Penempatan korporasi sebagai subjek hukum pidana di dukung oleh beberapa pakar, diantaranya Andi Zainal Abidin, yang mengemukakan bahwa
pembuat delik yang merupakan korporasi itu, oleh rolling dimasukkan sebagai functioneel dedarschaap. Oleh karena korporasi dalam dunia modern mempunyai
peranan penting dalam kehidupan ekonomi yang mempunyai banyak fungsi seperti, pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa, dan lain-
lain.pelaku fungsional disini yang dimaksud adalah pelaku yang tidak melakukan tindak pidana secara fisik, misalnya tindakan korporasi yang dilakukan oleh
pegawainya menjadikan korporasi bertanggung jawabatas tindakan tersebut. Mardjono Reksodiputro menyebutkan ada tiga sistem pertanggung
jawaban pidana korporasi sebagai subjek tindak pidana, yakni sebagai berikut : 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung
jawab. 2. Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab
3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.
22
Sebelum tahun 1985, yaitu ketika kehutanan diatur dengan Undang- undang No. 5 Tahun 1967, tidak ada kententuan yang melarang pembakaran
Dengan ini sudah cukup jelas bagi meraka baik perorangan atau korporasi yang melakuakan tindak pidana. Sehingga meraka tidak punya alasan lagi, dengan
penjelan ini akan membuat meraka untuk berpikir kembali dalam menjalankan kegiatan yang melanggar peraturan atau tindak pidana.
2. Kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah
22
Ibid, Halaman. 124
Universitas Sumatera Utara
hutan, oleh karena itu, pelaku kebakaran hutan hampir tidak dapat digiring ke pengadilan karena polisi dan jaksa menganggab bahwa meraka tidak punya
ketentuan yang sahih untuk menuntut pelaku. Pikiran ini sejalan dengan asas nullum delictum, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 KUHP. Pada tahun 1985,
pemerintah mengelurkan peraturan pemerintah No. 28 Tahun 1985, yang secara tegas melarang aktivitas yang menyebabkan kebakaran hutan.
23
Untuk mengatasi hambatan diatas, pemerintah indonesai mengeluarkan peraturan pemerintah No. 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan Hutan
dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan.
peraturan pemerintah ini ditindak lanjuti dengan keputusan Direktur Jendral Perkebunan No.
38KB-110SKDJ.BUN.05.95, yang mengharuskan pembukaan lahan tanpa bakar zero burning. Namun sayangnya, disektor kehutanan sendiri, namun pemerintah
ini tidak dilaksanakan secara konsisten. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, perbuatan
membakar di kawasan hutan menjadi perbuatan terlarang. Aka tetapi, Undang- undang ini masih mempunyai hambatan dalam pelaksanaannya karena kejadia
kebakaran hutan tidak melulu disebabkan oleh kegiatan di dalam kawasan hutan, tetapi juga oleh kegiatan perkebunan yang berada di luar kawasan sebagaimana
dimaksud oleh Undang-undang ini.
24
23
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1985 Tentang Pelindungan Hutan, Pasal 10 1 dan 2
24
Peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 2001 tentang Pengadilan kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.
Peraturan pemerintah ini mengisi kevakuman hukum dalam Undang-
Universitas Sumatera Utara
undang No. 41 Tahun 1999 dengan memasukkan kebakaran lahan, yang diatur dalam Undang-undang ini.
Berdasarkan peraturan pemerintah No. Tahun 2001, pemilik kegiatan tidak saja diwajibkan mencegah kebakaran hutan dan lahan, tetapi juga dianggab
bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di wilayah kerjanya. Ketentuan ini sangat berguana untuk mengantisipasin argumentasi
pemilik usaha perkebunan yang selalu mengatakan bahwa kebakaran hutan yang terjadi akibat oleh petani. Argumentasi ini sering digunakan di pengadilan untuk
membela diri. Apabila argumentasi ini di sampaikan di siding pengadilan , hakim tentu meminta jaksa untuk membuktikan pelaku fiksi, yang tentunya
mengharuskan bukti tradisional seperti korek api, atau bahan bakar atau jerry can yang digunakan untuk membakar hutan dan lahan, yang tentunya tidak mungkin
di tampilkan di pengadilan.
25
1. Jeda Penebangan Hutan Moratorium Logging
pemerintahdapat mengeluarkan peraturan sesuai dengan kebutuhan dan demi kelestariah hutan, pemerintah dapat menerapkan berbagai sistem seperti :
Jeda penebangan hutan adalah metode pembekuan atau pengehentian sementara seluruh aktivitas penebangan kayu skala besar untuk sementara
waktu tertentu sampai suatu kondisi yang dinginkan tercapai. Lama waktunya biasanya di tentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapi
waktu yang di butuhkan tersebut. Beberapa langkah penerapannya adalah :
25
Sukanda Husni. S.H. LL.M. Loc. CitHalaman. 89
Universitas Sumatera Utara
a. Penghentian pengeluaran izin baru
Sebagai kebijakan awal yang pertama dapat dilakukan ialah penghentian pengeluaran izin-izin HPH Hak Pengusahaan Hutan hal ini diharapkan
dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi kerusakan hutan, dengan menutup pengeluaran izin-izin baru dapat mengurangi resiko bertambahnya
areal hutan yang akan rusak, selain itu dapat dijadikan evaluasi bagi atau terhadap HPH yang ada sebelumya dalam mengelola kawasan hutan.
b. Penyelesaian sengketa\konflik sosial dalam pengelolaan hutan
Disini pemerintah, swasta dan masyarakat bersama membicarakan solusi yang baik dalam pengelolaan hutan berikutnya
c. Melibatkan masyarakat dalam proses evaluasi
Masyarakat merupakan sosok yang berada dalam siklus hutan dan sudah selayaknya pemerintah memberikan ruang yang banyak dalam mendengarkan
aspirasi masyarakat. Hutan merupakan sumber daya alam yang mampu meyediakan bahan-bahan kebutuhan masyarakat, sebaliknya masyarakat
dapat menjamin kesinambungan pemanfaatannya oleh sebab itu masyarakat diharapkan dapat memelihara dan bekerja sama dengan pemerintah dalam
menjaga hutan agar tetap lestari. Pemerintah daerah juga dapat membuat kebijakan sendiri melihat kondisi
hutan sekitarnya dan bekerja sama dengan pemerintah pusat, dan sebagai sumber informasi apabila kejahatan yang dilakukan sudah berskala besar.
Universitas Sumatera Utara
3. Penegakan Peraturan dan Penegakan sanksi administratif yang tegas