Definisi dan instrumentasi Kromatografi Gas

Gambar 3. Skematik prosedur SPE

F. Kromatografi Gas

1. Definisi dan instrumentasi

Kromatografi merupakan metode pemisahan dan identifikasi senyawa dari suatu campuran atas dasar perbedaan distribusi komponen diantara dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Dimana kedua fase ini memiliki kepolaran yang berbeda Hendayana, 2006. Kromatografi gas adalah teknik pemisahan yang mana solut-solut yang mudah menguap dan stabil dengan pemanasan bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio distribusinya Gandjar dan Rohman, 2007. Menurut Hendayana 2006, kromatografi gas diaplikasikan untuk pemisahan suatu senyawa kimia yang mudah menguap tanpa terdekomposisinya fase diam stationery phase dan fase gerak carrier gas gas pembawa yang memalui fase diam. Analisis menggunakan kromatografi gas merupaksan salah satu teknik analisis baik secara kualitatif maupun kuantitatif campuran senyawa organik maupun anorganik dalam suatu campuran baik berupa pasta, cair maupun gas. Komponen utama dari instrumentasi kromatografi gas yakni kolom dan penyedia gas pembawa, ruang suntik sampel, kolom yang diletakan dalam oven yang dikontrol secara termostatik, sistem deteksi dan pencatat detektor dan recorder , dan komputer yang dilengkapi dengan perangkat pengolah data. Komponen utama tersebut dapat dilihat melalui diagram sebagai berikut: Gambar 4. Diagram sistem kromatografi gas a. Gas pembawa. Gas pembawa pada kromatografi gas juga disebut fase gerak karena berfungsi untuk membawa solut ke kolom, tanpa mempengaruhi selektifitas. Syarat gas pembawa adalah tidak reaktif, murni, dan dapat disimpan dalam tangki tekanan tinggi Gandjar dan Rohman, 2007. Hidrogen, helium, nitrogen, dan argon adalah gas yang paling sering dipakai sebagai gas pembawa. Karena gas disimpan pada silinder bertekanan tinggi maka gas tersebut akan mengalir secara cepat sambil membawa komponen-komponen campuran yang akan atau sudah dipisahkan. Oleh karena gas pembawa mengalir dengan cepat maka pemisaha dengan teknik kromatografi gas hanya memerlukan waktu yang relatif cepat Hendayana, 2006 b. Ruang suntik sampel. Ruang suntik atau inlet berfungsi untuk mengantarkan sampel ke dalam aliran gas pembawa. Sampel yang akan dikromatografi dimasukan kedalam ruang suntikkan melalui lubang yang ditutup dengan septum atau pemisah karet. Ruang suntik harus dipanaskan tersendiri dan biasanya 10°-15°C lebih tinggi daripada suhu kolom supaya seluruh sampel segera menguap setelah disuntikan Gandjar dan Rohman, 2007. c. Kolom. Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena didalamnya terdapat fase diam Hendayana, 2006. Menurut Gritter 1991, ada dua jenis kolom dalam kromatografi gas yaitu kolom kemasan packing column dan kolom kapiler capillary column. Kolom kemasan terdiri atas fase cair yang tersebar pada permukaan penyangga inert yang terdapat pada tabung yang diameternya besar diameter dalam 1-3 mm. Berikut ini merupakan tabel perbandingan kolom kemasan dan kolom kapiler Tabel II. Perdedaan kolom kemasan dan kolom kapiler Parameter Kolom kemasan Kolom kapiler Tabung Baja tahan karat Silika dengan kemurnian yang sangat tinggi kandungan logam 1ppm Panjang 1-5 m 5-60 m Diameter dalam 2-4 mm 0,10-0,53 mm Jumlah lempengmeter 1000 5000 Total lempeng 5000 300.000 Tebal lapisan film 10 mikron 0,05-1 mikron Resolusi Rendah Tingggi Kec.alir mLmenit 10-60 0,5-1,5 Kapasitas 10 μgpuncak 100 ngpuncak Pipa kolom dapat terbuat dari tembaga, baja nikarat, aluminium, dan kaca yang berbentuk lurus, lengkung atau melingkar Mc Nair, 1988. Panjang kolom yang dikemas cukup beragam, dapat beberapa cm sampai 15 meter. Panjang kolom analit biasanya 1-3 meter. Kolom yang lebih panjang menghasilkan jumlah pelat teori dan daya pisah yang lebih besar. Kecepatan gas pembawa berubah selama bergerak melalui kolom, jadi hanya pada bagian kolom yang lebih pendek saja bekerja pada laju alir yang optimum. Ini berarti dengan menggunakan kolom yang sangat panjang, jumlah pelat dan daya pisah menurun kembali. Di samping itu kolom yang panjang membutuhkan tekanan pemasukkan yang sangat tinggi. Tekanan yang tinggi menimbulkan masalah pada cara penyuntikkan dan pencegahan kebocoran gas. Tetapi, keuntungan kolom yang panjang ialah kapasitas cuplikan sebanding dengan banyaknya fase cair dalam kolom. Ini berarti kita dapat menyuntikkan lebih banyak cuplikan ke dalam kolom panjang Mc Nair, 1988. d. Fase diam. Pemilihan fase diam yang tepat merupakan parameter terpenting dalam kromatografi gas. Ciri utama yang diperlukan fase diam ialah bahwa fase itu dapat melarutkan senyawa yang dipisahkan sampai pada taraf tertentu Mc Nair, 1988. e. Suhu. Suhu meliputi tiga hal yaitu suhu gerbang suntikan, suhu kolom, dan suhu detektor. Suhu gerbang suntikan harus cukup panas untuk menguapkan cuplikan dalam waktu yang cepat sehingga tidak menghilangkan analit yang disebabkan oleh cara penyuntikkan yang salah. Suhu kolom harus cukup tinggi sehingga analisis dapat diselesaikan dalam waktu yang layak, dan harus cukup rendah sehingga pemisahan yang dikehendaki tercapai. Untuk kebanyakan cuplikan, semakin rendah kolom, semakin tinggi nisbah koefisien partisi dalam fase diam sehingga hasil pemisahan semakin baik. Pada beberapa kasus kita tidak dapat menggunakan suhu kolom yang cukup rendah, terutama bila cuplikan terdiri atas senyawa yang rentang titik didihnya lebar. Suhu pada detektor bergantung pada jenis detektor yang digunakan, tetapi sebagai dasar dapat dikatakan bahwa detektor dan sambungan antar kolom dan detektor harus cukup panas sehingga cuplikan dan fase diam tidak mengembun. Pelebaran puncak dan menghilangnya puncak komponen merupakan ciri khas terjadinya pengembungan Gandjar dan Rohman, 2007. f. Detektor. Detektor merupakan perangkat yang diletakkan pada ujung kolom tempat keluarnya fase gerak gas pembawa yang membawa komponen hasil pemisahhan. Detektor pada kromatografi adalah suatu sensor elektronik yang berfungsi mengubah sinyal gas pembawa dan komponen-komponen di dalamnya menjadi sinyal elektronik Gandjar dan Rohman, 2007. Menurut Gandjar dan Rohman 2007, detektor pada kromatografi gas termasuk detektor diferensial, yang berarti respon yang keluar dari detektor memberikan relasi yang linear dengan kadar atau laju aliran massa komponen yang teresolusi. Kromatogram yang merupakan hasil pemisahan fisik kompoen-komponen oleh kromatografi gas disajikan oleh detektor sebagai deretan luas puncak terhadap waktu. Waktu tambat tertentu dalam kromatogram dapat digunakan sebagai data kualitatif, sedangkan luas puncak digunakan sebagai data kuantitatif yang keduanya telah dikonfirmasikan dengan senyawa baku. Salah satu detektor yang digunakan pada kromatografi gas adalah detektor penangkap elektron Electron Capture Detector, ECD. Detektor ini dilengkapi dengan sumber radio aktif yaitu tritium 3 Hi atau 63 Ni yang ditempatkan pada elektroda. Tegangan listrik yang dipasang antara katoda dan anoda tidak terlalu tinggi, antara 2-100 volt Gandjar dan Rohman, 2007. Dasar kerja dari detektor ini adalah penangkap elektron oleh senyawa yang mempunyai afinitas terhadap elektron bebas, yaitu senyawa yang mempunyai unsur elektronegatif. Bila fase gerak gas pembawa N 2 masuk ke dalam detektor maka sinyal β akan mengionisasi molekul N 2 menjadi ion-ion N 2 - dan menghasilkan elektron bebas yang akan bergerak ke anoda dengan lambat. Dengan demikian, di dalam detektor terdapat semacam awan ektron bebas yang dengan lambat menuju anoda. Elektron-elektron yang terkumpul pada anoda akan menghasilkan arus garis dasar baseline current yang steady dan memberikan garis dasar pada kromatogram. Bila kompoen sampel senyawa dengan unsur elektronegatif dibawa fase gerak masuk ke dalam ruang detektor yang dipenuhi awan elektron, maka senyawa ini akan menangkap elektron sehingga membentuk ion molekul negatif. Ion molekul ini akan dibawa fase gerak, akibatnya setiap partikel negatif dibawa keluar dari detektor berarti menyingkirkan satu elektron dari sistem, sehingga arus listrik yang steady tadi akan berkurang. Pengurangan arus ini akan dicatat oleh rekorder sebagai puncak pada kromatogram Gandjar dan Rohman, 2007.

2. Validasi metode analisis