Pengaruh Ventilasi Alami terhadap Kualitas Udara (Konsentrasi CO2) di Ruangan Kelas

(1)

DI RUANGAN KELAS

SKRIPSI

OLEH

SHARA CHINTIA

100406045

DEPARTEMEN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

DI RUANGAN KELAS

SKRIPSI

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Dalam Departemen Arsitektur

Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

SHARA CHINTIA

100406045

DEPARTEMEN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGARUH VENTILASI ALAMI

TERHADAP KUALITAS UDARA (KONSENTRASI CO2)

DI RUANGAN KELAS

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 14 Juli 2014


(4)

Nama Mahasiswa : Shara Chintia Nomor Pokok : 100406045 Departemen : Arsitektur

Menyetujui Dosen Pembimbing

Ir. Basaria Talarosha, M.T.

Koordinator Skripsi, Ketua Program Studi,

Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc Ir. N. Vinky Rahman, M.T.


(5)

Panitia Penguji Skripsi

Ketua Komisi Penguji : Ir. Basaria Talarosha, M.T. Anggota Komisi Penguji : 1. Yulesta Putra, S.T., M.Sc.


(6)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana teknik Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar – besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Ir. Basaria Talarosha, M.T., selaku dosen pembimbing yang telah memperhatikan, membimbing, dan meluangkan waktu beliau serta meminjamkan alat CO2 meter kepada penulis selama masa penelitian

sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

2. Yulesta Putra, S.T., M.Sc. dan Firman Eddy, S.T., M.T., selaku dosen penguji yang telah membimbing dan memberikan banyak masukan yang berharga kepada penulis dalam penyempurnaan penulisan karya ilmiah ini. 3. Ir. N. Vinky Rahman, M.T. dan Ir. Rudolf Sitorus, M.L.A., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara atas bimbingan selama perkuliahan hingga penyelesaian studi dan juga penulisan karya tulis ilmiah ini.

4. Dr. Ir. Dwira N. Aulia, M.Sc. dan Ir. Bauni Hamid, M.DesS, Ph.D, selaku dosen koordinator, serta seluruf staf pengajar Departemen Arsitektur atas bimbingan selama masa perkuliahan, tata cara penulisan skripsi, serta memantau progress skripsi penulis.

5. Ibu kepala sekolah SDN 066048 dan SDN 066049 atas sambutan yang hangat dan telah memberikan izin dan membantu selama proses penelitian. 6. Wali kelas II dan VA di SDN 066049 yang telah membantu selama proses penelitian dengan mengizinkan dan mengakomodasi tempat untuk melakukan penelitian.


(7)

7. Para staf pengurus dan staf pengajar yang lainnya di SDN 066049 yang turut membantu dan mendukung selama proses penelitian. Siswa-siswi kelas II dan kelas VA yang rela untuk berpindah-pindah tempat duduk dan membantu menjaga alat ukur.

8. Ayah, Ibu, dan seluruh anggota keluarga penulis yang selalu memotivasi, mendukung dan mengantar-jemput penulis selama masa perkuliahan. 9. Sherly Chandra yang telah bersedia meminjamkan alat ukur anemometer

dan memberikan arahan cara pemakaian anemometer.

10.Teman – teman sekelompok dosen pembimbing, Melia, Jenny, dan Meliana sebagai teman senasib seperjuangan selama masa penelitian. 11.Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara moril maupun materiil,

yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih banyak memiliki kekurangan, namun demikian semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, 14 Juli 2014 Penulis


(8)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sistem ventilasi alami terhadap kualitas udara (konsentrasi CO2) yang dilakukan pada sekolah

dasar dengan mengkondisikan kelas dalam 2 sistem ventilasi yang berbeda, yaitu sistem ventilasi silang (cross ventilation) dan sistem ventilasi single-sided. Penelitian dilakukan selama masa belajar (07.30–12.05) dengan pintu tetap dibiarkan terbuka. Selain dilakukan pengukuran terhadap laju ventilasi dan konsentrasi CO2, juga dilakukan observasi terhadap perubahan aktivitas dan

jumlah pengguna ruangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju ventilasi mempengaruhi konsentrasi CO2 di dalam ruangan, namun cenderung dipengaruhi

oleh aktivitas dan jumlah siswa. Meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari kedua sistem ventilasi, namun konsentrasi CO2 pada sistem

ventilasi cross lebih rendah daripada single-sided. Ketika ruangan dikondisikan dalam keadaan tidak berventilasi dengan kondisi yang sama, maka konsentrasi CO2 dari hasil perhitungan dengan mengabaikan infiltrasi akan mencapai 1.620

ppm ada masa belajar.

Kata kunci: ventilasi alami, kualitas udara (IAQ), konsentrasi CO2, cross ventilation, single-sided ventilation


(9)

This study aims to determine about natural ventilation effect towards indoor air quality (CO2 concentration), which was carried out in a primary class that was set in two different ventilation systems, cross ventilation and single-sided ventilation. This research was conducted during study period (07.30 a.m – 12.05 p.m) with the door left open. Ventilation rate and CO2 concentration were observed, and so did the changes in activity and occupant. The results shows that ventilation rate do have effect on CO2 concentration inside the room (classroom), but more likely influenced by activity and occupant. The two ventilation systems do not show a significant difference, but cross ventilation system provide lower CO2 concentration than single-sided ventilation. And when the room was conditioned un-ventilated on the same classroom with same the condition (by ignoring the possibility of infiltration), CO2 concentration would reach 1.620 ppm during 4,5 hours of study period.

Keywords: natural ventilation, indoor air quality (IAQ), CO2 concentration,, cross ventilation, single sided-ventilation


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……… i

SURAT PERNYATAAN………. iii

LEMBAR PENGESAHAN………. iv

KATA PENGANTAR……….. vi

ABSTRAK……… vii

ABSTRACT……… vii

DAFTAR ISI……… x

DAFTAR TABEL……… xiii

DAFTAR GAMBAR………xiv

DAFTAR GRAFIK………. xvi

DAFTAR ISTILAH……… xvii

BAB 1. PENDAHULUAN………... 1

1.1Latar Belakang……… 1

1.2Perumusan Masalah……… 1

1.3Tujuan Penelitian………. 2

1.4Manfaat Penelitian………... 2

1.5Kerangka Berpikir……… 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA………. 4

2.1 Indoor Air Quality (IAQ)... 4

2.2 Udara……… 5

2.3 ↑entilasi……...……… 5

2.3.1 Ventilasi Alami... 6

2.3.2 Cross Ventilation dan Single-sided Ventilation... 7

2.3.3 Laju Ventilasi... 9

2.4 Sumber Polutan... 10

2.5 Jenis dan Sumber Polutan serta Efek yang Ditimbulkan……… 10


(11)

1) Karbon Monoksida (CO) ………. 10

2) Karbon Dioksida (CO2) ………... 11

3) Ozon (O3)... 12

4) Nitrogen Dioksida (NO2)……….. 13

5) Radon……… 14

2.5.2 Polutan Organik………. 14

1) Benzena………. 14

2) Formaldehyde………... 16

3) Naftalin……… 17

2.5.3 Jamur……….. 17

2.5.4 Bakteri Legionella sp.……… 18

2.5.5 Asbes……….. 18

2.6 Indoor Air Qualitypada Sekolah……… 18

2.7 Indoor Air Qualitydan ↑entilasi………. 19

2.8 Penelitian Terkait……… 20

2.8.1 Efek Pengkondisian Ventilasi yang Berbeda terhadap Konsentrasi CO2 dalam Ruangan……… 20

2.8.2 Distribusi CO2 pada Ruangan dengan Sistem Ventilasi Alami dan Pemanasan yang Tinggi dalam Ruangan……… 21

2.9 Sintesa Pustaka……… 22

BAB3. METODOLOGI……….. 24

3.1 Jenis Penelitian……… 24

3.2 ↑ariabel Penelitian………... 25

3.3 Populasi/Sampel……….. 25

3.4 Metode Pengumpulan Data………. 25

3.5 Kawasan Penelitian……….. 26

3.5.1 Lokasi Penelitian... 26

3.5.2 Objek Penelitian... 33


(12)

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 37

4.1 Analisa Pengaruh Cross Ventilation terhadap Konsentrasi

CO2……… 41

4.2 Analisa Pengaruh Single-sided Ventilation terhadap Konsentrasi

CO2……… 53

4.3 Perbandingan Grafik Konsentrasi CO2 pada Cross Ventilation

dan Single-sided Ventilation……… 70

4.4 Kondisi Udara (Konsentrasi CO2) pada Ruang Kelas Tertutup

(Tidak ber-Ventilasi)………. 71

BAB 5. KESIMPULAN………... 74


(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal

2.1 Konstanta penyesuaian proporsi bukaan akibat tekanan angin …… 10 2.2 Efek senyawa gas CO2………. 12

3.1 Spesifikasi alat ukur yang digunakan ……….. 24 3.2 Data SDN 066048 dan SDN 066049……… 28 4.1 Pengukuran konsentrasi CO2 di luar kelas pada hari Jumat, 6 Juni

2014………... 40

4.2 Pengukuran pengaruh ventilasi alami dengan konsentrasi CO2

(Cross Ventilation) pada hari Senin 26 Mei 2014……… 41 4.3 Penjabaran analisa grafik pada hari Senin 26 Mei 2014, cross

ventilation……… 42

4.4 Pengukuran pengaruh ventilasi alami dengan konsentrasi CO2

(cross ventilation) pada hari Senin 2 Juni 2014……… 48 4.5 Penjabaran analisa grafik pada hari Senin 2 Juni 2014, cross

ventilation……… 49

4.6 Pengukuran pengaruh ventilasi alami dengan konsentrasi CO2

(single-sided ventilation) pada hari Rabu 28 Mei 2014……… 53 4.7 Penjabaran analisa grafik pada hari Rabu 28 Mei 2014, single-

sided ventilation……… 54

4.8 Pengukuran pengaruh ventilasi alami dengan konsentrasi CO2

(single-sided ventilation) pada hari Selasa 3 Juni 2014……… 59 4.9 Penjabaran analisa grafik pada hari Selasa 3 Juni 2014, single-

sided ventilation……… 60

4.10 Pengukuran pengaruh ventilasi alami dengan konsentrasi CO2

(single-sided ventilation) pada hari Rabu 4 Juni 2014……… 65 4.11 Penjabaran analisa grafik pada hari Rabu 4 Juni 2014, single-


(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hal

2.1 Perbandingan ukuran bukaan dengan kecepatan angin rata-rata

aliran udara ……… 7

2.2 Single-sided ventilation dan Cross Ventilaion………. 8

2.3 CO2 sebagai indikator sistem ventilasi di kelas……… 19

3.1 Kawasan SDN 066048 dan SDN 066049………. 27

3.2 Lokasi SDN 066048 dan SDN 066049………. 27

3.3 Area di sekitar SDN 066048 dan SDN 066049 …... 27

3.4 Tampak utara bangunan SDN 066049………. 28

3.5 Tampak selatan bangunan SDN 066049……….. 28

3.6 Tampak barat bangunan SDN 066049………. 28

3.7 Tampak timur bangunan SDN 066049………. 28

3.8 Keyplan SDN 066048 dan SDN 066049 ……….. 29

3.9 Massa bangunan A di SDN 066049 ………. 29

3.10 Massa bangunan B di SDN 066048 dan SDN 066049 ……… 30

3.11 Massa bangunan C di SDN 066049 ………. 30

3.12 Massa bangunan D di SDN 066049 ………. 31

3.13 Massa bangunan E di SDN 066048 ………. 31

3.14 Lapangan SDN 066048 dan SDN 066049……… 32

3.15 Suasana SDN 066048 dan SDN 066049 ………... 32

3.16 Ground Plan SDN 066048 dan SDN 066049.………... 33

3.17 Denah kelas di SDN 066049 ………. 33

3.18 Tampak bukaan depan kelas SDN 066049 ………... 34

3.19 Tampak bukaan belakang kelas SDN 066049 ……….. 34

4.1 Lokasi sekolah yang dipilih ……….. 37

4.2 Site Plan SDN 066048 dan SDN 066049 ………. 37

4.3 Perletakan alat CO2 meter dan anemometer ………. 38


(15)

4.5 Perletakan anemometer di lokasi ………. 38 4.6 Perletakan CO2 meter ketika pengukuran di luar kelas (koridor


(16)

DAFTAR GRAFIK

No. Judul Hal

4.1 Pengukuran laju ventilasi—konsentrasi CO2 (cross ventilation),

pada hari Senin 26 Mei 2014……….... 44 4.2 Pengukuran laju ventilasi—konsentrasi CO2 (crossventilation),

pada hari Senin 2 Juni 2014……….. 51 4.3 Pengukuran laju ventilasi—konsentrasi CO2 (single-sided

ventilation),pada hari Rabu 28 Mei 2014………. 56 4.4 Pengukuran laju ventilasi—konsentrasi CO2 (single-sided

ventilation),pada hari Selasa 3 Juni 2014………. 62 4.5 Pengukuran laju ventilasi—konsentrasi CO2 (single-sided

ventilation),pada hari Rabu 4 Juni 2014………... 68 4.6 Konsentrasi CO2 pada sistem cross ventilation………. 70


(17)

DAFTAR ISTILAH

ACH Air change per hour (Pertukaran udara per jam)

ASHRAE American Society of Heating, Refrigerating, and Air-Conditioning Engineers, Inc.

BB 101 Building Bulletin 101

CFD Computational Fluid Dynamics

CIBSE Chartered Institution of Building Service Engineers CO Karbon monoksida

CO2 Karbon dioksida

COHb Karboksihemoglobin

EPA United States Environmental Protection Agency IARC Institute Agency for Research on Cancer

IAQ Indoor Air Quality

IES-VE Integrated Environmental Solutions Virtual Environment INRS the French National Research and Safety Institute

MDH Minnesota Department of Health NCI National Cancer Institute

NIEHS National Institute of Health NO2 Nitrogen dioksida

O3 Ozon

ppm Part per million

SNI Standard Nasional Indonesia VOC Volatile Organic Compound WHO World Health Organization


(18)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sistem ventilasi alami terhadap kualitas udara (konsentrasi CO2) yang dilakukan pada sekolah

dasar dengan mengkondisikan kelas dalam 2 sistem ventilasi yang berbeda, yaitu sistem ventilasi silang (cross ventilation) dan sistem ventilasi single-sided. Penelitian dilakukan selama masa belajar (07.30–12.05) dengan pintu tetap dibiarkan terbuka. Selain dilakukan pengukuran terhadap laju ventilasi dan konsentrasi CO2, juga dilakukan observasi terhadap perubahan aktivitas dan

jumlah pengguna ruangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju ventilasi mempengaruhi konsentrasi CO2 di dalam ruangan, namun cenderung dipengaruhi

oleh aktivitas dan jumlah siswa. Meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari kedua sistem ventilasi, namun konsentrasi CO2 pada sistem

ventilasi cross lebih rendah daripada single-sided. Ketika ruangan dikondisikan dalam keadaan tidak berventilasi dengan kondisi yang sama, maka konsentrasi CO2 dari hasil perhitungan dengan mengabaikan infiltrasi akan mencapai 1.620

ppm ada masa belajar.

Kata kunci: ventilasi alami, kualitas udara (IAQ), konsentrasi CO2, cross ventilation, single-sided ventilation


(19)

This study aims to determine about natural ventilation effect towards indoor air quality (CO2 concentration), which was carried out in a primary class that was set in two different ventilation systems, cross ventilation and single-sided ventilation. This research was conducted during study period (07.30 a.m – 12.05 p.m) with the door left open. Ventilation rate and CO2 concentration were observed, and so did the changes in activity and occupant. The results shows that ventilation rate do have effect on CO2 concentration inside the room (classroom), but more likely influenced by activity and occupant. The two ventilation systems do not show a significant difference, but cross ventilation system provide lower CO2 concentration than single-sided ventilation. And when the room was conditioned un-ventilated on the same classroom with same the condition (by ignoring the possibility of infiltration), CO2 concentration would reach 1.620 ppm during 4,5 hours of study period.

Keywords: natural ventilation, indoor air quality (IAQ), CO2 concentration,, cross ventilation, single sided-ventilation


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Udara dapat tercemar akibat kegiatan pembakaran perindustrian, rumah tangga, dan kendaraan, serta pemakaian dan proses produksi tertentu yang melepaskan polutan ke udara.

Menurut Green Building Council Indonesia polusi udara dalam ruangan lebih berbahaya 4 kali lipat daripada polusi di luar ruangan, terutama bila ruangan tidak memiliki sistem ventilasi yang baik serta menggunakan ventilasi mekanis yang tidak terawat.

Kualitas udara yang buruk di sekolah merupakan penyebab dari ashma dan cenderung menyerang saluran sistem pernafasan, penularan penyakit dari udara, dan alergi terhadap anak-anak sehingga menurunkan persentase kehadiran dan kinerja belajar (Jaakkola dkk., 2000 ; Mendell & Heath, 2004 ; Norbäck dkk., 2006 ; Mendell, 2007).

Kebanyakan manusia menghabiskan 80% – 90% waktu mereka dalam ruangan, baik untuk belajar, bekerja, maupun istirahat. Siswa, staf pengajar serta karyawan sekolah cenderung menghabiskan waktu minimal 6 – 8 jam/hari di sekolah. Sehingga pihak sekolah seharusnya memperhatikan dan menciptakan kondisi ruangan belajar-mengajar yang sehat dan nyaman, agar misi sekolah dalam membekali pembelajaran dan meningkatkan kemampuan siswa tercapai.

1.2 Perumusan Masalah

Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya konsentrasi CO2 sebagai hasil dari respirasi dan metabolisme tubuh

manusia. Konsentrasi CO2 dapat dikontrol melalui pertukaran udara (laju

ventilasi) yang memenuhi standard. Yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah ―Apakah sistem ventilasi alami yang digunakan (cross


(21)

ventilation dan single-sided ventilation)berpengaruh terhadap konsentrasi CO2

dalam ruangan?‖

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1) Untuk mengkaji hubungan antara sistem ventilasi alami dengan konsentrasi CO2 di dalam ruangan.

2) Untuk mengetahui hubungan sistem ventilasi yang berbeda, yaitu cross ventilation dan single-sided ventilation terhadap laju ventilasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu: 1) Manfaat Teoritis

a. Sebagai sumbangan pustaka dan tambahan pengetahuan mengenai pengaruh ventilasi alami terhadap kualitas udara di dalam ruangan. b. Sebagai tambahan pengetahuan dan pembelajaran bagi diri sendiri

sebelum masuk ke dunia praktisi. 2) Manfaat Praktis

Diharapkan agar penelitian ini dapat menjadi bahan perbandingan, pertimbangan dan panduan untuk merencanakan sistem bukaan pada ruangan.


(22)

1.5 Kerangka Berpikir Latar Belakang

 Selain estetika, fungsi dan kenyamanan ruangan juga harus diutamakan dalam mendesain bangunan.

 Sistem ventilasi alami digemari di lokasi yang beriklim tropis karena dapat mengurangi penggunaan energi (Dutton, 2010).

 Kualitas udara buruk Kesehatan  Pada anak-anak (siswa) Kinerja,

Konsentrasi dan Kehadiran siswa.  CO2 sering digunakan sebagai

indikator untuk mengukur jumlah pertukaran udara.

Teori

 Konsentrasi CO2 dipengaruhi

beberapa faktor, salah satunya laju ventilasi yang diakibatkan besar bukaan yang berbeda. Namun cenderung jauh lebih dipengaruhi oleh jumlah siswa (Sribanurekha).

 Pertukaran udara akan optimum bila ukuran dan luas inlet dan outlet sama (cross-ventilation).

 Standard konsentrasi CO2 : 800– 1.000 ppm

Analisa Data

Metode deskriptif-kualitatif

Hasil pengukuran akan dikeluarkan dalam bentuk grafik dan penjelasan.

Metode Korelatif

Hasil pengukuran CO2 dan laju ventilasi pada cross ventilation dan

single-sided ventialtion akan dibandingkan.

Hasil dan Kesimpulan

Konsentrasi CO2 pada kedua sistem ventilasi

tidak memiliki perbedaan yang cukup signifikan, namun konsentrasi CO2 pada sistem single-sided cenderung lebih tinggi, dan dapat mencapai 1.620 ppm dalam keadaan tertutup.

Tujuan

Meneliti kualitas udara (konsentrasi CO2)

di kelas dengan sistem ventilasi alami yang berbeda (cross-ventilation dan

single-sided-ventilation) Metoda Penelitian

 Menentukan Kawasan  Melakukan pengukuran laju

ventilasi (ventilasi alami) dan konsentrasi CO2.

 Yang akan ditinjau hanya sistem ventilasi horizontal.

Perumusan Masalah

Bagaimanakah pengaruh penggunaan sistem ventilasi alami (cross-ventilation

dan single-sided-ventilation) terhadap konsentrasi CO2 di dalam ruangan kelas?


(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Indoor Air Quality (IAQ)

Ilmu Arsitektur merupakan penggabungan dari ilmu seni, konstruksi dan perencanaan untuk menghasilkan suatu ruang, bentuk dan suasana yang artistik, aman dan juga nyaman. Kualitas udara dalam ruangan yang baik merupakan salah satu contoh kenyamanan yang dapat dicapai dengan perencanaan sistem bukaan yang baik, sehingga memenuhi kebutuhan pertukaran udara yang dibutuhkan.

Kualitas udara dalam ruangan (IAQ) adalah kondisi kandungan udara di dalam ruangan yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kenyamanan penghuni suatu ruangan (Satwiko, 2009). Ketika suatu bangunan digunakan, terkadang terjadi berbagai aktivitas manusia (bernafas, merokok, memasak) dan pelepasan senyawa lain (cat baru, debu, kapur barus, VOC) dari benda-benda tertentu. Ketika udara yang bersih tercemar oleh unsur-unsur tersebut dengan melewati batas ambang yang diperbolehkan, maka dapat mengganggu kenyamanan serta kesehatan manusia. Unsur-unsur yang melewati batasan yang ditentukan disebut sebagai polutan.

Kualitas udara dalam ruangan yang baik dapat tercapai bila ruangan/bangunan tersebut memiliki pertukaran udara yang baik. Baik buruknya pertukaran udara yang terjadi dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya sistem bukaan. Penerapan perencanaan sistem ventilasi alami yang baik pada bangunan akan memberikan kenyamanan bagi pengguna ruang serta dapat menghemat penggunaan energi pada bangunan.

Kandungan polutan dalam ruangan dinyatakan dengan istilah emisi dan konsentrasi. Emisi berarti banyaknya polutan yang diukur per satuan luas (massa/luas/waktu). Dan konsentrasi berarti banyaknya polutan dihitung per satuan volume/media. Satuan yang digunakan yaitu ppm (part per million).

Peneliti cenderung menggunakan konsentrasi CO2 sebagai indikator untuk


(24)

pertukaran udara yang terjadi. Bila sirkulasi udara dalam ruangan baik, maka udara dalam ruangan yang tercemar akan netral kembali (CO2 cenderung rendah).

ASHRAE (62-2001) merekomendasikan agar konsentrasi CO2 dalam ruangan

tidak melewati 1.000 ppm.

2.2 Udara

Udara merupakan gabungan dari sekumpulan gas (nitrogen (78%), oksigen (20,95%), argon (0,93%), karbondioksida (0,038%), uap air (1%), dan gas lainnya (0,002%)) yang terdapat di alam semesta dan mengelilingi bumi. Udara bergerak bebas mengikuti jalur yang ada dan mengisi ruang yang kosong, serta berpindah dari daerah bertekanan tinggi (suhu dingin) ke daerah bertekanan rendah (suhu panas).

Udara yang bergerak akan menghasilkan angin. Udara bergerak akibat adanya gaya penggerak angin, yaitu adanya perbedaan tekanan dan suhu. Angin yang bergerak melewati ventilasi (jendela) disebut sebagai laju ventilasi.

2.3 Ventilasi

Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi serta kecepatan angin yang rendah, maka sebaiknya ruangan atau bangunan memiliki sistem ventilasi yang baik. Kesehatan dan kenyamanan termal merupakan dua aspek yang erat kaitannya dengan ventilasi bangunan. Pada umumnya terdapat 2 jenis ventilasi, yaitu:

 Ventilasi alami

Pergantian udara secara alami tanpa bantuan peralatan mekanis seperti kipas ataupun penyejuk udara (AC).

 Ventilasi mekanis

Penghawaan ruangan dengan bantuan peralatan mekanis (kipas angin atau AC), yang tujuannya untuk memperoleh kenyamanan suhu ruangan.


(25)

2.3.1 Ventilasi Alami

Ventilasi alami merupakan media terjadinya proses pergantian udara dalam ruangan oleh udara segar dari luar ruangan tanpa bantuan peralatan mekanik. Ventilasi alami diperlukan untuk 2 tujuan yang umum:

 Sebagai media penyedia udara segar ke dalam ruangan dan untuk menetralkan polutan, dengan kata lain berfungsi untuk menjaga kualitas udara dalam ruangan dalam kondisi baik.

 Sebagai media untuk mendinginkan ruangan yang kelebihan panas.

Secara umum, sistem ventilasi alami terbagi atas 2 jenis, yaitu:

 Ventilasi horizontal

Ventilasi horizontal merupakan aliran udara yang terjadi bila terdapat perbedaan suhu udara luar dan dalam ruangan, seperti: cross ventilation dan

single-sided ventilation.

 Ventilasi vertikal

Ventilasi vertikal merupakan ventilasi yang terjadi karena perbedaan jenis lapisan udara luar dan dalam bangunan. Udara dengan berat jenis rendah akan mengalir ke atas, dan udara luar yang lebih dingin (berat jenis tinggi), akan mengalir ke bawah (ruangan), yang disebut stack-effect ventilation.

Pergantian udara dalam ruangan sering dinyatakan dalam satuan ACH (Air Change per Hour). ACH merupakan jumlah pergantian seluruh udara dalam ruangan dengan udara segar dari luar setiap jam-nya (Satwiko, 2009). Menurut SNI, ACH yang bagus untuk ruang belajar sebesar 8 ach. M.Evans (1980) menyarankan sebaiknya besar bukaan outlet sama dengan inlet agar pertukaran udara optimum. Bila bukaan outlet lebih besar dari inlet, maka kecepatan angin dalam ruangan akan meningkat, namun pertukaran udara tidak optimum. Dari SNI, disarankan agar besar bukaan minimum 5% dari luas lantai ruangan.

Sistem ventilasi alami digemari di lokasi yang beriklim tropis karena dapat mengurangi penggunaan energi (Dutton, 2010). Menurut panduan BB 101 (2006) ventilasi alami pada sekolah harus menghasilkan:


(26)

 Laju ventilasi minimum 3 l/s per orang.

 Laju ventilasi minimum rata-rata setiap hari 5 l/s per orang.

 Laju ventilasi minimum 8 l/s per orang kapan saja saat ruangan digunakan. Ketika laju angin mencapai 8 l/s per orang, maka konsentrasi CO2 pada

umumnya akan berada dibawah 1.000 ppm.

Efisiensi ventilasi dapat diprediksi dengan menggunakan rumus yang dinyatakan oleh Hananto (2010).

2.3.2 Cross Ventilation dan Single Sided Ventilation

Pencapaian jarak aliran udara tergantung pada kondisi inlet dan outlet-nya. Pertukaran udara akan optimum bila ukuran inlet dan outlet sama ( cross-ventilation). Namun bila ruangan tersebut hanya memiliki salah 1 area bukaan saja (single-sided ventilation), maka ruangan tersebut akan sulit untuk mendapatkan pertukaran udara yang optimum.

Gambar 2.1 Perbandingan ukuran bukaan dengan kecepatan rata-rata aliran udara. Sumber: M.Evans,1980 dalam Putra, 2009.

Ef = produksi CO2 per orang

(

pertambahan kadar CO2

)


(27)

Cross ventilation (ventilasi silang) merupakan sistem ventilasi dengan bukaan pada dua atau lebih sisi ruangan. Sedangkan single-sided ventilation

berarti ventilasi suatu ruangan hanya berada pada satu sisi ruangan.

Single-sided ventilation tidak efektif untuk diterapkan di daerah beriklim panas dan hanya cocok untuk ruangan yang kecil. Karena bila ruangan terlalu besar (lebar ruangan), maka pertukaran udara yang baik tidak akan terjadi, sehingga udara dalam ruangan akan terasa pengap dan tidak nyaman serta tidak baik untuk kesehatan.

Panjang ruangan maksimum untuk sistem ventilasi single-sided dapat dithitung dengan:

Panjang ruangan maksimum untuk sistem ventilasi silang (cross ventilation) dapat dithitung dengan:

Gambar 2.2 Single-sided ventilation (atas) dan cross ventilation (bawah). Sumber: S.Roaf, 2003 dalam Putra, 2009.

Q = CV.A.V

W = 2,5.c.H


(28)

dimana:

W = Panjang maksimum ruangan c = Rasio luas bukaan dengan luas lantai

H = Tinggi ruangan

2.3.3 Laju Ventilasi

Laju ventilasi merupakan jumlah laju udara per-m3 yang melewati sistem bukaan (jendela) ke dalam bangunan setiap jam-nya. Laju ventilasi ditentukan oleh kecepatan dan arah angin dari luar bangunan. Adanya bangunan sekitar atau penghalang pada inlet dapat mengurangi laju ventilasi, maka disarankan agar jarak antar bangunan berjarak minimal 6 kali dari tinggi penghalang (Mediastika, 2002).

Mike Thompson (2000) menyatakan bahwa laju ventilasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut apabila tidak dilakukan pengukuran.

dimana:

Vr = Laju ventilasi (l/s) V = Volume ruangan(m3)

ACH = Banyaknya pertukaran udara per jam

Dengan mengukur laju angin, maka laju ventilasi dapat dihitung dengan perumusan oleh Satwiko (2009) yang merumuskan perhitungan laju ventilasi berdasarkan perbedaan tekanan angin sebagai berikut:

dimana:

Q = Laju ventilasi (m3/detik) A = Luas bukaan inlet (m2) V = Kecepatan angin (m/detik)

CV = Efektivitas bukaan (CV dianggap sama dengan 0,5~0,6 untuk angin frontal dan

0,25~0,35 untuk arah angin yang diagonal)

Pada rumus diatas (Q = CV.A.V), ketentuan CV digunakan untuk luas area

bukaan inlet dan outlet yang sama. Bila luas bukaan inlet dan outlet berbeda, maka digunakan ketentuan dengan perbandingan rasio bukaan (Tabel 2.1).

Q = CV.A.V

Vr = V. ACH. 1000 3600


(29)

Tabel 2.1 Konstanta penyesuaian proporsi bukaan akibat tekanan angin Perbandingan luas inlet dan

outlet CV

Perbandingan luas inlet dan

outlet CV

1 : 1 1,00 1 : 5 1,40

1 : 2 1,27 2 : 1 0,63

1 : 3 1,35 4 : 1 0,35

1 : 4 1,38 4 : 3 0,86

Minimum laju ventilasi yang disarankan ASHRAE pada ruangan kelas (belajar) sebesar 5 l/s. Dan menurut Ministry of Education (2007), laju ventilasi untuk ruangan kelas dalam kondisi belajar dengan pengguna sebanyak 30 orang sebesar 8 l/s/org.

2.4 Sumber Polutan

Polusi udara dalam ruangan terjadi karena adanya proses pelepasan gas atau partikel ke udara dari sumbernya. Umumnya polusi udara dari luar dapat masuk ke dalam ruangan akibat infiltrasi dan sistem ventilasi yang buruk.

Sumber polusi udara dari luar ruangan dapat berasal dari berbagai jenis proses pembakaran. Dari dalam ruangan sendiri, polutan udara dapat berasal dari material bangunan dan perabotan yang mulai rusak, produk yang mengandung bahan isolasi asbes, karpet yang lembab, perabotan dari kayu yang di-press, produk pembersih dan perawatan pribadi, alat pendingin, kompor, pelembab ruangan, dsb.

2.5 Jenis dan Sumber Polutan, serta Efek yang Ditimbulkan 2.5.1 Polutan Non-organik

1) Karbon Monoksida (CO)

CO merupakan senyawa gas yang tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa, serta sukar larut dalam air, serum darah, dan plasma. Senyawa gas ini dihasilkan dari proses pembakaran tidak sempurna karbon seperti kayu, bensin, batu bara, gas alam, dan kerosin.

Senyawa CO dalam ruangan berasal dari emisi kompor dan pembakaran yang menggunakan bahan bakar fosil dan biomassa, terutama yang


(30)

tidak dipasang dan terawat. Asap tembakau dan kendaraan menjadi salah satu sumber utama polutan CO dalam ruangan.

Dalam tubuh manusia, gas CO dapat beraksi dengan hemoglobin membentuk COHb yang dapat mengganggu sistem pengangkutan oksigen dalam darah. Pada konsentrasi 2.5% – 10% dapat menyebabkan kerusakan fungsi otak. Pada konsentrasi 25% – 30%, penderita akan kehilangan kesadaran secara perlahan, dan ketika COHB mencapai 60%, maka akan menyebabkan kematian. Individu yang keracunan gas CO sering menunjukkan gejala kecapekan, sakit kepala, mual, kesulitan bernafas, meningkatnya debaran jantung, kejang-kejang, kelumpuhan, kehilangan kesadaran, iritasi, gangguan memori, dan tinnitus.

WHO (2005) menyarankan standard konsentrasi CO sebagai berikut:

 15 menit 100 mg/m3

 1 jam 35 mg/m3

 8 jam 10 mg/m3

 24 jam 7 mg/m3 Disarankan agar menekan konsentrasi CO hingga 4,6 – 5,8 mg/m3. EPA menentukan standard rata-rata konsentrasi CO tidak boleh melewati 9 ppm selama 8 jam. Menurut lembaga pemerintahan Jerman (2008) untuk kondisi udara yang baik pada sekolah disarankan gas CO berkisar antara 60mg/m3 selama 30 menit dan 15mg/m3 selama 8 jam.

2) Karbon Dioksida (CO2)

CO2 merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau, yang

dihasilkan dari alam dan proses pembakaran bensin, batu bara, minyak, dan kayu, serta hasil dari proses respirasi dan metabolisme manusia (merupakan kontributor terbesar gas CO2 dalam ruangan).

Konsentrasi gas CO2 di dalam ruangan tergantung pada jumlah orang,

lama ruangan dipergunakan, kegiatan dalam ruangan, pertukaran udara, dan polutan dari luar.


(31)

Tabel 2.2 Efek senyawa gas CO2

Kadar CO2 (%) Interval Efek yang ditimbulkan

2% B eberapa ja m Sakit kepala, sesak nafas dalam aktivitas ringan

3% 1 jam Sakit kepala ringan,berkeringat, dyspnea

(istirahat)

4 – 5% Beberapa menit Sakit kepala, pusing, tekanan darah meningkat, dyspnea yang tidak nyaman

6%

1 – 2 menit Gangguan pada penglihatan dan pendengaran ≤ 16 menit Sakit kepala, dyspnea

Beberapa jam Gemetar

7 – 10%

Beberapa menit Kehilangan kesadaran 1.5 menit – 1 jam

Sakit kepala, detak jantung meningkat, dyspnea, pusing, berkeringat, bernafas dengan cepat.

10 – 15% 1 – beberapa menit Pusing, mengantuk, kejang parah pada otot, ketidaksadaran.

16 – 30 % Dalam 1 menit Hilang kendali dalam melakukan aktivitas, pingsan, kejang, koma hingga kematian.

Menurut EPA dan ASHRAE batas maksimum gas CO2 dalam ruangan

tidak boleh melewati 1.000 ppm untuk mencapai keadaan ruangan yang nyaman. Lembaga pemerintahan Hongkong (2003) dan Jerman (2008) juga menyarankan standard konsentrasi CO2 pada ruangan kelas dengan

range 800 ppm – 1.000 ppm selama 8 jam.

3) Ozon (O3)

Ozon merupakan senyawa gas yang berbau tajam, tidak berwarna dan beracun, sangat reaktif dan merupakan salah satu oksidan yang kuat. Sekarang ini ozon sudah dikembangkan untuk menghilangkan warna dan bau pada air, berperan sebagai antiseptik, memutihkan kain, pengawet makanan, dan sterilisasi peralatan medis.

Ozon terbentuk akibat adanya reaksi kimiawi yang terjadi di atmosfer, dimana sumber awalnya dapat berasal dari hasil proses evaporasi dan proses pembakaran bahan bakar bensin, serta berasal dari penguapan bahan organik (VOC) dari produk tertentu. Dari dalam ruangan sendiri, gas ozon dapat berasal dari alat pembersih udara, udara dari luar ruangan, mesin fotokopi, printer, dan produk lain yang mengandung sinar UV.


(32)

Secara umum ozon cenderung menyerang sistem pernafasan, dan menyebabkan batuk kering, sakit pada dada (paru-paru), iritasi sensorik, pneumonia, bronkitis, dengungan pada telinga, dan terkadang dapat menyebabkan rasa mual. Berdasarkan penelitian NIEHS, kapasitas paru-paru berkurang sebesar 5% – 10% pada konsentrasi 0,08 ppm (National Institute of Health 2001) selama 6,5 jam.

Ozon juga dapat menyebabkan manusia lebih sensitif terhadap udara kering, lembab, dan berdebu sehingga dapat meningkatkan alergi pada individu yang rentan serta menurunkan sistem imun pernafasan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh University of Southern California Keck School of Medicine, setiap pertambahan 0,02 ppm pada ozon dapat menyebabkan 63% penurunan absen siswa karena sakit.

Menurut WHO dan panduan BB101 konsentrasi ozon yang diizinkan yaitu 100 µg/m3 selama rentang waktu 8 jam. Lembaga pemerintahan Hongkong (2003) menyarankan standard konsentrasi O3 pada ruangan

kelas antara 0,025 ppm – 0,061 ppm selama 8 jam.

4) Nitrogen Dioksida (NO2)

NO2 merupakan gas berwarna merah-kecoklatan dengan aroma

menyengat yang dihasilkan dari rumah kaca dan kegiatan antropogenik. NO2 merupakan oksidan yang kuat, korosif, dan sulit larut dalam air.

Sumber utama NO2 merupakan asap tembakau dan gas pembakaran dari

kayu, minyak, kerosin, dan batu bara. Jarak bangunan terhadap jalan juga menentukan konsentrasi NO2 dalam ruangan.

Keracunan NO2 cenderung menyerang sistem pernafasan

(bronkokotriksi), juga menyebabkan gangguan pada media pendengaran, hidung, tenggorokan, meningkatnya koabilitas, menurunkan imun, sehingga menaikkan kemungkinan terjadi infeksi pada pernafasan.

WHO menyarankan agar kandungan NO2 di udara sebesar:

 200µg/m3 selama rata-rata 1 jam


(33)

Lembaga pemerintahan Hongkong (2003) menyarankan standard konsentrasi NO2 pada ruangan kelas sebesar 0,021 ppm – 0,08 ppm

selama 8 jam. Dan menurut lembaga pemerintahan German (2008) ditetapkan standard untuk mencapai kondisi udara yang baik di sekolah sebesar 0,19 ppm selama 30 menit dan 0,03 ppm selama 1 minggu.

5) Radon

Radon merupakan radioaktif yang tidak berwarna dan tidak berbau. Radon terbentuk dari radium yang rusak dalam tanah dan bebatuan . Radon berasal dari pembusukan radium di bawah tanah rumah. Ketika suhu dalam ruangan lebih tinggi dan memiliki tekanan yang lebih rendah dari tanah di bawah ruangan, maka gas radon akan masuk ke dalam ruangan dari dalam tanah secara infiltrasi.

Penelitian dilakukan pada para pekerja tambang dan diperoleh hasil bahwa senyawa ini dapat menyebabkan kanker paru-paru. Ditemukan bahwa resiko perokok yang menderita kanker paru-paru akibat radon lebih rendah daripada pekerja yang tidak pernah merokok. Efek karsinogenik yang lain yaitu leukimia, kanker perut dan kanker hati. Juga dapat menyebabkan kerusakan pada DNA, gen dan sel.

Sampai saat ini, WHO belum menentukan batasan aman, maka disarankan batasan pada penderita kanker paru-paru akibat radon (≥ 75 tahun) diperkirakan sebesar:

 0,6 x 10-5 per Bq/m3 individu yang tidak pernah merokok

 15 x 10-5 per Bq/m3 individu perokok aktif

 Pada individu yang pernah merokok terdapat resiko medium

2.5.2 Polutan Organik 1) Benzena

Benzena merupakan senyawa yang berbau, tidak berwarna, jernih, mudah menguap, cepat larut dalam air dan senyawa organik, sangat mudah terbakar dengan susunan molekul C6H6. Senyawa benzena digunakan


(34)

secara luas sebagai pelarut, terutama dalam industri cat, pembersih cat, karet semen, produk kesenian dan kerjinan tangan.

Dalam ruangan, benzena dapat berasal dari material bangunan dan perabotan, gelas fiber, perekat lantai, cat, sistem pembakaran, produk larutan, dan kegiatan manusia (bersih-bersih, penggunaan produk tertentu dan pengusir nyamuk, fotokopi, proses menge-print, asap rokok). Emisi benzena dari material dan perabotan akan menghilang secara perlahan dalam selang waktu minggunan, bulanan, hingga tahunan.

Terdapat banyak laporan kasus kematian setelah beberapa jam (asphyxia

dan sistem depresi saraf pusat) akibat terhirupnya senyawa benzena pada konsentrasi yang tinggi. Benzena dapat menyebabkan efek

cerebovaskular ischemic pada konsentrasi 20.000 ppm selama 5–10 menit.

Dalam kasus keracunan ringan (300 ppm – 3.000 ppm) menyebabkan kesulitan berbicara, sakit kepala, pusing, insomnia, mual, parestesia pada tangan dan kaki serta kecapekan. Inhalasi sebanyak 50 ppm – 100 ppm selama 30 menit dapat menyebabkan kecapekan dan sakit kepala, dan pada kisaran 250 ppm – 500 ppm dapat menyebabkan pusing, sakit kepala, pingsan dan mual.

Efek genoktosisitas merupakan efek paling kronis yang disebabkan oleh benzena. Efek ini akan menyebabkan kromosom menjadi tidak normal dan menimbulkan efek yang bersifat karsinogen (myeloid leukemia). WHO belum menentukan standard untuk polutan benzena. Lembaga pemerintahan Hongkong (2003) menetapkan batasan untuk benzena terhadap kualitas udara nyaman di ruangan kelas sebesar 16,1µg/m3. Standard INRS untuk gejala neurologikal akibat benzena:

 25 ppm tidak terdapat efek

 50 – 100 ppm sakit kepala dan asthenia

 500 ppm ada gejala yang menonjol

 3.000 ppm toleransi 30 – 60 menit


(35)

2) Formaldehyde (CH2O)

Formaldehyde merupakan gas yang tidak berwarna, mudah terbakar dan sangat bereaksi pada suhu ruangan. Formaldehyde dapat dibeli dalam bentuk cairan, yang dikenal dengan Formalin. Senyawa ini bereaksi cepat dengan hidroksil radikal dan menghasilkan asam. Senyawa ini dapat larut dalam air dan etanol serta klorofom dengan penambahan aseton, benzen, dan dietileter.

Secara luas formaldehyde digunakan untuk menghasilkan getah, desinfektan dan bahan preservatif dalam makanan. Sumber dalam ruangan dapat berasal dari proses pembakaran, material bangunan (terutama yang baru), kosmetik, penggunaan elektronik, produk insektisida dan kertas. Faktor usia material, asap rokok, kadar CO2 dan

suhu juga turut menentukan kadar senyawa ini.

Aroma yang tidak nyamanan timbul pada konsentrasi 0.2 – 0.4 mg/m3. Efek yang lain yaitu iritasi sensorik pada mata dan pernafasan bagian atas, efek pada paru-paru hingga eksema.

IARC dan NCI menyatakan formaldehyde bersifat karsinogenik pada manusia karena dapat menyebabkan kanker nasofaring, hipofaring, dan laring, sehingga mempengaruhi kemampuan berbicara, kanker pankreas, kanker paru-paru, kanker otak, dan myeloid leukemia.

Batasan konsentrasi yang disarankan WHO yaitu 0,1 mg/m3 selama 30 menit. Pada konsentrasi 0,38 mg/m3 selama 4 jam dapat menyebabkan iritasi sensorik pada mata dan pada konsentrasi 0,6 mg/m3 dapat meningkatkan frekuensi kedipan mata dan menyebabkan mata merah. Lembaga pemerintahan Hongkong (2003) menyarankan standard konsentrasi NO2 pada ruangan kelas antara 0,024 ppm – 0,081 ppm

selama 8 jam. Sedangkan lembaga pemerintahan Jerman (2008)


(36)

3) Naftalin

Senyawa naftalin mempunyai susunan molekul C10H8, berbentuk bubuk

putih kristal dengan aroma seperti kapur barus, sangat mudah menguap, tidak larut dalam air, namun larut dalam alkohol dan asetat.

Naftalin digunakan sebagai bahan baku pelunak, resin sintetik, naftalin sulfonat, papan plaster, dispersan karet sintetis dan natural, penggelap di industri kulit, cat dan dalam proses produksi karbaril insektisida.

Dari dalam ruangan naftalin berasal dari kapur barus (terutama), berbagai jenis pelarut, pelumas, herbisida, pembakar arang dan hair-spray, kompor kerosin, asap rokok, material karet, desinfektan dan pewangi ruangan (padat).

Efek yang paling serius yaitu anemia hemolitik. Bila terjadi keracunan pada wanita hamil, terdapat kemungkinan besar bayi dalam kandungan juga akan menderita anemia hemolitik dan methemoglobinemia. Tidak banyak kasus yang di dokumentasikan, namun keracunan kronis naftalin pada manusia diantaranya kanker pada laring dan kolon, sakit saraf, dan gagal ginjal. Selain itu, juga terdapat kemungkinan dapat menyebabkan diabetes, hipertensi, dan obesitas.

Menurut WHO konsentrasi naftalin yang direkomendasikan selama setahun yaitu 0,01 mg/m3. Lembaga pemerintahan German (2008) menyarankan standard terhadap kondisi udara pada sekolah yang baik menetapkan standard 0,002 mg/m3 – 0,02 mg/m3 selama 8 jam.

2.5.3 Jamur

Jamur timbul akibat adanya area yang lembab pada bangunan, sistem ventilasi yang tidak bagus ataupun infiltrasi. Pertumbuhan jamur dapat dihambat dengan menjaga kelembaban dalam ruangan di bawah 50% dan menjaga masalah kelembaban yang lain seperti kebocoran air.

Jamur yang sering terdapat dalam ruangan yaitu Aspergillus versicolor,


(37)

Stachybotrys (atra) chartarum. Efek yang sering ditimbulkan yaitu ashma, rhinitis, dan hipersensitivitas pheumonitis.

2.5.4 Bakteri Legionella sp.

Legionella sp. merupakan bakteri yang cenderung berkembang biak pada air yang tenang dan hangat (25°C – 45°C) dan dapat menyebabkan Legionellosis. Bakteri ini bersifat seperti amuba, biasanya berpindah melalui udara dan cenderung ditemukan pada cooling tower, air mancur publik, kepala shower, serta keran yang sudah tidak bagus/tidak terawat. Satuan untuk menyatakan konsentrasi Legionella dinyatakan dalam cfu/liter.

Untuk mencegah timbulnya bakteri ini, dapat dilakukan dengan mengatur derajat air dingin selalu pada suhu < 20°C, dan air panas pada suhu 60°C (setidaknya berkisar antara 55°C ketika mencapai keran air), membersihkan aerator pada keran, dan melakukan pengujian secara berkala.

2.5.5 Asbes

Asbes merupakan bahan bangunan yang terdiri dari mineral silikat yang dulunya sering digunakan pada ambang jendela, partisi, pipa pembuangan, dan panel penutup. Material asbes dinyatakan bersifat karsinogen terhadap manusia

dan berbahaya bila ―terusak‖ dan menghasilkan serpihan miroskopis.

Serpihan mikroskopis akan tersebar ke udara, sehingga dapat masuk ke dalam saluran pernafasan dan menyebabkan gangguan kesehatan seperti:

 Asbestosis pengerasan pada bagian lapisan paru-paru.

 Untuk selang waktu 20 – 30 tahun dapat menyebabkan kanker paru-paru.

 Untuk selang waktu 30 – 40 tahun dapat menyebabkan Mesothelioma.

2.6 Indoor Air Quality pada Sekolah

Faktor yang mempengaruhi kualitas udara di sekolah pada umumnya sama seperti di bangunan lain, namun pengguna ruangan sebagian besar merupakan anak-anak yang kondisi pertahanan tubuhnya cenderung lebih rentan.


(38)

Anak-anak cenderung bernafas lebih cepat dan banyak daripada orang dewasa. Kualitas udara dalam ruangan ternyata dapat mempengaruhi kinerja, konsentrasi dan kehadiran siswa (Mendell & Heath, 2004 dan Salleh, 2011).

Kualitas udara di ruangan sekolah, bila ditinjau dari segi polutan CO2,

maka faktor yang mempengaruhinya cenderung berupa:

 Jumlah siswa atau pengguna ruang (sumber utama CO2)

 Aktivitas di dalam ruangan

 Lama Penggunaan ruangan

 Laju ventilasi

Kualitas udara yang buruk di sekolah merupakan penyebab masalah pernafasan, penularan penyakit dari udara, dan menimbulkan alergi pada anak-anak, sehingga menurunkan persentase kehadiran dan kinerja belajar siswa (Jaakkola dkk., 2000; Mendell, 2007).

2.7 Indoor Air Quality dan Ventilasi

Kualitas udara dalam ruangan menunjukkan kondisi udara dalam ruangan. Desain sistem ventilasi yang baik dapat menciptakan kualitas udara yang lebih baik dengan tersedianya pertukaran udara bersih.

Ventilasi merupakan media terjadinya pertukaran udara, yaitu proses masuknya udara segar dari luar dan keluarnya polutan dari dalam ruangan. Pertukaran udara terjadi karena adanya laju ventilasi dan perbedaan tekanan suhu dan udara sekitar. Melalui proses pertukaran udara tersebut, maka polutan udara dalam ruangan dapat dinetralkan.

Gambar 2.3 CO2 sebagai indikator sistem ventilasi di kelas.


(39)

Besar bukaan ventilasi mempengaruhi besarnya laju ventilasi, dimana laju ventilasi berpengaruh terhadap kandungan CO2 dalam ruangan. Bila laju ventilasi

tidak lancar (sistem pengoperasian bukaan dan faktor lain) dan tidak memenuhi kebutuhan aktivitas di dalamnya, maka akan menimbulkan efek negatif seperti rasa pengap dan kurangnya oksigen dalam ruangan, yang kemudian akan berdampak pada kenyamanan dan kesehatan manusia seperti gangguan pada sistem pernafasan dan timbulnya jamur serta polutan lain.

Pada suatu bangunan atau ruangan, umumnya terdapat 2 fungsi ventilasi, yaitu inlet dan outlet. Ventilasi yang berfungsi sebagai inlet, disarankan diletakkan pada ketinggian manusia (60–150 cm) agar udara dapat mengalir di sekitar manusia. Sedangkan untuk ventilasi yang berfungsi sebagai outlet harus diletakkan lebih tinggi dari inlet, agar udara panas dalam ruangan dapat mengalir keluar (Mediastika, 2002).

Melalui sistem ventilasi yang baik, maka sirkulasi udara akan lancar. Menurut CIBSE (2006) dalam panduan Khatami (2013), manusia memerlukan udara bersih sebesar 10 l/s. Namun untuk standard yang dibutuhkan di sekolah, cenderung berkisar antara 5l/s – 8 l/s (BB101, 2006 ; ASHRAE, 2003).

Konsentrasi CO2 dalam ruangan berbeda-beda bila ditinjau dari ketinggian

dalam ruangan. Pembuktian ini ditemukan dalam penelitian Stieger dkk., yang menemukan bahwa konsentrasi CO2 lebih tinggi pada area yang lebih tinggi.

Namun bila sistem ventilasi ditutup, maka konsentrasi CO2 dalam ruangan akan

sama rata di semua titik dalam rentang beberapa menit.

2.8 Penelitian Terkait

2.8.1 Efek Pengkondisian Ventilasi yang berbeda terhadap Konsentrasi CO2 dalam Ruangan

Penelitian ini dilakukan oleh Sribanurekha dkk. di Sri Lanka yang merupakan daerah beriklim tropis. Beliau melakukan penelitian dengan metode pembagian kuisioner dan pengukuran terhadap konsentrasi CO2 di dalam ruangan

dengan sistem ventilasi mekanis dan ventilasi alami pada masing-masing bangunan sekolah, perkantoran dan rumah sakit.


(40)

Metode pengukuran dilakukan dengan mengukur konsentrasi CO2,

temperatur dan kelembaban di dalam dan luar ruangan. Aktivitas dan jumlah pengguna ruangan juga di-data begitu juga dengan jenis jendela yang digunakan. Kemudian sistem ventilasi alami dikondisikan dalam 3 fase dengan besar bukaan yang berbeda, yaitu: jendela 100% terbuka, 50% terbuka, dan 100% tertutup. Pengukuran pada setiap kondisi dilakukan setelah udara dalam ruangan dikondisikan selama 3 jam hingga mencapai keadaan stabil. Pengukuran diulang 2 kali untuk memperoleh hasil yang lebih akurat. Kemudian hasil pengukuran pada sistem ventilasi alami dan buatan dibandingkan.

Pada hasil penelitian ditemukan bahwa konsentrasi CO2 berbanding

terbalik dengan luas bukaan jendela. Ukuran, jumlah dan posisi jendela sangat berperan penting terhadap kualitas udara dalam ruangan. Perbedaan besar bukaan jendela 100% dan 50% tidak jauh berbeda, namun bila jumlah pengguna ruangan ditingkatkan, maka akan terdapat perbedaan yang lebih besar. Dan pada ruangan dengan sistem ventilasi mekanis, ditemukan bahwa AC central lebih bagus daripada AC split pada keadaan tidak terawat. Secara keseluruhan disimpulkan bahwa konsentrasi CO2 lebih tinggi pada ruangan dengan sistem ventilasi mekanis

daripada ruangan dengan sistem ventilasi alami. Dimana hal ini dimungkinkan karena tidak diaktifkannya sistem ventilasi alami sehingga tidak ada pertukaran udara.

2.8.2 Distribusi CO2 pada Ruangan dengan Sistem Ventilasi Alami dan

Pemanasan yang Tinggi dalam Ruangan

Penelitian terhadap hubungan ventilasi alami dan CO2 dengan pemanasan

dalam ruangan dilakukan oleh Steiger. Pengukuran dilakukan berdasarkan ketinggian perletakkan sensor yang berbeda dengan total penempatan 27 buah sensor CO2 di suatu ruangan dengan ukuran 2,6 m x 5,6 m x 2,7 m. Pada ruangan

yang dikondisikan, terdapat 3 buah jendela, namun 2 buah jendela ditutup, dan hanya dibuka 1 buah jendela dengan model gantung yang dikondisikan terbuka dan tertutup.


(41)

Pemanasan yang dikeluarkan dalam ruangan berasal dari boneka tiruan (dummies). Panas yang dikeluarkan sebesar 1,2 met dan 0,006 l/s/dummy

konsentrasi CO2. Konsentrasi CO2 di ruangan diukur dengan menggunakan

photo-acoustic multi-gas sensor. Sensor CO2 tersebut diletakkan pada 9 titik dengan

masing-masing pada tiga ketinggian yang berbeda(0,0 m, 1,2 m, 2,7 m), sehingga terdapat total 27 sensor. Hasil pengukuran berada pada satuan km/m3 yang kemudian dikonversikan ke dalam satuan ppm pada kondisi ruangan 20°C dan tekanan 930 hPa . Sampel diambil setiap 250 detik.

Pada hasil penelitian, diperoleh bahwa pada di awal penelitian konsentrasi CO2 cenderung lebih tinggi pada area yang lebih tinggi (2,7 m) dan akan stabil

setelah 2,5 jam. Titik yang dekat dengan jendela mengalami fluktuasi. Dari hasil penelitian ini juga ditemukan bahwa posisi yang paling baik untuk sensor CO2

yaitu pada ketinggian pernafasan manusia dan berada dekat dengan dinding serta jauh dari sistem ventilasi. Dan konsentrasi CO2 perlahan meningkat ketika dikeluarkan dan posisi jendela dibuka, kemudian turun sedikit setelah karbon dioksida dihentikan dengan kondisi jendela ditutup. Dan ketika jendela ditutup dan CO2 dikeluarkan, konsentrasi CO2 meningkat tajam, dan kemudian perlahan

turun ketika jendela dibuka dan konsentrasi CO2 dihentikan.

2.9 Sintesa Pustaka

Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: jumlah pengguna ruangan, kegiatan dan lama penggunaan ruang, pencemaran oleh polutan organik, non-organik, material bangunan, mikro-organisme dan senyawa VOC, iklim, kecepatan dan arah angin, besar bukaan, dan sistem ventilasi yang digunakan.

Salah satu cara mengukur kualitas udara dalam ruangan adalah dengan meninjau konsentrasi CO2 di dalam ruangan yang cenderung dihasilkan dari

proses respirasi dan metabolisme manusia. Untuk menetralkan konsentrasi CO2 di

dalam ruangan diperlukan pertukaran udara. Dengan adanya pertukaran udara yang terjadi, maka konsentrasi udara dalam ruangan yang sudah jenuh dapat dinetralkan kembali dengan adanya udara segar dari luar. Efisiensi pertukaran


(42)

udara yang terjadi dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya sistem ventilasi. Pada penelitian ini hanya akan ditinjau konsentrasi CO2 dari pengaruh sistem

jendela cross-ventilation dan single-sided-ventilation.

Menurut teori, pertukaran udara pada sistem ventilasi cross ventilation

lebih optimum dibandingkan single-sided ventilation. Maka seharusnya pada penelitian ini, kualitas udara (konsentrasi CO2) pada sistem cross ventilation lebih

rendah dibandingkan single-sided ventilation.

Laju ventilasi merupakan banyaknya laju udara per-m3 yang melewati sistem bukaan ke dalam bangunan setiap jamnya. Laju ventilasi dapat diukur dengan menggunakan perhitungan Q = Cv.A.V.

Berdasarkan standard yang disarankan, kualitas udara pada ruangan kelas dinyatakan sangat baik bila konsentrasi CO2 ≤ 800 ppm dan dinyatakan baik bila

tidak melewati 1.000 ppm. Dan untuk mencapai kondisi tersebut, disarankan laju ventilasi berada pada kisaran 5l/s – 8 l/s (ASHRAE, BB 101, dan Ministry of Education).


(43)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian pada laporan ini merupakan penelitian desktiptif – kuantitatif. Pada laporan ini, akan dijabarkan hasil pengukuran secara deskriptif dengan mengaitkan laju ventilasi, konsentrasi CO2, aktivitas dan jumlah pengguna

ruang. Kemudian akan dibandingkan kualitas udara pada ruangan kelas yang sama dengan sistem ventilasi yang berbeda.

Pengumpulan data pengukuran di lapangan dilakukan dengan bantuan dua buah anemometer dan satu CO2 meter data logger.

Tabel 3.1 Spesifikasi alat ukur yang digunakan.

1. 2. 3.

Nama Alat Anemometer A826 Anemomemter

ANE81

CO2 meter data logger BZ30

Fungsi Alat Mengukur kecepatan angin dan suhu

Mengukur kecepatan angin dan suhu

Mengukur konsentrasi CO2, Suhu dan Kelembaban (indoor) Range

Pengukuran 0 – 30 m/s 0,6 – 30 m/s 0 – 9.999 ppm CO2

Resolusi 0,1 m/s 0,01 m/s 1 ppm, 0,1°C/°F, 0,1%RH

Akurasi ±5 %, ±2°C ±3 % ±0,2m/s, ±2°C ±5% (±75 ppm), ±0,5°C,

±5%RH Range

Temperatur -10 – 45°C -10 – 60°C -5°C – 50°C

Range

Kelembaban — — 0,1%RH – 9,9%RH

Sumber:

1. http://digilifeweb.com/index.php?route=product/product&path=25_74&product_id=105

2. http://digilifeweb.com/index.php?route=product/product&path=25_74&product_id=137


(44)

3.2 Variabel Penelitian

Variabel penelitian pada umumnya terdiri atas 2, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah variabel yang dapat mempengaruhi pengukuran namun tidak dapat dikontrol. Variabel terikat adalah variabel berupa faktor yang dapat mempengaruhi proses penelitian dan dikendalikan.

Variabel bebas untuk penelitian ini merupakan jumlah siswa dan kegiatan/aktivitas anak-anak, kondisi cuaca dan laju ventilasi (mempengaruhi pengukuran, namun tidak dapat dikontrol).

Variabel terikatnya adalah luas ruangan kelas, dimensi, jenis, dan sistem ventilasi. Variabel terikat ini ditetapkan (dikontrol) pada kondisi yang sama agar hasil penelitian lebih akurat. Sistem ventilasi akan ditinjau dari dua kondisi yaitu ketika:

 Inlet dibuka dan outlet dibuka (cross ventilation)

 Inlet ditutup dan outlat dibuka (single-sided ventilation)

3.3 Populasi / Sampel

Sampel pada penelitian dilakukan di ruangan kelas karena seperti yang telah dibahas, siswa cenderung menghabiskan waktu 6 – 8 jam/hari di sekolah, dan bila kualitas udara dalam ruangan tidak baik, maka dapat mempengaruhi produktivitas, kehadiran, dan konsentrasi siswa. Maka diputuskan untuk melakukan penelitian mengenai kualitas udara di sekolah yang akan dikaitkan dengan sistem ventilasi.

3.4 Metoda Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang diperlukan dilakukan dengan cara penelusuran melalui internet, wawancara dan survei lokasi. Data yang dibutuhkan pada umumnya terdiri atas 2 jenis, yaitu data primer dan data sekunder.

1) Data primer

Data primer merupakan data yang diperoleh dari penelitian dan observasi secara langsung. Data primer yang diperoleh berupa pengukuran terhadap laju


(45)

ventilasi dan konsentrasi CO2. Selain itu, juga akan diperhatikan kegiatan

yang terjadi selama proses pengukuran. 2) Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari survei pendahuluan sebelum penelitian dilakukan. Data sekunder ini berupa jumlah siswa, luas sekolah, luas dan kondisi ruangan kelas, bentuk massa sekolah dan jumlah dan jadwal belajar siswa.

3.5 Kawasan Penelitian

3.5.1 Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan pada bangunan sekolah negeri di Medan, Indonesia, karena sekolah negeri umumnya dibangun sesuai dengan standard pemerintah. Sekolah dipilih secara acak pada kawasan perumahan di kecamatan Helvetia. Sekolah diusahakan berada pada jalan lingkungan untuk menghindari gangguan pada ketelitian pengukuran akibat arus kendaraan yang padat dengan jumlah rombongan belajar minimal 6 rombongan belajar dan maksimal 24 rombongan belajar, serta luas ruangan memenuhi syarat Permendikas No. 24 Tahun 2007, yaitu sebesar 2m2/siswa.

Sekolah yang dipilih merupakan SDN 066048 dan SDN 066049 yang berlokasi di jalan Mawar Raya, kecamatan Helvetia, kelurahan Helvetia Tengah. Kedua SDN ini berada di atas 1 lahan yang sama (± 4.080 m2) dan membentuk massa bangunan berupa bentuk U dengan jumlah 9 rombel pada masing-masing sekolah. Waktu pelaksanaan sekolah hanya dilakukan pada pagi hari saja (pukul 07.30 – 12.05 WIB).

Secara umum, lokasi penelitian ini, yakni SDN 066048 dan SDN 066049, berbatasan dengan:

a. Sebelah Timur : perumahan penduduk b. Sebelah Barat : perumahan penduduk c. Sebelah Utara : perumahan penduduk


(46)

Gambar 3.2 Lokasi SDN 066048 dan SDN 066049 Sumber: Google Earth, 2014.

SDN 066049 SDN 066048

Gambar 3.1 Kawasan SDN 066048 dan SDN 066049. Sumber: Google Earth, 2014.

Gambar 3.3 Area di sekitar SDN 066048 dan SDN 066049. Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014.


(47)

Berikut merupakan rincian data dari sekolah SDN 066048 dan SDN 066049 yang terletak di jalan Mawar Raya di atas lahan yang sama dengan luas ± 4080 m2, dengan kelas jalan lingkungan di kelurahan Helvetia Tengah.

Tabel 3.2 Data SDN 066048 dan SDN 066049

SDN 066048 SDN 066049

NPSN 10220733 10220734

Tahun Pendirian 1979 1978

Luas Bangunan 581 m2 539 m2

Jumlah Siswa 321 orang 256 orang

Jumlah Siswa per Kelas ± 36 orang ± 29 orang

Berikut merupakan tampak SDN 066048 dan SDN 066049 dari arah utara, selatan, timur dan barat.

Gambar 3.4 Tampak utara bangunan SDN 066049. Sumber: Olah data.

Gambar 3.5 Tampak selatan bangunan SDN 066049. Sumber: Olah data, 2014.

Gambar 3.6 Tampak barat bangunan SDN 066049. Sumber: Olah data, 2014.

Gambar 3.7 Tampak timur bangunan SDN 066049.


(48)

Kedua SDN ini memiliki 5 massa bangunan, dengan setiap massa berlantai satu, yaitu: dua massa bangunan untuk area kelas (massa A dan C), satu massa bangunan kantor, satu massa bangunan publik (perpustakaan dan musholla), serta satu massa bangunan gabungan kantor dan kelas.

Adapun rincian dari masing-masing massa bangunan sekolah di SDN 066048 dan SDN 066049 ini adalah sebagai berikut.

a) Massa bangunan A dimiliki oleh SDN 066048, dengan:

 Ruang Kantor, uk. 5,3 x 7,5

 Ruang Kelas VI, 45 orang, uk. 7,5 x 7,8

 Ruang Kelas V, 42 orang, uk. 7,5 x 7,8

 Ruang Kelas IVA, 32 orang, uk. 7,5 x 7,8

 Ruang Kelas IVB, 28 orang, uk. 7,5 x 7,8

 Ruang Kelas IIIA, 29 orang, uk. 7,5 x 7,8

 Ruang Kelas IIIB, 31 orang, uk. 7,5 x 7,8

 Ruang Kelas IIA, 30 orang, uk. 7,5 x 7,8

 R. Kelas IIB, 28 orang, uk. 7,5 x 7,8

Gambar 3.8 Keyplan SDN 066048 dan SDN 066049. Sumber: Olah data, 2014.


(49)

b) Massa bangunan B dimiliki oleh SDN 066048 dan SDN 066049, dengan:

 Ruang Kelas IA, SDN 066048, 24 orang, uk. 7,5 x 7,8

 Ruang Kelas IB, SDN 066048, 23 orang, uk. 7,5 x 7,8

 Ruang Kelas I, SDN 066049, 23 orang, uk. 7,5 x 7,8

 Ruang Kelas II, SDN 066049, 36 orang, uk. 7,5 x 7,8

c. Massa bangunan C dimiliki oleh SDN 066049, dengan:

 Ruang Kelas Agama, uk. 5,3 x 7,5

 Ruang Kelas VIA, 23 orang, uk. 7,5 x 7,8

 Ruang Kelas VIB, 23 orang, uk. 7,5 x 7,8

 Ruang Kelas VA, 29 orang, uk. 7,5 x 7,8

 Ruang Kelas VB, 26 orang, uk. 7,5 x 7,8

 Ruang Kelas IV, 38 orang, uk. 7,5 x 7,8

 Ruang Kelas III, 40 orang, uk. 7,5 x 7,8

Gambar 3.10 Massa bangunan B di SDN 066048 dan SDN 066049. Sumber: Olah data, 2014.

Gambar 3.11 Massa bangunan C di SDN 066049. Sumber: Olah data, 2014.


(50)

d. Massa bangunan D dimiliki oleh SDN 066049 yang berfungsi sebagai kantor SDN 066049.

e. Massa bangunan E, dimiliki oleh SDN 066048, yang berfungsi sebagai:

 Musholla, uk. 5 x 7

 Perpustakaan, uk. 7 x 8,5

f. Area F, dimiliki oleh SDN 066048 dan SDN 066049, yang merupakan lapangan sekolah.

Gambar 3.12 Massa bangunan D di SDN 066049. Sumber: Olah data, 2014.

Gambar 3.13 Massa bangunan E di SDN 066048. Sumber: Olah data, 2014.


(51)

Massa bangunan A di SDN 066048 berbatasan dengan: a. Sebelah Timur : lapangan sekolah

b. Sebelah Barat : perumahan penduduk

c. Sebelah Utara : massa bangunan E SDN 066048 d. Sebelah Selatan : bangunan klinik

Massa bangunan B di SDN 066048 dan SDN 066049 berbatasan dengan: a. Sebelah Timur : massa bangunan C SDN 066049

b. Sebelah Barat : massa bangunan A SDN 066048 c. Sebelah Utara : lapangan sekolah

d. Sebelah Selatan : lahan terbuka dan bangunan klinik

Di sisi lain, massa bangunan C di SDN 066049 berbatasan dengan: a. Sebelah Timur : perumahan penduduk

b. Sebelah Barat : lapangan sekolah

c. Sebelah Utara : massa bangunan D SDN 066049 d. Sebelah Selatan : lahan terbuka

Gambar 3.14 Lapangan SDN 066048 dan SDN 066049. Sumber: Olah data, 2014.

Gambar 3.15 Suasana SDN 066048 dan SDN 066049. Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014.


(52)

3.5.2 Objek Penelitian

Dari kedua sekolah, ruangan kelas yang diteliti merupakan kelas 2 SD karena laju angin yang paling besar pada ruangan tersebut. Namun dikarenakan jadwal belajar siswa kelas 2 SD hanya berlangsung dari pukul 07.30–10.45, maka dipilih kelas 5SD (area tengah massa C) SDN 066049 yang masa belajarnya berlangsung dari pukul 07.30 –12.05. (Gambar 3.16)

Ruangan kelas pada sekolah ini memiliki ukuran yang sama, yaitu 750 cm x 780 cm. Di setiap depan ruangan kelas, terdapat area koridor, dan kemudian terdapat pot tanaman setinggi ± 15 cm, yang ditanami pohon cemara dan bunga. (Gambar 3.17)

Gambar 3.16 Ground Plan SDN 066048 dan SDN 066049. Sumber: Olah data, 2014.

U

Gambar 3.17 Denah kelas di SDN 066049.

Kelas 2SD Kelas 5SD


(53)

Kondisi kelas pada sekolah ini semuanya memiliki sisten ventilasi silang (cross ventilation), sehingga terdapat bukaan pada 2 sisi ruangan:

 Bukaan bagian depan

 Terdapat 1 buah jendela rangkap 3: 200 cm x 127 cm

 Terdapat 1 buah jendela rangkap 2: 135 cm x 127 cm

 Pintu : 112 cm x 267 cm

 Bukaan bagian belakang

 Terdapat 2 buah jendela rangkap 3: 200 cm x 127 cm

Gambar 3.18 Tampak bukaan depan kelas SDN 066049. Sumber: Olah data, 2014.

Gambar 3.19 Tampak bukaan belakang kelas SDN 066049. Sumber: Olah data, 2014.


(54)

Berikut metoda penelitian yang akan dilakukan di dalam kelas:

 Dipilih sekolah yang telah dilakukan melalui pencarian via internet dan kemudian dilakukan seleksi terhadap sekolah yang tidak sesuai kebutuhan. Setelah itu akan dilakukan wawancara dan survei lokasi secara langsung.

 Dilakukan pengumpulan data sekunder dan penentuan lokasi perletakkan alat CO2 meter dan anemometer. CO2 meter diletakkan pada ketinggian posisi

duduk siswa ± 70 cm dari lantai (pada meja) dan berjarak ± 3,5 m dari bukaan. Anemometer akan diletakkan pada sisi bukaan (jendela) untuk memperoleh kecepatan angin.

 Dilakukan pengukuran terhadap konsentrasi CO2(800 ppm – 1.000 ppm) dan

laju angin (m/s) yang kemudian berdasarkan rumus Q = CV.A.V akan

dihasilkan data laju ventilasi (laju ventilasi min. 5–8 l/s per orang) serta dilakukan observasi terhadap kegiatan yang terjadi selama pengukuran.

 Pengambilan data akan dilakukan setiap 1 detik dimana kemudian data diolah dalam interval 5 menit untuk kemudahan pembacaan dan diambil data yang paling maksimum selama selang 5 menit tersebut.

 Pengukuran dilakukan selama masa belajar dan istirahat selama 5 hari (2 hari untuk sistem ventilasi cross, dan 3 hari untuk sistem ventilasi single-sided).

 Setelah data diperoleh, maka kemudian dibandingkan konsentrasi CO2 dengan

laju ventilasi, apakah laju ventilasi berpengaruh terhadap konsentrasi CO2 dan

apakah keduanya memenuhi standard dan akan dibahas perbedaaan dari kedua sistem ventilasi yang digunakan terhadap konsentrasi CO2.

CO2 meter (±70cm dari

lantai)

Anemometer (± 135 cm dari lantai)

Jendela Belakang

(B) Jendela

Depan (D)


(55)

3.6 Metoda Analisa Data

Setelah data dari hasil pengukuran konsentrasi CO2 dan laju ventilasi

diperoleh, maka data tersebut akan dianalisa dengan metode: 1) Analisa Data deskriptif - kualitatif

Setelah dilakukan pengukuran, akan diperoleh data terhadap konsentrasi CO2

dan laju ventilasi. Kedua data konsentrasi CO2 dan laju ventilasi akan

disajikan dalam bentuk grafik. Data akan dibuat pada masing-masing fase besar bukaan yang berbeda. Akan dihasilkan 2 jenis grafik (setiap hari) untuk masing-masing konsentrasi CO2 dan laju ventilasi selama total 6 hari, maka

total grafik mentah yang dihasilkan berjumlah 3 grafik konsentrasi CO2 dan

laju ventilasi pada sistem cross ventilation dan 3 grafik konsentrasi CO2 dan

laju ventilasi pada sistem single-sided ventilation. (total 6 grafik)

Masing-masing grafik konsentrasi CO2 dan laju ventilasi yang disajikan akan

dijelaskan secara deskriptif melalui penjabaran kalimat dan akan dikaitkan dengan perubahan kondisi ruangan dan kegiatan/aktivitas yang terjadi di dalam ruangan.

2) Metode Analisa Korelatif

Data grafik dan penjelasan grafik secara keseluruhan pada masing-masing sistem ventilasi akan diambil rata-ratanya sehingga akan menghasilkan 1 grafik secara keseluruhan untuk masing-masing sistem ventilasi dengan total 2 buah grafik.

Grafik rata-rata konsentrasi CO2 dan laju ventilasi pada kondisi single-sided

ventilation dan cross ventilation akan dijadikan dalam 1 buah grafik secara keluruhan.


(56)

BAB 4

Hasil dan Pembahasan

Penelitian pengaruh ventilasi alami terhadap konsentrasi CO2 dilakukan

pada SDN 066048 dan SDN 066049 yang berada di jalan Mawar Raya, kelurahan Helvetia Tengah, dengan luas lahan ± 4.000 m2. Ruang kelas yang dinalisa merupakan bagian dari SDN 066049 kelas 5 SD.

Pengukuran dilakukan dengan dua buah anemometer dan satu buah data logger CO2 (Trotec BZ-30) yang masing-masing diletakkan pada 1 titik selama 6

hari selama masa belajar (07.30 – 10.45) dengan pengambilan data setiap 1 detik dan disajakan dengan interval setiap 5 menit untuk memudahkan pembacaan.

Gambar 4.1 Lokasi sekolah yang dipilih. Sumber: CAD kota Medan, 2014.

Kelas 5 SD di SDN 066049

Gambar 4.2 Site Plan SDN 066048 dan SDN 066049.

U


(57)

Pengukuran dilakukan pada kelas 5 SD yang dilakukan selama 5 hari (dikarenakan keterbatasan waktu) selama masa belajar (07.30 – 12.05) dengan mengkondisikan kelas dalam 2 kondisi sistem ventilasi yang berbeda.

Gambar 4.3 Perletakaan alat CO2 meter dan anemometer.

Sumber: Olah data.

Gambar 4.4 Perletakaan CO2 meter di lokasi.

Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014.

Gambar 4.5 Perletakaan anemometer di lokasi. Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014.

Anemometer

135 cm

CO2 meter

70 cm


(58)

Cross Ventilation 2 hari

Single-sided Ventilation 3 hari Inlet dan Outlet dibuka

(Cross Ventilation) 26 Mei 2014 2 Juni 2014 — Inlet ditutup, Outlet dibuka

(Single-sided Ventilation) 28 Mei 2014 3 Juni 2014 4 Juni 2014

Pengukuran konsentrasi CO2 yang masuk ke dalam ruangan kelas juga

diukur dengan mengambil sampel 1 hari (6 Juni 2014) di area koridor kelas dari pukul 07.50 – 12.00. Kondisi sekolah pada saat itu sepi dikarenakan SDN 066049 diliburkan karena ada acara perpisahan dengan siswa kelas 6 SD. Pada awal pengukuran, alat dipegang oleh penulis (07.50 – 09.00), kemudian dikarenakan diragukan keakuratannya, maka alat CO2 meter kemudian diletakkan pada kolom

koridor dengan ketinggian ± 54 cm dari lantai (09.00 – 12.00).

Gambar 4.6 Perletakaan CO2 meter ketika pengukuran di luar kelas (koridor depan kelas)


(1)

72

Berikut akan dikondisikan ruangan kelas dengan sistem ventilasi yang ditutup dengan mengabaikan adanya infiltrasi (seperti dari kisi-kisi) yang ada melalui perhitungan bahwa setiap detik konsentrasi CO2 yang dikeluarkan oleh

siswa dalam kegiatan belajar normal sebesar 0,006 l/s (Satwiko, 2009), maka total konsentrasi CO2 yang dihasilkan selama proses belajar (± 4,5 jam) dengan

mengabaikan adanya waktu istirahat dapat dihitung dengan: Ct = Cs . t. n

dimana:

Ct = Total konsentrasi CO2 (l/h)

Cs = Konsentrasi CO2 yang dikeluarkan setiap detik (l/s) Untuk mengubah satuan ke (l/h) maka dikalikan dengan 3.600 t = Lama penggunaan ruang (h)

n = Jumlah pengguna ruangan

* 1 ppm CO2= 1,8x10-2 gr/m3 * 1 liter = 1.000 gr

Siswa yang berjumlah 29 orang dengan 1 orang guru dalam masa belajar selama 4,5 jam akan mengeluarkan CO2 sebesar:

Ct = Cs . t. n

Ct = (0,006*3.600) . 4,5 . 30

Ct= 2.916 l/h ……… 1 liter = 1.000 gr

Ct = 2.916x103gr/h ……… 1 ppm CO2= 1,8x10-2 gr/m3

Ct = 1.620 ppm

Maka selama 4,5 jam dengan jumlah siswa 29 orang dan 1 orang guru dengan kegiatan belajar yang normal dapat menghasilkan konsentrasi CO2 sebesar 1.620

ppm. (dengan mengabaikan infiltrasi dan waktu istirahat)

Bila manusia menghirup udara yang mengandung konsentrasi CO2 pada

range 1.200 ppm – 1.600 ppm dapat menyebabkan udara dalam ruangan jenuh, dan di atas itu dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti sulit bernafas, sakit kepala, kehilangan kesadaran, sampai kematian.


(2)

73

Untuk menetralkan konsentrasi CO2 dengan kondisi di atas dapat dihitung

dengan cara perbandingan yang sesuai dengan standard yaitu:

 Standard ASHRAE dan BB101 laju ventilasi untuk ruangan belajar sebesar 5l/s

– 8 l/s, dan standard konsentrasi CO2 sebesar 800 ppm – 1.000 ppm.

 Dalam perhitungan ini akan diambil standard yang paling minimum yaitu 800 ppm.

Berikut merupakan perhitungan laju ventilasi yang dibutuhkan untuk mengkontrol konsentrasi CO2 agar berada dalam batasan standard (800 ppm).

Dapat dihitung dengan perbandingan, yang sesuai dengan anjuran Hananto (2010).

Vs : Vb = Cs : Cb

5 : x = 800 : 1.620 800 x = 8.100

x = 10,125 l/s x = 10 l/s dimana:

Vs = Laju ventilasi standard (l/s)

Vb = Laju ventilasi yang dibutuhkan (l/s)

Cs = Konsentrasi CO2 standard yang ingin dicapai (ppm) Cb = Konsentrasi CO2 yang dihasilkan (ppm)

Maka untuk menjaga agar kualitas udara dalam ruangan kelas dengan kondisi tertutup berada dalam keadaan standard dengan jumlah pengguna ruangan 30 orang selama 4,5 jam, laju ventilasi yang dibutuhkan sebesar 10 l/s.

Ef = produksi CO2 per orang

(

pertambahan kadar CO2

)


(3)

74 BAB 5

KESIMPULAN

1) Kualitas udara (konsentrasi CO2) di dalam ruangan dipengaruhi oleh jumlah

pengguna ruang, aktivitas siswa dan sistem ventilasi yang digunakan.

2) Kualitas udara di ruangan kelas dengan sistem cross ventilation lebih baik dibandingkan dengan sistem single-sided.

3) Konsentrasi CO2 di ruang kelas SDN 066049 pada jam pelajaran (07.30 –

12.05) ketika belajar normal (tertib) cenderung berkisar antara 400 – 600 ppm. 4) Range laju ventilasi pada masa belajar (07.30 – 12.05) berkisar antara 0 l/s –

6,1 l/s. Secara garis besar laju ventilasi belum memenuhi standard karena cenderung terukur pada range 1 l/s – 3 l/s (standard laju ventilasi: 5 l/s – 8 l/s). 5) Besar bukaan di lokasi (5,1 m dan 7,3 m) telah memenuhi standard minimal

SNI yaitu minimal sebesar 3 m (5% dari luas lantai), namun masih belum dapat memenuhi kebutuhan minimal laju ventilasi.

6) Konsentrasi CO2 pada kedua sistem ventilasi ini tidak memiliki perbedaan

yang terlalu signifikan. Namun, bila ruangan kelas dengan pada lokasi dan kondisi yang sama (30 pengguna ruangan) dikondisikan dalam keadaan tertutup (infiltrasi diabaikan), maka konsentrasi CO2 dalam ruangan dapat

mencapai 1.620 ppm.

7) Berdasarkan teori (M.Evans, 1980 dalam Putra, 2009), pertukaran udara yang optimum terjadi pada ruangan dengan sistem ventilasi cross. Dari hasil pengukuran diperoleh bahwa konsentrasi CO2 pada sistem cross ventilation

cenderung lebih rendah daripada sistem single-sided ventilation.

8) Hasil penelitian mendukung pernyataan Sribanurekha yang menyatakan bahwa luas bukaan mempengaruhi konsentrasi CO2. Semakin besar bukaan


(4)

DAFTAR PUSTAKA

ASHRAE. (2004). ASHRAE Standard 62.1-2004: Ventilation and Acceptable

Indoor Air Quality. Atlanta, Georgia: American Society of Heating,

Refrigerating and Air-Conditioning Engineers, Inc.

Badan Standarisasi Nasional (BSN). (2001). SNI 03-6572-2001: Tata Cara

Perancangan Sistem Ventilasi dan Pengkondisian Udara pada Bangunan.

(Online), http://ciptakarya.pu.go.id/pbl/doc/sni/SNI_VENTI.PDF, diakses tanggal 5 April 2014.

Boutet, T.S. (eds). (1987). Controlling Air Movement: A Manual for Architects

and Builders. United States of America: R.R Donnelley & Sons Company.

Charles, K., Magee, R.J., Won, D., Lusztyk, E. (2005). National Research Council Canada: Indoor Air Quality Guidelines and Standards. Canada: NRC-CNRC.

Department for Education, Building Bulletin 101. (2006). Ventilation of School

Buildings: Regulations, standards design guidance. London: UK

Department for Education and Employment.

Dutton, S., Shao, L. (2010). Window Opening Behaviour in A Naturally

Ventilated School. Fourth National Conference of IBSA-USA. New York

City, New York.

EPA. 19 Desember 2013. Technology Transfer Network: National Ambient Air

Quality Standadrs (Online), http://www.epa.gov/ttn/naaqs/

Greenwood, Veronique. 22 Maret 2011. Why Are Asthma Rates Soaring?

Researchers once blamed a cleaner world. Now they are not so sure.

(Online), http://www.scientificamerican.com/article/why-are-asthma-rates-soaring/, diakses 2 Maret 2014.

Hananto, S., Ardiansyah, A.(2010). Handout Perkuliahan Mata Kuliah Fisikan

Bangunan (Online),

http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTUR/

195001231978031-SIDIK_HANANTO/HANDOUT_PERKULIAHAN_FISBANG_S1.pdf , diakses 20 Mei 2014.

Jaakkola, J.J., Verkasalo, P.K., & Jaakkola, N. (2000). Plastic Wall Materials in

The Home and Respiratory health in Young Children. American Journal of

Public Health, 90, pp. 797–799.

Khatami, N., Cook, M.J., Firth, S.K., Hudleston, N. (2013). Control of CO2

Concentration in Educational Space Using Natural Ventilation.


(5)

76

Kindangen, J.I. (2003). Pengaruh Tipe Jendela terhadap Pola Aliran Udara

dalam Ruang. Dimensi Teknik Arsitektur, 31(2): 158–162.

Lechner, Norbert. (2007). Heating, Cooling, Lightning: Metode Desain untuk

Arsitektur. P.T. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

MDH. 19 Desember 2013. Air Quality (Online),

https://apps.health.state.mn.us/mndata/air, diakses 1 Maret 2014.

Mediastika, C.E. (2002). Desain Jendela Bangunan Domestik untuk Mencapai

“Coolong Ventialtion”. Dimensi Arsitektur, 30(1): 77–84.

Mendell, M.J., & Heath, G.A. (2004). Do Indoor Environments in School

Influence Student Performance? A Critical Review of The Literature. Indoor

Air, 15(1), pp.27–52.

Mendell, M.J. (2007). Indoor Residential Chemical Emissions as Risk Factors for

Respiratory and Allergic Effects in Children: A Review. Indoor Air

Journal,17, pp.259–277.

Mi, Y-H., Norbäck, D., Tao, J., Mi, Y-L., Ferm, M. (2006). Current Asthma and Respiratory Symptoms Among Pupils in Shanghai, China: Influence of Building Ventilation, Nitrogen Dioxide, Ozone, and Formaldehyde in Classrooms. Indoor Air, 16(6):454–464.

Ministry of Education. (2007). Designing Quality Learning Spaces: Ventilation &

Indoor Air Quality. BRANZ Ltd.

Mufrizon, Harry (2003) Pengaruh Beberapa Indikator Pembangunan Terhadap

Pencemaran Udara di Indonesia. Skripsi Program Pascasarjana Universitas

Indonesia. Fakultas Ekonomi. Jakarta.

NDRC. 12 Febuari 2010. What’s at Risk from Industry’s Full-Scale Assault on

The EPA and The Clean Air Act? (Online),

http://www.nrdc.org/air/cleanairact/default.asp, diakses 1 Maret 2014. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2007).

Permendiknas No. 24 Tahun 2007: Tentang Standard Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menegah Pertama/Madrasah Tsana Wiyah (SMP/MTs), dan Sekolah

Menegah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA). (Online),

http://staff.unila.ac.id/radengunawan/files/2011/09/Permendiknas-No.-24-tahun-2007.pdf, diakses pada tanggal 8 Maret 2014.

PIER California Energy Commission. (2009). Ventilation and Indoor Air Quality

in New Homes. California.

Putra, W.P.(2009). Ventilasi Alami untuk Hunian Berdempetan di Daerah

Beriklim Panas Lembab. Skripsi Program Pascasarjana Universitas


(6)

77

Salleh, N.M., Kamaruzzaman, S.N., Sulaiman, R., Mahbobi, N.S. (2011). Indoor

Air Quality at School: Ventilation Rates and It Impacts Towards Children –

A Review. 2nd International Conference on Environmental Science and

Technology IPCBEE, vol.6 (2011), IACSIT Press, Singapore. Satwiko, P.(2009). Fisika Bangunan. C.V ANDI: Yogyakarta.

Seppänen, O.A., Fisk, W.J., Mendell, M.J. (1999). Association of Ventilation rates and CO2 concentrations with Health and Other Responses in Commercial

and Instutional Buildings. Indoor Air 1999, 9: 226–252.

Seppänen, O.A., Fisk, W.J. (2004). Summary of Human Responses to Ventilation. Berkeley, California: Lawrence Berkeley National Laboratory.

Sribanurekha, V., Wijerathne, S.N., Wijepala, L.H.S., Jayasinghe, C. Effects of Different Ventilation Conditions on Indoor CO2 Levels.

Steiger, S., Hellwig, R.T., Junker, E. Distribution of Carbon Dioxide in a

Naturally Ventilated Room with High Internal Heat Load.

The Government of the Hongkong Special Administrative Region Indoor Air Quality Management Group. (2003). A Guide on Indoor Air Quality

Certification Scheme for Offices and Public Places. Hongkong: The

Government Logistics Department Hongkong Special Administrative Region Government.

Umwelt & Gesundheit (eds). (2008). Guidelines for Indoor Air Hygiene in School

Buildings. Berlin: Umweltbundesamt Berlin.

WHO. (2006). WHO Air Quality Guidelines for particulate Matter, Ozone, Nitrogen dioxide and Sulfur dioxide. Geneva, Switzerland: World Health Organization.

WHO. (2010). WHO Guidelines for Indoor Air Quality: Selected Pollutants. Copenhagen, Denmark: World Health Organization.