Proses Penerimaan Diri Pembahasan

116 glaukoma mengalami rasa tidak berdaya, takut akan ancaman kebutaan, merasa hidup dalam keterbatasan, kekhawatiran jika glaukoma menyerang keluarga mereka , dan menjadi mudah marah. Temuan lain dalam penelitian ini adalah kelima subjek mengalami perubahan pola kerja dan aktivitas. S5 juga mengalami beban secara finansial dalam pengobatan yang ditanggungnya selama mengalami glaukoma. Oleh karena kelima subjek mengalami perubahan kondisi fisik, psikologis, dan sosial, mereka berupaya untuk melakukan penerimaan atas diri dan kondisi yang mereka alami. Hal ini tampak dari emotion focused coping yang penderita glaukoma lakukan untuk mengurangi dampak psikososial yang dialami dan sebagai upaya penerimaan atas diri. Emotion focused coping yang kelima subjek lakukan sesuai dengan yang dipaparkan oleh Lazarus dan Folkman 1984 , dimana mereka cenderung mengurangi penderitaan emosional mencakup berbagai strategi menghindar, memimalisasi, perbandingan positif, dan mencari nilai positif dari sebuah peristiwa negatif. Kelima subjek melakukan emotion focused coping yang terkait religiusitas seperti berdoa yang dilakukan oleh S1,S3,dan S5. Dengan berdoa S1 menjadi lebih tenang dan menerima keadaan. Selain itu S2 dan S3 melihat sakit sebagai ujian, dengan begitu kesedihan S2 menjadi berkurang dan menerima sakitnya sebagai bentuk ujian yang harus ditempuhnya. Pada S3 dengan berdoa membuatnya menjadi tenang untuk menjalani 117 kehidupannya dan tetap mensyukuri keadaannya. Lain halnya dengan yang S4 alami, bahwa ia menilai bahwa sakit datangnya sehingga tidak menyalahkan siapa – siapa akan sakit yang dialaminya. Hal ini senada dengan hasil penelitian Shu-Xin Xi 2011, dimana mereka menilai dengan berdoa membuat kondisi mereka menjadi lebih baik. Selain itu seperti dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Shu Xin-Xi, dalam penelitian ini subjek juga melakukan emotion focused coping terkait dengan pemikiran seperti S2 yang berusaha tidak putus asa , S1,S2,S3,dan S5 yang menangkan pikiran negatif, berpikir bahwa sakit yang dialami tidak dapat disembuhkan seperti yang dialami oleh S1 dan S3, tidak mengeluh seperti yang dilakukan oleh S1. Meski mengalami glaukoma denga kondisi yang sebenarnya terbatas, namun S1 dan S4 tidak menjadikan sakit mereka sebagai beban dan batasan. Lain halnya dengan S3 yang mampu mengambil esensi bahwa dirinya begitu berharga karena merasa menjadi lebih dekat dengan anak – anaknya. Hal itu serupa dengan yang S4 alami, bahwa ia menilai dengan sakit yang ia alami, ia menjadi lebih dekat dengan orangtuanya. Pada S5 yang mengalami minder atas kondisinya, lama kelamaan juga merasa terbiasa dan tidak merasa minder karena ia melihat kondisinya secara objektif. Dengan berbagai upaya penerimaan menerima diri dan mengurangi dampak psikososial yang dialami, kesedihan yang S2 dan S4 alami pun berkurang, S1, S2, S4 menjadi lebih tenang, S3 menjadi 118 ikhlas dengan kondisi yang dialaminya, S3 dan S4 tidak merasa sendiri karena orang – orang disekitarnya mempedulikannya, S2,S3,S4 menjadi lebih berjuang, ketakutan akan mengalami kebutaan juga berkurang, menjadi sabar dalam menghadapi kehidupan kedepannya, terbiasa dengan kondisi, S3 dan S4 tidak mau merasa lemah, menjadi semangat, tidak menjadikan sakit sebagai beban, merasa diri mampu, mensyukuri keadaan, tidak mau dibatasi oleh keadaan, seberjalannya waktu kelima subjek mulai menerimanya. Kondisi seperti ini, dimana kelima subjek mampu mengelola diri hingga mampu menerima diri dan kondisinya merupakan tahap kelima penerimaan diri menurut Kubler-Ross 1998 . Pada tahap ini, muncul sikap penerimaan atas kondisi yang dialami, sehingga tidak lagi mengalami perasaan - perasaan negatif seperti marah, sedih, ataupun kecewa. Hasil dari emotion focused coping yang kelima subjek lakukan, mampu membentuk penerimaan diri positif kelima subjek. Kondisi yang dialami kelima subjek ini merupakan gambaran penerimaan diri positif yang dimiliki. Penerimaan diri positif pada masing – masing penderita glaukoma yang dapat tampak dari : a. Emosi Terkait dengan tidak adanya tekanan emosi sesuai dengan pernyataan Hurlock 1974 yang menyatakan bahwa keadaan saat seseorang mampu merelaksasikan kemarahan, kekecewaan, dan 119 rasa frustasi yang mereka alami. Hal ini senada dengan apa yang kelima subjek alami. Kondisi ini dapat menjadi dasar sebuah evaluasi dan penerimaan diri yang baik. Seperti yang S1 alami, dengan bersabar ia mampu merelaksasikan kemarahannya agar tenang agar tidak menjadi stress. Pada S2 kesedihan yang dialami direksasikannya dengan cara menganggap semua yang ia alami adalah sebuah ujian dari Tuhan sehingga kesedihannya berkurang. Pada S3 rasa kesal dan marahnya berkurang karena menyadari kondisi yang dialaminya. Lain halnya dengan S4 yang mampu menerima kondisinya sehingga kesedihannya berkurang. Pada S5 menghilangkan rasa marahnya dengan tujuan agar tidak menjadi semakin stress dan merugikan orang lain. b. Perilaku Sosial Perilaku sosial yang baik oleh kelima subjek meski sedang mengalami glaukoma menjadi perwujudan nyata dari penerimaan dirinya, seperti yang diungkapkan Hurlock 1974 , yang menyatarakan bahwa atas penerimaan baik dari lingkungan seperti mengikuti kebiasaan sosial di lingkungannya membuat seseorang mampu menerima dirinya sendiri. Kelima subjek masih melakukan kegiatan sosial di lingkungannya dan mereka tidak menjadikan sakit sebagai alasan untuk tidak bersosialisasi. c. Perspektif Diri 120 Pemahaman seseorang atas kemampuan dan ketidakmampuan mengenai diri seperti yang diungkapkan Hurlock 1974 sesuai dengan kemampuan kelima subjek dalam penelitian ini yang dengan baik mampu mengungkapkan persepsi atas diri mereka. Jersild 1963 juga menegaskan bahwa mereka yang yakin atas diri mereka mampu memperhitungkan keterbatasan dalam diri dan menghargai diri sendiri. Dalam temuan penelitian ini kelima subjek mampu mengungkapkan keterbatasan dalam diri mereka meskipun di lain sisi mereka tetap merasa diri mampu dan tidak ingin dibatasi oleh keadaan. Keyakinan subjek – subjek atas diri meskipun mengalami kekurangan dalam diri dalam penelitian in sessuai dengan teori penerimaan diri yang dinyatakan oleh Sheerer dalam Cronbach, 1963 , dimana Sheerer menyatakan bahwa dalam suatu kondisi seseorang tidak menyalahkan diri sendiri akan keterbatasan. Hal ini telah dilakukan oleh subjek dalam penelitian ini karena mereka memiliki keyakinan akan kemampuannya dalam menghadapi kehidupan, serta menganggap dirinya berharga. Seperti yang dialami oleh S1 yang menilai bahwa dirinya masih bermanfaat bagi diri sendiri, tidak malu dengan kondisinya karena ia menyadari kemampuan pekerjaan yang dimilikinya sehingga ia tidak merasa dibatasi oleh keadaan. Pada S2, ia berpikir bahwa dirinya masih mampu dan tidak mau merasa diri lemah sehingga berani berjuang menghadapi risiko atas penyakitnya. Pada S3 tetap 121 ingin berjuang karena merasa diri bisa meski sekarang memiliki kekurangan. S4 merasa memiliki banyak kemampuan yang masih bisa dikembangkan dan merasa mampu menjalani sakitnya. Pada S5 meski merasa minder dan memiliki kekurangan, ia tetap merasa bahwa hidupnya masih terus berjalan. d. Harapan Realistis Menurut Hurlock 1974 , harapan realistis berkontribusi untuk kepuasan diri dalam eksistensi untuk mencapai penerimaan diri. Kelima subjek dalam penelitian ini mampu mengutarakan harapan atas hidup mereka, yang disesuaikan dengan pemahaman atas kemampuan yang mereka miliki. Harapan yang mereka miliki sesuai dengan pemahaman Adler dalam Alwisol, 2008 yang dibangunnya berdasarkan keyakinan subjektif diri akan masa depannya. Kelima subjek memiliki harapan untuk kesembuhannya dan mereka tetap memiliki cita- cita terkait hidup mereka meski mengalami sakit. Harapan yang mereka miliki ini juga mendapatkan perhatian dari lingkungan sekitar dimana lingkungan mendukung harapan yang masing - masing subjek miliki. e. Respon terhadap penilaian orang lain Dalam penelitian ini hanya satu subjek yang mampu merespon dengan baik kritikan dari orang lain karena ia mampu melihatnya secara objektif. Hal ini sesuai dengan ungkapan Jersild 1985 , dimana mereka yang memiliki kemampuan menerima kritikan dari 122 orang lain, maka mereka mampu memperoleh esensi dari penerimaan mereka atas kritikan yang ditujukan kepadanya. Pada S5 ia mampu menerima kritikan dari orang lain atas kondisi tubuhnya, karena ia menyadari bahwa dirinya memang begitu adanya sesuai dengan yang orang lain ucapkan. Menurut Hulock 1974 , jika seseorang semakin baik dalam menerima diri secara positif, maka akan semakin baik pula penyesuaian diri dan sosialnya. Seperti yang dialami oleh subjek – sebjek dalam penelitian ini, dimana mereka mampu melakukan penyesuaian diri, yaitu : a Dampak dalam penyesuaian diri Keseluruhan subjek mampu mengenali kelemahan dan kelebihan dalam dirinya, serta memliki keyakinan diri self confidance . Dengan begitu mereka yang mampu menerima diri ini, dapat mengevaluasi dirinya secara realistis, sehingga mampu menggunakan potensi dalam dirinya secara efektif. Seperti yang S1 alami dimana ia masih merasa mampu dengan kondisinya dan tetap berkeinginan untuk memaksimalkan kemampuan yang dimilikinya dalam bidang komputer. Pada S2 penyesuaian diri yang dialaminya tampak dari keinginannya berjuang selama masih ada kesempatan dan penilaian baik atas dirinya dari lingkungan juga membuatnya menjadi bersemangat untuk mengembangkan kemampuannya 123 berMC. Lain halnya pada S3 yang merasa senang dengan kemampuannya bernyanyi dan ingin terus mengembangkannya. Pada S4 dengan sakit yang dialaminya membuatnya semakin terpacu untuk mengembangkan kemampuan pekerjaannya karena ia merasa puas dengan segala kondisi yang Tuhan sudah ciptakan dalam dirinya. S5 juga mengalami penyesuaian terhadap diri yang tidak terus menerus meratapi nasibnya dan berpindah mengembangkan kemampuan di masa depan. b Dampak dalam penyesuaian sosial Subjek yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk memberikan perhatian dan empati pada orang lain, serta mereka mampu mengadakan penyesuaian sosial yang lebih dibandingkan mereka yang cenderung bersikap inferior. Dari kelima subjek hanya empat subjek yang mampu melakukan penyesuaian secara sosial. Dimana pada S1, berusaha untuk memahami kondisi pasangannya sehingga tidak menyusahkan karena ini merupakan bentuk kemandirian yang sudah ditanamkan subjek dalam dirinya, S2 memberikan saran pada teman – temannya untuk memeriksakan kondisi mata agar tidak lengah seperti dirinya. S3 memberi perhatian pada orang lain dengan cara bertoleransi pada orang disekitarnya. Hal serupa juga dilakukan oleh S5 yang memberi saran pada teman – teman untuk memeriksakan kondisi mata jika mengalami keluhan. 124

2. Faktor – Faktor yang mempengaruhi penerimaan diri

Penerimaan diri positif kelima subjek ditinjau dari upaya menerima diri yang subjek lakukan dalam bentuk emotion focused coping hingga mampu memiliki penerimaan diri. Pada penelitian ini emotion focused coping sebagai upaya penerimaan diri yang dilakukan subjek dipengaruhi oleh dukungan sosial emosional dan pola asuh demokratis di masa kecil. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa ada subjek yang memperoleh lebih dari tiga jenis dukungan sosial, yaitu dukungan sosial informasi, emosional, dan instrumental. Akan tetapi, dukungan sosial emosional lah yang paling berkontribusi dalam emotion focused coping maupun penerimaan diri kelima subjek. Dukungan sosial emosional yang diterima kelima subjek ini sesuai dengan yang diutarakan Cohen dan Syme dalam Gottlieb, 1988 . Dimana mereka yang memperoleh dukungan sosial emosional ini memdapatkan wujud empati dari lingkungan sosialnya berupa pemahaman, pengertian akan kondisi dan keadaan, serta wujud ekspresi kasih sayang lainnya seperti nasehat, kepedulian, saran, dan pemberian semangat. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Salwa dkk, terkait dengan penerimaan diri narapidana wanita, 125 diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan positif antara dukungan sosial keluarga dengan penerimaan diri. Hal ini sesuai dengan dukungan sosial yang diperoleh S1, dimana istri dan orangtuanya memahami apa yang ia alami, memberi nasehat, perhatian, serta pedui dengan harapan yang ia miliki. Dengan begitu S1 merasa keluarga mempedulikannya sehingga dengan nasehat yang diberikan seperti mengingatkannya untuk berdoa membuat subjek menjadi tenang menghadapi sakitnya. Pada S2, dukungan sosial emosional yang diperolehnya dari lingkungan berbentuk sebuah pengertian akan perasaan yang subjek alami dan membantunya agar mampu menerima diri, nasehat untuk bersabar menghadapi sakitnya. S3 juga memperoleh dukungan sosial emosional seperti anak – anaknya yang menasehati subjek agar tenang dalam menghadapi sakit, ketenangan lain juga diperoleh subjek didoakan oleh teman gereja sehingga ia menjadi kuat menghadapi sakit. Nasehat dari anak – anak membuat subjek menerima keadaan karena keluarga mengajarkannya untuk lebih ikhlas. Pada S4,dukungan sosial emosional yang diperolehnya adalah nasehat dan support dari orangtua dan teman – teman, yang membuatnya merasa dipedulikan, dipahami, dan mengajarkan agar tidak putus asa. 126 Lain halnya dengan S5, perhatian dan kepedulian keluarga membuat rasa takutnya menghadapi masa depan menjadi berkurang. Dukungan sosial yang kelima subjek terima mampu membuat para subjek merasa berharga, nyaman, dan disayangi. Hal ini lah yang membuat mereka menjadi mampu mengelola emosi,perasaan, dan pikiran negatif sehingga mampu menerima diri. Selain itu , emotion focused coping salah satu subjek yaitu S3 dipengaruhi oleh pola asuh demokratis di masa kecil, dimana pola asuh di masa kecilnya inilah yang membuatnya menjadi pribadi yang mandiri, kuat, dan tidak cengeng sehingga mampu menerima kondisi yang dialami. Dengan begitu, subjek mampu mengurangi dampak psikososial dan penilaian negatif atas diri yang dialaminya. Setelah melakukan emotion focused coping sebagai upaya subjek dalam menerima diri dan mengurangi dampak psikososial yang kelima subjek alami, maka mereka dapat menerima diri dan kondisi yang mereka alami. Kemampuan penerimaan diri yang kelima subjek miliki dipengaruhi oleh : a. Dukungan Sosial Emosional Dukungan sosial emosional mempengaruhi harapan yang kelima subjek miliki. Tidak adanya hambatan dari lingkungan atas harapan yang subjek miliki sesuai dengan yang Hurlock 1974 utarakan dimana dukungan dan kesempatan dari lingkungan sekitar mempengaruhi harapan orang lain. Dengan adanya kesempatan dan 127 tidak adanya halangan dari lingkungan sekitar, maka harapan orang tersebut akan mudah tercapai. b. Konsep Diri Stabil Konsep diri yang stabil ini hanya dimiliki oleh dua dari lima subjek dalam penelitian ini. Dimana menurut Hurlock 1974 , mereka memiliki konsep diri stabil tidak akan terkadang menyukai dirinya dan terkadang tidak menyukainya. Hal ini ditegaskan oleh Feist dan Feist 2010 , karena konsep diri yang sudah terbagun tidak mungkin mengalami perubahan karena adanya penerimaan orang lain. Konsep diri yang stabil dari kedua subjek yaitu S1 dan S4 ini dapat dilihat dari konsep diri mereka yang tetap sama dari sebelum mengalami sakit hingga saat ini sudah mengalami sakit glaukoma. Mereka sama – sama tidak memiliki penilaian negatif atas diri mereka meskipun secara fisik mereka mengalami kekurangan. c. Kesuksesan atau keberhasilan Keberhasilan yang dialami subjek ini jelas mempengaruhi kemampuan dan usaha mereka dalam menerima diri dan kondisinya, sesuai teori yang diungkapkan Hurlock 1974 , bahwa keberhasilan yang pernah dialami seseorang dapat menimbulkan penerimaan diri,sedanglan kegagalan yang dialami dapat menimbulkan penolakan atas diri. Hal ini juga dialami oleh S2 dan S4, dimana penilaian atas kesuksesan yang mereka alami membuat mereka memiliki penilaian positif atas diri mereka. S2 dan S4 tidak 128 merasa dibatasi karena merasa meskipun mengalami sakit, mereka tetap bisa meraih kesuksesan. Kemampuan yang terwujud dari kesuksesan inilah yang menjadi tolak ukur mereka untuk lebih mengembangkan kemampuan yang dimiliki. d. Pola asuh demokratis Pola asuh di masa kecil memberi pengaruh pada penerimaan diri seseorang senada yang diungkapkan oleh Hurlock 1974 , bahwa mereka yang diasuh dengan gaya pengasuhan demokratis membuat individu menjadi percaya diri, bertanggungjawab secara sosial, dan cenderung menghargai diri sendiri. Seperti pada penelitian yang pernah dilakukan oleh Rizkiana dan Rernaningsih tentang penerimaan diri namun pada subjek penderita leukemia. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa pola asuh demokratis berperan pada penerimaan diri sesorang dalam menghadapi kondisi tertentu. Hal ini tampaknya sesuai dengan yang S1 dan S4 alami. Seperti yang dialami oleh S1 dan S4 dimana dengan pola asuh demokratis yang mereka terima, mampu menjadikan mereka pribadi yang mandiri dan percaya diri sehingga mampu menerima diri.