliki individu dapat
mempengaruhi perilakunya. Sikap terhadap perilaku seksual merupakan kecenderungan reaksi individu secara positif mendukung atau negatif tidak
mendukung yang ditunjukkan oleh pemikiran, kepercayaan, pengetahuan kognitif, perasaan afektif, dan tindakannya konatif terhadap segala
tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan.
Sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual dipengaruhi oleh pengalaman seksual sebelumnya, sikap teman sebaya terhadap perilaku
seksual, budaya kolektivistik, expose terhadap pornografi, sumber informasi
32
seksual, dan pengetahuan mengenai dampak dari perilaku seksual. Beberapa penelitian menemukan bahwa remaja yang memiliki pengalaman seksual
cenderung memiliki sikap permisif terhadap perilaku seksual dan penggunaan alat kontrasepsi dibanding dengan remaja yang tidak memiliki pengalaman
seksual Kabiru Orpinas, 2009. Remaja perempuan yang memiliki teman yang mendukung abstinence maka cenderung memiliki sikap yang sama
dengan temannya Laflin, Wang, Berry, 2008. Sikap remaja terhadap perilaku seksual tidak lepas dari pengaruh budaya
di tempat tinggalnya. Berdasarkan penelitian Kuota dan Tolma 2008, menemukan bahwa keluarga yang tinggal di budaya kolektivistik menganggap
bahwa perilaku seksual sebelum menikah adalah hal yang tabu dan memalukan. Hal tersebut memunculkan adanya perbedaan perlakuan antara
remaja perempuan dan remaja laki-laki. Remaja perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akan diasingkan ke suatu tempat yang tidak
diketahui oleh orang lain untuk menjaga nama baik keluarga. Remaja perempuan cenderung memiliki sikap negatif terhadap perilaku seksual.
Sebaliknya, remaja laki-laki cenderung memiliki sikap permisif terhadap perilaku seksual.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lou dkk 2012, remaja perempuan yang mendapatkan informasi dari internet, film porno, dan majalah
dewasa cenderung memiliki sikap permisif atau mendukung perilaku seksual sebelum menikah. Kirby dkk 2007, menemukan bahwa pendidikan
seksualitas di sekolah dapat mengubah sikap seksual remaja. Pendidikan
33
seksualitas yang efektif adalah berdasarkan kurikulum. Hal itu didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Horng Lou dan Hwang Chen 2009 yang
membuktikan bahwa melalui pengetahuan yang baik dan jelas mengenai seksualitas maka remaja perempuan akan cenderung bersikap negatif atau
tidak mendukung perilaku seksual. Selain itu, pengetahuan yang diperoleh remaja perempuan mengenai dampak dari perilaku seksual dengan
pasangannya cenderung menyebabkan remaja memiliki keyakinan bahwa dampak dari perilaku seksual dapat mengambil kebebasan mereka untuk
berpartisipasi dalam
kegiatan remaja.
Keyakinan remaja
tersebut menumbuhkan motivasi dalam mencari strategi untuk menjauhkan diri dari
perilaku seksual agar terhindar dari dampak yang akan ditimbulkan dari perilaku seksual tersebut. Hal tersebut dapat menyebabkan remaja perempuan
memiliki sikap yang kurang mendukung terhadap perilaku seksual Goodson dkk., 2006.
Perbedaan-perbedaan antara sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan
seksualitas tersebut dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan sikap terhadap perilaku seksual.
E. Hipotesis