Deskripsi Penerimaan Diri HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
72
tenang dan nerimo … “ 1. no. 237 – 241 . “ya sedih
itu cuma di awal lama – lama ya ilang gitu aja,
mungkin karena udah terbiasa juga ya… 1. no. 295 – 298 . “ya saya nggak mau jadikan sakit ini sebagai
beban .. “ 1. no. 400 – 401 . “lha iya kan jadi
dibawa enteng pikirannya .. “ 1. no. 472 – 473 .
Dalam upayanya menerima diri, dukungan sosial emosional yang diperolehnya dari pasangan dan orangtua mempengaruhi emotion
focused coping subjek K. Dukungan sosial yang diterima subjek membuat ia semakin berusaha untuk tenang menghadapi sakitnya dan
kondisi yang dialaminya sehingga menerima diri, tidak menjadikan sakit sebagai beban karena dengan nasehat yang kelurga berikan
membuat subjek merasa pasangan dan orangtua memahami dan peduli atas kondisi yang ia alami.
“…mereka akhirnya ngerti yang saya alami dan rasakan
” 1. no. 91 – 93 . “…mereka trus kasih saran - saran buat nggak maksain kemampuan
mata.ya menasehati lah biar nggak semakin memburuk keadaannya
..“ 1. no. 206 – 212 . “ya lumayan senang karena mereka yo peduli buktinya
memberi nasehat juga ” 1. no. 224 – 226 . “ya
ngingetin udah pakai obat belum, ngingetin juga jangan lupa berdoa biar dikasih kekuatan untuk
hadapi sakit ..” 1. no. 233 – 236 . “..Cuma
menasehati dan buat saya tenang menghadapi apapun risiko yang akan saya alami
..” 1. no. 243 – 246 .
Dalam prosesnya, subjek K dapat dikatakan mampu menerima diri karena subjek mampu mengelola mengatur emosi yang
dirasakannya. Seperti merelaksasikan perasaan sedih dengan menenangkan pikiran.
73
“ .. masa sedih terus,. mungkin ya sudah biasa juga dijalani lah. jadi ya udah gak sedih lagi, karena udah
nenangke pikiran sama perasaan sendiri aja .” 1. no,
302 – 307 . “ … ya dibawa sabar, pikirannya di bawa
enteng. ” 1. no. 414 – 415 . “..nenangin pikiran ben
nggak dongkol “. 1. no. 441 – 442 . “..ya cuma
dongkol. trus tak pake istirahat, trus kan dadi tenang
..” 1. no. 564 – 566 .
Meskipun subjek mengalami glaukoma , ia tetap mampu berperilaku sosial secara baik sebagai wujud dari penerimaan atas diri. Seperti
mengikuti kegiatan sosial di lingkungannya.
“nek hubungan sosial ya masih berjalan baik , tapi yo kadang nek ada kumpulan di kampung trus sakit
matanya lagi kambuh ya nggak datang. tapi ya nggak dirasani juga wong tau kalau memang bener
– bener sakit. jadi karena mereka juga nggak masalah ya aku
jadi nggak masalah juga waktu nggak datang kerena memang bener-
bener sakit.” 1. no. 369 – 376 . “Ya misale ada arisan bapak-bapak gitu ya saya ikut
– ikut aja arisan cuma kayak gitu. trus juga itu ikut ronda
juga,yang misal jadwalnya tiga kali seminggu misalnya kalau gek kambuh seminggu sekali, tapi
dengan pamit ijin .. “ 1. no. 385 – 393
Subjek K memiliki perspektif atas dirinya meskipun subjek mengalami penyakit yang tidak bisa disembuhkan dan harus
ditanggungnya seumur hidup. Subjek masih merasa dirinya mampu, tidak merasa minder dan merasa bahwa dirinya masih bermanfaat bagi
orang lain.
“iya mbak merasa masih mampu aja dengan fisik nggak maksimal tapi kerjaane masih oke
..” 1. no. 342
– 345 . “Ya senang bisa merasa masih bermanfaat bagi diri sendiri.
“. 1. no. 355 – 356 . “ .. terima keadaan tanpa harus ngeluh
– ngeluh sama
situasi yang dihadapi.. biasaan gitu “. 1. no. 489 –
74
492 . “..dengan sakit kayak gini juga saya tetap biasanan sama orang, ya saya ya nggak minder sama
mereka yang sehatsama kayak dulu sebelum sakit.nggak malu juga sama orang. trus juga pekerja
keras, tapi nggak gila kerja. sadar akan kemampuan aja.” 1. no. 501 – 510 . “…walau sakit glaukoma
gini tapi kan saya masih punya kemampuan ya mbak diberi sama Tuhan kemampuan kayak gini edit-edit
gambar bisa, jadi tetap punya kelebihan dan kekurangan dalam diri saya mbak,
”. 1. no. 528 – 536 . “hmm..kelebihan ya kayak yang tadi itu mbak
bertanggungjawab dan lain – lain itu.kalau kelemahan
paling apa ya mudah dongkol itu aja sih mbak emosian.” 1. no. 542 – 547 . “..tapi saya nggak
merasa dibatasi, masalahnya kan saya masih bisa melihat dua - duanya
.” 1. no. 586 – 589 .
Hal ini terbentuk karena dipengaruhi oleh konsep diri yang stabil pada diri subjek K dari sebelum mengalami sakit hingga sampai saat ini.
Dimana subjek tidak mengeluhkan kondisinya, tidak merasa malu dan minder dengan kondisi yang dialaminya sehingga tetap bisa menerima
dirinya.
“simpel, nggak neko – neko, ya apa adanya, nggak jadi orang lain. terima keadaan tanpa harus ngeluh
–
ngeluh sama situasi yang dihadapi.. biasaan gitu.
“ 1. no. 487
– 492 . “ .. dengan sakit kayak gini juga saya tetap biasanan sama orang, ya saya ya nggak
minder sama mereka yang sehat sama kayak dulu sebelum sakit.nggak malu juga sama orang
.. “ 1. no. 501
– 508 .
Selain itu, pola asuh demokratis yang dialami subjek dimasa kecil juga mempengaruhi penerimaan diri subjek K di masa sekarang,
karena dengan pola asuh demokratis di masa kecilnya, subjek mampu menjadi pribadi yang mandiri dan percaya diri.
75
“ … ya belajar mandiri sejak kecil, tapi ya bukan berarti dibiarin lepas gitu sama orang tua. ya tetap di
awasi.jadi kebawa mandiri sampai sekarang…” 1. no. 602
– 607 .
Meski subjek K sedang mengalami sakit, namun karena mampu menerima diri dan kondisinya, subjek tetap memiliki harapan realistis
atas hidupnya.
“ ya harapannya ya mata saya masih bisa digunakan sampai akhir hayat gitu aja, sudah cukup seperti ini
saja, semoga
nggak semakin
berkurang kemampuannya untuk melihat.
” 1. no. 634 – 640 .
Subjek merasa lingkungan sekitarnya juga memberikan dukungan sosial emosional karena peduli dengan harapan yang dimilikinya .
“ … mereka nasehati saya gitu to bisa keliatan to mbak kepedulian mereka dengan apa yang saya
inginkan kedepannya.. ” 1. no. 657 – 661 . “mereka
kasih semangat kalau misal juga biar nggak makin parah mereka nyuruh saya rutin pakai obat
“ 1. no. 664
– 668 .
Dengan kemampuan subjek K menerima diri, hal ini berdampak pada penyesuaian terhadap dirinya , dimana subjek mampu mengevaluasi
diri dengan baik dan menggunakan potensi dalam dirinya.
“iya mbak merasa masih mampu aja dengan fisik nggak maksimal tapi kerjaane masih oke
..” 1. no. 342
– 345 . “..dadi yo memaksimalkan kemampuan yang dimiliki wae
..” 1. no. 526 – 528 . “..tapi saya nggak merasa dibatasi, masalahnya kan saya masih
bisa melihat dua – duanya.”1. no. 586 – 589
Bukan hanya penyesuaian terhadap diri, dengan kemampuan menerima diri inilah subjek mampu melakukan penyesuaian secara
76
sosial, dimana subjek merasa aman untuk memberikan perhatian dan empati pada lingkungan sekitarnya.
“ … nggak mau orang – orang ikut rekoso yang tak rasain mbak., jadi ya berusaha ditanggung sendiri gini
aja..nggak suka ngerepotin orang lain “ 1. no. 110 –
115 . “..istriku kan dia juga punya kesibukan juga, eman
– eman nek harus ditinggal cuma buat nemenin saya ke dokter tok..apa lagi kalau periksa kan lama yo
mbak kasihan nunggu lama banget “ . no. 132 – 138 . “..ya berusaha mandiri, kalau dengan mandiri gitu
kan jadi nggak menyusahkan orang lain “ 1. no. 453
– 456 .
Berdasarkan deskripsi diatas dapat disimpulkan bahwa subjek K mengalami dampak fisik dan psikososial akibat glaukoma. Subjek
melakukan problem focused coping terkait dengan perihal pengobatan ke dokter dan mencari informasi seputar glaukoma secara mandiri.
Subjek melakukan emotion focused coping untuk mengurangi dampak psikososial yang dialami dan sebagai upaya penerimaan atas diri.
Emotion focused coping yang subjek lakukan dipengaruhi oleh dukungan sosial emosional. Hal inilah yang membuat subjek K
menjadi lebih tenang, semangat, tidak menjadikan sakit sebagai beban, tidak minder, merasa diri mampu, sehingga seiring berjalannya
waktu mampu menerima diri dan kondisi yang dialaminya. Selain itu, Subjek juga memperoleh dukungan sosial emosional terkait
dengan harapan yang dimiliki subjek , memiliki konsep diri yang stabil dan pola asuh demokratis di masa kecil. Faktor
– faktor ini mempengaruhi penerimaan diri yang dimiliki subjek K. Kemampuan
77
penerimaan diri subjek dapat tampak dari adanya perspektif akan diri, evaluasi diri, pengakuan atas kelemahan dan kelebihan dalam diri,
mengembangkan potensi, perilaku sosial yang baik, mengatur emosi yang dirasakan, serta memiliki harapan yang realistis. Penerimaan
atas diri pada subjek K juga berdampak pada penyesuaian terhadap diri dan secara sosial yang telah mampu dilakukan subjek.
2. Subjek 2 TR
Subjek TR mengalami glaukoma selama dua tahun terakhir. Awal mulanya subjek mengalami gejala mual dan memeriksakannnya
ke dokter, tetapi subjek dinyatakan sehat. Kemudian subjek memeriksakan kondisi matanya atas saran seorang teman. Subjek TR
memeriksakan kondisi matanya ke dokter spesialis glaukoma dan menggunakan obat tetes mata sebagai bentuk problem focused coping
yang dilakukannya.
“ … lalu saya cek ke dokter . ternyata saya kena glaukoma
.. “ 2. no. 18 – 20 . “saya dapat tetes mata itu mbak dipakai trus setiap hari
.. “ 2. no. 32 – 34 .
Dengan penggunaan obat setiap hari, subjek merasakan capek. “
… capek ya mbak pakai tetes mata trus ..” 2. no. 34
– 36 .
Dari sakit yang dialaminya, subjek mengalami dampak secara fisik seperti lapang pandang terbatas dan mata mudah capek.
78
“..ceritanya kan beberapa tahun lalu saya sering pusing dan mual,..” 2. no. 9 – 11 . “Keterbatasan
fungsi mata, nggak optimal, bisa bikin buta juga.
“ 2. no. 65
– 67 . “…ya karena saya sering tiba – tiba gampang capek…” 2. no. 200 – 201 .
Dengan adanya dampak fisik yang dialaminya, subjek juga mengalami dampak psikososial. Subjek mengalami perasaan kaget, takut
mengalami kebutaan dan sedih waktu mengetahui bahwa dirinya mengalami glaukoma. Setelah didiagnosa mengalami glaukoma,
subjek memiliki penilaian negatif seperti merasa diri cacat dan terbatas.
“…saya shock, kaget gitu., saya juga takut buta karena saya merasa saya udah ciri gitu. kaya ada yang
cacat dalam diri saya, ..” 2. no.51 – 56 .
Subjek juga merasa malu dengan penampilan yang berkacamata sejak mengalami glaukoma.
“..tapi kalau boleh jujur ya saya lebih milih nggak sakit, saya nggak suka pakai kacamata
..” 2. no. 190
– 194 .
Selain itu, subjek TR juga mengalami perubahan pola kerja dan aktivitas karena subjek merasa diri lemah.
“..saya juga jadi merasa jadi orang yang lemah gitu mbak, apa
– apa banyak bergantung dengan oranglain
..”. 2. no. 195 – 199 . “..sekarang nggak
bisa menghadap komputer cukup lama. labelisasi saya nggak bisa cepat lag
i ..” 2. no. 276 – 280 . “. kalau boleh jujur ya saya lebih puas sebelum sakit ya
mbak, soalnya kalau sekarang apa – apa terbatas. 2.
no. 472 – 476 .
79
Subjek TR melakukan emotion focused coping untuk mengurangi dampak psikososial yang dialami dan sebagai upaya dalam menerima
diri. Terkait dengan religiusitas seperti melihat sakit sebagai ujian dari Tuhan karena dengan begitu kesedihan subjek menjadi berkurang.
“ gimana ya mbak saya sebagai orang beragama ya saya lihat sakit ini sebagai ujian
.. “ 2. no. 178 – 181 . “…..tapi kalau ingat ini ujian sudah kurang
sedihnya , “ 2. no. 217 – 219 . “…..tapi kalau ingat
ini ujian sudah kurang sedihnya “ 2. no. 272 – 275 .
Subjek TR juga melakukan emotion focused coping yang terkait dengan pemikiran seperti tidak putus asa, menyemangati diri, dan
semangat menerima keadaan sehingga ketakutannya berkurang dan merasa ikhlas menerima keadaan dalam dirinya.
“ .. semangat menerima kondisi, semangat untuk terus maju kalau masalah takut buta itu ya itu tadi mbak
kalau saya ingat ini sebagai ujian ya sedikit berkurang lah rasa takutnya, ikhlas nerimanya.
“ 2. no. 333 – 342 . “..jadi saya juga nggak mau putus asa lah mbak
saya jalani saja wong memang sudah jalannya seperti itu, diterima mbak
“ 2. no. 385 – 390 .
Subjek juga memperoleh tiga dukungan sosial, yaitu dukungan sosial informasi, emosional, dan instrumental. Akan tetapi yang lebih
berpengaruh pada emotion focused coping yang subjek TR lakukan adalah dukungan sosial emosional yang diperolehnya dari pasangan,
orangtua, dan saudara. Saran dan kepedulian dari keluarga membantu subjek menerima keadaan karena subjek merasa orangtua dan
keluarga memahami kondisi yang dialaminya.
80
“kalau teman – teman rata – rata kasihan ya, jadi mereka menyarakan jangan capek
– capek nyambut
gawe ya sak tekane.
” 2. no. 76 – 81 .”.. disupport
suruh sabar menghadapi sakitnya ya saya jadi sabar.
” 2. no. 89
– 91 . “ya mereka ngertiin keadaan saya mbak, ngertiin apa yang saya rasakan bagaimana
perasaan saya ..” 2. no. 117 – 212 . “ .. ya bantu
juga agar saya bisa nerima diri kalau saya ya memang sakit
“ 2 .no. 131 – 134 . “keluarga support terus jadi bantu saya juga untuk terima kondisi.
“ 2. no. 294
– 297 . “Ya diomongi yang sabar ya ngadepi
sakit, siapa tahu ada jalannya nanti bisa sembuh juga
,..” 2. no. 301 – 304 . “..ingatkan saya untuk bisa atur diri sendiri
” 2.no. 328 – 330 .
Di sisi lain subjek juga memperoleh dukungan sosial informasi dari temannya meski kurang berkontribusi pada upaya penerimaan diri
subjek
“ .. . lalu teman saya menyarankan untuk cek mata,. “ 2. no. 15
– 17 . “mereka ada yang menyarankan juga untuk nggak hanya ke dokter tapi juga ke
alternatif. ” 2. no. 669 – 672 .
Serta dukungan sosial instrumental dalam pekerjaan subjek SR di rumah maupun di tempat kerjanya di perpustakaan.
“support terutama suami, jadi kita berbagi tugas misal saya nyuci baju, suami yang jemur
“ 2. no. 84 – 88. “..kayak angkat buku berat gitu saya harus minta
bantuan yang lain, ya mereka bantu .. “ 2. no. 233 –
236 . “ .. mereka ada yang menyarankan juga untuk nggak hanya ke dokter tapi juga ke alternatif… “ 2.
no. 669 – 672 .
Dalam proses penerimaan diri subjek TR mampu mengelola atau mengatur emosi yang dirasakannya, dengan begitu kesedihannya
berkurang.
81
“ .. sok sedih mbak..tapi kalau ingat ini ujian sudah kurang sedihnya
“. 2. no. 218 – 220 .
Meskipun mengalami glaukoma, dengan kondisi yang dialaminya saat ini, subjek tetap mampu berperilaku sosial secara baik sebagai wujud
dari penerimaan diri. Seperti mengikuti kegiatan sosial di lingkungannya.
“saya masih aktif ikut Dharma Wanita juga mbak setelah sakit ini.. saya juga suka kasih pengarahan ke
teman – teman .. “ 2. no. 252 – 257 .
Subjek TR memiliki perspektif atas dirinya meskipun subjek mengalami penyakit yang tidak bisa sembuh. Hal itu menunjukkan
bahwa subjek memiliki penerimaan atas dirinya. Subjek mampu memberi penilaian atas dirinya saat ini sehingga dengan begitu subjek
menjadi menyadari kemampuan yang dimiliki saat ini.
“dengan kayak gini saya jadi sadar diri, jadi bisa milah
– milah pekerjaan yang saya mampu, ya saya tahu diri mbak saya sudah sakit
“. 2. no. 226 – 231 . “dengan adanya perubahan pola kerja ya sadar diri
saja mbak kalau saya sudah terbatas juga kemampuannya….” 2. no. 281 – 285 . “…saya
merasa kayak orang cacat
”. 2. no. 291 – 293 .
Meski demikian subjek masih berusaha untuk semangat menghadapi sakitnya.
“..jadi ya meski capek, ya saya jadi semangat.kalau
gitu kan saya jadi ada rasa masih mampulah, walau sakit saya mampu lah mbak..semangatin diri sendiri,
merasa ada sesuatu juga yang berarti dalam diri. “ 2.
no. 370 – 379 . “saya itu orang yang cekatan mbak,
yang nggak suka nunda pekerjaan “ 2. no. 396 – 399
82
. “..saya orangnya ya nerimo mbak nggak banyak nuntut, jadi kalau sakit kayak gini ya sudah. saya
orangnya ya ngalah aja mbak “ 2. no. 404 – 409 .
Perspektif lainnya adalah subjek menilai bahwa dirinya masih mampu dan tidak merasa lemah.
“ya saya berpikir kalau saya masih mampu lah untuk terus maju.dengan berbagai risiko yang harus
dihadapi “ 2. no. 445 – 449 .” ya saya nggak mau
lagi merasa diri saya lemah” 2. no. 454 – 456 .
Semangat dan penilaian bahwa dirinya masih mampu itu dipengaruh oleh kesuksesan atau keberhasilan yang pernah dialaminya. Hal ini
juga berpengaruh pada proses penerimaan diri subjek karena subjek merasa diri masih mampu dan berpotensi meski sedang sakit.
“waktu itu saya juara. lomba itu kan berjuang untuk menang kan ya mbak jadi semangat seperti itu yang
bisa membuat saya juga terus semangat “ 2. no. 356
– 362 “..meskipun saya sakit gini, saya masih dipercaya untuk jadi MC sampai sekarang ini. kata
teman – teman ya kualitas MC saya masih belum
berubah sejak saya muda, ya jadi ada kepuasan tersendiri juga mbak tiap kali berMC
..” 2. no. 485 – 494 . “…saya jadi senang kalau masih diberi
kepercayaan padahal mereka tau saya ini sakit. berarti mereka masih berpikir kalau saya ini sebenarnya
masih mampu
“ 2. no. 498 – 504 .
Meski subjek TR sedang mengalami sakit, namun karena mampu menerima diri dan kondisinya, subjek tetap memiliki harapan realistis
atas hidupnya.
“ya saya berharap bisa sembuh, nggak pakai kacamata lagi. itu saja. eh ada juga saya pengen
segera lulus kuliah S1 saya mbak… “ 2. no. 634 –
83
639 .”.. dengan kondisi yang sekarang sekalipun saya tetep mau nyelesein kuliah saya mbak
” 2. no. 651
– 655 .
Subjek merasa lingkungan sekitarnya juga memberikan dukungan sosial emosional karena peduli dengan harapan yang dimilikinya .
“..mereka ya kasih semangat biar cepet lulus. kalau yang masalah mata, mereka mendukung juga
..” 2. no. 664
– 668 .
Dengan kemampuan subjek TR menerima diri, hal ini berdampak pada penyesuaian terhadap dirinya, dimana subjek mampu
mengevaluasi diri dengan baik dan menggunakan potensi dalam dirinya.
“saya ya berjuang semangat saja untuk sekarang selagi masih ada kesempatan ,mata masih bisa
melihat gini.saya lakukan apa yang bisa saya lakukan di kerjaan dan kehidupan keluarga saya
.. “ 2. no. 459
– 468 “Jadi dengan adanya penilaian yang baik kayak gitu saya jadi terus semangat untuk
mengembangkan bakat saya dalam berMC ..” 2. no.
506 – 511 .
Bukan hanya penyesuaian terhdap diri, dengan kemampuan menerima diri inilah subjek mampu menyesuaikan secara sosial, dimana subjek
merasa aman untuk memberikan perhatian dan empati pada lingkungan sekitarnya.
“..saya juga cerita ke teman yang juga sakit gini, kalau jangan sampai lengah lah, kalau sakit ya cek up.
saya menyarankan mereka seperti itu mbak. ..” 2.
no. 242 – 248 .
84
Berdasarkan deskripsi data diatas dapat disimpulkan bahwa subjek TR mengalami dampak fisik dan psikososial akibat glaukoma. Subjek
melakukan problem focused coping terkait dengan perihal pengobatan. Subjek melakukan emotion focused coping untuk mengurangi dampak
psikososial yang dialami dan sebagai upaya penerimaan atas diri. Emotion focused coping yang subjek lakukan dipengaruhi oleh oleh
dukungan sosial emosional. Hal itu mampu membuat kesedihan dan ketakutan subjek TR berkurang, menjadikan subjek lebih berjuang,
menjadi sabar, terbiasa dengan kondisi, merasa diri mampu, mensyukuri keadaan, dan seberjalannya waktu mampu menerima
kondisi.Subjek juga memperoleh dukungan sosial emosional terkait dengan harapan yang dimiliki subjek dan pernah mengalami
kesuksesan .Faktor – faktor ini mempengaruhi penerimaan pada diri
subjek. Dukungan sosial informasi dan instrumental yang diperoleh subjek TR hanyalah seputar pengobatan atas penyakitnya.
Kemampuan penerimaan diri subjek tampak dari adanya perspektif akan diri, evaluasi diri, mengembangkan potensi, pengakuan atas
kelemahan dan kelebihan dalam diri, perilaku sosial yang baik, mengatur emosi yang dirasakan, serta memiliki harapan realistis.
Penerimaan atas diri pada subjek TR juga berdampak pada penyesuaian terhadap diri dan sosial yang telah mampu dilakukan
subjek.
85
3. Subjek 3 TE
Subjek TE mengalami glaukoma sejak tahun 2011. Awal mulanya subjek mendapat rujukan saat pemeriksaan rutin untuk
memeriksakan kondisi matanya ke dokter spesialis glaukoma karena tekanan bola matanya tinggi. Glaukoma yang dialaminya juga
dipengaruhi akibat penyakit katarak. Sejak itu subjek memeriksakan kondisinya, menjalani operasi dan menggunakan sebagai bentuk
problem focused coping yang dilakukannya, namun operasinya mengalami kegagalan .
“ .. periksa ke dokter Retno karena tekanan matanya tinggi. itu benar glaukoma lah aku.beberapa kali
kontrol .. “ 3. no. 20 – 24 .”.. dokter putuskan untuk
dioperasi itu bulan Desember. tapi hasil operasinya itu cuma bertahan tiga bulan
.. “ 3. no. 28 – 32 .
Kegagalan operasi itu memunculkan dampak kekecewaan pada diri subjek.
“..Kecewa ya soalnya sudah berharap dengan operasi itu kondisiku makin membaik. tapi kok malah gagal
itu kecewa banget lah..harapanku ya turun gitu tekanannya biar nggak burem, sedih pasti.
.” 3. no. 63
– 71 . “..setelah gagal operasi itu aja..jadi merasa
harapan untuk
sembuh semakin
kecil kemungkinannya. makin ketakutan buta juga kalau
bener – bener memang nggak bisa sembuh.” 3. no.
87 – 94 .
Problem focused coping lain yang dilakukan subjek pada kondisinya adalah menggunakan obat tetes mata setiap hari.
86
“ya tetes mata itu vetrolenta ya tiap hari itu “ 3. no. 103
– 104 .
Dengan penggunaan obat tetes setiap hari itu membuat subjek TE merasa capek.
“Capek lah harus berkali – kali netesin obat mata jadi nggak bebas ngapa
– ngapain juga..” 3. no. 111 – 114 .
Dari sakit yang dialaminya, subjek mengalami dampak secara fisik seperti lapang pandang terbatas, mata mudah capek , dan pusing.
“… itu tekanannya naik turun, terakhir tinggi itu lalu dokter
putuskan untuk
dioperasi itu
bulan Desember…” 3. no. 25 – 30 . “ya nyeri gitu nggak
nyaman “. 3. no. 54 – 55 . “..kondisi mataku nggak
kayak dulu lagi kan sekarang burem jadi agak terbatas juga
..” 3. no. 407 – 410 . “..sekarang sebentar saja udah pegel..nyeri gitu
..” 3. no. 423 – 425 .
Akibat dampak fisik yang dialami, subjek juga mengalami dampak psikososial. Subjek mengalami perasaan sedih, takut buta, marah,
stress, dan terbebani.
“ketakutan lah,takut buta…pokoknya ada rasa nggak berdaya gitu
. sedih,…sedih benget pokoknya “ 3. no. 125
– 129 .
Subjek juga memiliki penilaian negatif, tidak berdaya, dan merasa diri cacat yang membuatnya merasa kesal dan marah.
“..aku ngerasa sekarang cacat “ 3. no. 143 – 144 . “ya ada rasa kesal kenapa aku begini, tapi itu awal –
awal..stres rasanya, kesal banget gitu rasanya marah juga
“ 3. no. 336 – 340 .
87
Subjek juga mengalami perubahan pola aktivitas.
“..kalau baca dan nonton itu udah nggak seenak dulu, …” 3. no. 421 – 423 .
Subjek merasa khawatir akan masa depannya.
“mikirin masa depan gimana kalau sakit kayak gini, masih bisa beraktivitas nggak
. “ 3. no. 131 – 134 .
Setelah mengetahui bahwa dirinya mengalami glaukoma, atas saran anaknya, subjek TE mengikuti seminar tentang glaukoma. Selain itu
subjek juga pernah mengikuti terapi totok.
“..nah operasi yang pertama itu jadi gagal..nah aku putuskan ikut terapi totok
.. “ 3. no. 36 – 39 . “..anakku bilang nyuruh aku untuk ikut seminar
tentang glaukoma juga, tapi aku takut walaupun akhirnya ikut.maksudnya biar tahu glaukoma seperti
apa
..” 3. no. 198 – 205 .
Subjek TE melakukan emotion focused coping untuk mengurangi dampak psikososial yang dialami dan sebagai upaya dalam menerima
diri. Terkait dengan religiusitas seperti berdoa, mensyukuri keadaan, dan melihat sakit sebagai ujian.
“Ya aku cuma berdoa,Tuhan jangan sampai mata ini mengalami kebutaan,
.. “ 3. no. 170 – 173 . “Jadi lebih tenang untuk menghadapi kedepannya
“ 3. no. 182
– 183 .
Terkait dengan pemikiran emotion focused coping yang dilakukan adalah seperti menyadari memang tidak bisa sembuh, menangkan
pikiran, dan berusaha menerima keadaan, serta berusaha ikhlas.
88
“ .. sadar aja kalau memang nggak bisa sembuh” 3. no. 96
– 97 . “ .. didoakan gitu bantu aku lebih kuat aja menghadapi sakitku
.. “ 3. 220 – 223 . “ .. perhatian mereka buat tante senang gitu jadi berharga
untuk mereka…” 3. no. 228 – 230 . “ya sudah mau diapa-apain juga nggak bisa tuh kan yang kiri,mikir
aja yang kanan masih ya disyukuri
“ 3. no. 356 – 360 . “ .. itu aku terima saja kalau memang sudah
tidak bisa dihindari … “ 3. no. 372 – 375 . “ ya
berusaha ikhlas.
pasrah dan
ikhlas pokoknya..bersyukur saja masih diberi kemampuan
melihat dengan jelas di mata yang satunya .. “ 3. no.
530 – 536 .
Subjek juga mampu menilai bahwa ada kedekatan dengan keluarga setelah sakit.
“…jadi Tuhan kasih cobaan kayak gini aku jadi makin dekat lah dengan anak
– anak.” 3. no. 310 –
314 .
Subjek juga mencari kesibukan agar tidak berpikiran macam – macam
akan kondisinya.
“ya jadi ada kesibukan kan jadi berkurang berpikir tentang macem
– macem itu tentang masa depan.. “ 3. n0. 443
– 446 .
Emotion focused coping lain yang dilakukan subjek adalah menonton acaranya yang memberikan motivasi akan kehidupan.
“ … ya aku lihat acara –acara yang buat semangat juga. biar aku juga jadi semangat hadapi sakitku
“ 3. no. 450
– 454 .
Subjek mendapatkan dua bentuk dukungan sosial yaitu dukungan sosial informasi dan emosional. Akan tetapi, dukungan sosial
emosional yang diperolehnya dari anak –anak dan temannya lah yang
89
mempengaruhi emotion focused copingi yang subjek TE lakukan. Dukungan sosial emosional yang diperolehnya membuat subjek
merasa tidak sendiri, menjadi ikhlas, dan semangat karena lingkungan sosial merasakan apa yang dirasakan subjek.
“anak – anak berusaha menenangkan bilang “ sudah lah mam nggak usah dipikir” 3. no. 191 – 195 .
“waktu pas operasi juga aku takut, lalu teman – teman doakan tante, jadi tante tenang. aku juga minta teman
gereja didoakan pasca operasi mata, mereka doakan.. didoakan gitu bantu aku lebih kuat aja menghadapi
sakitkuu “ 3. no. 212 – 223 . “…perhatian kayak gitu buat aku merasa berarti gitu dengan sakit tapi
mereka masih peduli.
“ 3. no. 231 – 234 . “..anak – anak itu bener
– bener deh memahami..” 3. no. 242 – 244 . “..mereka nasehatin tante untuk nggak capek
– capek “ 3. no. 291 – 294 . “ Iya mereka bener – bener dengan menerima keadaan itu mereka
mengajarkan aku untuk lebih ikhlas ke depannya
.. “ 3. no. 575
– 580 .
Sedangkan dukungan sosial informasi yang diterima subjek hanya sebuah saran untuk mencari informasi agar menambah wawasan
tentang glaukoma.
“...anakku bilang nyuruh aku untuk ikut seminar tentang glaukoma
” 3.no. 198 – 200 .
Pola asuh demokratis yang diterimanya di masa kecil juga berpengaruh pada upaya penerimaan diri subjek sehingga membuat
subjek menjadi pribadi yang kuat dan mandiri.
“ .. orangtua nggak pernah manjain, perhatian yang diberikan ke kami juga nggak berlebihan.. dengan
kayak gitu kami jadi pribadi yang kuat dan nggak cengeng
..” 3. no. 669 – 676 . “ .. sampai sekarang sakit, ya dihadapi saja.aku harus kuat karena orangtua
juga mengajarkan kami untuk kuat terima apa yang
90
sedang dialami dalam tiap kehidupan ..” 3. no. 678 –
685 .
Dalam proses penerimaan diri subjek TE mampu mengelola atau mengatur emosi yang dirasakannya. Rasa marah dan kesalpun mulai
berkurang.
“ stres rasanya, kesal banget gitu rasanya marah juga gimana.tapi sekarang ya berkurang tapi kalau ingat
kayak gini bukannya sedih ya tapi ada rasa seperti ya kenapa harus begini gitu. oh sekarang aku punya
kekurangan
“. 3. no. 338 – 349 .
Meskipun subjek mengalami glaukoma, dengan kondisi yang dialaminya saat ini, ia tetap mampu berperilaku sosial secara baik,
sebagai wujud dari penerimaan akan diri. Seperti mengikuti kegiatan sosial di lingkungannya.
“ya kalau ada latihan nyanyi gitu sama teman – teman ya tetep datang. kalau ada perkumpulan gitu juga
tante usahakan datang. kalau ada ibadah di rumah siapa gitu tante usahakan juga datang. kalau sudah
selesai gitu ya ngobrol
– ngobrol gitu ibu – ibu. seneng bisa berkumpul gitu kan relasinya jadi baik
..” 3. no. 461
– 474 .
Subjek TE memiliki perspektif atas dirinya meski mengalami penyakit yang harus ditanggungnya seumur hidup. Sebagai bentuk penerimaan
diri subjek mampu mengevaluasi kelemahan dan kelebihan dalam dirinya.
“aku juga mau berjuang untuk terus bertahan dengan sakit ini.Aku bisalah.
“ 3. no. 326 – 329 . “..oh sekarang aku punya kekurangan
”. 3. no. 348 – 349
91
. “ … dengan nyanyi juga aku merasa masih punya kelebihan
”. 3. no. 399 – 401 . “ .. aku orangnya kayak gitu, nggak suka nuntut ini itu secara
berlebihan ” 3. no. 614 – 617 . “ya lebih puas
sebelum sakit, tante merasa punya kekurangan dalam diri..merasa diri tante itu cacat. tapi ya sudah terjadi
juga.. tapi aku merasa aku mampu menghadapi ini ..”
3. no. 630 – 637 .
Meski sedang mengalami sakit, namun karena subjek TE mampu menerima diri dan kondisinya, ia tetap memiliki harapan realistis atas
hidupnya.
“tapi aku juga pengen sembuh ya mungkin kecil tapi kalau namanya berharap kan nggak ada salahnya..”
3. no. 376 – 381 . “tante berharap bisa sembuh aja
sih. paling tidak dengan kondisi tante seperti ini tante masih bisa sampai tua. bisa mandiri dan tidak
bergantung. aku ingin masa tuaku normal, kalau dipanggil Tuhan tidak mau sakit-sakit banget
menyusahkan orang banyak. maunya masa tua bisa dijalani dengan kemandirian kalau tua tidak
menyusahkan anak
– anak. “ 3. no. 696 – 713.
Subjek merasa lingkungan sekitarnya juga memberikan dukungan sosial emosional karena peduli dengan harapan yang dimilikinya .
“ya mereka bantu doa untuk harapan yang aku ingin itu..
“ 3. no. 731 – 733 .
Dengan kemampuan subjek TE menerima diri, hal ini berdampak pada penyesuaian terhadap dirinya, dimana subjek mampu mengevaluasi
diri dengan baik dan menggunakan potensi dalam dirinya.
“ … Tuhan beri anugrah suara aku senang jadi ya aku latihan nyanyi mengembangkan kemampuan diri
juga ”. 3. no. 402 – 406 .
92
Bukan hanya penyesuaian terhadap diri, dengan kemampuan menerima diri inilah subjek mampu melakukan penyesuaian secara
sosial, dimana subjek merasa aman untuk memberi perhatian dan empati pada lingkungan sekitarnya.
“ … jadi yang aku hindari ya itu naik mobil itu malah membahayakan diri sendiri dan orang lain
..” 3. no. 411
– 4114 . “ … aku orangnya toleran sih sama orang
– orang disekitarku” 4. no. 599 – 602 .
Berdasarkan deskrispsi di atas dapat disimpulkan bahwa subjek TE mengalami dampak fisik dan psikososial akibat glaukoma. Subjek
melakukan problem focused coping terkait dengan perihal pengobatan Subjek melakukan emotion focused coping untuk mengurangi dampak
psikososial yang dialami dan sebagai upaya penerimaan atas diri. Emotion focused coping yang subjek lakukan dipengaruhi oleh
dukungan sosial emosional dan pola asuh demokratis di masa kecil. Hal ini lah yang membuat subjek menjadi ikhlas, lebih berjuang, tidak
merasa sendiri, kuat menerima, tidak mau merasa lemah, mensyukuri keadaan, hingga seberjalannya waktu mampu menerima kondisi yang
dialaminya. Subjek juga memperoleh dukungan sosial emosional terkait dengan harapan yang dimiliki subjek sehingga mampu
menerima diri. Sedangkan dukungan sosial informasi yang diterima subjek hanyalah sekedar informasi tambahan seputar penyakitnya.
Kemampuan penerimaan diri subjek dapat tampak dari adanya perspekti akan diri, evaluasi diri, mengembangkan potensi, pengakuan
93
atas kelemahan dan kelebihan dalam diri, perilaku sosial yang baik, mengatur emosi yang dirasakan, serta memiliki harapan yang realistis.
Kemampuan penerimaan diri subjek berdampak pada penyesuaian terhadap diri dan secara sosial yang telah mampu dilakukan subjek.
4. Subjek 4 NS
Subjek NS mengalami glaukoma sudah sekitar tiga atau empat tahun. Awal mulanya salah satu mata subjek tidak bisa melihat saat
bangun tidur.
“tau – tau pagi – pagi itu nggak kelihatan sama sekali “ 4. no. 10 – 13 . “
Lalu subjek memeriksakannya ke dokter spesialis mata dan menggunakan obat tetes mata sebagai bentuk problem focused coping
yang dilakukan. Penggunaan tetes mata dipilihanya karena subjek merasa takut menjalani operasi.
“ … ngecek ke dokter spesialis.. “ 4. no. 14 – 15 . “Obat tetes mata itu setiap hari.. “ 4. no. 42 – 43 .
Ketakutan untuk dioperasi sebagai dampak psikososialyang dialami.
“.tapi saya nggak mau dioperasi. saya takut, takutnya kalau dioperasi nanti sampai kemana
– kemana sakitnya
..” 4. no. 66 – 70 .
Penggunaan obat setiap hari itu membuat subjek NS merasa capek.
“..capek ya sebenernya pakai tetes tiap hari kemana – mana itu juga bawa tapi mau gimana lagi juga emang
harus dijaga”. 4. no. 44 – 49 .
94
Dari sakit yang dialaminya, subjek mengalami dampak secara fisik seperti tekanan mata tinggi, mata nyeri dan tidak bisa melihat
sementara.
…itu tekanan matanya sudah delapan puluh lima, hanya yang mata kanan. kalau yang kiri normal… “
4. no. 16 – 20 . “ya nyeri aja mbak. itu beberapa
menit setelah bangun tidur itu kok nggak kelihatan … “ 4. no. 31 – 35 .
Dengan adanya dampak fisik yang dialaminya, subjek mengalami dampak psikososial. Subjek mengalami perasaan takut buta, sedih,
dan kaget.
“..risikonya bisa buta itu saya makin kaget dan takut, deg
– degan rasanya saya masih muda kok sudah glaukoma
“. 4. no. 59 – 64 . “Ya dulu sedih mbak,
sekarang sudah bisa .” 4. no. 165 – 166 . “..kalau
boleh jujur ya saya takut banget ya mbak dulu kehilangan penglihatan saya…” 4. no. 175 – 178 .
Subjek juga mengalami perubahan pola kerja dan aktivitas.
“Ya kalau pekerjaan di depan komputer itu keganggu. kalau lagi kambuh ngak bisa ngapa
– ngapain itu
…” 4. no. 247 – 251 . “Ya jam kerjanya lebih banyak ya beda sama setelah sakit jadi
berkurang.onlinenya juga
jadi berkurang
waktunya…” 4. no.269 – 273 .
Subjek NS melakukan emotion focused coping untuk mengurangi dampak psikososial yang dialami dan sebagai upaya dalam menerima
diri. Terkait dengan religiusutas yaitu dengan menikai bahwa sakit yang dialaminya datang dari Tuhan sehingga membuatnya lebih
semangat.
95
“saya mikir sakit datangnya dari Tuhan itu lah mbaku “ 4. no. 184 – 186 “…nggak mau nyalahin siapa –
siapa juga..kalau saya sakit glaukoma gini kan datangnya dari Tuhan ya diterima aja mbak saya jadi
menjalani hidup lebih fight, jadi lebih semangat
” 4. no. 431
– 440
Terkait dengan pemikiran seperti tidak menjadikan sakit sebagai batasan karena subjek merasa bahwa dirinya masih mampu meski
sakit.
“ …. ya memang sakit sih tapi saya juga nggak mau dibatasi dan jadiin ini alasan mbak, sudah capek juga
mbak, capek ngeluh jadi sudah jalani aja biar tenang juga hatinya
“ 4. no. 151 – 158 . “saya beryukur aja masih bisa kerja cari uang..walau sakit gini saya bisa
mandiri .. “ 4. no. 372 – 376 . .” .. kalau pun ada
batasan saya nggak mau jadikan itu sebagai alasan untuk nggak berusaha maju mbak
” 4. no. 530 – 534.
Subjek juga mampu menilai bahwa dengan sakit mengalami kedekatan dengan keluarga.
“saya merasa Tuhan punya maksud gitu mbak kenapa gitu,atau mungkin biar saya lebih dekat dengan
orangtua ” 4. no. 187 – 192 .
Dukungan sosial emosional yang diperolehnya dari orangtua dan teman mempengaruhi emotion focused coping yang subjek NS
lakukan. Dengan nasehat dari lingkungan sosialnya, subjek merasa lingkungan sosialnya peduli dengan dirinya karena mereka merasakan
apa yang dirasakan subjek NS.
“..bapak bilang suruh saya jaga kondisi mata, dijaga sedemikian
agar tekanannya
tetap stabil.
bapak juga bilang untuk semangat menjalani
96
kehidupan kedepannya ..” 4. no. 87 – 94 .
“..sekarang teman – teman tahu. mereka itu juga baik, jadinya ada support dari mereka.
kayak tanya “ gimana keadaannya “. selalu care..” 4. no. 99 – 104
.” … ya walaupun cuma mendengarkan keluh kesah saya aja mereka sudah mau mendengarkan dan
memahami
“ 4. no. 123 – 128 . “keluarga kan bantu menasehati agar saya nggak putus asa
..” 4. no. 357 – 359 .
Dalam proses penerimaan diri subjek NS mampu mengelola emosi yang dirasakannya.
“Ya dulu sedih mbak, sekarang sudah bisa aja.ya sudah lama juga sudah biasa, risiko yang harus
dihadapi itu ya sudah terima aja ..” 4. no. 165 – 171.
Meskipun subjek mengalami glaukoma, dengan kondisi yang dialaminya subjek tetap mampu beraktivitas sosial secara baik. Seperti
mengikuti kegiatan sosial di ligkungannya.
“semua kegiatan dengan teman – teman semua masih saya lakukan. diajakin kumpul untuk futsal saya bisa,
jalan – jalan sama mereka saya juga masih tapi kalau
nggak kambuh.kalau kambuh ya nggak pergi tapi mereka kan ngerti sama apa yang saya alami 4.no.
297 – 309 .
Subjek memiliki perspektif atas dirinya meskipun subjek mengalami penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan harus ditanggungnya
seumur hidup. Subjek tidak ingin menjadi lemah karena kondisi sakit yang dialaminya karena subjek merasa masih memiliki kemampuan
yang bisa dikembangkan.
97
“ya ada kemampuan – kemampuan saya yang lain yang masih bisa dikembangin juga
“. 4. no. 367 – 370 . “ uang nggak minta orangtua saya merasa diri
saya mampu mbak walau sakit tapi bisa lepas dari orangtua secara ekonomi
…” 4. no. 377 – 382 . “ .. saya menilai semua hidup saya itu berhasil mbak
” 4. no. 401
– 403 . “..saya ini gagal karena sakit tapi saya bisa berhasil untuk mencari uang sendiri dan
nggak merepotkan orangtua,dengan kayak gitu saya jadi merasa berharga walau sakit karena punya
kemampuan sehingga saya nggak merasa jadi orang lemah yang dibatasi oleh sakit
..” 4. no. 412 – 425 . “..nggak menarget hidup lah, jalani aja tapi nggak
lepas tanggungjawab lho saya pribadi yang ceroboh..suka grusa
– grusu”. 4. no. 458 – 466 . “ .. saya merasa mampu untuk menjalani semua ini
sakitnya, berjuang hidup ” 4. no. 593 – 597
Hal ini terbentuk karena dipengaruhi oleh konsep diri stabil yang subjek miliki dari sebelum mengalami sakit hingga samapi saat ini.
Subjek merasa bahwa dia mencintai segala sesuatu yang ada dalam dirinya.
“Ya sederhana,biasa – biasa, santai, nggak menarget hidup lah, jalani aja . tapi nggak lepas tanggungjawab
lho saya pribadi yang ceroboh “ 4. no. 457 – 465 .
“Sama sih mbak tapi sekarang saya orangnya jadi makin hati
– hati aja dalam ambil keputusan.. ya saya mencintai diri saya saya mencintai segala sesuatu
yang saya miliki dalam diri.ini mbak., mau sakit sehat saya nggak mau nyalahin siapa
– siapa intinya seperti itu.
” 4. no. 491 – 502
Selain itu, kesuksesan yang subjek alami dalam hidupnya juga mempengaruhi proses penerimaan diri yang ia lakukan. Dan membuat
subjek semangat menerima kondisinya meski sedang sakit.
98
“ … dengan saya bisa dapat penghasilan sekian dari tukar mata uang saya merasa ada yang membuat saya
jadi semangat.meski
sakit tapi
menerima kondisinya
..” 4. no. 383 – 390 . “..saya menilai semua hidup saya itu berhasil mbak” 4. no. 401 –
403 .
Pola asuh yang diperoleh subjek di masa kecil juga mempengaruhi penerimaan diri subjek NS di masa sekarang, karena subjek menjadi
pribadi yang mandiri dan percaya diri.
“..kalau kita dibebaskan gini kan jadi makin tau kemampuan dan titik lemah diri kita, dengan kayak
gitu sehingga saya bisa nerima apapun itu “ 4.
no.622 – 628.
Meski subjek NS sedang mengalami sakit, namun karena mampu menerima diri dan kondisinya, subjek tetap memiliki harapan realistis
atas hidupnya.
“tapi ya jangan sampai buta juga mbak saya sudah berusaha untuk jaga kondisi mata
“ 4. no. 142 – 145 . “soalnya..saya harus tetap berjuang juga untuk
masa depan saya “ 4. no. 148 – 150 . “…terus
mengembangkan pekerjaan saya, menjadi makin sukses
” 4. no. 391 – 394 . “Yang jelas tetap bisa berjuang, survive lah mbak pengen nggak makin
parah sakitnya .. “ 4. no. 638 – 641 . “..bahagiakan
orangtua juga bikin bangga mereka pastinya..trus juga bisa menjalani hidup dengan sabar dan tenang.” 4.
no. 647 – 653 . “ .. dengan kondisi kayak gini nggak
mau sia –siakan waktu juga mbak dengan keluarga.”
4. no. 665 – 668 .
Subjek merasa lingkungan sekitarnya juga memberikan dukungan sosial emosional karena peduli dengan harapan yang dimilikinya .
99
“..ya mereka bantu kasih semangat juga ke saya. nggak menghadapi masalah sendirian juga
” 4. no. 684
– 688 .
Dengan kemampuan subjek NS menerima diri, hal ini berdampak pada penyesuaian terhadap dirinya, dimana subjek mampu
mengevauasi diri dengan baik dan menggunakan potensi dalam dirinya.
“Ya saya terpacu aja mbak untuk menunjukkan juga kalau dengan sakit juga tetap bisa dapatin hasil yang
banyak yang okelah katakanlah kayak gitu..siapa tahu juga malah bisa lebih dari mereka yang sehat “. 4.
no. 284
– 292 . “..ya ada kemampuan – kemampuan saya yang lain yang masih bisa dikembangin juga
”. 4. no. 367
– 370 . “.. untuk terus mengembangkan pekerjaan saya
..” 4. no. 391 – 393 . “Ya saya merasa puas, saya mensyukurinya..saya diciptakan
dengan kondisi yang normal, saya puas..saya diciptakan dengan kemampuan yang saya miliki
seperti sekarang “ 4. no. 508 – 516 .
Berdasarkan deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa subjek NS mengalami dampak fisik dan dan psikososial akibat glaukoma. Subjek
melakukan problem focused coping terkait dengan kondisi penyakitnya. Subjek melakukan emotion focused coping untuk
mengurangi dampak psikososial yang dialami dan sebagai upaya penerimaan atas diri. Upaya menerima diri ini dipengaruhi oleh
dukungan sosial emosional. Hal ini lah yang yang membuat kesedihan subjek NS berkurang, menjadi tenang, tidak merasa sendirian, menjadi
lebih berjuang, terbiasa dengan kondisi, tidak mau lemah, semangat,
100
tidak mau dibatasi keadaan, hingga beberapa bulan setelah didiagnosa megakami glaukoma, subjek sudah mampu menerima kondisinya.
Selain itu, subjek juga memperoleh dukungan sosial emosional terkait dengan harapan yang dimiliki subjek, mengalami kesuksesan, pola
asuh demokratis, dan memliki konsep diri yang stabil. Faktor - faktor ini yang mempengaruhi penerimaan diri subjek NS. Kemampuan
penerimaan diri subjek dapat tampak dari adanya perspektif akan diri, evaluasi diri, mengembangkan potensi, pengakuan atas kelemahan dan
kelebihan diri, memiliki harapan yang realistis, serta mampu mengatur emosi yang dirasakan. Penerimaan atas diri pada subjek NS juga
berdampak pada penyesuaian terhadap diri.
5. Subjek 5 SR
Subjek SR mengalami glaukoma sejak tahun 2009. Awal mulanya subjek hanya memeriksakan kondisi minus matanya, namun
mendapat rujukan untuk memeriksakan ke dokter spesialis glaukoma sebagai bentuk problem focused coping yang dilakukannya.
“ .. besoknya baru cari spesialis glaukoma..” 5. no. 21
– 22 .
Problem focused coping lain yang dialakukan subjek SR adalah menggunakan obat tetes mata setiap hari
“ .. dikasih obat tetes dua sama dokternya. yang sekali pemakaian langsung dua, aku pakai
“ 5. no. 36
– 39 . “ .. ya harus tekun pakai obatnya. aku coba tekuni sampai sekarang.. dengan tujuan ya menjaga
diri biar nggak makin parah. “ 5. no. 56 – 62 .
101
Penggunaan obat setiap hari membuat subjek merasa marah karena tidak ada perubahan.
“Ya capek males ..awal – awal aku marah karena nggak biasa pake trus harus pakai trus kan gemes to
kok yo ra iso mari “ 5. no. 67 – 72 .
Dari sakit yang dialaminya, subjek mengalami dampak fisik seperti mata nyeri, tekanan mata tinggi, dan kondisi mata yang agak keluar.
“…tekanan mata yang tinggi gini sudah itu glaukoma lah sampai sekarang
..” 5. no. 31 – 34 . “Iya dek
kayak mondol gitu lama – lama setelah diobati ya
berkurang dikit – dikit.” 5. no. 285 – 288 . “…trus
lama – lama di depan komputer rasanya gimana gitu.
cekot – cekot.nyeri gitu ya..” 5. no. 443 – 447 .
Dengan adanya dampak fisik yang dialaminya, subjek juga mengalami dampak psikososial. Subjek mengalami perasaan takut buta, putus asa,
dan minder.
“…kenapa harus saya.nggak yang lain.kok bisa….ya waktu itu sedikit putus asa, ya nggak bisa terima aku
kok tiba – tiba sakitnya seperti itu dan dengan risiko
yang seperti itu. makin lama bisa bikin buta ..” 5. no.
93 – 102 . ““kalau sampai sekarang masih ada
perasaan takut itu aku pikir ya wajar ” 5. no. 402 –
405 . “Ya karena sakitku ini aku merasa minder,
merasa nggak kayak teman yang lain” 5. no. 552 – 555 .
Subjek merasa menjadi beban bagi orang lain.
Waktu itu aku bingung ya dek cerita ke orangtuaku, suamiku, mertuakuaku baru berani cerita mertuaku
aja baru setahunan yang lalu, takut kasihan juga nanti malah jadi beban ibu mertuaku
. “ 5. no. 129 – 137 .
102
Subjek juga merasa beban secara finansial terkait dengan biaya.
“..risikonya yang buta itu bikin takut. trus juga pengobatan seumur hidup dan dengan biaya
pengobatan yang nggak bisa dibilang sedikit sedikit juga.” 5. no. 105 – 111 .
Subjek juga memiliki kekhawatiran pada masa depannya.
” .. takut juga, takutnya nanti pas punya keturunan jadi menurun ke anaknya .” 5. no. 115 – 117 .
Dalam pekerjaan subjek menjadi paranoid pada obat dan membatasi aktivitas.
“ .. agak parno kalau aku nyentuh obat dengan golongan kortikosteroid aku jadi nggak berani
“ 5. no. 435
– 439 . “.
.kalau kecapekan matanya sakit jadi agak membatasi diri. membatasi aktivitas.
.” 5. no. 604
– 607 .
Setelah mengetahui bahwa dirinya mengalami glaukoma, subjek mulai mencari informasi tambahan sebagai bentuk problem focused coping,
seperti browsing informasi glaukoma dan keinginan mencoba pengobatan alternative.
“ .. browsing ..” 5. no. 112 . “ .. kalau ada pengobatan lain yang bisa bikin sembuh ya dicoba
.. “ 5. no. 669
– 671 .
Subjek SR melakukan emotion focused coping untuk mengurangi dampak psikososial yang dialami dan sebagai upaya dalam menerima
diri. Terkait dengan religiusitas yaitu dengan berdoa agar menjadi tenang dan tidak menolak
– nolak kondisinya.
103
“..berdoa juga dek..ditenangin pikirannya.” 5. no. 220
– 222 . “ … kalau aku takut gitu ya aku berdoa biar nggak takut biar tenang dan nggak nolak
– nolak trus kalau memang harus aku yang kena glaukoma.
” 5. no. 521
– 525 .
Terkait dengan pemikiran subjek berusaha untuk sabar, menenangkan pikiran negatif, terbiasa menggunakan obat dan berusaha menerima
kondisi saat mengalami perasaan minder. Akibatnya subjek menjadi terbiasa dengan keadaannya. dan tidak menolak kondisinya lagi.
“…sekarang terbiasa dengan kondisi dan kebiasaan pakai obat
” 5. no. 77 – 80 . ..aku berusaha untuk sabar aja dek ngadepi ini nerima aja
..” 5. no. 328 – 330 . “..ya terima apa yang sudah terjadi karena
hidupku juga masih harus trus berjalan “ 5. no. 366
– 369 .”.. tak coba untuk kayak dulu lagi juga nggak bisa to kan emang nggak bisa balik juga..ya sudah
minder ya sudah dijalani saja yang lainnya. ” 5.no.
563 – 569 .
Dukungan sosial emosional yang diperolehnya dari pasangan dan keluarga mempengaruhi emotion focused coping yang subjek SR
lakukan. Dukungan sosial yang diterima subjek membuat ia merasa tenang karena subjek merasa lingkungan sosialnya merasakan apa
yang ia rasakan.
“..mereka sepertinya berusaha menerima dan memahamiku
”. 5. no. 146 – 149 . “ .. Ya senang merasa diperhatikan ada yang peduli juga. suami juga
ngertiin apa yang aku alami suami juga bilang nggak usah takutin masa depan di jalani saja
..” 5. no. 180 – 188 .
104
Meskipun tidak berpengaruh pada upaya penerimaan diri , namun subjek mendapat dukungan sosial instrumental dari lingkungan
sosialnya.
“ pernah suatu ketika itu obatku ketinggalan di rumah orangtua, trus bapak ternyata ambilin obatnya dan
diantarkan sama bapakkku pagi – pagi.hmm kalau
beli obat juga diantar adikku, sampai muter – muter
obatnya nggak ada yang jual tetap aja diputerin untuk cari sampai dapat. kalau nggak ada uang juga
dipinjemi dulu .dicarikan sama –sama, kan mereka
juga kasihan kalau obatnya habis dicarikan sama –
sama oleh mereka . “ 5. no. 154 – 175 . “dialihkan
ke teman yang lain untuk kemas untung mereka yo ngerti jadi ya aku terbantu.
“ 5. no. 451 – 454 .
Dalam proses penerimaan diri, subjek SR mampu mengelola atau mengatur emosi yang dirasakannya. Merefleksikan rasa marah dan
khawatirnya dengan menerima kondisinya agar tidak stress.
“ya aku coba sampai sekarang untuk nggak khawatir –khawatir trus “ 5. no. 212 – 215 .coba nerima
mungkin dulu marah ya kenapa harus aku sekarang sudahlah tak terima aja daripada aku stress malah
merugikan yang lain
.. “ 5. no. 319 – 324 . “kalau nggak gitu nanti aku jadi marah trus dan nolak trus
“. 5. no. 361
– 363 .
Meskipun subjek mengalami glaukoma, dengan kondisi yang dialaminya saat ini, ia tetap mampu berperilaku sosial secara baik.
Seperti mengikuti kegiatan sosial di lingkungannya.
“aku berusaha untuk menyesuaikan diri aja dengan lingkungan yang disini. maksudnya kalau ada arisan,
pengajian, atau apa itu tetap ikut..” 5. no. 478 – 485 . “..nggak jadikan alasan mataku untuk nggak
berbaur
“ 5. no. 503 – 505 .
105
Subjek memiliki perspektif atas dirinya meskipun subjek mengalami penyakit yang tidak dapat disembuhkan karena subjek SR
menganggap hidupanya harus terus berjalan.
“Dulu aku orangnya sebelum sakit tuh nggak begitu minder, PD aja..sekarang ya agak minder aja sama
orang – orang.. kayak gitu..apa adanya nggak yang
macem – macem banyak nuntut.” 5. no. 540 – 548 .
“ .. hidupku juga masih harus trus berjalan´” 5. no. 368 - 369 .
Hal ini terbentuk karena subjek mampu merespon baik penilaian orang lain atas dirinya.
Ya terima saja, bikin minder emang iya..karena emang agak keluar. aku terima ajalah mereka bilang
gitu. toh mereka juga nggak hina memang melihat diriku kayak gitu adanya.. 5. no. 273
– 280 .
Meski subjek sedang mengalami sakit, namun karena mampu menerima diri dan kondisinya, subjek tetap memiliki harapan realistis
atas hidupnya.
“aku juga harus ngembangin kemampuan dalam pekerjaanku juga to untuk masa depanku
“ 5. no. 389
– 395 . “Harapannya semoga aja nggak nambah parah sakitnya, tekanannya nggak naik
– naik trus..jadi jangan sampai dioperasi,pengennya ya bisa
trus melihat .. “ 5. no. 661 – 668 . “hmm..lainnya ya
proses melahirkanku besok juga bisa normal, tekanan matanya juga nggak naik pas mau melahirkan biar
nggak dicaesar trus juga anakku besok nggak kena sakit glaukoma gini kayak aku
“. 5. no. 679 – 688 .
Subjek merasa lingkungan sekitarnya juga memberikan dukungan sosial emosional karena peduli dengan harapan yang dimilikinya .
106
“Ya mereka baik sih nggak ada yang malah beratin pikiranku juga mereka ngertiin keadaanku dek,
..” 5. no. 695
– 699 .
Dukungan sosial instrumental terkait dengan harapan subjek diperolehnya dari keluarga.
“bantu juga cari alternative untuk kesembuhanku. “ 5. no. 700
– 702 .
Dengan kemampuan subjek SR menerima diri, hal ini berdampak pada penyesuaian terhadap dirinya. Dimana subjek mampu mengevaluasi
diri dan menggunakan potensi dalam dirinya.
“ … nggak bisa juga aku hanya apa istilahnya meratapi nasibku trus aku juga harus ngembangin
kemampuan dalam pekerjaanku juga to untuk masa depanku
“. 5. no. 388 – 395 .
Bukan hanya penyesuaian terhadap diri, dengan kemampuan menerima diri inilah subjek mampu menyesuaikan secara sosial,
dimana subjek merasa aman untuk memberikan perhatian dan empati pada lingkungan sekitarnya.
“ .. aku bilang ke mereka yang minusnya tinggi – tinggi itu kalau pusing - pusing mending
diperiksakan saja.aku kasih saran ke mereka .. “ 5.
no. 257 – 262 . “…aku nggak mau ngerepoti
keluargaku, suamiku juga .. “ 5. 614 – 616 .
Berdasarkan deskripsi diatas dapat disimpulkan bahwa subjek SR mengalami dampak fisik dan psikososial akibat glaukoma. Subjek
melakukan problem focused coping untuk menghadapi kondisi penyakitnya. Subjek melakukan emotion focused coping untuk
107
mengurangi dampak psikososial yang dialami dan sebagai upaya penerimaan atas diri. Emotion focused coping yang subjek lakukan
untuk mengurangi dampak psikososial dan sebagai upaya menerima diri dipengaruhi oleh dukungan sosial emosional. Hal itu lah yang
membuat subjek SR menjadi terbiasa dengan kondisi, tidak menyalahkan keadaan lagi, dan lama
– kelamaan sekitar pertengahan tahun 2011 mampu menerima kondisinya.Selain itu, dukungan sosial
emosional juga diperoleh subjek terkait dengan harapan yang dimiliki subjek. Hal ini berpengaruh pada penerimaan diri yang subjek miliki.
Dukungan sosial instrumental yang diperoleh subjek SR kurang mendukung proses penerimaan diri subjek. Kemampuan penerimaan
diri subjek dapat tampak dari adanya perspekti diri, evaluasi diri, mengembangkan potensi, perilaku sosial yang baik, memilkiki
harapan yang realistis, pengakuan atas kelemahan dan kelebihan, mampu mengatur emosi yang dirasakan, dan mampu menerima
kritikan. Penerimaan atas diri pada subjek SR juga berdampak pada penyesuaian terhadap diri dan secara sosial.
Setelah mendeskripsikan penerimaan diri dari kelima subjek diatas, dapat dipaparkan secara lebih lanjut bahwa dua tujuan
penelitian dalam penelitian ini dapat terjawab melalui hasil wawancara dan analisis dari kelima subjek. Dimana hasil yang
diperoleh adalah deskripsi proses penerimaan diri kelima subjek dan faktor yang mempengaruhi penerimaan diri, terkait dengan upaya
108
menerima diri dan penerimaan diri pada masing – masing subjek.
Kelima subjek mengalami dampak fisik dan psikososial hampir sama, seperti mata nyeri, mudah lelah, dan lapang pandang terbatas seperti
yang dialami S1, S2, S3, dan S5. Dampak fisik yang berbeda dirasakan oleh S4 yang pernah mengalami kebutaan sesaat saat
tekanan matanya tinggi dan S5 yang mengalami perubahan bentuk bola mata yang tampak agak keluar. Dampak psikologis yang dialami
kelima subjek terkait dengan perasaan juga terdapat beberapa kesamaan seperti ketakutan akan mengalami kebutaan, sedih, marah,
putus asa, bahkan mengalami minder seperti yang dialami S5. Kelima subjek ini juga mengalami perasaan marah dan capek karena harus
menggunakan obat secara terus menerus seumur hidup. Beberapa dari mereka juga memiliki penilaian negatif terhadap diri seperti merasa
diri cacat seperti pada S2 dan S3 hingga malu terhadap penampilan seperti yang dirasakan oleh S2. Dengan glaukoma yang mereka alami,
semua subjek mengalami perubahan pola kerja dan aktivitas sehari- hari.
Masing – masing melakukan emotion focused coping untuk
mengurangi dampak psikososial yang dialami dan sebagai upaya penerimaan atas diri. Emotion focused coping yang dilakukan para
subjek, terkait dengan religiusitas seperti berdoa yang dilakukan leh S1, S3, dan S5. Mensyukuri keadaan seperti yang dilakukan oleh S3.
Menilai sakit datang dari Tuhan seperti yang dialami oleh S4. Terkait
109
dengan pemikiran pada tiap subjek juga berbeda seperti ada yang berusaha tidak putus asa seperti yang dilakukan oleh S2. Tidak
mengeluh seperti yang dilakukan oleh S1. Menenangkan pikiran negatif seperti yang dilakukan oleh S1, S2, S3, dan S5. Dan juga
tidak menjadikan sakit sebagai beban seperi yang dilakukan oleh SI dan S4. Ada juga subjek yang mampu mengambil esensi dari sakit
yang dialami sebagai hikmah dari Tuhan terhadap kehidupannya seperti yang dialami S3 dan S4.
Emotion focused coping yang kelima subjek lakukan untuk mengurangi dampak psikososial dan sebagai upaya menerima diri
dipengaruhi oleh dukungan sosial meski bentuk dukungan sosial yang diperoleh berbeda antara satu subjek dengan lainnya. Dari hasil
analisis, diketahui bahwa dukungan sosial emosional menjadi faktor pendukung dan yang paling berkontribusi dalam upaya penerimaan
diri yang kelima subjek lakukan .Dukungan sosial emosional yang diperoleh semua subjek seperti perolehan semangat, kepedulian
lingkungan sekitar, nasehat dan pemahaman lingkungan sekitar atas kondisi yang dialami para subjek.
Faktor lain yang mempengaruhi penerimaan diri pada beberapa subjek adalah kesuksesan atau keberhasilan yang hanya
dialami oleh S2 dan S4 sedangkan konsep diri yang stabil hanya dimiliki oleh S1 dan S4, dimana mereka memiliki persepsi yang sama
terhadap diri dari sebelum dan setelah mengalami sakit. Selain itu,
110
pola asuh dimasa kecil yang bersifat demokratis juga mempengaruhi kepribadian subjek dimasa sekarang sepeti merasa percaya diri dan
mandiri sehingga hal membantu upaya penerimaan diri seperti yang dilakukan S1,S3, dan S4. Kelima subjek juga memperoleh dukungan
sosial terkait dengan harapan yang mereka miliki. Tidak adanya hambatan dari lingkungan terkait dengan hambatan subjek inilah yang
berpengaruh pada penerimaan diri yang masing – masing subjek
miliki. Berdasarkan upaya penerimaan diri dari semua subjek,
diperoleh hasil bahwa semua subjek mampu menerima diri dan kondisinya, hal ini tampak dari kesedihan yang berkurang seperti yang
dialami oleh S2 dan S4. Menjadi tenang seperti yang dialami oleh S1, S2, dan S4. Semangat menjalani sakit seperti yang dialami S1 dan S4.
Kuat menerima keadaan seperti yang S3 alami. Merasa diri mampu seperti yang dialami S1 dan S2 dan seiring berjalannya waktu semua
subjek menerima keadaan mereka. Kemampuan penerimaan diri dari kelima subjek tampak dari
kemampuan mereka mengevaluasi diri, memiliki perspektif diri, memiliki harapan realistis, kemampuan mengatur emosi,pengakuan
atas kelemahan dan kelebihan dalam diri, dan perilaku sosial yang baik. Pada S5 ia memiliki kemampuan penerimaan diri lebih dimana
mampu menerima kritikan orang lain.
111
Dengan kemampuan penerimaan diri dari kelima subjek, maka berdampak pada dua hal yaitu penyesuaian terhadap diri dan
penyesuaian secara sosial. Pertama, penyesuaian terhadap diri seperti yang dialami oleh semua subjek, yang tampak dari kemampuan
mereka mengevaluasi diri, melihat kelemahan dan kelebihan dalam diri, sehingga mampu memaksimalkan potensi yang dimiliki. Kedua,
penyesuaian sosial yang hanya dialami oleh S1, S2, S3, dan S. Dimana mereka mampu merasa aman memberikan perhatian pada
orang lain karena mereka mampu menerima diri.