Efek Pengkondisian Ventilasi yang berbeda terhadap Konsentrasi CO Distribusi CO

Besar bukaan ventilasi mempengaruhi besarnya laju ventilasi, dimana laju ventilasi berpengaruh terhadap kandungan CO 2 dalam ruangan. Bila laju ventilasi tidak lancar sistem pengoperasian bukaan dan faktor lain dan tidak memenuhi kebutuhan aktivitas di dalamnya, maka akan menimbulkan efek negatif seperti rasa pengap dan kurangnya oksigen dalam ruangan, yang kemudian akan berdampak pada kenyamanan dan kesehatan manusia seperti gangguan pada sistem pernafasan dan timbulnya jamur serta polutan lain. Pada suatu bangunan atau ruangan, umumnya terdapat 2 fungsi ventilasi, yaitu inlet dan outlet. Ventilasi yang berfungsi sebagai inlet, disarankan diletakkan pada ketinggian manusia 60 –150 cm agar udara dapat mengalir di sekitar manusia. Sedangkan untuk ventilasi yang berfungsi sebagai outlet harus diletakkan lebih tinggi dari inlet, agar udara panas dalam ruangan dapat mengalir keluar Mediastika, 2002. Melalui sistem ventilasi yang baik, maka sirkulasi udara akan lancar. Menurut CIBSE 2006 dalam panduan Khatami 2013, manusia memerlukan udara bersih sebesar 10 ls. Namun untuk standard yang dibutuhkan di sekolah, cenderung berkisar antara 5ls – 8 ls BB101, 2006 ; ASHRAE, 2003. Konsentrasi CO 2 dalam ruangan berbeda-beda bila ditinjau dari ketinggian dalam ruangan. Pembuktian ini ditemukan dalam penelitian Stieger dkk., yang menemukan bahwa konsentrasi CO 2 lebih tinggi pada area yang lebih tinggi. Namun bila sistem ventilasi ditutup, maka konsentrasi CO 2 dalam ruangan akan sama rata di semua titik dalam rentang beberapa menit.

2.8 Penelitian Terkait

2.8.1 Efek Pengkondisian Ventilasi yang berbeda terhadap Konsentrasi CO

2 dalam Ruangan Penelitian ini dilakukan oleh Sribanurekha dkk. di Sri Lanka yang merupakan daerah beriklim tropis. Beliau melakukan penelitian dengan metode pembagian kuisioner dan pengukuran terhadap konsentrasi CO 2 di dalam ruangan dengan sistem ventilasi mekanis dan ventilasi alami pada masing-masing bangunan sekolah, perkantoran dan rumah sakit. Universitas Sumatera Utara Metode pengukuran dilakukan dengan mengukur konsentrasi CO 2 , temperatur dan kelembaban di dalam dan luar ruangan. Aktivitas dan jumlah pengguna ruangan juga di-data begitu juga dengan jenis jendela yang digunakan. Kemudian sistem ventilasi alami dikondisikan dalam 3 fase dengan besar bukaan yang berbeda, yaitu: jendela 100 terbuka, 50 terbuka, dan 100 tertutup. Pengukuran pada setiap kondisi dilakukan setelah udara dalam ruangan dikondisikan selama 3 jam hingga mencapai keadaan stabil. Pengukuran diulang 2 kali untuk memperoleh hasil yang lebih akurat. Kemudian hasil pengukuran pada sistem ventilasi alami dan buatan dibandingkan. Pada hasil penelitian ditemukan bahwa konsentrasi CO 2 berbanding terbalik dengan luas bukaan jendela. Ukuran, jumlah dan posisi jendela sangat berperan penting terhadap kualitas udara dalam ruangan. Perbedaan besar bukaan jendela 100 dan 50 tidak jauh berbeda, namun bila jumlah pengguna ruangan ditingkatkan, maka akan terdapat perbedaan yang lebih besar. Dan pada ruangan dengan sistem ventilasi mekanis, ditemukan bahwa AC central lebih bagus daripada AC split pada keadaan tidak terawat. Secara keseluruhan disimpulkan bahwa konsentrasi CO 2 lebih tinggi pada ruangan dengan sistem ventilasi mekanis daripada ruangan dengan sistem ventilasi alami. Dimana hal ini dimungkinkan karena tidak diaktifkannya sistem ventilasi alami sehingga tidak ada pertukaran udara.

2.8.2 Distribusi CO

2 pada Ruangan dengan Sistem Ventilasi Alami dan Pemanasan yang Tinggi dalam Ruangan Penelitian terhadap hubungan ventilasi alami dan CO 2 dengan pemanasan dalam ruangan dilakukan oleh Steiger. Pengukuran dilakukan berdasarkan ketinggian perletakkan sensor yang berbeda dengan total penempatan 27 buah sensor CO 2 di suatu ruangan dengan ukuran 2,6 m x 5,6 m x 2,7 m. Pada ruangan yang dikondisikan, terdapat 3 buah jendela, namun 2 buah jendela ditutup, dan hanya dibuka 1 buah jendela dengan model gantung yang dikondisikan terbuka dan tertutup. Universitas Sumatera Utara Pemanasan yang dikeluarkan dalam ruangan berasal dari boneka tiruan dummies. Panas yang dikeluarkan sebesar 1,2 met dan 0,006 lsdummy konsentrasi CO 2 . Konsentrasi CO 2 di ruangan diukur dengan menggunakan photo- acoustic multi-gas sensor. Sensor CO 2 tersebut diletakkan pada 9 titik dengan masing-masing pada tiga ketinggian yang berbeda0,0 m, 1,2 m, 2,7 m, sehingga terdapat total 27 sensor. Hasil pengukuran berada pada satuan kmm 3 yang kemudian dikonversikan ke dalam satuan ppm pada kondisi ruangan 20°C dan tekanan 930 hPa . Sampel diambil setiap 250 detik. Pada hasil penelitian, diperoleh bahwa pada di awal penelitian konsentrasi CO 2 cenderung lebih tinggi pada area yang lebih tinggi 2,7 m dan akan stabil setelah 2,5 jam. Titik yang dekat dengan jendela mengalami fluktuasi. Dari hasil penelitian ini juga ditemukan bahwa posisi yang paling baik untuk sensor CO 2 yaitu pada ketinggian pernafasan manusia dan berada dekat dengan dinding serta jauh dari sistem ventilasi. Dan konsentrasi CO2 perlahan meningkat ketika dikeluarkan dan posisi jendela dibuka, kemudian turun sedikit setelah karbon dioksida dihentikan dengan kondisi jendela ditutup. Dan ketika jendela ditutup dan CO 2 dikeluarkan, konsentrasi CO 2 meningkat tajam, dan kemudian perlahan turun ketika jendela dibuka dan konsentrasi CO 2 dihentikan.

2.9 Sintesa Pustaka