menimbulkan polusi udara, polusi pada air sungai, longsor tau estetika. Model ini umumnya dilakukan untuk suatu kota yang volume sampahnya tidak begitu besar.
Pengelolaan sampah yang kedua lebih maju dari cara urugan, yaitu tumpukan. Model ini bila dilaksanakan secara lengkap sebenarnya sama dengan teknologi aerobik. Hanya saja
tumpukan perlu dilengkapi dengan unit saluran air buangan, pengelolaan air buangan leachate dan pembakaran ekses gas metan flare. Model yang lengkap ini telah memenuhi
prasyarat kesehatan lingkungan. Model seperti ini banyak diterapkan dikota-kota besar. Namun, sayangnya model tumpukan ini umumnya tidak lengkap, tergantung dari kondisi
keuangan dan kepedulian pejabat daerah setempat akan kesehatan lingkungan dan masyarakat. Aplikasinya ada yang terbatas pada tumpukan saja atau tumpukan yang
dilengkapi saluran air buangan, jarang yang membangun unit pengelolaan air buangan. Meskipun demikian ada suatu daerah yang mengelolanya dengan kreatif. Berikut ini
beberapa model pengelolaan sampah di beberapa kota di jawa Sudradjat,2008;10-15
a. DKI Jakarta Bantar Gebang
Pengelolaan sampah DKI Jakarta di Bantar Gebang telah didirikan sejak tahun 1986. Lokasi lahan di Kabupaten Bekasi dan Pemerintah Provinsi Pemprov DKI Jakarta
membayar tipping fee kepada Pemda Bekasi sebesar Rp 60 juta per ton sampah. TPA Bantar Gebang dikelola dengan penerapan sistem tumpukan yang dilengkapi dengan IPAS Intalasi
Pengelolaan Air Sampah dan sistem drainage. Sistem drainage ini untuk menampung air buangan atau lindi hitam leachate ke dalam IPAS dan membuangnya ke sungai terdekat.
Sistem IPAS menggunakan activated sludge system, yaitu danau yang diberi aerasi dengan agiator pengaduk bertenaga besar. Operasional IPAS dan kebersihan drainage perlu
dikontrol dengan baik setiap hari agar tidak terjadi klaim dari masyarakat tentang kualitar air bangunan. Demikian juga jalan yang dilalui truk perlu dijaga kebersihan dari tetesan air yang
Universitas Sumatera Utara
keluar dari truk dan sampah yang berserakan sepanjang jalan tersebut. Tujuannya agar terhindar dari bau, pemandangan yang tidak sedap, serta munculnya penyakit yang
berhubungan dengan kesehatan kulit dan paru-paru. Namun pada kenyataannya, pada tahun 2005 penduduk disekitar TPA terserang penyakit dermatitis sebanyak 2.710 orang.
Pembakaran gas metan juga dilakukan pada beberapa timbunan meskipun tidak tertata baik. Pemisahan material anorganik dilakukan oleh pemulung yang jumlahnya
puluhan orang serta sudah merupakan kegitan social-ekonomi tersendiri dan melibatkan bisnis yang nilainya cukup besar. Meskipun model ini sangat minimal, tetapi terbukti efektif
dan telah menolong masyarakat DKI Jakarta dalam mengatsi masalah sampah. Permasalahan sampah di DKI Jakarta saat ini adalah volume sampah yang tidak bisa
ditampung lagi oleh areal yang ada. Perluasan areal ke daerah lain, terutama lintas provinsi tidak akan memecahkan persoalan, tetapi hanya akan memindahkan persoalan. Dengan
pendekatan ilmiah diharapkan aka nada jalan keluar yang lebih arif dan efektif.
b. Surabaya Sukolilo
Model TPA di Surabaya persis sama dengan DKI Jakarta, sekitar tahun 1980-an TPA Sukolilo diprotes oleh masyarakat setempat karena menimbulkan polusi bau, padahal
masyarakat datang ke lokasi setelah TPA tersebut berjalan beberapa tahun. Namun, hal ini tidak bisa diabaikan karena masalah social bagian dari masalah sampah kota. Sebagai jalan
keluar, Pemerintah Kota Surabaya selanjutnya mengimpor 1 satu unit incinerator pembakar dari Inggris. Ternyata, alat tersebut tidak efektif karena biaya pembakaran sangat
besar dan polusi bau berubah menjadi asap dan debu, bahkan partikulat. Aplikasi incinerator di Indonesia kurang sesuai karena kadar air sampah sangat
tinggi 80 sehingga sebagian energi yang digunakan untuk membakar minyak residu
Universitas Sumatera Utara
adalah untuk menguapkan air. Hal tersebut mengakibatkan biaya operasional alat tersebut menjadi sangat tinggi. Solusinya adalah TPA dipindahkan lokasinya ke daerah pantai di
wilayah kabupaten Sidoarjo. Masalah yang mungkin timbul di TPA baru ini adalah salinitas yang bisa menghambat efektivitas kerja mikroba. Selain itu, air buangan dari sampah akan
mengotori perairanperikanan karena jaraknya yang terlalu dekat. Semua kelemahan tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan pendekatan teknologi asal memungkinkan biayanya.
Aplikasi Incinerator di Indonesia kurang sesuai karena kadar air sampah sangat tinggi.
c. Solo Mojosongo