PEMBAHASAN HASIL DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN

E. PEMBAHASAN

Berdasarkan analisa dan interpretasi pada Bab IV mengenai dinamika komponen pembentukan identitas sosial pada kelompok straight, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab kedua responden penelitian yaitu, SJ dan MF selanjutnya disebut Partisipan 1 dan Partisipan 2 menjadi straight edge, tidak terlepas dari 3 komponen Pembentuk Identitas Sosial, yaitu identification, social comparison, dan categorization. Dimana pada setiap faktor pembentukan identitas sosial juga dipengaruhi proses sosialisasi kelompok evaluation, commitment, dan role transition yang sedang berlangsung. Kelompok hardcore sendiri juga merupakan kelompok yang memfasilitasi terbentuknya identitas sosial pada straight edge. Hal ini dikarenakan kelompok hardcore merupakan sumber awal terciptanya pergerakan straight edge, sehingga hardcore dan straight edge merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pendapat ini didukung oleh Foucault dalam Nilan, 2006, yang menyatakan bahwa straight edge bukan hanya sebuah istilah untuk sebuah subkultur anak muda tapi juga untuk genre musik hardcore. Sebelum mengenal budaya straight edge, kedua partisipan memiliki latar belakang yang mirip dalam mencoba konsumsi rokok, alkohol, dan obat-obatan. Mereka sama-sama mengaku mencoba rokok karena pengaruh lingkungan dan teman sebaya. Partisipan 1 dan partisipan 2 sama-sama memulai untuk mencoba rokok saat duduk di bangku SMP. Kedua partisipan mengaku bahwa pengaruh teman-temannya yang mengonsumsi zat-zat adiktif lah yang membuat mereka ikut terjerumus ke dalam konsumsi rokok, alkohol, dan narkoba. Rochadi 2004 menyatakan pengaruh merokok pada tahap awal yang terbesar didominasi oleh teman-teman. Disebabkan pada masa remaja, banyak waktu yang digunakan Universitas Sumatera Utara bersama teman-teman sebayanya, maka pengaruh kelompok sebaya menjadi salah satu faktor terpenting dalam memulai merokok pada remaja. Namun pada partisipan 1, perilaku merokok, dan mengonsumsi zat adiktif lain tidak memberikan efek kenikmatan, malah membuatnya merasa tidak nyaman. Partisipan 1 merasa bahwa setelah merokok, dadanya terasa sesak. Minum alkohol juga membuatnya merasakan pusing yang luar biasa. Karena tidak mendapatkan kenikmatan, partisipan 1 memutuskan untuk berhenti merokok, dan meminum alkohol. Sedangkan pada Pastisipan 2, keputusannya untuk berhenti mengonsumsi rokok, alkohol, dan obat- obatan muncul setelah mengenal pergerakan straight edge. Dari uraian hasil analisa dan interpretasi hasil penelitian mengenai dinamika komponen pembentukan identitas sosial, diketahui bahwa partisipan 1 dan partisipan 2 memulai proses pembentukan identitas sosial pada masa remaja. Dimana partisipan 1 berusia 15 tahun, sedangkan partisipan 2 berusia 18 tahun. Di masa itu, remaja harus memutuskan siapakah mereka, apa keunikannya, dan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Sebab menurut Erikson dalam Santrock, 2007, remaja dihadapkan pada pencarian identitas. Dalam proses pencarian identitas, selama belum mencapai identitas yang stabil, remaja akan terus mengeksplorasi dan bereksperimen mengania peran-peran dan kesempatan yang ada di sekelilingnya. Digambarkan dari usaha partisipan 1 dan partisipan 2 dalam mencari identitas baru, hal ini berarti kedua partisipan sedang mengalami krisi identitas dan belum menemukan identitasnya yang stabil pada masa itu. Peristiwa ini menurut Marcia dalam Santrock 2007, disebut sebagai identity moratorium, yang dikarakteristikkan dengan terbentuknya crisis hal – hal alternatif dalam mempertimbangkan pertanyaan yang menyangkut identitas, namun belum memutuskan terbentuknya Universitas Sumatera Utara commitment keyakinan mengenai hal yang hendak dilakukan, sehingga dari karakteristik tersebut kedua partisipan masih mengalami krisis identitas. Adapun dalam proses pembentukan identitas, diperlukan pengetahuan tentang diri. Pengetahuan diri berasal dari berbagai sumber, salah satu nya kelompok, sebab salah satu fungsi kelompok adalah sebagai sumber identitas. Dari hasil analisa, diketahui bahwa latar belakang informasi mengenai eksistensi kelompok straight edge pada kedua partisipan sangat mirip. Proses diawali dengan hobi Partisipan 1 dan Partisipan 2 , yang sama-sama menyukai musik hardcore dan sering pergi ke pertunjukan musik hardcore. Dalam perilakunya menonton pertunjukan musik hardcore, Partisipan 1 dan Partisipan 2 sama-sama melihat simbol X untuk pertama kali saat menyaksikan penampilan dari band hardcore bernama Empat Belas. Saat pertama kali melihat simbol X, kedua partisipan merasa bingung, dan kemudian menebak-nebak mengenai tujuan vokalis Empat belas mencoret tangannya dengan simbol X. Partisipan 1 mengobservasi sekelilingnya pada saat itu, dan mengira bahwa simbol X yang digunakan vokalis Empat Belas semata-mata hanya untuk gaya. Sedangkan pada Partisipan 2, ia berfikir bahwa simbol X merupakan identitas geng dan identitas band Empat Belas. Rasa penasaran kemudian membuat kedua partisipan memutuskan untuk bertanya kepada rekannya akan arti simbol X. Dalam menjawab rasa penasaran, Partisipan 2 lebih cepat mengambil tindakan. Meskipun segan, Partisipan 2 bersama dengan teman nya langsung menanyakan arti simbol X saat itu juga kepada vokalis Empat Belas. Vokalis Empat Belas merupakan sumber awal partisipan 2 dalam mengenal budaya straight edge. Sedangkan partisipan 1 menjawab rasa penasarannya di kemudian hari, dengan Universitas Sumatera Utara bertanya kepada teman nya di sekolah. Hal ini menandakan bahwa kelompok merupakan sumber informasi. Dari uraian analisa dan interpretasi, ditemukan bahwa proses sosialisasi mencul pertama sekali, kemudian diikuti oleh kemunculan komponen identitas sosial pada partisipan 1 dan 2. Proses sosialisasi yang terjadi pertama kali adalah evaluation. Setelah mendapatkan informasi awal mengenai straight edge, kedua partisipan kemudian sama-sama mengumpulkan informasi lebih dalam mengenai straight edge melalui internet, membaca zine, mendengarkan lagu band dan membaca lirik straight edge, serta melakukan tukar pikiran bersama temannya. Setelah diawali oleh proses sosialisasi yaitu evaluation, kemudian komponen pembentukan identitas sosial mulai muncul. Komponen identitas sosial yang muncul pada Partisipan 1 dimulai dengan categorization. Partisipan 1 merasa bahwa pergerakan straight edge cocok dan mirip dengan keadaan dirinya pada saat itu, karena partisipan 1 sudah berhenti dari konsumsi rokok, alkohol dan obat-obatan terlarang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tajfel dalam Burke Stets, 1998 bahwa identitas sosial dimulai dengan categorization. Sedangkan pada partisipan 2, komponen pembentuk identitas sosial yang pertama kali tampak adalah social comparison. Dimana partisipan 2 merasa bahwa identitas straight edge sangat unik dan berbeda dengan pergerakan lain. Setelah Partisipan 1 melalui categorization, dan Partisipan 2 melalui social comparison, kedua partispan kembali melakukan proses evaluation sosialisasi untuk memastikan apakah straight edge merupakan pergerakan yang pantas untuk diikuti. Hasil evaluasi ini kemudian menumbuhkan komitmen awal pada kedua partisipan untuk menjadi straight edge. Universitas Sumatera Utara Komitmen awal pada kedua partisipan muncul melalui sebuah lagu dari sebuah band hardcore straight edge, bernama Youth of Today. Dimana pada partisipan 1, lagu berjudul make a change membuka pikiranya bahwa sebelum ia mengubah dunia, ia harus mengubah dirinya terlebih dahulu. Sedangkan pada partisipan 2, lagu berjudul break down the wall mengubah pola pikirnya untuk menyadari potensi, dan tidak mudah terpengaruh untuk mengikuti orang lain. Hal ini lah yang kemudian membuat partisipan 2 memutuskan untuk meninggalkan kebiasaanya mengonsumsi zat adiktif berbahaya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sacks 2013, bahwa musik menurut mampu menggerakkan kita ke ketinggian atau kedalaman emosi. Sehingga melalui musik, kedua partisipan memunculkan komitmen awalnya. Dari uraian analisa dan interpretasi hasil penelitian kemudian diperoleh bahwa komponen pembentukan identitas kedua yang muncul dari kedua partisipan, berbeda. Dimana pada partisipan 1, setelah mengalami proses categorization, proses kedua yang muncul adalah faktor social comparison. Pada proses ini, partisipan 1 merasa straight edge unik dan berbeda dari kelompok lain. Latar belakang straight edge yang merupakan budaya murni hardcore juga membuat partisipan 1 memilih untuk menjadi straight edge. Pilihan ini diikuti oleh commitment yang muncul pada partisipan 1. Partisipan 1 merasa mampu menjadi straight edge karena menyadari kapasitas dirinya, dan memastikan dirinya tidak akan kembali ke masa lalu. Hal ini kemudian menandakan role transition dari non member menjadi new member. Berbeda dengan kemunculan koponen yang dialami partisipan 1, setelah mengawali social comparison, partisipan 2 kemudian langsung melakukan identification pada dirinya sebagai straight edge. Partisipan 1 merasa bahwa dirinya Universitas Sumatera Utara adalah straight edge setelah berhenti mengonsumsi zat adiktif berbahaya, serta merasa sudah memiliki informasi yang cukup mengenai straight edge. Sedangkan pada partisipan 1, komponen identification muncul setelah melakukan categorization dan social comparison. Dengan kata lain, identification muncul sebagai komponen ketiga pada partisipan 1. Adapun pada identification, perilaku commitment yang muncul pada kedua partisipan adalah menggunakan simbol X sebagai bentuk identitas sosial. Simbol X ini digunakan untuk mengkomunikasikan identitas mereka sebagai straight edge, sehingga dapat terjadi categorization antara individu dan kelompok dan sebaliknya. Pada partisipan 1, ketika memakai simbol X untuk pertama kalinya, dirinya langsung dihampiri oleh anggota straight edge. Kelompok mengkategorisasikan nya partisipan 1 sebagai anggota kelompok. Sehingga ini menandakan adanya acceptance kelompok terhadap partisipan 1, sehingga muncul role transition dari new member menjadi full member. Setelah mendapatkan penerimaan dari kelompok, rasa bangga membuat partisipan 1 memakai simbol X secara berlebihan, bahkan di sekolah. Namun simbol X ini membuat rasa penasaran dari lingkungan, sehingga banyak yang mempertanyakan arti simbol X kepada partisipan 1. Artinya, simbol X sangat mempengaruhi individu dan memberikan pengaruh pada lingkungan. Selanjutnya selama identification terjadi, partisipan 1 merasa kehidupannya sangat monoton. Kemudian muncul ide pada partisipan 1 untuk membentuk sebuah band. Akhirnya, partisipan 1 bertemu dengan partisipan 2 di sebuah acara, dan akhirnya mengajak partisipan 2 untuk bergabung dan membentuk sebuah band. Peristiwa ini merupakan proses role transition pada partisipan 2, dari Universitas Sumatera Utara new member menjadi full member. Ada peningkatan komitmen di antara kedua partisipan. Yang berarti, komitmen terhadap identitas sosial semakin meningkat ketika individu berda di kelompok yang lebih kecil sub-kelompok. Komponen pembentukan identitas sosial ketiga yang muncul pada partisipan 2 adalah categorization. Di masa ini, partisipan 2 memahami bahwa simbol X merupakan ciri identitas utama pada straight edge. Namun partisipan 2 sendiri mengaku membuat simbol X berdasarkan mood dan penampilan saja. Ia tidak beniat menyebarkan identitasya untuk menghindari narsis. Persepsi lain yang muncul di tahap ini, untuk membedakan in group dan out group, partisipan 2 mengobservasi perilaku konsumsi yang tampak. Kesadaran ini kemudian menumbuhkan group sterotype pada partisipan 2. Doosje, Ellemers, Spears 1995 menyatakan bahwa pada tingkat persepsi, anggota kelompok yang berkomitmen dalam kelompok dapat menekankan homogenitas ingroup yang membedakan antara kelompok in group – out group. Partisipan 2 meyakini bahwa karakteristik perilaku yang tampak misalnya memakai baju band straight edge, ataupun tidak merokok belum tentu menujukkan identitas straight edge seseorang. Dugaan ini muncul karena partisipan 2 sering memperhatikan bahwa memakai baju band straight edge merupakan salah satu bentuk apresiasi kelompok hardcore terhadap kelompok straight edge. Selama menjadi straigth edge, kedua partisipan mengalami proses evaluation yang terus menerus. Evaluasi mengacu pada perbandingan atau pertimbangan manfaat yang terus menerus dipertimbangkan oleh individu pada masa lalu, masa sekarang, serta masa depan, dengan manfaat hubungan alternatif yang potensial Universitas Sumatera Utara Thibaut Kelley dalam Hogg Vaughan, 2002. Pada partisipan 1 yang telah menjalani kehidupan sebagai stright edge selama kurang lebih selama 9 tahun, ia sempat merasakan kejadian atau evaluasi yang negatif. Partisipan 1 merasa sering diremehkan oleh wanita karena dianggap tidak jantan dengan keputusannya untuk tidak merokok. Sedangkan partisipan 2 yang telah menjalani kehidupan selama straight edge selama 6 tahun, sempat merasakan kecemburuan terhadap non straight edge, rindu terhadap masa lalu, dan ketidak puasan dengan kelompok straight edge. Partisipan 2 menganggap beberapa straight edger berlebihan mengenakan identitasnya, namun tidak bisa bertanggung jawab Untuk kembali mengembalikan kepuasannya, Partisipan 2 akhirnya melalui sebuah tahap sosialisasi, bernama resocialisation. Usaha yang dilakukan Partisipan 2 dalam mengembalikan kepuasan nya terhadap kelompok straight edge adalah dengan mengubah pemikirannya, dan bersikap wajar karena straight edge bukan termasuk kelompok formal. Selain evaluasi negatif, kedua partisipan juga memiliki evaluasi yang positif selama menjadi straight edge. Kedua partisipan sama-sama merasa kehidupannya jauh lebih baik setelah menjadi straight edge, merasa lebih mampu mengontrol diri, dan merasa senang karena akhirnya bisa membentuk band straight edge dan mengembangkan jaringan yang lebih luas, baik dari dalam, maupun luar negeri. Evaluasi positif lain yang dirasakan oleh Partisipan 1 antara lain, Partisipan 1 merasa dirinya terkenal dan disponsori oleh salah satu clothing line straight edge, dan mendapat sanjungan dari orang terdekatnya. Sedangkan evaluasi positif lain yang dirasakan oleh Partisipan 2, antara lain disenangi oleh orang tua gadis yang sedang didekatinya karena tidak merokok, dan dipercaya oleh keluarganya. Dari hasil perbandingan evaluasi positif dan negatif, Partisipan 1 merasa bahwa dengan diremehkan, akan semakin membuatnya termotivasi untuk mempertahankan Universitas Sumatera Utara identitasnya, karena straight edge telah banyak mengubah hidupnya. Sehingga jika ada yang menjelekkan straight edge, Partisipan 1 akan mengkritik balik sebagai bentuk pembelaan. Sedangkan Partisipan 2 merasakan tumbuhnya rasa cinta terhadap straight edge, sehingga akan marah, bahkan akan melakukan kekerasan jika ada yang menjelekkan straight edge. Hal ini sesuai dengan pernyataan Doosje dalam Ellemers et al, 2002 bahwa ketika nilai moral kelompok terancam, berbeda dengan anggota kelompok kurang berkomitmen, mereka yang merasa memiliki komitmen tinggi terhadap kelompok mereka memnunculkan reaksi-reaksi afektif dalam hal mengungkapkan kesetiaan seseorang terhadap kelompoknya. Selanjutnya menurut Dijker dalam Ellemers, et al 2002, ketika nilai-nilai kelompok mereka terancam, anggota kelompok yang kuat lebih mungkin untuk mengekspresikan kemarahan dan penghinaan terhadap outgroup. Sesuai juga dengan penelitian Doosje, Ellemers, Spears 1995 yang menyatakan bahwa individu dengan status kelompok yang tinggi, menilai kelompok mereka lebih baik dari outgroup. Ellemers, Kortekaas Ouwerkerk 1999 menyatakan bahwa ada 3 komponen yang berkontribusi dalam pembentukan identitas sosial, yaitu cognitive kesadaran kognitif seseorang mengenai keanggotaan nya dalam sebuah kelompok – dalam hal ini self categorization. Kedua, evaluative component nilai konotasi positif atau negatif yang melekat pada keanggotaan kelompok – group self esteem. Yang ketiga, emotional component rasa keterlibatan emosional dengan kelompok – affective commitment. Ketiga komponen ini merupakan fondasi dalam pembentukan identification, social comparison, dan categorization yang dialami kedua partisipan. Evaluasi menghasilkan komitmen individu pada kelompok. Komitmen menghasilkan hasrat untuk melanjutkan keanggotaan Burn , 2004. Hal ini lah yang Universitas Sumatera Utara membuat kedua partisipan bertahan pada komitmen nya sebagai straight edge hingga sekarang, sebab komitmennya sudah stabil. Jika kembali menggunakan teori identitas remaja oleh Marcia dalam Santrock, 2007, hal ini berarti kedua partisipan sudah berada di status identy achievment. Karena kedua partisipan sudah memiliki pilihan crisis, dan telah memiliki keyakinan akan pilihannya commitment. Sehingga hal ini lah yang menyebabkan stabil nya identitas kedua partisipan hingga sekarang. Ellemers, Spears, Doosje 2002 juga berpendapat bahwa ketika membahas mengenai identitas kolektif, tingkat komitmen menentukan bagaimana karakteristik kelompok, norma-norma, atau hasil akan mempengaruhi persepsi, afektif, dan respon perilaku individu dalam kelompok itu. Universitas Sumatera Utara E.1. Dinamika Komponen Pembentukan Identitas Sosial pada SJ Partisipan 1 Komponen Evaluation Commitment Role Transition Categorization Merasa cocok dengan straight edge Kagum dengan straight edge Kecemasan akan di judge oleh sraight edge lain Mengumpulkan informasi lebih dalam lagi Ingin menjadi bagian dari straight edge Muncul setelah mendengar lagu Make a Change Non member Social comparison Memilih straight edge meskipun banyak pergerakan lain Merasa straight edge unik Ingin berbeda dengan yang lain. Merasa mampu menjadi straight edge Menyadari kapasitas dirinya Yakin tidak akan kembali ke masa lalu Non member – new member Identification Usia 15 tahun mengklaim diri sebagai straight edge Dihampiri straight edge lain saat memakai simbol X Berbaur dengan kelompok Merasa hidupnya monoton Membentuk band straight edge Diremehkan beberapa wanita Membuat simbol X saat pergi ke acara. Memakai simbol X secara berlebihan Komitmen meningkat setelah punya band Merasa simbol X sudah melekat di dalam hati Akan marah jika ada yang mengucilkan straight edge New member – acceptance – full member Universitas Sumatera Utara E.2. Dinamika Komponen Pembentukan Identitas Sosial pada MF Partisipan 2 Komponen Evaluation Commitment Role Transition Social comparison Merasa straight edge berbeda dari kelompok hardcore lain Introspeksi terhadap perilakunya Kagum dengan budaya straight edge Ketidak puasan terhadap budaya hardcore Mengumpulkan informasi lebih dalam lagi Ingin menjadi bagian dari straight edge Muncul setelah mendengar lagu break down the wall Berhenti dari konsumsi negatif. Non member Identification Mengklaim diri sebagai straight edge Dijadikan bahan lelucon oleh temannya. Berfikir positif mengenai olokan temannya Diajak untuk membentuk band straight edge Merasa bahwa dirinya adalah straight edge Menggunakan simbol X saat berada di acara Merasa sudah benar-benar menjadi straight edge setelah memiliki band Non member – new member New member- acceptance – full member Categorization Memahami bahwa simbol X adalah identitas straight edge Tidak mau memamerkan identitasnya secara berlebihan Full member – quasi member Memperoleh banyak keuntungan setelah menjadi straight edge Universitas Sumatera Utara Muncul stereotype terhadap non straight edge Merasa kesal dengan beberapa straight edger- Cemburu terhadap non straight edge - Rindu terhadap masa lalu - Merekonstruksi pemikirannya untuk pemecahan masalah Memakai simbol X berdasarkan mood dan penampilan Cinta dan bangga terhadap straight edge Marah, bahkan akan melakukan kekerasan jika ada yang mengucilkan straight edge Quasi member – full member Universitas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen yang terkait

POLA KOMUNIKASI KOMUNITAS PUNK DALAM PENYEBARAN PAHAM STRAIGHT EDGE (Studi pada Komunitas Punk Straight Edge di Malang)

6 34 21

Konsep diri penganut straight edge dalam komunitas musik underground : (studi fenomenologi mengenal konsep diri penganut straight edge dalam komunitas musik underground di Kota Bandung)

0 9 14

KOMUNITAS MUSIK HARDCORE STRAIGHT EDGE DI KABUPATEN BATANG

8 94 126

Konsep diri penganut straight edge dalam komunitas musik underground : (studi fenomenologi mengenal konsep diri penganut straight edge dalam komunitas musik underground di Kota Bandung)

0 5 116

REKONSTRUKSI IDENTITAS ETNIK PADA KELOMPOK KOMUNITAS ETNIK MANDAILING DI KOTA MEDAN.

0 6 39

Dinamika pembentukan internalized homophobia pada orang yang mengalami gangguan identitas gender.

5 13 194

BAB II LANDASAN TEORI A. IDENTITAS SOSIAL 1. Definisi Identitas Sosial - Dinamika Pembentukan Identitas pada Kelompok Straight Edge di Kota Medan

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH - Dinamika Pembentukan Identitas pada Kelompok Straight Edge di Kota Medan

0 0 13

Dinamika Faktor Pembentukan Identitas Sosial Pada Kelompok Straight Edge di Kota Medan SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

0 0 10

PEMBENTUKAN IDENTITAS KELOMPOK PADA GRUP MUSIK KERONCONG LIWET DI KOTA SURABAYA Wahyu Eka Prasetyo 071311433081 (Prodi S1 Sosiologi, FISIP, UNAIR) ABSTRAK - PEMBENTUKAN IDENTITAS KELOMPOK PADA GRUP MUSIK KERONCONG LIWET DI KOTA SURABAYA Repository - UNAIR

0 0 21