Review Literatur tentang Glaukoma dan Permasalahan Psikologis

34 Menurut Ilyas 2010, h. 212 glaukoma adalah “ kelainan mata yang ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata, atrofi papil saraf optic, dan menciutnya lapang pandang “. Glaukoma disebabkan oleh melemahnya fungsi mata dengan terjadinya cacat lapang pandang dan kerusakan anatomi berupa ekskavasi penggaungan serta degenerasi papil saraf optic, yang dapat berakhir dengan kebutaan.

3. Glaukoma dalam Tinjauan yang Mendetail

a. Jenis – Jenis Glaukoma

Mohlan dan Robert 1988 mengungkapkan bahwa glaukoma diklasifikasikan sebagai glaukoma primer dan glaukoma sekunder. Dengan pemeriksaan lebih lanjut melalui gonioskopik akan diklasifikasikan pada glaukoma primer dan sekunder dalam jenis sudut terbuka dan sudut tertutup. Empat jenis glaukoma tersebut, yaitu : 1. Glaukoma primer sudut tertutup Glaukoma yang ditandai dengan adanya peningkatan tekanan intraocular yang tiba – tiba. Gejala – gejala klinik berupa perasaan nyeri hebat, ditemukan pula berbagai derajat kehilangan penglihatan, perasaan mual dan muntah – muntah. 2. Glaukoma primer sudut terbuka Merupakan jenis glaukoma yang hanya sebagian kecil penderitanya mengalami gejala - gejala penyakit ini. Meskipun telah terjadi 35 atrofi serabut saraf retina dan kerusakan lapangan penglihatan yang cukup berate di perifer, berkas makulopapilaris umumnya masih terpelihara dengan baik, sehingga hasil pemeriksaan ketajaman penglihatan sentral tetap normal. 3. Glaukoma sekunder sudut tertutup Tipe glaukoma yang disebabkan oleh adanya peradangan selaput, yang timbul setelah kekambuhan iridosiklitis akut dan kronik dan organisasi selaput neovaskular setelah gangguan perdarahan retina, misalnya diabetes mellitus dan penyakit penyumbatan darah. 4. Glaukoma sekunder sudut terbuka Glaukoma yang menyebabkan komplikasi uveitis anterior akut, dimana aequos tetap dibentuk terus menerus, tetapi tidak mengalir keluar karena adanya penyumbatan pada saluran trabekular oleh debris yang kaya protein dan sel – sel radang dalam lekukan sudut filtrasi.

b. Pengobatan Glaukoma

Ilyas 2010 menjelaskan bahwa glaukoma merupakan penyakit mata yang tidak dapat disembuhkan, dimana penderitanya harus menjalani pengobatan seumur hidup. Beragam pengobatan dilakukan guna menjaga kondisi mata penderita glaukoma agar tidak semakin memburuk, antara lain dengan obat tetes mata seperti pilokarpin 2 , timolol 0,25 , asetazoladine, epinfrin 1 – 2 . Bila kondisi mata 36 memburuk maka perbaikan kondisi anatomi mata dilakukan dengan Laser Trabeculoplasty LPT atau Operasi Filtrasi Mata Trabeculectomy .

C. Penderita Glaukoma

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008 penderita adalah orang yang menderita. Maka, penderita glaukoma adalah orang yang menderita penyakit glaukoma, dimana orang tersebut menderita kelainan mata yang ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata, atrofi papil saraf optik, dan menciutnya lapang pandang.

D. Kerangka Berpikir

Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana penderita glaukoma berupaya menerima diri atas kondisi yang dialaminya. Alasan peneliti melihat penerimaan diri sebagai aspek yang penting untuk diteliti karena penderita glaukoma memiliki kelemahan fisik yakni tidak optimalnya fungsi penglihatan dan risiko kebutaan yang bisa dialami secara tiba – tiba. Selain itu, secara medis dapat disimpulkan bahwa glaukoma merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang mengakibatnya penderitanya harus menggunakan obat seumur hidup guna menghindari terjadinya kebutaan. Kondisi seperti itu dapat mempengaruhi kehidupan pribadi dan kehidupan sosial penderita glaukoma. Kondisi yang dialami penderita glaukoma juga 37 memunculkan permasalahan psikologis seperti stress, tekanan batin, merasa tidak berdaya, merasa hidup dengan keterbatasan, dan merasa bersalah. Penerimaan diri positif menjadi penting bagi penderita glaukoma agar mereka tidak terpuruk dengan kondisi yang dialaminya sehingga dapat menjadi pribadi yang sehat. Hal ini ditegaskan oleh Maslow dalam Schultz, 1991 , untuk menjadi pribadi yang sehat dibutuhkan sebuah penerimaan diri positif sehingga mereka tidak merasa malu dan merasa bersalah walaupun memiliki kelemahan atau mengalami kecacatan. Selain itu, dijelaskan oleh Allport dalam Schultz, 1991 untuk menjadi pribadi yang sehat dibutuhkan kemampuan dalam menerima semua segi dalam diri, termasuk kelemahan dan kekurangan tanpa menyerah secara pasif pada kondisi tersebut.