Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perilaku seksual di kalangan remaja perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak Listyawati Suprayoga, 2007. Hal ini disebabkan semakin banyaknya kasus perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja di berbagai negara. Pada tahun 2008-2009, Albania Demographic and Health Survey 2010 menemukan sekitar 36 remaja berusia 15-24 tahun telah melakukan hubungan seksual beresiko. Di Afrika Selatan, pada tahun 2003 tercatat 48 remaja berusia 15-18 tahun dan 90 berusia 20-24 tahun telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah Pettifor dkk., 2005. Penelitian yang dilakukan oleh PKBI DIY pada tahun 2006 menyebutkan bahwa terdapat 60 kasus pelajar di bawah usia 16 tahun telah melakukan perilaku seksual sebelum menikah. Begitu pula Indonesia Young Adult Reproductive Health 2008 pada tahun 2007 menemukan sekitar 44 remaja Indonesia berusia 15- 24 tahun, dan penelitian yang dilakukan oleh BKKBN tahun 2008 menunjukkan bahwa 63 remaja di kota besar di Indonesia telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Angka kasus perilaku seksual di kalangan remaja yang tinggi diiringi dengan rendahnya penggunaan alat kontrasepsi di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia Kennedy dkk., 2011; Welling dkk., 2006. 2 Banyaknya kasus perilaku seksual di kalangan remaja menimbulkan dampak dari berbagai segi. Dilihat dari segi fisik, dampak yang ditimbulkan seperti kehamilan yang tidak diinginkan KTD, terjangkit HIVAIDS dan penyakit menular seksual PMS Hargreaves dkk., 2007; Guttmacher, 2006. Di Indonesia, berdasarkan data survei yang dilakukan PKBI Sulawesi Utara pada tahun 2010 menunjukkan bahwa kasus remaja perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan sebanyak 254 orang meningkat menjadi 454 orang pada tahun 2011 ANTARAnews, 27 Maret 2012. Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa angka persalinan usia remaja melonjak dari 50 kasus pada tahun 2010 menjadi 235 kasus pada tahun 2011. Remaja perempuan yang belum mampu bertanggung jawab sebagai orangtua, mereka memilih untuk melakukan aborsi Coleman, 2006. Angka kasus aborsi di Indonesia relatif tinggi sekitar 2,5 juta per tahun Harian Jogja, 18 April 2012. Data yang diperoleh dari Ditjen PP PL Kemenkes RI pada tahun 2011, menunjukkan jumlah penderita HIV sebanyak 21.031 orang dan penderita AIDS sebanyak 4.162 orang. Menurut survei yang dilakukan Indonesia Young Adult Reproduktive Health IYARH menemukan bahwa penyakit menular seksual PMS lebih banyak diderita oleh perempuan sekitar 40 dibanding laki- laki hanya sekitar 3 pada tahun 2007. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku seksual dapat membawa dampak yang negatif dari segi psikologis, seperti kehamilan yang tidak diinginkan KTD cenderung menimbulkan berbagai masalah seperti menjadi pengangguran, menjadi orangtua tunggal, memiliki pendidikan yang 3 rendah, mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang Omar dkk., 2010; Raatikainen dkk., 2006. Remaja perempuan yang memilih untuk menjadi orangtua cenderung keluar dari sekolah, kurang memiliki kesempatan untuk bekerja, berada pada level sosioekonomik yang rendah, menjadi orangtua tunggal, dan kurang memiliki pilihan untuk mengubah kehidupannya dari kemiskinan Omar dkk., 2010; Pallito Murillo, 2008. Aborsi yang dilakukan remaja perempuan cenderung memiliki hubungan dengan gangguan mental seperti post traumatis stress, dan kecemasan sosial Ross dkk., 2006. Penyakit menular seksual PMS yang diderita oleh remaja perempuan juga cenderung berhubungan dengan depresi, kecemasan, dan stres Ethier dkk., 2006. Depresi lebih rentan diderita oleh perempuan dibanding laki-laki dan episode depresi lebih banyak pada masa remaja dan dewasa Essau dkk., 2010. Perilaku seksual remaja disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal seperti perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja yaitu semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk organ reproduksi dan seksualnya menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang masalah seksualitas Buhi Goodson, 2007; Santrock, 2007. Selain itu, remaja yang memiliki harga diri yang rendah dan depresi cenderung melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang beresiko Ethier dkk., 2006; Lee dkk., 2009; Shrier dkk., 2012. Remaja yang memiliki sikap positif terhadap perilaku seksual sebelum menikah cenderung melakukan hubungan seksual Buhi Goodson, 2007; IYARH, 2008. Faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seksual remaja yaitu penggunaan obat-obatan 4 terlarang, alkohol, dan rokok cenderung menyebabkan remaja melakukan hubungan seksual Boislard Poulin, 2011; Madkour dkk., 2010; Shrier dkk., 2012. Selain itu, konflik orangtua-anak dan kurangnya pengawasan orangtua menyebabkan remaja memiliki kesempatan untuk melakukan hubungan seksual dengan teman lawan jenis Boislard Poulin, 2011. Ditambah lagi, mudahnya remaja mengakses informasi mengenai seksualitas dari berbagai media seperti internet, video porno, dan majalah cenderung meningkatkan keinginan remaja untuk berhubungan seksual L’Engle, 2006; Lou dkk., 2012. Remaja yang memiliki teman yang pernah melakukan hubungan seksual cenderung memiliki minat untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya Buhi Goodson, 2007. Ada berbagai faktor yang dapat mencegah dan mengurangi perilaku seksual di kalangan remaja khususnya remaja perempuan. Di lingkungan keluarga, beberapa faktor tersebut seperti komunikasi yang baik antara orangtua dan anak mengenai seksualitas Buhi Goodson, 2007; Jerman Constantine, 2010; Madkour dkk., 2010, harapan orangtua yang besar dalam pendidikan anaknya, dan pesan moral orangtua pada anak perempuannya untuk menghindari perilaku seksual Gilliam dkk., 2007. Secara personal, remaja perempuan yang bertahan untuk tidak terpengaruh dengan ajakan pasangan dan teman serta memiliki kontrol diri untuk tidak melakukan perilaku seksual dengan pasangan cenderung memiliki hubungan positif dengan penundaan dalam melakukan berbagai perilaku seksual Gilliam dkk., 2007. 5 Remaja perempuan yang bersikap negatif terhadap perilaku seksual cenderung memiliki efek positif dalam menghindari perilaku seksual Kirby dkk., 2007. Sikap remaja terhadap perilaku seksual dapat dipengaruhi oleh budaya di tempat tinggal individu Kirby dkk, 2007. Budaya barat yang individulistik dan budaya timur yang kolektivistik dapat mempengaruhi sikap remaja terhadap perilaku seksual sebelum menikah. Menurut penelitian Kuota dan Tolma 2008, keluarga yang tinggal di budaya kolektivistik menganggap bahwa perilaku seksual sebelum menikah adalah hal yang tabu dan memalukan. Hal tersebut memunculkan adanya perbedaan perlakuan antara remaja perempuan dan remaja laki-laki. Remaja perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akan diasingkan ke suatu tempat yang tidak diketahui oleh orang lain untuk menjaga nama baik keluarga. Remaja perempuan cenderung memiliki sikap negatif terhadap perilaku seksual. Sebaliknya, remaja laki-laki cenderung memiliki sikap permisif terhadap perilaku seksual. Sikap merupakan salah satu mediator pendidikan seksualitas dalam mempengaruhi perilaku seksual remaja. Tanpa faktor mediator, pendidikan seksualitas tidak dapat secara spesifik menjelaskan bagaimana dan mengapa program tersebut dapat mempengaruhi perilaku. Pendidikan seksualitas di sekolah juga memiliki efek yang positif pada perilaku seksual remaja perempuan, yaitu bagi remaja perempuan yang masih virgin berguna untuk mendorong penundaan hubungan seksual dan bagi remaja perempuan yang aktif secara seksual berguna untuk mendorong pemakaian alat kontrasepsi dan metode pengontrolan kelahiran untuk mencegah resiko seperti kehamilan yang 6 tidak diinginkan KTD, PMS, dan HIVAIDS Chin., 2012; Kirby dkk., 2007; Kohler dkk., 2008; Linberg Zimet, 2012; Mueller dkk., 2008; Rijsdijk dkk., 2011. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Linberg dan Zimet 2012 menemukan bahwa pendidikan seksualitas memiliki hubungan dengan penundaan hubungan seksual pertama untuk laki-laki maupun perempuan. Selain itu, pendidikan seksualitas berguna bagi sekelompok remaja yang melakukan hubungan seksual agar terhindar dari penyakit menular seksual PMS, HIVAIDS, dan kehamilan yang tidak diinginkan dengan menggunakan alat kontrasepsi dan pengontrol kelahiran Mueller dkk., 2008. Pendidikan seksualitas di sekolah dibedakan menjadi dua, yaitu pendidikan seksualitas abstinence dan pendidikan seksualitas komprehensif. Pendidikan seksualitas abstinence bertujuan untuk mengurangi resiko yang dapat ditimbulkan dari perilaku seksual dengan cara menunda perilaku seksual hingga menikah Chin dkk., 2012; Kohler dkk., 2008. Pendidikan seksualitas komprehensif bertujuan untuk mengurang resiko yang ditimbulkan dari perilaku seksual dengan cara mencegah terjadinya perilaku seksual ataupun mengurangi resiko yang ditimbulkan dari perilaku seksual seperti kehamilan yang tidak diinginkan KTD, HIVAIDS, dan penyakit menular seksual PMS dengan menggunakan alat kontrasepsi dan metode pengontrolan kelahiran Chin dkk., 2012;Gelperin dkk., 2004; Kabiru Orpinas, 2009; Kohler dkk., 2008. Pendidikan seksualitas abstinence dan pendidikan seksualitas komprehensif dapat diberikan pada siswa melalui dua cara, yaitu melalui 7 materi yang disusun dalam kurikulum tertentu yang dirancang oleh pihak sekolah dan melalui materi yang diberikan berdasarkan kurikulum nasional. Di Indonesia, ada sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan ada sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas secara khusus. Pada sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas, semua materi seputar seksualitas dan kesehatan reproduksi, serta pesan moral diberikan secara terstruktur oleh guru Bimbingan Konseling selama 1 tahun ajaran. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru Bimbingan Konseling pada sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas secara khusus, materi seputar seksualitas, kesehatan reproduksi, serta pesan moral diberikan secara acak melalui pelajaran Agama dan Biologi sesuai dengan materi pada buku pelajaran yang dipakai. Pendidikan seksualitas diberikan berdasarkan kurikulum nasional. Dengan tidak adanya kurikulum khusus untuk materi pendidikan seksualitas, maka tidak terdapat standar yang sama dalam pemberian materi pendidikan seksualitas. Pendidikan seksualitas yang diberikan sangat bergantung pada kecocokan materi pendidikan seksualitas dengan materi utama pada pelajaran Agama dan Biologi, nilai personal yang dimiliki oleh masing-masing guru pengampu mata pelajaran, dan ketersediaan waktu dalam silabus mata pelajaran tersebut. Menurut Kirby dkk 2007, adanya kurikulum pendidikan seksualitas mempengaruhi keefektifan pemberian materi seksualitas. Kurikulum meliputi proses pengembangan kurikulum, isi kurikulum, dan implementasi dari kurikulum tersebut. Isi kurikulum terdiri terdiri dari aktivitas dalam proses pengajaran, tujuan pemberian materi, dan cara pengajaran yang dipakai oleh 8 guru. Kurikulum pendidikan seksualitas yang efektif dapat meningkatkan pengetahuan mengenai resiko dari perilaku seksual seperti HIVAIDS, PMS, dan kehamilan termasuk metode pencegahannya, meningkatkan penerimaan terhadap resiko tersebut, mampu mengubah sikap seseorang, mempengaruhi self efficacy untuk menolak perilaku seksual yang tidak diinginkan, meningkatkan self efficacy untuk menggunakan kondom, meningkatkan motivasi untuk menjauhi perilaku seksual, dan meningkatkan komunikasi dengan orangtua tentang masalah seksualitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Horng Lou dan Hwang Cheng 2009 terlihat bahwa remaja perempuan yang memiliki pengetahuan yang baik dan jelas mengenai seksualitas cenderung bersikap negatif atau tidak mendukung terhadap perilaku seksual. Remaja perempuan yang memiliki sikap negatif terhadap perilaku seksual cenderung melakukan penundaan hubungan seksual Buhi Goodson, 2007; Kirby dkk., 2007. Di Indonesia, pernah dilakukan penelitian tentang pengaruh pendidikan seksualitas terhadap sikap remaja pada perilaku seksual pranikah Yuniarti, 2007. Subyek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 14 - 17 tahun di salah satu SMK. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan. Sebelum dan sesudah diberikan pendidikan seksualitas, sikap terhadap perilaku seksual pranikah hanya sedikit mengalami perubahan. Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan pendidikan seksualitas yang diberikan peneliti tidak memiliki pengaruh pada sikap terhadap perilaku seksual pranikah remaja antara lain penyampaian materi dalam pendidikan seksualitas diberikan oleh peneliti yang masih berstatus 9 mahasiswa dan tidak memiliki kemampuan dalam mengajar khususnya masalah seputar seksualitas. Selain itu, metode pendidikan seksualitas yang diberikan hanya presentasi dan diskusi antara peneliti dan siswa. Penelitian tersebut tidak sesuai dengan penelitian review yang dilakukan oleh Kirby dkk 2007 bahwa pendidikan seksualitas yang efektif diberikan berdasarkan kurikulum tertentu di sekolah sehingga pendidikan seksualitas yang diberikan di penelitian tersebut tidak memiliki pengaruh pada sikap. Selain itu, pendidikan seksualitas seharusnya diberikan oleh pengajar yang memiliki karakteristik tertentu seperti tertarik mengajar tentang seksualitas, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan siswa, dan memiliki kemampuan mengajar yang baik sesuai dengan materi. Pengajar yang kurang memahami materi sebaiknya dilatih terlebih dahulu sebelum memberikan pendidikan seksualitas pada remaja UNESCO, 2009. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah ada perbedaan sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual ditinjau dari ada tidaknya kurikulum pendidikan seksualitas di sekolah. Hal ini dilatarbelakangi oleh review Kirby dkk 2007 yang mengungkapkan bahwa adanya kurikulum pendidikan seksualitas mempengaruhi keefektifan pemberian materi seksualitas sehingga mampu mengubah sikap seseorang. Peneliti memilih subyek remaja perempuan karena dampak perilaku seksual yang dirasakan oleh remaja perempuan lebih banyak dibanding remaja laki-laki. Sikap yang dimiliki remaja perempuan sebagai salah satu faktor protektif dari perilaku seksual agar terhindar dari dampak perilaku seksual di kalangan remaja. 10

B. Rumusan Masalah