Perbedaan sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual ditinjau dari ada tidaknya kurikulum pendidikan seksualitas di sekolah.

(1)

PERBEDAAN SIK

PERILAKU SEK

KURIKULUM PE

Diajuka Me

PROGRAM STU

UNIV

i

SIKAP REMAJA PEREMPUAN TERHA

EKSUAL DITINJAU DARI ADA TIDAK

PENDIDIKAN SEKSUALITAS DI SEKO

SKRIPSI

ukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Ratih Prameswari R.

069114013

TUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOL

FAKULTAS PSIKOLOGI

IVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2013

HADAP

AKNYA

KOLAH


(2)

(3)

(4)

iv

Yang membuatku selalu bersemangat menjalani kehidupan menjadi lebih baik lagi…

Yang selalu sabar menantiku menjadi seorang sarjana…maph pernah membuatmu kecewa…semoga dengan ini bisa mengembalikan sedikit kebahagiaan yang pernah aku ambil..dan aku janji akan menjadi lebih baik…mizz u Aco….

Terimakasih atas supportnya….

Kalian paling oke deh,,buat berbagai macam kenakalan yang melatihku untuk menjadi seorang yang sabar…sabar ngerjain skripsi…hehehe

!

!

!

!

U’re my everything…selalu disampingku yaa melawan musuh-musuh yang gak penting…luph u honey

"

"

"

"

"

"

"

"

#

#

#

#

Kakakku yang bawel banget dengan pertanyaan2 yang menyebalkan “kapan lulus dik?” bosen yooooo…ki wes lulus,,,puas?!hehehe


(5)

(6)

vi

PERBEDAAN SIKAP REMAJA PEREMPUAN TERHADAP PERILAKU SEKSUAL DITINJAU DARI ADA TIDAKNYA KURIKULUM PENDIDIKAN SEKSUALITAS DI SEKOLAH

Ratih Prameswari Rintaningrum

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk menguji perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Sikap terhadap perilaku seksual terdiri dari 3 komponen yaitu afektif, kognitif, dan konatif. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Subyek penelitian berjumlah 131 yang terdiri dari 66 siswi di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan 65 siswi di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Subyek penelitian merupakan remaja akhir berusia antara 11-19 tahun. Penelitian ini menggunakan skala sikap terhadap perilaku seksual yang disusun oleh peneliti. Berdasarkan uji hipotesis menggunakan Independent sample t-test diperoleh nilai t sebesar -0,799 dengan probabilitas 0,426 (p>0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis tidak terbukti, bahwa tidak terdapat perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Namun, berdasarkan tinjauan tiap komponen sikap, pada komponen kognitif terdapat perbedaan yang signifikan antara remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dengan nilai t sebesar -0,342 dengan probabilitas 0,001 (p<0,05).


(7)

vii

THE DIFFERENCE OF ATTITUDES OF FEMALE ADOLESCENT TOWARDS SEXUAL BEHAVIOR OBSERVED FROM THE AVAILABILITY

AND NON AVAILABILITY OF SEXUAL EDUCATIONAL CURRICULUM AT SCHOOL

Ratih Prameswari Rintaningrum

ABSTRACT

The aim of this research is to examine the difference of attitudes towards sexual behavior between female adolescent that have sexual educational curriculum and female adolescent that have no sexual educational curriculum at school. There are 3 component of attitudes toward sexual behavior : Affective, Cognitive and Conative. The hypothesis of this research is that there are differences of attitudes towards sexual behavior between female adolescent that have sexual educational curriculum at school and those that have not. There are 131 persons as subjects of this research that consist of 66 students that have sexual educational curriculum at school and 65 students that have not. The subjects are female adolescent between 11 years to 19 years of ages. This research uses the attitude scale towards sexual behavior that is compiled by the researcher. Based on the hypothesis using the Independent sample t-test, it is found that the t value is -0,799 with 0,426 (p>0,05) of probability. The result shows that the hypothesis is not valid, that there are no differences attitude towards sexual behavior between female adolescent that have sexual educational curriculum at school and those that have not. But, based on each component attitude observation, researcher find that in cognitive component there are significant differences of attitudes towards sexual behavior between female adolescent that have sexual educational curriculum at school and those that have not with the t value of -0,342 and 0,001(p<0,05) of probability.


(8)

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus yang telah memberikan kekuatan kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi yang berjudul “Perbedaan Sikap Remaja Perempuan Terhadap Perilaku Seksual ditinjau dari Ada Tidaknya Kurikulum Pendidikan Seksualitas di Sekolah” ini hingga terselesaikan. Penulis menyadari proses penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih atas segala bantuan kepada:

1. Dr. Ch. Siwi Handayani selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian.

2. Ratri Sunar, S.Psi.,M.Psi selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Tanti Arini, S.Psi.,M.Psi selaku dosen pembimbing akademik.

4. C. Siswa Widyatmoko, S.Psi.,M.Psi, sebagai dosen pembimbing skripsi dan

Mbak Haksi yang ikut membimbing dan mengarahkan dalam proses penyusunan skripsi hingga selesai.

5. Dra. Sunu, Dra. Tyas, selaku guru Bimbingan Konseling di SMA Bopkri 1

Yogyakarta. Terimakasih atas kerjasama yang menyenangkan ini.

6. Victoria Rez Naryanti, S.Psi, selaku guru Bimbingan Konseling di SMA Stella

Duce 1 Yogyakarta.

7. Semua siswa-siswi kelas XI SMA Bopkri 1 Yogyakarta dan siswi kelas XII

SMA Stella Duce 1 Yogyakarta. Terimakasih atas kesediaan teman-teman dalam mengisi kuisionernya…


(10)

(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat Teoritis ... 10

2. Manfaat Praktis ... 10

BAB II. LANDASAN TEORI ... 11

A. Remaja ... 11


(12)

xii

2. Karakteristik Remaja ... 11

B. Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual ... 13

1. Pengertian Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual .... 13

2. Struktur Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual ... 14

3. Bentuk – bentuk Perilaku Seksual ... 15

4. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual ... 17

C. Pendidikan Seksualitas di Sekolah ... 21

1. Jenis Pendidikan Seksualitas ... 22

2. Kebijakan dan Praktek Pendidikan Seksualitas di Sekolah ... 23

D. Perbedaan Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual ditinjau dari Ada Tidaknya Kurikulum Pendidikan Seksualitas di Sekolah ... 27

E. Hipotesis ... 33

BAB. III METODE PENELITIAN ... 35

A. Jenis Penelitian ... 35

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 35

C. Definisi Operasional ... 35

D. Subyek Penelitian ... 36

E. Metode dan Alat Pengumpul Data ... 37

F. Pengujian Alat Ukur ... 39

1. Reliabilitas ... 39


(13)

xiii

3. Seleksi Item ... 40

G. Uji Asumsi ... 43

1. Uji Normalitas ... 43

2. Uji Homogenitas ... 43

H. Metode Analisis Data ... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Persiapan Penelitian ... 45

1. Orientasi Kancah Penelitian ... 45

2. Uji Coba Alat Ukur ... 50

3. Perijinan Penelitian ... 51

B. Pelaksanaan Penelitian ... 52

C. Hasil Penelitian ... 54

1. Deskripsi Subyek Penelitian ... 54

2. Deskripsi Data Penelitian ... 55

3. Deskripsi Data tiap Komponen Sikap ... 58

4. Uji Asumsi ... 63

a. Uji Normalitas ... 63

b. Uji Homogenitas ... 64

5. Uji Hipotesis ... 64

6. Uji t pada tiap Komponen Sikap ... 65

a. Afektif ... 65

b. Kognitif ... 66


(14)

xiv

D. Pembahasan ... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 74

1. Bagi Sekolah ... 74

2. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76


(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Skala Uji Coba Sikap terhadap Perilaku Seksual ... 38

Tabel 2. Alternatif Jawaban Skala Sikap ... 39 Tabel 3. Item gugur dan Item yang dapat dipakai ... 41 Tabel 4. Perbedaan Sekolah yang Memiliki Kurikulum Pendidikan

Seksualitas dan Sekolah yang Tidak Memiliki Kurikulum

Pendidikan Seksualitas ... 49 Tabel 5. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Sekolah yang memiliki Kurikulum

Pendidikan Seksualitas ... 52 Tabel 6. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Sekolah yang Tidak Memiliki

Kurikulum Pendidikan Seksualitas ... 52 Tabel 7. Persentase Subyek berdasarkan Jenis Sekolah ... 54 Tabel 8. Presentase Subyek berdasarkan Kelas ... 55 Tabel 9. Kategorisasi Sikap berdasarkan Perbandingan Mean Empiris

dan Mean Teoritis ... 57 Tabel 10. Hasil Kategorisasi Sikap terhadap Perilaku Seksual ... 57 Tabel 11. Kategorisasi Komponen Afektif terhadap Perilaku Seksual ... 59 Tabel 12. Hasil Kategorisasi Komponen Afektif terhadap Perilaku Seksual .... 59 Tabel 13. Kategorisasi Komponen Kognitif terhadap Perilaku Seksual ... 60 Tabel 14. Hasil Kategorisasi Komponen Kognitif terhadap Perilaku Seksual ... 61 Tabel 15. Kategorisasi Komponen Konatif terhadap Perilaku Seksual ... 62 Tabel 16. Hasil Kategorisasi Komponen Konatif terhadap Perilaku Seksual .... 62 Tabel 17. Hasil Uji Normalitas ... 63


(16)

xvi

Tabel 18. Hasil Uji Homogenitas ... 64

Tabel 19. Hasil Uji Hipotesis ... 65

Tabel 20. Hasil Uji t pada Komponen Afektif ... 65

Tabel 21. Hasil Uji t pada Komponen Kognitif ... 66


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 : Skala Uji Coba Sikap terhadap Perilaku Seksual ... 84

LAMPIRAN 2 : Uji Reliabilitas Skala ... 91

LAMPIRAN 3 : Skala Penelitian Sikap terhadap Perilaku Seksual ... 98

LAMPIRAN 4 : Uji Normalitas ... 104

LAMPIRAN 5 : Uji Homogenitas dan Uji Hipotesis ... 107

LAMPIRAN 6 : Uji t tiap Komponen Sikap ... 109

LAMPIRAN 7 : Verbatim Hasil Wawancara ... 113


(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perilaku seksual di kalangan remaja perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak (Listyawati & Suprayoga, 2007). Hal ini disebabkan semakin banyaknya kasus perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja di berbagai

negara. Pada tahun 2008-2009, Albania Demographic and Health Survey

(2010) menemukan sekitar 36% remaja berusia 15-24 tahun telah melakukan hubungan seksual beresiko. Di Afrika Selatan, pada tahun 2003 tercatat 48% remaja berusia 15-18 tahun dan 90% berusia 20-24 tahun telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah (Pettifor dkk., 2005). Penelitian yang dilakukan oleh PKBI DIY pada tahun 2006 menyebutkan bahwa terdapat 60 kasus pelajar di bawah usia 16 tahun telah melakukan perilaku seksual

sebelum menikah. Begitu pula Indonesia Young Adult Reproductive Health

(2008) pada tahun 2007menemukansekitar 44% remaja Indonesia berusia

15-24 tahun, dan penelitian yang dilakukan oleh BKKBN tahun 2008 menunjukkan bahwa 63% remaja di kota besar di Indonesia telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Angka kasus perilaku seksual di kalangan remaja yang tinggi diiringi dengan rendahnya penggunaan alat kontrasepsi di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia (Kennedy dkk., 2011; Welling dkk., 2006).


(19)

2

Banyaknya kasus perilaku seksual di kalangan remaja menimbulkan dampak dari berbagai segi. Dilihat dari segi fisik, dampak yang ditimbulkan seperti kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), terjangkit HIV/AIDS dan penyakit menular seksual (PMS) (Hargreaves dkk., 2007; Guttmacher, 2006). Di Indonesia, berdasarkan data survei yang dilakukan PKBI Sulawesi Utara pada tahun 2010 menunjukkan bahwa kasus remaja perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan sebanyak 254 orang meningkat

menjadi 454 orang pada tahun 2011 (ANTARAnews, 27 Maret 2012).Data

yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa angka persalinan usia remaja melonjak dari 50 kasus pada tahun 2010 menjadi 235 kasus pada tahun 2011. Remaja perempuan yang belum mampu bertanggung jawab sebagai orangtua, mereka memilih untuk melakukan aborsi (Coleman, 2006). Angka kasus aborsi di Indonesia relatif tinggi sekitar 2,5 juta per tahun (Harian Jogja, 18 April 2012). Data yang diperoleh dari Ditjen PP & PL Kemenkes RI pada tahun 2011, menunjukkan jumlah penderita HIV sebanyak 21.031 orang dan penderita AIDS sebanyak 4.162 orang. Menurut

survei yang dilakukan Indonesia Young Adult Reproduktive Health (IYARH)

menemukan bahwa penyakit menular seksual (PMS) lebih banyak diderita oleh perempuan (sekitar 40%) dibanding laki- laki (hanya sekitar 3%) pada tahun 2007.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku seksual dapat membawa dampak yang negatif dari segi psikologis, seperti kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) cenderung menimbulkan berbagai masalah seperti menjadi pengangguran, menjadi orangtua tunggal, memiliki pendidikan yang


(20)

rendah, mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang (Omar dkk., 2010; Raatikainen dkk., 2006). Remaja perempuan yang memilih untuk menjadi orangtua cenderung keluar dari sekolah, kurang memiliki kesempatan untuk bekerja, berada pada level sosioekonomik yang rendah, menjadi orangtua tunggal, dan kurang memiliki pilihan untuk mengubah kehidupannya dari kemiskinan (Omar dkk., 2010; Pallito & Murillo, 2008). Aborsi yang dilakukan remaja perempuan cenderung memiliki hubungan dengan gangguan

mental seperti post traumatis stress, dan kecemasan sosial (Ross dkk., 2006).

Penyakit menular seksual (PMS) yang diderita oleh remaja perempuan juga cenderung berhubungan dengan depresi, kecemasan, dan stres (Ethier dkk., 2006). Depresi lebih rentan diderita oleh perempuan dibanding laki-laki dan episode depresi lebih banyak pada masa remaja dan dewasa (Essau dkk., 2010).

Perilaku seksual remaja disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal seperti perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja yaitu semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk organ reproduksi dan seksualnya menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang masalah seksualitas (Buhi & Goodson, 2007; Santrock, 2007). Selain itu, remaja yang memiliki harga diri yang rendah dan depresi cenderung melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang beresiko (Ethier dkk., 2006; Lee dkk., 2009; Shrier dkk., 2012). Remaja yang memiliki sikap positif terhadap perilaku seksual sebelum menikah cenderung melakukan hubungan seksual (Buhi & Goodson, 2007; IYARH, 2008). Faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seksual remaja yaitu penggunaan obat-obatan


(21)

4

terlarang, alkohol, dan rokok cenderung menyebabkan remaja melakukan hubungan seksual (Boislard & Poulin, 2011; Madkour dkk., 2010; Shrier dkk., 2012). Selain itu, konflik orangtua-anak dan kurangnya pengawasan orangtua menyebabkan remaja memiliki kesempatan untuk melakukan hubungan seksual dengan teman lawan jenis (Boislard & Poulin, 2011). Ditambah lagi, mudahnya remaja mengakses informasi mengenai seksualitas dari berbagai media seperti internet, video porno, dan majalah cenderung meningkatkan keinginan remaja untuk berhubungan seksual (L’Engle, 2006; Lou dkk., 2012). Remaja yang memiliki teman yang pernah melakukan hubungan seksual cenderung memiliki minat untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya (Buhi & Goodson, 2007).

Ada berbagai faktor yang dapat mencegah dan mengurangi perilaku seksual di kalangan remaja khususnya remaja perempuan. Di lingkungan keluarga, beberapa faktor tersebut seperti komunikasi yang baik antara orangtua dan anak mengenai seksualitas (Buhi & Goodson, 2007; Jerman & Constantine, 2010; Madkour dkk., 2010), harapan orangtua yang besar dalam pendidikan anaknya, dan pesan moral orangtua pada anak perempuannya untuk menghindari perilaku seksual (Gilliam dkk., 2007). Secara personal, remaja perempuan yang bertahan untuk tidak terpengaruh dengan ajakan pasangan dan teman serta memiliki kontrol diri untuk tidak melakukan perilaku seksual dengan pasangan cenderung memiliki hubungan positif dengan penundaan dalam melakukan berbagai perilaku seksual (Gilliam dkk., 2007).


(22)

Remaja perempuan yang bersikap negatif terhadap perilaku seksual cenderung memiliki efek positif dalam menghindari perilaku seksual (Kirby dkk., 2007). Sikap remaja terhadap perilaku seksual dapat dipengaruhi oleh budaya di tempat tinggal individu (Kirby dkk, 2007). Budaya barat yang individulistik dan budaya timur yang kolektivistik dapat mempengaruhi sikap remaja terhadap perilaku seksual sebelum menikah. Menurut penelitian Kuota dan Tolma (2008), keluarga yang tinggal di budaya kolektivistik menganggap bahwa perilaku seksual sebelum menikah adalah hal yang tabu dan memalukan. Hal tersebut memunculkan adanya perbedaan perlakuan antara remaja perempuan dan remaja laki-laki. Remaja perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akan diasingkan ke suatu tempat yang tidak diketahui oleh orang lain untuk menjaga nama baik keluarga. Remaja perempuan cenderung memiliki sikap negatif terhadap perilaku seksual. Sebaliknya, remaja laki-laki cenderung memiliki sikap permisif terhadap perilaku seksual.

Sikap merupakan salah satu mediator pendidikan seksualitas dalam mempengaruhi perilaku seksual remaja. Tanpa faktor mediator, pendidikan seksualitas tidak dapat secara spesifik menjelaskan bagaimana dan mengapa program tersebut dapat mempengaruhi perilaku. Pendidikan seksualitas di sekolah juga memiliki efek yang positif pada perilaku seksual remaja

perempuan, yaitu bagi remaja perempuan yang masih virgin berguna untuk

mendorong penundaan hubungan seksual dan bagi remaja perempuan yang aktif secara seksual berguna untuk mendorong pemakaian alat kontrasepsi dan metode pengontrolan kelahiran untuk mencegah resiko seperti kehamilan yang


(23)

6

tidak diinginkan (KTD), PMS, dan HIV/AIDS (Chin., 2012; Kirby dkk., 2007; Kohler dkk., 2008; Linberg & Zimet, 2012; Mueller dkk., 2008; Rijsdijk dkk., 2011).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Linberg dan Zimet (2012) menemukan bahwa pendidikan seksualitas memiliki hubungan dengan penundaan hubungan seksual pertama untuk laki-laki maupun perempuan. Selain itu, pendidikan seksualitas berguna bagi sekelompok remaja yang melakukan hubungan seksual agar terhindar dari penyakit menular seksual (PMS), HIV/AIDS, dan kehamilan yang tidak diinginkan dengan menggunakan alat kontrasepsi dan pengontrol kelahiran (Mueller dkk., 2008). Pendidikan seksualitas di sekolah dibedakan menjadi dua, yaitu

pendidikan seksualitas abstinence dan pendidikan seksualitas komprehensif.

Pendidikan seksualitas abstinence bertujuan untuk mengurangi resiko yang

dapat ditimbulkan dari perilaku seksual dengan cara menunda perilaku seksual hingga menikah (Chin dkk., 2012; Kohler dkk., 2008). Pendidikan seksualitas komprehensif bertujuan untuk mengurang resiko yang ditimbulkan dari perilaku seksual dengan cara mencegah terjadinya perilaku seksual ataupun mengurangi resiko yang ditimbulkan dari perilaku seksual seperti kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), HIV/AIDS, dan penyakit menular seksual (PMS) dengan menggunakan alat kontrasepsi dan metode pengontrolan kelahiran (Chin dkk., 2012;Gelperin dkk., 2004; Kabiru & Orpinas, 2009; Kohler dkk., 2008).

Pendidikan seksualitas abstinence dan pendidikan seksualitas


(24)

materi yang disusun dalam kurikulum tertentu yang dirancang oleh pihak sekolah dan melalui materi yang diberikan berdasarkan kurikulum nasional. Di Indonesia, ada sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan ada sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas secara khusus. Pada sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas, semua materi seputar seksualitas dan kesehatan reproduksi, serta pesan moral diberikan secara terstruktur oleh guru Bimbingan Konseling selama 1 tahun ajaran. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru Bimbingan Konseling pada sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas secara khusus, materi seputar seksualitas, kesehatan reproduksi, serta pesan moral diberikan secara acak melalui pelajaran Agama dan Biologi sesuai dengan materi pada buku pelajaran yang dipakai. Pendidikan seksualitas diberikan berdasarkan kurikulum nasional. Dengan tidak adanya kurikulum khusus untuk materi pendidikan seksualitas, maka tidak terdapat standar yang sama dalam pemberian materi pendidikan seksualitas. Pendidikan seksualitas yang diberikan sangat bergantung pada kecocokan materi pendidikan seksualitas dengan materi utama pada pelajaran Agama dan Biologi, nilai personal yang dimiliki oleh masing-masing guru pengampu mata pelajaran, dan ketersediaan waktu dalam silabus mata pelajaran tersebut.

Menurut Kirby dkk (2007), adanya kurikulum pendidikan seksualitas mempengaruhi keefektifan pemberian materi seksualitas. Kurikulum meliputi proses pengembangan kurikulum, isi kurikulum, dan implementasi dari kurikulum tersebut. Isi kurikulum terdiri terdiri dari aktivitas dalam proses pengajaran, tujuan pemberian materi, dan cara pengajaran yang dipakai oleh


(25)

8

guru. Kurikulum pendidikan seksualitas yang efektif dapat meningkatkan pengetahuan mengenai resiko dari perilaku seksual seperti HIV/AIDS, PMS, dan kehamilan (termasuk metode pencegahannya), meningkatkan penerimaan terhadap resiko tersebut, mampu mengubah sikap seseorang, mempengaruhi self efficacy untuk menolak perilaku seksual yang tidak diinginkan,

meningkatkan self efficacy untuk menggunakan kondom, meningkatkan

motivasi untuk menjauhi perilaku seksual, dan meningkatkan komunikasi dengan orangtua tentang masalah seksualitas.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Horng Lou dan Hwang Cheng (2009) terlihat bahwa remaja perempuan yang memiliki pengetahuan yang baik dan jelas mengenai seksualitas cenderung bersikap negatif atau tidak mendukung terhadap perilaku seksual. Remaja perempuan yang memiliki sikap negatif terhadap perilaku seksual cenderung melakukan penundaan hubungan seksual (Buhi & Goodson, 2007; Kirby dkk., 2007).

Di Indonesia, pernah dilakukan penelitian tentang pengaruh pendidikan seksualitas terhadap sikap remaja pada perilaku seksual pranikah (Yuniarti, 2007). Subyek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 14 - 17 tahun di salah satu SMK. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan. Sebelum dan sesudah diberikan pendidikan seksualitas, sikap terhadap perilaku seksual pranikah hanya sedikit mengalami perubahan. Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan pendidikan seksualitas yang diberikan peneliti tidak memiliki pengaruh pada sikap terhadap perilaku seksual pranikah remaja antara lain penyampaian materi dalam pendidikan seksualitas diberikan oleh peneliti yang masih berstatus


(26)

mahasiswa dan tidak memiliki kemampuan dalam mengajar khususnya masalah seputar seksualitas. Selain itu, metode pendidikan seksualitas yang diberikan hanya presentasi dan diskusi antara peneliti dan siswa. Penelitian

tersebut tidak sesuai dengan penelitian review yang dilakukan oleh Kirby dkk

(2007) bahwa pendidikan seksualitas yang efektif diberikan berdasarkan kurikulum tertentu di sekolah sehingga pendidikan seksualitas yang diberikan di penelitian tersebut tidak memiliki pengaruh pada sikap. Selain itu, pendidikan seksualitas seharusnya diberikan oleh pengajar yang memiliki karakteristik tertentu seperti tertarik mengajar tentang seksualitas, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan siswa, dan memiliki kemampuan mengajar yang baik sesuai dengan materi. Pengajar yang kurang memahami materi sebaiknya dilatih terlebih dahulu sebelum memberikan pendidikan seksualitas pada remaja (UNESCO, 2009).

Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah ada perbedaan sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual ditinjau dari ada tidaknya kurikulum pendidikan seksualitas di sekolah. Hal ini dilatarbelakangi oleh review Kirby dkk (2007) yang mengungkapkan bahwa adanya kurikulum pendidikan seksualitas mempengaruhi keefektifan pemberian materi seksualitas sehingga mampu mengubah sikap seseorang. Peneliti memilih subyek remaja perempuan karena dampak perilaku seksual yang dirasakan oleh remaja perempuan lebih banyak dibanding remaja laki-laki. Sikap yang dimiliki remaja perempuan sebagai salah satu faktor protektif dari perilaku seksual agar terhindar dari dampak perilaku seksual di kalangan remaja.


(27)

10

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang mendasari penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual ditinjau dari ada tidaknya kurikulum pendidikan seksualitas di sekolah.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan literatur untuk penelitian selanjutnya yang relevan khususnya dalam bidang psikologi pendidikan mengenai seksualitas.

2. Manfaat Praktis

Bagi sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas, hasil penelitian ini sebagai bahan evaluasi keefektifan pendidikan seksualitas di sekolah khususnya dalam hal sikap remaja terhadap perilaku seksual. Bagi sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan perlu tidaknya kurikulum pendidikan seksualitas di sekolah.


(28)

11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Remaja

1. Pengertian Remaja

Remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa yang meliputi perubahan dalam fisik, kognitif, dan psikososial (Papalia dkk, 2006). Perubahan biologis mencakup terjadinya perkembangan fungsi seksual, perubahan kognitif meliputi terbentuknya proses berpikir abstrak, dan perubahan psikososial mengarah pada kemandirian (Santrock, 2007). Pada masa remaja, seseorang dituntut untuk meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan mulai mempelajari pola perilaku dan sikap baru (Hurlock, 1980).

Menurut Hurlock (2004), batasan usia remaja antara 13 sampai 18 tahun. Batasan usia remaja yang dikemukakan oleh Sawyer dkk (2012) adalah 11-19 tahun.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa masa remaja antara 11-19 tahun, dimana pada masa tersebut terjadi perkembangan biologis, kognitif, dan psikososial.

2. Karakteristik Remaja

Secara umum, karakteristik remaja menurut Santrock (2007) adalah sebagai berikut:


(29)

12

a. Remaja berada pada masa pubertas yang mendorong remaja laki-laki

dan perempuan untuk menyesuaikan diri dengan perilaku maskulin dan feminim.

b. Pemikiran remaja berada pada tahap operasional formal. Remaja

memiliki kemampuan untuk berpikir lebih abstrak, idealis, dan logis.

c. Pada masa remaja, muncul ketertarikan pada hal seputar seksualitas.

d. Pada masa remaja, pengaruh teman sebaya lebih besar dibanding

dengan keluarga. Hal ini mempengaruhi remaja dalam tingkah laku, sikap, minat, dan penampilan.

e. Pada masa remaja, konflik dengan orangtua yang berlangsung secara

terus menerus berkaitan dengan masalah-masalah seksual remaja sebagai akibat kurangnya pengawasan orangtua.

f. Pada masa remaja terjadi proses belajar untuk mengelola

perasaan-perasaan seksual sepeti gairah seksual dan perasaan-perasaan tertarik dengan lawan jenis, mengembangkan bentuk intimasi yang baru dengan lawan jenis, dan mempelajari keterampilan dalam mengatur perilaku seksual untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan.

g. Pada masa remaja terjadi peningkatan emosi negatif dan emosi yang

berubah-ubah. Remaja laki-laki memiliki kadar androgen yang tinggi berkaitan dengan masalah agresivitas, sedangkan pada remaja perempuan memiliki kadar estrogen yang tinggi berkaitan dengan depresi.


(30)

h. Remaja memperlihatkan bentuk egosentrisme dimana mereka memandang dirinya sebagai sosok yang unik. Hal ini mendorong remaja mengambil resiko dari perilaku seksual. Dalam keadaan emosi, dorongan seksual remaja dapat membatasi kemampuannya dalam mengambil keputusan.

B. Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual

1. Pengertian Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual

Myers (2012) mendefinisikan sikap sebagai reaksi evaluatif yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan terhadap sesuatu dan berakar pada kepercayaan dan muncul dalam perasaan dan kehendak untuk bertindak. Menurut Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan yang mendukung

atau memihak (favorable) dan perasaan yang tidak mendukung atau tidak

memihak (unfavorable) terhadap suatu obyek (Berkowitz, 1972 dalam

Azwar, 2010). Secord dan Backman mendefinisikan sikap sebagai keteraturan dalam hal perasaan (afeksi)), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitar (Azwar, 2010). Sikap juga didefinisikan sebagai kesiapan merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap obyek atau situasi secara konsisten (Ahmadi dkk, 1991).

Sikap terhadap perilaku seksual adalah kecenderungan reaksi individu perempuan yang berusia antara 11-19 tahun baik secara positif


(31)

14

atau negatif yang ditunjukkan oleh pemikiran, kepercayaan, pengetahuan, perasaan, dan tindakannya terhadap segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan.

2. Struktur Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual

Struktur sikap terdiri dari 3 komponen yang saling menunjang (Mann dalam Azwar, 2010; Sears, Freedman, & Peplau, 1985; Ahmadi, 1991), yaitu kognitif, afektif, dan konatif.

a. Kognitif berupa sesuatu yang dipercaya, dipikirkan, dan diketahui oleh

individu yang berjenis kelamin perempuan yang berusia 11-19 tahun terhadap segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan.

b. Afektif merupakan perasaan individu yang berjenis kelamin

perempuan berusia antara 11-19 tahun terhadap segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan. Komponen afektif meliputi perasaan suka (positif) dan perasaan tidak suka (negatif). Pada umumnya reaksi emosional ini ditentukan oleh kepercayaan yang dimiliki seseorang.

c. Konatif merupakan kecenderungan individu yang berjenis kelamin

perempuan berusia antara 11-19 tahun untuk bertindak terhadap segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan. Komponen ini dapat dipengaruhi oleh kepercayaan dan perasaan yang dimiliki individu tersebut.


(32)

3. Bentuk – bentuk Perilaku seksual

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2011). Sedangkan menurut Rathus (2008), perilaku seksual dengan pasangan adalah segala aktivitas tubuh dalam kaitannya dengan ekspresi erotik. Perilaku seksual dibagi menjadi dua yaitu perilaku seksual yang sehat dan aman, dan perilaku seksual beresiko. Perilaku seksual yang sehat dan aman adalah perilaku seksual yang tidak menimbulkan dampak negatif seperti kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit menular seksual dengan cara memakai alat kontrasepsi ketika melakukan hubungan seksual dengan pasangan. Perilaku seksual beresiko adalah perilaku seksual yang dapat menimbulkan dampak seperti kehamilan yang tidak diinginkan, dan penyakit menular seksual tanpa memakai alat kontrasepsi saat melakukan hubungan seksual dengan pasangannya (Chin dkk., 2012).

Dalam penelitian ini, pengertian perilaku seksual adalah segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan.

Menurut Rathus (2008), bentuk-bentuk perilaku seksual meliputi : a. Foreplay

Foreplay terdiri dari cuddling, kissing, petting, dan stimulasi oral genital.


(33)

16

b. Ciuman

Ciuman terdiri dari dua jenis, yaitu simple kissing dan deep

kissing. Simple kissing terjadi ketika ciuman dengan mulut tertutup.

Sedangkan deep kissing terjadi ketika pasangan mencium dengan

membuka mulut dan lidah saling bertemu di dalam mulut.

c. Sentuhan

Menyentuh bagian tubuh yang sensitif dengan tangan atau bagian tubuh lainnya yang dapat menimbulkan rangsangan.

d. Stimulasi oral genital

Stimulasi oral genital adalah perilaku seksual yang menekankan pemberian stimulus genital oleh mulut. Pemberian stimulasi genital oleh mulut biasanya dilakukan sebelum pasangan melakukan hubungan seksual. Oral genital pada alat kelamin laki-laki disebut fellatio, sedangkan memberi stimulasi pada alat kelamin perempuan

dengan mulut atau lidah disebut cunnilingus.

e. Sexual intercourse

Sexual intercourse terdiri dari dua jenis yaitu vaginal intercourse dan anal intercourse. Vaginal intercourse adalah hubungan seksual dengan masuknya penis ke lubang vagina.

Sedangkan anal intercourse adalah hubungan seksual dengan

masuknya penis ke lubang anal.

Menurut Sarwono (2010), perilaku seksual dilakukan secara bertahap sebelum sampai ke tahap yang lebih lanjut. Urutan perilaku


(34)

seksual tersebut adalah dari yang belum berpengalaman, berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, saling meraba bagian tubuh di luar pakaian, saling meraba bagian tubuh di dalam pakaian, saling menempelkan alat kelamin, dan berhubungan seksual.

Dalam penelitian ini, bentuk-bentuk perilaku seksual yang digunakan yaitu memegang tangan, memeluk, cium pipi, cium bibir,

cium leher, petting, oral genital, vaginal intercourse, dan anal

intercourse. Alasan menggunakan bentuk- bentuk perilaku seksual di atas karena penelitian ini mengukur perilaku seksual yang dilakukan dengan pasangan.

4. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Sikap Remaja terhadap Perilaku

Seksual

a. Pengalaman seksual sebelumnya

Remaja yang memiliki pengalaman seksual cenderung memiliki sikap permisif terhadap perilaku seksual dan penggunaan alat kontrasepsi dibanding dengan remaja yang tidak memiliki pengalaman seksual (Kabiru & Orpinas, 2009).

b. Sikap teman sebaya terhadap perilaku seksual

Remaja akan lebih memilih teman sebaya dibandingkan dengan orangtuanya. Remaja memiliki kebutuhan sosial dasar berupa kebutuhan kelekatan, penerimaan sosial, keintiman, dan hubungan seksual dengan lawan jenis. Menurut Sullivan, teman sebaya memainkan peranan penting dalam mencapai kebutuhan sosial remaja


(35)

18

(dalam Santrock, 2007). Dibanding kelompok remaja laki-laki, kelompok remaja perempuan cenderung memiliki hubungan yang erat satu sama lain (Grave dkk., 2011). Hal ini mempengaruhi remaja dalam hal bersikap dan bertingkah laku. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Laflin, Wang, dan Barry (2008), menemukan bahwa remaja perempuan cenderung memiliki sikap yang sama dengan teman sebayanya. Ketika teman sebaya memiliki sikap yang tidak mendukung perilaku seksual maka remaja perempuan cenderung untuk memiliki sikap yang sama, dan begitu pula dengan sebaliknya.

c. Budaya kolektivistik

Keluarga yang tinggal di kebudayaan kolektivistik cenderung menganut aliran konservatif yang menganggap bahwa perilaku seksual sebelum menikah adalah hal yang tabu. Perilaku seksual sebelum menikah dianggap hal yang memalukan dan keluarga lebih memperhatikan nama baik (Kuota & Tolma, 2008). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sridawruang, Crozier, dan Pfeil (2010), menemukan adanya standar ganda pada keluarga yang tinggal di budaya kolektivistik. Keluarga memperlakukan remaja perempuan dan remaja laki-laki secara berbeda. Standar ganda ini muncul akibat penilaian dari masyarakat terhadap anak perempuan dan anak laki- laki ketika mereka telah melakukan perilaku seksual sebelum menikah dan terjadi resiko dari perilaku seksual seperti kehamilan yang tidak diinginkan. Adanya standar ganda yang terjadi mempengaruhi remaja


(36)

dalam hal bersikap dan bertingkah laku. Remaja perempuan cenderung memiliki sikap yang kurang mendukung perilaku seksual. Sebaliknya, remaja laki-laki cenderung memiliki sikap yang permisif atau mendukung perilaku seksual.

d. Expose terhadap pornografi

Media massa sebagai penyampai informasi dan membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang mampu mengarahkan pandangan remaja. Informasi mengenai sesuatu memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya sikap. Pesan sugestif yang cukup kuat yang dibawa oleh informasi akan memberi dasar afeksi dalam menilai sesuatu sehingga terbentuk arah sikap tertentu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lou dkk (2012), remaja perempuan yang mendapatkan informasi dari internet, film porno, dan majalah dewasa cenderung memiliki sikap permisif atau mendukung perilaku seksual sebelum menikah.

e. Sumber informasi seksual dan pengetahuan mengenai dampak dari

perilaku seksual

Lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri seseorang yang sangat menentukan sistem kepercayaannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kirby dkk (2007), pendidikan seksualitas di sekolah dapat mengubah sikap seksual remaja. Hal itu didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Horng Lou dan Hwang Chen (2009)


(37)

20

yang membuktikan bahwa melalui pengetahuan yang baik dan jelas mengenai seksualitas maka remaja perempuan akan cenderung bersikap negatif atau tidak mendukung perilaku seksual. Selain itu, pengetahuan yang diperoleh remaja perempuan mengenai dampak dari perilaku seksual dengan pasangannya cenderung menyebabkan remaja memiliki keyakinan bahwa dampak dari perilaku seksual dapat mengambil kebebasan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan remaja. Keyakinan remaja tersebut menumbuhkan motivasi dalam mencari strategi untuk menjauhkan diri dari perilaku seksual agar terhindar dari dampak yang akan ditimbulkan dari perilaku seksual tersebut. Hal tersebut dapat menyebabkan remaja perempuan memiliki sikap yang kurang mendukung terhadap perilaku seksual (Goodson dkk., 2006).

Pemberian materi seksualitas yang berlandaskan agama cenderung bersifat konservatif yang mampu mempengaruhi keyakinan remaja perempuan untuk tidak melakukan perilaku seksual hingga menikah. Komitmen yang kuat untuk tidak melakukan perilaku seksual cenderung menyebabkan remaja perempuan untuk menghindari perilaku seksual di luar pernikahan (Bearman & Bruckner, 2001). Selain itu, ajaran agama yang diperoleh dari sekolah dapat mempengaruhi remaja perempuan dalam bersikap. Remaja perempuan yang taat pada ajaran agama cenderung memiliki sikap yang kurang


(38)

mendukung perilaku seksual dibanding dengan remaja perempuan yang tidak taat beragama (Lefkowitz, Gillen, Shearer, & Boone, 2004).

f. Pengaruh faktor emosional

Remaja perempuan yang memiliki pengetahuan mengenai dampak dari perilaku seksual sebelum menikah cenderung memiliki perasaan takut dan bersalah ketika akan melakukan perilaku seksual dengan pasangannya (Macleod, 2009). Hal ini mempengaruhi keyakinan remaja untuk tidak melakukan perilaku seksual hingga menikah (Long-Middleton dkk., 2012).

C. Pendidikan Seksualitas di Sekolah

Selain rumah, sekolah merupakan lingkungan kedua bagi remaja untuk melakukan berbagai aktivitas dan menjalin hubungan sosial dengan teman-temannya sehingga bisa dikatakan sekolah mempunyai pengaruh yang besar bagi remaja (Needlman, 2004). Sekolah sebagai lembaga formal mempunyai peranan yang strategis untuk pembinaan remaja. Secara umum, pendidikan seksualitas di sekolah menyediakan informasi seksualitas dan mengajarkan berbagai kemampuan dalam mengambil keputusan mengenai seksualitas (Mueller dkk., 2008). Selain itu, pendidikan seksualitas merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan pengetahuan mengenai seksualitas dan mengubah sikap terhadap perilaku seksual (Lou & Chen, 2009). Tujuan pendidikan seksualitas adalah mengurangi resiko yang ditimbulkan dari perilaku seksual sebelum menikah seperti kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular


(39)

22

seksual, aborsi, dan HIV/AIDS (Kirby dkk., 2007; Pamela dkk., 2008; Linberg & Zimet, 2012; Kohler & Lafferty, 2008).

1. Jenis Pendidikan Seksualitas

a. Pendidikan seksualitas abstinence

Pendidikan seksualitas abstinence bertujuan untuk mengurangi

resiko yang ditimbulkan dari perilaku seksual dengan cara menunda perilaku seksual hingga menikah. Pendidikan seksualitas ini berlandaskan ajaran agama yang melarang seseorang untuk melakukan perilaku seksual hingga saatnya menikah (Chin dkk., 2012, Kohler dkk., 2008).

b. Pendidikan seksualitaskomprehensif

Pendidikan seksual komprehensif meliputi pendidikan seksualitas abstinence ditambah informasi mengenai metode pengontrolan kelahiran untuk mencegah kehamilan dan penyakit menular seksual (PMS) (Kohler dkk., 2008). Pendidikan seksualitas komprehensif bertujuan untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan dari perilaku seksual seperti kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), HIV/AIDS, dan penyakit menular seksual (PMS) dengan cara menunda melakukan

perilaku seksual hingga saatnya menikah (abstinence) dan memakai

alat kontrasepsi ketika melakukan perilaku seksual beresiko (Chin dkk., 2012; Gelperin dkk., 2004; Kohler dkk., 2008, Kabiru & Orpinas, 2009).


(40)

2. Kebijakan dan Praktek Pendidikan Seksualitas di Sekolah

a. Sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas berdasarkan

teori Kirby

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan di lembaga pendidikan. Sedangkan menurut Ebert, dan Culyer (2011), kurikulum adalah metode dan materi pengajaran yang digunakan oleh guru dalam mendidik siswa di sekolah.

Menurut review yang dilakukan oleh Kirby dkk (2007), pendidikan seksualitas yang efektif adalah pendidikan seksualitas berdasarkan kurikulum yang terdiri dari proses pengembangan kurikulum, isi kurikulum, dan implementasi. Adapun struktur kurikulum pendidikan seksualitas sebagai berikut:

i. Proses pengembangan kurikulum yang terdiri dari:

1. Melibatkan berbagai orang yang ahli dibidang seksualitas

dalam proses pengembangan kurikulum.

2. Memberikan pendidikan seksualitas berdasarkan kebutuhan

siswa.

3. Merancang aktivitas dalam pendidikan seksualitas yang

konsisten sesuai dengan nilai yang dianut oleh siswa dan ketersediaan sumber daya ( fasilitas, waktu yang dimiliki pengajar).


(41)

24

4. Spesifik ditujukan untuk tujuan kesehatan, faktor resiko dan

faktor protektif yang mempengaruhi perilaku, dan aktivitas yang menunjukkan faktor resiko dan faktor protektif.

5. Uji coba program pendidikan seksual apakah sesuai dengan apa

yang siswa butuhkan.

ii. Isi kurikulum

a. Tujuan kurikulum

1. Fokus pada tujuan kesehatan yang jelas

2. Fokus pada perilaku yang mempengaruhi tujuan kesehatan

misalnya menjauhi perilaku seksual (abstinence program)

atau menganjurkan menggunakan alat kontrasepsi bagi

yang aktif secara seksual dan abstinence bagi yang belum

pernah melakukan perilaku seksual (komprehensif

program). Sekolah diharapkan memberikan pesan yang jelas tentang perilaku tersebut.

3. Menjelaskan faktor resiko dan protektif dari segi sosial dan

psikologi seperti pengetahuan, persepsi tentang resiko,

sikap, persepsi tentang norma yang berlaku, dan

self-efficacy.

b. Aktivitas dalam pemberian materi pendidikan seksualitas dan

metode pengajaran

1. Menciptakan lingkungan sosial yang nyaman pada siswi


(42)

2. Meliputi berbagai aktivitas dalam menjelaskan faktor resiko dan faktor protektif.

3. Metode pengajaran yang membantu siswa untuk menerima

informasi yang berhubungan dengan seksualitas yang dirancang untuk mengubah faktor resiko.

4. Aktivitas, instruksi, dan pesan yang disampaikan dalam

pendidikan seksualitas disesuaikan dengan budaya, tahapan perkembangan, dan pengalaman seksual.

5. Memberikan materi seksualitas berdasarkan topik yang

berurutan.

iii. Implementasi

1. Mendapatkan dukungan untuk melaksanakan pendidikan

seksualitas dari pihak yang berwenang misalnya pejabat sekolah.

2. Pengajar memiliki kriteria tertentu dalam mengajar pendidikan

seksualitas di sekolah. Memberikan pelatihan untuk para pengajar. Memberikan pengawasan, pengarahan, dan dukungan bagi para pengajar.

3. Jika dibutuhkan, mengadakan aktivitas untuk menarik remaja

dari luar sekolah untuk berpartisipasi dalam mengikuti pendidikan seksualitas di sekolah.

4. Menerapkan program pendidikan seksualitas dengan alasan


(43)

26

b. Sekolah yang memberikan materi seksualitas berdasarkan kurikulum

nasional di Indonesia (tidak memiliki kurikulum khusus pendidikan seksualitas)

Berdasarkan wawancara dengan guru Bimbingan Konseling, materi seksualitas diberikan melalui mata pelajaran Biologi, dan Agama. Dinas Kesehatan menyarankan untuk membuat suatu kurikulum khusus yang berisi mengenai kesehatan reproduksi kepada tiap sekolah. Cara pengajaran dan materi yang dipakai dalam mengajar kesehatan reproduksi diserahkan sepenuhnya pada tiap sekolah. Namun pada kenyataannya, tidak semua sekolah yang membuat kurikulum khusus kesehatan reproduksi. Materi kesehatan reproduksi diberikan melalui pelajaran Biologi dan pesan moral disampaikan melalui pelajaran Agama.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Creagh (2004) pada sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas, pendidikan seksualitas diberikan melalui mata pelajaran Biologi, Agama, dan Bimbingan Konseling. Materi seksualitas yang diberikan berupa kesehatan reproduksi, dan pacaran sehat dari sudut pandang agama dan psikologi. Metode pengajaran berupa presentasi yang dilakukan oleh guru Agama, Biologi, dan Bimbingan Konseling. Pendidikan seksualitas di sekolah ini menjelaskan faktor resiko dan faktor protektif dari segi biologi, agama, dan psikologi. Namun materi seksualitas diberikan tidak lengkap sehingga siswa memiliki


(44)

pengetahuan yang kurang mengenai seksualitas. Sekolah ini tidak melakukan asesmen kebutuhan pada siswanya karena materi seksualitas sudah tersedia di buku pelajaran. Pendidikan seksualitas disesuaikan dengan budaya dan tahapan remaja pada umumnya, tanpa melihat pengalaman seksual yang dimiliki remaja. Jenis pendidikan

seksualitas di sekolah ini adalah pendidikan seksualitas abstinence

dengan tujuan membentuk perilaku sehat sesuai dengan norma agama. Pada sekolah negeri, guru Bimbingan Konseling tidak memberikan pendidikan seksualitas pada siswanya karena menurutnya sekolah tersebut merupakan sekolah pilihan dan siswanya memiliki status sosial ekonomi menegah keatas sehingga jauh dari pergaulan yang beresiko. Sekolah tersebut mengundang beberapa tokoh ahli di bidang seksualitas satu kali dalam satu tahun. Program ini disarankan oleh BKKBN untuk tiap sekolah di Indonesia. Namun pada kenyataannya tidak semua sekolah menggunakan saran dari BKKBN tersebut.

D. Perbedaan Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual ditinjau

dari Ada Tidaknya Kurikulum Pendidikan Seksualitas di Sekolah

Banyaknya kasus perilaku seksual di kalangan remaja cukup membuktikan bahwa perilaku seksual rentan dilakukan oleh remaja. Pada masa remaja, mulai muncul ketertarikan pada hal seputar seksualitas. Remaja memperlihatkan bentuk egosentrisme dimana mereka memandang dirinya sebagai sosok yang unik. Hal ini mendorong remaja mengambil resiko dari


(45)

28

perilaku seksual. Dalam keadaan emosi, dorongan seksual remaja dapat

membatasi kemampuannya dalam mengambil keputusan sehingga

memungkinkan remaja terjerumus pada perilaku seksual sebelum menikah. Bentuk-bentuk perilaku seksual seperti memegang tangan, memeluk, cium pipi, cium bibir, cium leher, petting, oral genital, vaginal intercourse, dan anal intercourse. Perilaku seksual membawa dampak yang cukup merugikan bagi remaja terutama remaja perempuan dari segi fisik, psikologis, dan lingkungan sosial budaya. Salah satu faktor yang dapat mencegah atau mengurangi dampak dari perilaku seksual adalah pemberian pendidikan seksualitas di sekolah. Hal ini didukung oleh pernyataan Needlman (2004) bahwa sekolah merupakan lingkungan kedua bagi remaja untuk melakukan berbagai aktivitas dan menjalin hubungan sosial dengan teman-temannya sehingga bisa dikatakan sekolah mempunyai pengaruh yang besar bagi remaja. Tujuan pendidikan seksualitas adalah mencegah dan mengurangi dampak yang ditimbulkan dari perilaku seksual sebelum menikah seperti kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual, aborsi, dan HIV/AIDS (Kirby dkk., 2007; Pamela dkk., 2008; Linberg & Zimet, 2012; Kohler & Lafferty, 2008).

Pendidikan seksualitas terdiri dari 2 jenis yaitu pendidikan seksualitas abstinence dan pendidikan seksualitas komprehensif. Pendidikan seksualitas abstinence adalah pendidikan seksualitas yang berlandaskan ajaran agama yang melarang seseorang yang belum menikah melakukan perilaku seksual yang berguna untuk menunda remaja melakukan perilaku seksual. Pendidikan


(46)

seksualitas komprehensif adalah pendidikan seksualitas abstinence ditambah dengan informasi mengenai metode pengontrolan kelahiran dan alat kontrasepsi yang berguna untuk menunda dan mengurangi dampak dari perilaku seksual (Chin dkk., 2012; Gelperin dkk., 2004; Kabiru & Orpinas, 2009; Kohler dkk., 2008).

Pendidikan seksualitas di sekolah diberikan pada siswa melalui dua cara yaitu materi yang disusun dalam kurikulum tertentu dan melalui materi

yang diberikan secara acak tanpa kurikulum tertentu. Menurut review yang

dilakukan oleh Kirby dkk (2007), menemukan bahwa pendidikan seksualitas yang efektif adalah pendidikan seksualitas berdasarkan kurikulum. Pada

sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas, dalam

pengembangan kurikulum melibatkan berbagai orang yang ahli dibidang seksualitas, melakukan asesmen kebutuhan sebelum merancang program sehingga pendidikan seksualitas dapat berguna secara efektif pada siswanya, merancang aktivitas yang konsisten sesuai yang dianut oleh siswa dan adanya ketersediaan pengajar. Pendidikan seksualitas diberikan berdasarkan tujuan kesehatan dan mampu menjelaskan faktor resiko dan protektif perilaku seksual dari segi sosial dan psikologi. Sekolah ini melakukan uji coba pada materi pendidikan seksualitas. Dalam aktivitasnya, pendidikan seksualitas yang diberikan mampu menciptakan lingkungan sosial yang nyaman, meliputi berbagai aktivitas dalam memberikan materi seksualitas, dan metode pengajaran dirancang untuk membantu siswa dalam menerima informasi mengenai faktor resiko dan protektif dari perilaku seksual. Aktivitas, instruksi,


(47)

30

dan pesan dalam pendidikan seksualitas disesuaikan dengan budaya, tahap perkembangan remaja, dan pengalaman seksual yang dimiliki siswa. Materi seksualitas diberikan pada siswa secara berurutan. Pada implementasinya, pendidikan seksualitas mendapatkan dukungan dari pihak berwenang di sekolah. Para pengajar diberikan pelatihan sebelum memberikan pendidikan seksualitas pada siswanya. Pengajar harus memiliki kriteria tertentu untuk mengajar pendidikan seksualitas. Pihak sekolah perlu memberikan pengawasan, pengarahan, dan dukungan bagi para pengajar. Bila perlu, menarik remaja di luar sekolah untuk mengikuti pendidikan di sekolah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Creagh (2004) menemukan bahwa pada sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas, materi seputar seksualitas diberikan oleh guru Biologi, Agama, dan Bimbingan Konseling. Pendidikan seksualitas di sekolah ini menjelaskan mengenai faktor resiko dan faktor protektif dari segi biologi, agama, dan psikologi. Namun materi seksualitas diberikan tidak lengkap sehingga siswa memiliki pengetahuan yang kurang mengenai seksualitas. Metode pengajaran yang digunakan adalah presentasi di kelas. Materi seksualitas yang diberikan berupa kesehatan reproduksi, dan pacaran sehat dari sudut pandang agama dan psikologi. Pada sekolah ini tidak melakukan asesmen dan uji coba karena materi seksualitas sudah tersedia di buku pelajaran masing-masing. Jenis

pendidikan seksualitas di sekolah ini adalah pendidikan seksualitas abstinence


(48)

Pendidikan seksualitas disesuaikan dengan budaya dan tahapan remaja pada umumnya, tanpa melihat pengalaman seksual yang dimiliki remaja.

Pada sekolah negeri, guru Bimbingan Konseling tidak memberikan pendidikan seksualitas pada siswanya karena menurutnya sekolah tersebut merupakan sekolah pilihan dan siswanya memiliki status sosial ekonomi menegah keatas sehingga jauh dari pergaulan yang beresiko. Sekolah tersebut mengundang beberapa tokoh ahli di bidang seksualitas satu kali dalam satu tahun. Program ini disarankan oleh BKKBN untuk tiap sekolah di Indonesia. Namun pada kenyataannya tidak semua sekolah menggunakan saran dari BKKBN tersebut.

Pendidikan seksualitas tidak dapat secara spesifik menjelaskan pengaruhnya terhadap perilaku seksual tanpa adanya faktor mediator. Sikap merupakan salah satu faktor mediator pendidikan seksualitas (Kirby dkk., 2007). Menurut Myers (2010), sikap yang dimiliki individu dapat mempengaruhi perilakunya. Sikap terhadap perilaku seksual merupakan kecenderungan reaksi individu secara positif (mendukung) atau negatif (tidak mendukung) yang ditunjukkan oleh pemikiran, kepercayaan, pengetahuan (kognitif), perasaan (afektif), dan tindakannya (konatif) terhadap segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan.

Sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual dipengaruhi oleh pengalaman seksual sebelumnya, sikap teman sebaya terhadap perilaku


(49)

32

seksual, dan pengetahuan mengenai dampak dari perilaku seksual. Beberapa penelitian menemukan bahwa remaja yang memiliki pengalaman seksual cenderung memiliki sikap permisif terhadap perilaku seksual dan penggunaan alat kontrasepsi dibanding dengan remaja yang tidak memiliki pengalaman seksual (Kabiru & Orpinas, 2009). Remaja perempuan yang memiliki teman

yang mendukung abstinence maka cenderung memiliki sikap yang sama

dengan temannya (Laflin, Wang, & Berry, 2008).

Sikap remaja terhadap perilaku seksual tidak lepas dari pengaruh budaya di tempat tinggalnya. Berdasarkan penelitian Kuota dan Tolma (2008), menemukan bahwa keluarga yang tinggal di budaya kolektivistik menganggap bahwa perilaku seksual sebelum menikah adalah hal yang tabu dan memalukan. Hal tersebut memunculkan adanya perbedaan perlakuan antara remaja perempuan dan remaja laki-laki. Remaja perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akan diasingkan ke suatu tempat yang tidak diketahui oleh orang lain untuk menjaga nama baik keluarga. Remaja perempuan cenderung memiliki sikap negatif terhadap perilaku seksual. Sebaliknya, remaja laki-laki cenderung memiliki sikap permisif terhadap perilaku seksual.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lou dkk (2012), remaja perempuan yang mendapatkan informasi dari internet, film porno, dan majalah dewasa cenderung memiliki sikap permisif atau mendukung perilaku seksual sebelum menikah. Kirby dkk (2007), menemukan bahwa pendidikan seksualitas di sekolah dapat mengubah sikap seksual remaja. Pendidikan


(50)

seksualitas yang efektif adalah berdasarkan kurikulum. Hal itu didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Horng Lou dan Hwang Chen (2009) yang membuktikan bahwa melalui pengetahuan yang baik dan jelas mengenai seksualitas maka remaja perempuan akan cenderung bersikap negatif atau tidak mendukung perilaku seksual. Selain itu, pengetahuan yang diperoleh remaja perempuan mengenai dampak dari perilaku seksual dengan pasangannya cenderung menyebabkan remaja memiliki keyakinan bahwa dampak dari perilaku seksual dapat mengambil kebebasan mereka untuk

berpartisipasi dalam kegiatan remaja. Keyakinan remaja tersebut

menumbuhkan motivasi dalam mencari strategi untuk menjauhkan diri dari perilaku seksual agar terhindar dari dampak yang akan ditimbulkan dari perilaku seksual tersebut. Hal tersebut dapat menyebabkan remaja perempuan memiliki sikap yang kurang mendukung terhadap perilaku seksual (Goodson dkk., 2006).

Perbedaan-perbedaan antara sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas tersebut dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan sikap terhadap perilaku seksual.

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah ada perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja perempuan di sekolah


(51)

34

yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas.

Skema

Remaja perempuan

Sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas

Sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas

1. Ketika merancang kurikulum melibatkan berbagai orang yang ahli di bidang seksualitas.

2. Melakukan asesmen kebutuhan.

3. Merancang aktivitas konsisten dengan nilai yang dianut siswa dan ketersedian pengajar.

4. Menjelaskan tujuan kesehatan, faktor resiko dan protektif dari segi sosial dan psikologi.

5. Melakukan uji coba

6. Menciptakan lingkungan sosial yang nyaman.

7. Aktivitas yang mampu menjelaskan faktor resiko dan protektif

8. Metode pengajaran yang mampu

mengubah faktor resiko.

9. Aktivitas, instruksi, dan pesan disesuaikan dengan budaya, tahap perkembangan, dan pengalaman seksual. 10. Materi berurutan.

1. Tidak merancang kurikulum. 2. Tidak melakukan asesmen kebutuhan. 3. Menjelaskan faktor resiko dan protektif

dari segi biologi, agama, dan psikologis. 4. Tidak melakukan uji coba.

5. Aktivitas yang menjelaskan faktor resiko dan protektif.

6. Metode pengajaran yang mengubah faktor resiko.

7. Aktivitas, instruksi, dan pesan disesuaikan dengan budaya, dan tahap perkembangan remaja pada umumnya, tidak disesuaikan dengan pengalaman seksual yang dimiliki siswa.

8. Materi tidak urut disesuaikan dengan jam pelajaran Biologi, Agama, dan Bimbingan Konseling.

Pengetahuan seksualitas yang baik dan jelas

Terdapat perbedaan sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual

Pengetahuan seksualitas kurang Dampak negatif perilaku seksual


(52)

35

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Pada penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah

penelitian ex post facto. Penelitian ex post facto merupakan salah satu jenis

penelitian yang termasuk dalam penelitian quasi experimen dimana

peneliti ingin melihat keefektifan suatu treatment tanpa memberikan

treatment apapun pada subyek penelitian (Myers & Hansen, 2002). Dalam

penelitian ini, pemberian treatment yaitu pendidikan seksualitas diberikan

oleh guru mata pelajaran Biologi, guru mata pelajaran Agama, dan guru mata pelajaran Bimbingan Konseling.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Variabel tergantung : Sikap remaja perempuan terhadap perilaku

seksual

b. Variabel bebas : Jenis pendidikan seksualitas

C. Definisi Operasional

1. Sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual

Sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual adalah suatu kecenderungan remaja yang berusia 11-19 tahun untuk bereaksi atau


(53)

36

merespon secara kognitif, afeksi, dan konatif terhadap perilaku yang didorong oleh hasrat seksual . Sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual dapat dilihat dari skor total skala sikap yang dibuat dan disebarkan peneliti untuk diisi oleh subyek penelitian.

2. Jenis pendidikan seksualitas (sekolah yang memiliki kurikulum

pendidikan seksualitas dan sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas)

a) Remaja perempuan yang bersekolah di sekolah yang memiliki

kurikulum pendidikan seksualitas.

b) Remaja perempuan yang bersekolah di sekolah yang tidak

memiliki kurikulum pendidiakn seksualitas.

Jenis pendidikan seksualitas di sekolah dapat diketahui melalui wawancara dengan guru Bimbingan Konseling pada tiap sekolah yang menjadi subyek penelitian.

D. Subyek Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode purposive

sampling. Purposive sampling adalah metode pemilihan subyek penelitian berdasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang memiliki kaitan dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2004). Ciri-ciri subyek penelitian ini adalah sebagai berikut:


(54)

b) Berusia 11-19 tahun yang termasuk dalam masa remaja.

c) Remaja perempuan yang bersekolah di sekolah yang memiliki

kurikulum pendidikan seksualitas.

d) Remaja perempuan yang bersekolah di sekolah yang tidak memiliki

kurikulum pendidikan seksualitas.

E. Metode dan Alat Pengumpul Data

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala yang diberikan kepada subyek penelitian. Skala sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual disusun dengan metode rating yang dijumlahkan (Summated Rating). Subyek diminta untuk memilih dan merespon jenis perilaku seksual yang dibagi menjadi 3 kolom sebagai berikut:

a) Pada kolom pertama yaitu kolom afektif terdapat 4 alternatif jawaban:

SM : Sangat Menikmati

M : Menikmati

TM : Tidak Menikmati

STM : Sangat Tidak Menikmati

b) Pada kolom kedua yaitu kolom kognitif terdapat 4 alternatif jawaban:

SP : Sangat Pantas

P : Pantas

TP : Tidak Pantas

STP : Sangat Tidak Pantas


(55)

38

SMM : Sangat Mau Melakukan

MM : Mau Melakukan

TMM : Tidak Mau Melakukan

STMM : Sangat Tidak Mau Melakukan

Penyebaran skala penelitian dilakukan dengan cara memberikan skala penelitian langsung pada subyek penelitian di sekolah pada jam pelajaran Bimbingan Konseling.

Di bawah ini, terdapat blue print skala uji coba sikap remaja

perempuan terhadap perilaku seksual.

Tabel 1

Blue Print Skala Uji Coba Sikap Remaja Terhadap Perilaku Seksual Jenis perilaku seksual komponen sikap Total

kognitif afektif konatif

1. Memegang tangan 1 1 1 3

2. Dipegang tangan 1 1 1 3

3. Memeluk 1 1 1 3

4. Dipeluk 1 1 1 3

5. Mencium pipi 1 1 1 3

6. Dicium pipi 1 1 1 3

7. Mencium bibir 1 1 1 3

8. Dicium bibir 1 1 1 3

9. Mencium leher 1 1 1 3

10.Dicium leher 1 1 1 3

11.Meraba dada 1 1 1 3

12.Diraba dada 1 1 1 3

13.Meraba alat kelamin 1 1 1 3

14.Diraba alat kelamin 1 1 1 3

15.Menggesekkan alat

kelamin ke kelamin pasangan dengan memakai pakaian lengkap


(56)

16.Menggesekkan alat kelamin ke kelamin pasangan tanpa menggunakan pakaian

1 1 1 3

17.Melakukan oral sex 1 1 1 3

18.Menerima oral sex 1 1 1 3

19.Melakukan vaginal sex

(masuknya penis ke lubang vagina)

1 1 1 3

20.Melakukan anal sex 1 1 1 3

Total 20 20 20 60

Tabel 2

Alternatif Jawaban Skala Sikap

Aspek sikap Alternatif jawaban Nilai

Kognitif Sangat Pantas 4

Pantas 3

Tidak Pantas 2

Sangat Tidak Pantas 1

Afektif Sangat Menikmati 4

Menikmati 3

Tidak Menikmati 2

Sangat Tidak Menikmati 1

Konatif Sangat Mau Melakukan 4

Mau Melakukan 3

Tidak Mau Melakukan 2

Sangat Tidak Mau Melakukan 1

F. Pengujian Alat Ukur

1. Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Reliabilitas menunjukkan konsistensi hasil pengukuran yang dapat dilihat ketika


(57)

40

suatu alat ukur digunakan berulang kali akan menunjukkan hasil yang sama dan dalam kondisi yang sama (Azwar, 2010). Pada penelitian ini, teknik yang digunakan untuk menentukan reliabilitas skala sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual adalah teknik reliabilitas Alpha. Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang 0-1,00. Semakin mendekati 1,00 berati semakin tinggi reliabilitasnya, sebaliknya jika mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya (Azwar, 2010).

2. Validitas

Tujuan dari uji validitas adalah untuk mengetahui dan menentukan apakah item yang tersusun layak untuk diujicobakan dan mampu memperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pada penelitian ini, validitas yang diuji adalah validitas isi. Validitas isi digunakan untuk mengetahui sejauh mana isi dalam penelitian ini dapat mengukur apa yang akan diukur (Azwar, 2010).

Peneliti menyusun item-item dalam skala sikap sesuai dengan teori kemudian dikonsultasikan kepada dosen pembimbing selaku

pihak yang berkompeten/ ahli (judgment expert). Setelah mendapatkan

persetujuan dari dosen pembimbing, skala sikap digunakan untuk uji coba pada 71 subyek.

3. Seleksi Item

Seleksi item dilakukan dengan cara uji coba skala. Menurut


(58)

dianggap memuaskan. Item yang gugur sebanyak 6 nomor yaitu 1b, 12a, 16b, 20a, 20b, 20c.

Tabel 3

Item gugur dan item yang dapat dipakai

No. Jenis perilaku Komponen sikap Nomor item gugur Nomor item dipakai

1. Memegang tangan a. afektif 1a

b. kognitif 1b

c. konatif 1c

2. Dipegang tangan a. afektif 2a

b. kognitif 2b

c. konatif 2c

3. Memeluk a. afektif 3a

b. kognitif 3b

c. konatif 3c

4. Dipeluk a. afektif 4a

b. kognitif 4b

c. konatif 4c

5. Mencium pipi a. afektif 5a

b. kognitif 5b

c. konatif 5c

6. Dicium pipi a. afektif 6a

b. kognitif 6b

c. konatif 6c

7. Mencium bibir a. afektif 7a

b. kognitif 7b

c. konatif 7c

8. Dicium bibir a. afektif 8a

b. kognitif 8b

c. konatif 8c

9. Meraba mencium leher a. afektif 9a

b. kognitif 9b

c. konatif 9c

10. Dicium leher a. afektif 10a


(59)

42

c. konatif 10c

11. Meraba dada a. afektif 11a

b. kognitif 11b

c. konatif 11c

12. Diraba dada a. afektif 12a

b. kognitif 12b

c. konatif 12c

13. Meraba alat kelamin a. afektif 13a

b. kognitif 13b

c. konatif 13c

14. Diraba alat kelamin a. afektif 14a

b. kognitif 14b

c. konatif 14c

15. Menggesekkan alat

kelamin ke kelamin pasangan menggunakan pakaian lengkap

a. afektif 15a

b. kognitif 15b

c. konatif 15c

16. Menggesekkan alat

kelamin ke kelamin pasangan tanpa menggunakan pakaian

a. afektif 16a

b. kognitif 16b

c. konatif 16c

17. Melakukan oral sex a. afektif 17a

b. kognitif 17b

c. konatif 17c

18. Menerima oral sex a. afektif 18a

b. kognitif 18b

c. konatif 18c

19. Melakukan vaginal sex a. afektif 19a

b. kognitif 19b

c. konatif 19c

20. Melakukan anal sex a. afektif 20a

b. kognitif 20b


(60)

G. Uji Asumsi

1. Uji Normalitas

Uji normalitas adalah uji yang dilakukan untuk melihat data penelitian berasal dari populasi yang sebarannya normal atau tidak

(Santoso, 2010). Pengujian normalitas mempergunakan

Kolmogorof-Smirnov (K-S). Kriteria yang digunakan p > 0,05 maka sebaran data dikatakan normal (Azwar, 2010).

2. Uji Homogenitas

Uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah sampel penelitian berasal dari populasiyang memiliki varian yang sama. Cara melihat homogenitas yaitu dengan melihat nilai probabilitasnya. Apabila nilai probabilitasnya lebih besar dari 0,05 maka kedua kelompok sampel memiliki varian yang sama. Sebaliknya, jika probabilitasnya kurang dari 0,05 maka kedua kelompok sempel memiliki varian yang tidak sama (Azwar, 2010).

H. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji-t dengan program Independent Sample t-test dari SPSS 16.0 for Windows. Pada penelitian ini menggunakan uji-t dengan Independent Sample adalah untuk melihat apakah perbedaan nilai rata-rata dari dua kelompok sampel yang saling bebas memiliki perbedaan secara signifikan


(61)

44

digunakan untuk mengukur apakah ada perbedaan rata-rata sikap terhadap perilaku seksual antara remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas.


(62)

45

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian

1. Orientasi Kancah Penelitian

Penelitian dilakukan di SMA Swasta yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan SMA Swasta yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Kedua SMA Swasta tersebut berada di Yogyakarta. Remaja perempuan yang bersekolah di kedua sekolah tersebut memiliki tingkat sosial ekonomi yang relatif sama. Observasi dan wawancara dengan guru Bimbingan Konseling pada tiap sekolah dilakukan untuk mengetahui materi seksualitas yang diberikan di kedua sekolah.

a. Sekolah yang Memiliki Kurikulum Pendidikan Seksualitas

Berdasarkan wawancara dengan guru Bimbingan Konseling, kurikulum pendidikan seksualitas pada sekolah yang menjadi subyek penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:

i. Proses pengembangan kurikulum

1. Guru Bimbingan Konseling bekerja sama dengan guru mata

pelajaran Biologi dan guru mata pelajaran Agama dalam proses pengembangan kurikulum.

2. Di kelas XI, siswi diajarkan mengenai pengembangan diri. Hal


(63)

46

dalam pengembangan dirinya. Pendidikan seksualitas

merupakan salah satu pendidikan yang berguna untuk bekal siswi dalam mengembangkan dirinya terutama yang berkaitan dengan kehidupan seksualitas. Oleh karena itu, pendidikan seksualitas diberikan di kelas XI karena siswi membutuhkan informasi mengenai seksualitas dalam proses pengembangan dirinya yang terkait dengan seksualitas.

3. Merancang aktivitas dalam pendidikan seksual disesuaikan

dengan waktu yang dimiliki guru Bimbingan Konseling.

4. Spesifik bertujuan untuk memberikan bekal pada siswi dalam

proses pengembangan dirinya ke arah positif terutama yang berkaitan dengan seksualitas.

ii. Isi dari kurikulum

a. Tujuan kurikulum

1. Fokus untuk menciptakan kehidupan seksual yang positif

bagi siswi

2. Fokus pada pendidikan seksualitas komprehensif karena siswi

memiliki latar belakang yang berbeda-beda, ada yang memiliki pengalaman seksual dan ada yang belum memiliki pengalaman seksual.

3. Menjelaskan faktor protektif dan faktor resiko dari perilaku


(64)

b. Aktivitas dalam pemberian materi pendidikan seksualitas dan metode pengajaran

1. Menciptakan lingkungan sosial yang nyaman dalam

memberikan materi pendidikan seksualitas untuk para siswi.

2. Meliputi berbagai aktivitas yang dapat mengubah faktor

resiko dari perilaku seksualitas

3. Mengadakan diskusi dengan guru Bimbingan Konseling,

Romo, Dokter, dan Psikolog agar siswi mendapatkan informasi yang jelas langsung dari ahlinya.

4. Pendidikan seksualitas diberikan pada siswi disesuaikan

dengan budaya Timur, ada tidaknya pengalaman seksual siswi, dan tahapan perkembangan remaja dimana remaja memiliki ketertarikan di seksualitas, mulai menjalin hubungan dengan lawan jenis, dan adanya konformitas dengan teman sebayanya.

5. Memberikan materi seksualitas berdasarkan topik yang

berurutan. Topik yang dibahas meliputi perkembangan individu (fisik, sosial, emosi, dan intelektual), hubungan dengan lawan jenis, penjelasan mengenai perilaku seksual, kemampuan diri dalam mengatasi masalah seputar seksualitas, kesehatan seksual dari segi fisik, psikologis, sosial, dan budaya.


(65)

48

iii. Implementasi kurikulum

a. Mendapatkan dukungan dan persetujuan dari Dewan Komite

Sekolah.

b. Pengajar pendidikan seksualitas hanya guru Bimbingan

Konseling, namun guru Biologi dan guru Agama juga memberikan informasi yang berkaitan dengan seksualitas sesuai dengan topik yang ada di buku pelajaran Biologi dan Agama.

c. Tidak melibatkan remaja dari luar sekolah untuk mengikuti

pendidikan seksualitas di sekolah. Pendidikan seksualitas hanya ditujukan untuk siswi di sekolah tersebut.

d. Memberikan pendidikan seksualitas pada siswi dengan alasan

yang tepat yaitu berguna dalam proses pengembangan dirinya terutama yang berkaitan dengan kehidupan seksualitas.

b. Sekolah yang Tidak Memiliki Kurikulum Pendidikan Seksualitas

Berdasarkan wawancara dengan guru Bimbingan Konseling sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas pada tanggal 21 Mei 2012, pendidikan seksualitas diberikan melalui mata pelajaran Biologi dan Agama kelas X oleh guru pengampu masing-masing sesuai dengan materi di buku pelajaran dan biasanya hanya terdiri dari 1 atau 2 topik saja. Materi seksualitas hanya terbatas pada kesehatan reproduksi di mata pelajaran Biologi dan hubungan dengan lawan jenis/ pacaran di mata pelajaran Agama. Pesan moral yang


(66)

disampaikan cenderung berlandaskan ajaran agama yang disampaikan oleh guru mata pelajaran Agama. Guru Bimbingan Konseling tidak berperan penuh dalam proses pengajaran pendidikan seksualitas, hanya terbatas pada ada tidaknya pertanyaan dari siswa. Sekolah tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas karena ada keterbatasan waktu untuk memberikan pendidikan seksualitas berdasarkan kurikulum. Jam pelajaran Bimbingan Konseling lebih banyak dipakai untuk guru PPL dalam memberikan ulangan mata pelajaran yang diampunya. Pendidikan seksualitas yang diberikan cenderung

mengarah ke abstinence yang berlandaskan agama yaitu mengajarkan

siswa untuk menjauhi perilaku seksual hingga saatnya menikah karena sesuai dengan ajaran agama yang melarang melakukan perilaku seksual sebelum terjadinya pernikahan.

Tabel 4

Perbedaan Sekolah yang Memiliki Kurikulum Pendidikan Seksualitas dan

Sekolah yang Tidak Memiliki Kurikulum Pendidikan Seksualitas

Sekolah dengan Kurikulum Pendidikan Seksualitas

Sekolah yang Tidak Ada Kurikulum Pendidikan

Seksualitas

Pendidikan seksualitas diberikan di kelas XI

Pendidikan seksualitas diberikan di kelas X

Materi berurutan berupa

perkembangan individu (fisik,

sosial, emosi, dan intelektual), hubungan dengan lawan jenis, perilaku seksual, kemampuan diri dalam mengatasi masalah seputar

Materi seksualitas terbatas pada

kesehatan reproduksi (mata

pelajaran Biologi), hubungan

dengan lawan jenis/ pacaran (mata pelajaran Agama).


(1)

Ratih : Temen-temen deketmu cewek apa cowok?

Siswi : Kebanyakan cewek sih, Mbak. soalnya kalo cowok pada nakal.

Ratih : Oh gitu ya. Udah selesai ya? Aku ambil ya. Makasih curhatnya.

Siswi : Iya, Mbak. Sukses skripsinya.


(2)

122

LAMPIRAN 8

Surat Keterangan Penelitian dari Sekolah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

(4)

124

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

vi

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk menguji perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Sikap terhadap perilaku seksual terdiri dari 3 komponen yaitu afektif, kognitif, dan konatif. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Subyek penelitian berjumlah 131 yang terdiri dari 66 siswi di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan 65 siswi di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Subyek penelitian merupakan remaja akhir berusia antara 11-19 tahun. Penelitian ini menggunakan skala sikap terhadap perilaku seksual yang disusun oleh peneliti. Berdasarkan uji hipotesis menggunakan Independent sample t-test diperoleh nilai t sebesar -0,799 dengan probabilitas 0,426 (p>0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis tidak terbukti, bahwa tidak terdapat perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Namun, berdasarkan tinjauan tiap komponen sikap, pada komponen kognitif terdapat perbedaan yang signifikan antara remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dengan nilai t sebesar -0,342 dengan probabilitas 0,001 (p<0,05).


(6)

vii

THE DIFFERENCE OF ATTITUDES OF FEMALE ADOLESCENT

TOWARDS SEXUAL BEHAVIOR OBSERVED FROM THE AVAILABILITY

AND NON AVAILABILITY OF SEXUAL EDUCATIONAL CURRICULUM

AT SCHOOL

Ratih Prameswari Rintaningrum

ABSTRACT

The aim of this research is to examine the difference of attitudes towards sexual behavior between female adolescent that have sexual educational curriculum and female adolescent that have no sexual educational curriculum at school. There are 3 component of attitudes toward sexual behavior : Affective, Cognitive and Conative. The hypothesis of this research is that there are differences of attitudes towards sexual behavior between female adolescent that have sexual educational curriculum at school and those that have not. There are 131 persons as subjects of this research that consist of 66 students that have sexual educational curriculum at school and 65 students that have not. The subjects are female adolescent between 11 years to 19 years of ages. This research uses the attitude scale towards sexual behavior that is compiled by the researcher. Based on the hypothesis using the Independent sample t-test, it is found that the t value is -0,799 with 0,426 (p>0,05) of probability. The result shows that the hypothesis is not valid, that there are no differences attitude towards sexual behavior between female adolescent that have sexual educational curriculum at school and those that have not. But, based on each component attitude observation, researcher find that in cognitive component there are significant differences of attitudes towards sexual behavior between female adolescent that have sexual educational curriculum at school and those that have not with the t value of -0,342 and 0,001(p<0,05) of probability.

The key words : attitude, sexual behavior, sexual educational curriculum.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI