Kepemimpinan Dalam Islam Kepemimpinan dalam Pandangan Islam
imam berarti “pemimpin”, dan “pemuka” atau orang menjadi pimpinan.
Sejak awal istilah imam digunakan guna menyebut seseorang yang memimpin amma shalat berjamaan di antara para partisan ma;maum.
Pada saat itu, tidak sedikit pun pola pemikiran kaum muslimin tentang keterkaitan istilah imam dengan kepemimpinan negara. Namun dalam
perjalanan historisnya, ketika khulafaurrasyidin memegang tampuk kepemimpinan, mereka tidak hanya berperan sebagai tokoh agama, ahli
hukum dan imam shalat, tetapi juga kepala negara yang bertugas mengatur dan mengurus persoalan-persoalan pemerintahan, maka sejak itu pula gelar
imam tidak lagi khusus bagi para imam shalat, tetapi juga kata imam sering dikonotasikan sebagai pemimpin kenegaraan atau presiden. Dari kenyataan
historis tersebut, istilah imam kemudian sering diidentikkan dengan khalifah, sultham amir, kepala negara, dan presiden.
Oleh karenanya, imam adalah seorang yang diikuti oleh suatu kaum. Kata imam lebih banyak digunakan untuk orang yang membawa kepada
kebaikan, seperti pemimpin shalat, pemimpin agama. Dalam Islam, imamah berfungsi sebagai institusi yang menggantikan
peran kenabian Nabi Muhammad SAW dalam melindungi agama Islam dan mengatur kemaslahatan dunia. Hal ini bertolak dari cara atau gaya
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang tidak hanya mengatur persoalan-persoalan keagamaan tapi juga menyangkut persoalan politik.
Oleh karena itu, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Allah mestilah mengangkat seorang pemimpin bagi ummat-Nya sebagai pengganti Nabi,
pelindung, agama, dan pemegang mandat politik.
Ar-Razi berpendapat bahwa pengangkatan seorang imam adalah wajib, kewajiban itu bukan hanya datang dari Allah SWT, melainkan karena
kebutuhan manusia itu sendiri. Argumentasi yang dikemukakan adalah pengangkatan
imam itu
meruapakan usaha
untuk menolak
mudaratkejahatan, dan kejahatan itu tidak mungkin tertolak tanpa adanya imam. Menolak kejahatan demi keselamatan jiwa, menurutnya adalah
wajib. Oleh karenanya, merupakan suatu kewajiban bagi orang-orang yang waras untuk mengangkat seseorang imam bagi mereka. Kewajiban
mengangkat imam tersebut dipikul oleh rakyat secara bersama-sama, dalam bentuk kewajiban kifayah kolektif. Karenanya, sumber kekuasaan
tertinggi adalah rakyat. Argumentasi tentang pengangkatan imam sesungguhnya lebih bersifat
pertimbangan rasional aqli dari pada pertimbangan normatif sebagaimana biasanya terdapat dalam doktrin al-
Qur’an dan al-sunah. Secara umum, baik al-
Qur’an maupun al-sunah hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan persoalan politik, tetapi secara eksplisit menjelaskan persoalan penangkatan
imam. Walaupun demikian ada beberapa ayat yang sering dijadikan para ulama dalam menjelaskan persoalan imam.
32
Firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa 4 ayat 59:
32
Mufid Moh, Politik dalam Persepektif Islam Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004, h. 31- 37.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman taatlah kamu sekalian kepada Allah dan rasul-Nya serta ulil
amri di antara kamu”
33
Al- Qur’an dan as-Sunnah sebagai rujukan pertama dan utama umat
Islam telah menampilkan lima terminologi tentang kepemimpinan yaitu: a.
Al-Imam perhatikan QS. 25: 74, bentuk jamaknya adalah al-aimmah sebagaimana disebutkan dalam hadits Shahih Bukhari dan Muslim.
Imam artinya pemimpin yang berada di depan amam. Istilah ini juga sangat populer dipergunakan selain untuk kepemimpinan politik dan
intelektual, ia juga populer dipakai untuk kepemimpinan dalam shalat berjama’ah. Ungkapan ini dalam bahasa Arab tampil dengan bentuk
isim fa’il subjek. Tetapi dalam bahasa Arab ungkapan ini juga berarti objek makmum. Oleh karenanya mengomentari ayat 25:74 itu, Imam
Ibnul Qayyim menyampaikan dengan ungkapan, “Ya Allah jadikanlah kami makmum bagi orang-
orang yang bertakwa.” Karena seorang pemimpin berada dalam posisi imam, maka dari itu haruslah bersiap
berada di depan atau di belakang bersama orang-orang bertakwa, dan bahkan ia harus siap untuk menjadi imam maupun makmum dalam
shalat dengan segala hikmah yang terkandung dalamnya. b.
Al-Khalifah bermakna pemimpin yang mewakili, menggantikan, dan siap diganti oleh pelanjutnya QS. 2:30. Karenanya para
Khulafa’ ar- Rasyidun selain menggantikan Rasulullah s.a.w sebagai pemimpin,
mereka juga menlanjutkan risalah beliau, bahkan siap dan rela bila kepemimpinannya dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin berikutnya.
33
Al- Qur’an dan Terjemahannya, Surat An-Nisa 4:59.
Dalam terminologi ini, seorang pemimpin haruslah dalam posisi tidak melanggengkan kekuasaannya, melainkan ia selalu beraktifitas bijak
termasuk mempersiapkan keberlanjutan kepemimpinan berikutnya. c.
Al-Malik artinya raja. Hanya saja Al-Qur’an sekaligus mengaitkan status ini dengan hakikat kerajaan yang sepenuhnya adalah milik Allah
saja. Sementara kekuasaan kerajaan yang diberikan kepada manusia hanyalah bersifat nisbi yang semestinya digunakan untuk merelisir
kemaslahatan kehidupan. Di antara kemaslahatan tersebut adalah memunculkan kesentausaan bagi sang Raja dan bagi rakyatnya dengan
sepenuhnya melaksanakan
ketentuan-ketentuan Allah
SWT. Karenanya Allah menegaskan bahwa Dia-lah Raja dari para raja. Oleh
karenanya para raja di dunia itu haruslah menselaraskan diri dengan hakikat kekuasaan yang mereka miliki dan tidak melampauinya agar
tidak muncul kehinaan dan kezaliman bagi kemanusiaan. d.
Al-Amir artinya seorang pemimpin yang dapat memerintah. Ia pun berarti ism maf’ul objek sehingga bermakna pemimpin yang dapat
dikoreksi oleh rakyatnya atau diperintah untuk memperbaiki diri oleh rakyatnya. Seorang pemimpin dalam terminologi ini adalah seorang
pemberani dan berwibawa, sehingga ia dapat efektif memerintah melalui perintahnya yang ditaati rakyat , ketika perintah itu benar. Ia
dapat berlapang dada untuk menerima perintah dari rakyat melalui koreksi mereka. Dengan cara ini, kehidupan kepemimpinan di suatu
negeri akan membawa manfaat yang besar bagi kehidupan bangsa dan efektifnya penyelenggaraan negara.
e. Ar-Ra’i artinya adalah pemimpin yang senantiasa memberikan
perhatian kepada ra’iyah rakyat HR.Bukhari Muslim. Dalam hadits Rasulullah s.a.w sering mengingatkan bahwa peran kepemimpinan
yang selalu peduli kepada rakyatnya itu ada di seluruh level kepemimpinan. Beliau pun mengaitkan secara langsung korelasi
p ositif timbal balik antara ra’i dan ra’iyyah-nya. Keakraban semacam
ini lah yang bila dilakukan seorang pemimpin tentu akan menciptakan iklim kepemimpinan yang penuh empati, keperdulian dan kedekatan
dengan rakyat.
34
Pemimpin Islam harus menjadi model keteladanan dalam segala hal, dimana kekuatannya lebih banyak diperoleh dari jati dirinya daripada dari
keputusan-keputusan di atas kertas. Pemimpin harus memiliki daya penalaran kuat, pengetahuan luas, dan berani. Rasulullah saw adalah
seorang pemberani dan paling kuat mentalnya. Para sahabat apabila perang berkecamuk berlindung pada Rasulullah saw.
Pemimpin juga harus bertutur kata yang baik dan berbudi pekerti luhur, tidak berbicara kotor dan tidak mengikuti hawa nafsu. Kerusakan yang
sering dialami oleh ber bagai jama’ah adalah karena adanya orang-orang
yang melukai orang dengan kata-katanya yang pedas. Pemimpin harus bersifat bijak. Sifat bijak tidak tampak dalam waktu-waktu santai dan
senang melainkan akan tampak ketika seseorang dapat mengendalikan diri pada saat emosi. Pemimpin harus memiliki sifat pemaaf, lembut, dna
34
Hidayat Nur Wahid, Mengelola Masa Transisi menuju masyarakat madani, Ciputat: Fikri, 2004, h.165-166.
bertenggang rasa. Dengan sifat ini ia mendapat teman karib dan merangkul orang jauh. Pemimpin harus menetapi perjanjian yang telah disepakati, baik
perjanjian dengan sang penciptanya untuk menjadi manusia yang dapat dipercaya dalam da’wahnya maupun terhadap dirinya sendiri; hanya
mencari ridha Allah ta’ala dalam pekerjaannya. Pemimpin harus bersifat cerdas dan berwawasan luas, dadanya bersih dari kedengkian, kezaliman,
dan kesombongan. Pempimpin harus tidak terpengaruh oleh perbuatan adu domba, sifat ini mempunyai makna penting bagi pemimpin.
35
Pemimpin Islam
bertanggung jawab
menghidupkan dan
menyebarluaskan prinsip syura dalam semua pengambilan keputusan sebab syura merupakan satu kewajiban
syar’i. Ibnu Arabi berkat: “Musyawarah itu pokok agama dan sunatullah dalam alam. Musyawarah adalah
kesepakatan pada suatu masalah di mana masing-masing mengemukakan pendapatnya. Kata ini berasal dari kata dasar isyarat. Dalam tafsir fiman
Allah ta’ala: “Dan urusan mereka adalah dimusyawarahkan sesama mereka”.
Ibnu Arabi mengemukakan, syura ialah tidak bersikukuh pada satu pendapat dan tidak langsung menyalahkan pendapat mereka sehingga
meminta bantuan orang lain yang dipandang mempunyai pengetahuan tentang maksudnya.
36
35
Musthafa Muhammad Thahhan, Model kepemimpinan dalam amal islami, Jakarta: Robbani Press, 1985, h.21-22.
36
Musthafa Muhammad Thahhan, Model kepemimpinan dalam amal islami, h.25.
Veitzal Rivai menyebutkan sekurangnya ada enam ciri kepemimpinan dalam Islam, yaitu:
1. Setia kepada Allah
Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaan kepada Allah, artinya bahwa kepemimpinan yang dijalankan itu adalah
merupakan perwujudan dari pada kesetiaan seseorang kepada Allah SWT, bukan karena ambisi ingin menjadi pemimpin, jadi semua prilaku
kepemimpinannya itu adalah tunduk terhadap semua aturan hukum atau aturan syariat yang ditetapkan oleh Allah SWT.
2. Tujuan Islam secara menyeluruh
Pemimpin harus mampu melihat bahwa tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok, apalagi kepentingan orang
perorang, akan tetapi disampingkan untuk kepentingan kelompok, orang perorangan juga dalam rangka memenuhi kepentingan dalam lingkup
yang lebih luas yaitu kepentingan Islam secara keseluruhan. 3.
Menjunjung tinggi syariat dan akhlak Islam Pemimpin itu sangat terikat dengan peraturan yang terkandung di
dalam syariat Islam, oleh karenanya seseorang boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang teguh pada aturan-aturan yang terkandung di dalam
syariat Islam. Dalam kondisi tertentu di mana pemimpin itu tidak memperhatikan dan mengabaikan aturan-aturan yang terkandung di
dalam syariat Islam maka pada saat itu ia harus dimaksulkan, karena ia justru orang yang akan membahayakan Islam itu sendiri. Kecuali itu
seorang pemimpin di dalam upaya mengendalikan urusannya itu ia
harus menjunjung tinggi akhlak Islam, baik ketika ia berurusan dengan orang-orang yang sefaham apalagi ketika ia berurusan dengan golongan
oposisi atau orang-orang yang tak sepaham. 4.
Pengemban amanat Pemimpin adalah seseorang yang menerima kekuasaan sebagai
amanah dari Allah SWT.oleh karena itu ia memiliki sebuah tanggung jawab yang besar. Al-Quran memerintahkan pemimpin melaksanakan
tugasnya untuk Allah dan menunjukan sikap yang baik kepada para pengikutnya atau para pahlawan atau para bawahannya. Dalam Al-
Quran, Allah SWT berfirman:
َةاَكَزلا اُوَ تآَو َة َََصلا اوُماَقَأ ِضْرَْْا ِِ ْمُهاَنَكَم ْنِإ َنيِذَلا َمَأَو
ِرَكْنُمْلا ِنَع اْوَهَ نَو ِفوُرْعَمْلاِب اوُر ۗ
ِهَلِلَو ِقاَع
ََُُ ِروُمُْْا
Artinya: “yaitu orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan
mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, me
nunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan mungkar; dan kepada Allah-
lah kembali segala urusan.”
37
5. Bermusyawarah dan tidak sombong
Merupakan prinsip dasar kepemimpinan Islam adalah terlaksananya musyawarah sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah dalam
kepemipinan. Dengan prinsip dasar ini akan memunculkan sikap adil dan memberikan kebebasan berfikir kepada semua pihak dalam lingkup
kepemipinannya. Oleh karena itu pemimpin Islam bukanlah
37
Al- Qur’an dan Terjemahannya , Surat Al-Hajj 22:41.
kepemipinan tirani yang mengabaikan proses koordinasi. Namun bermusyawarah dengan pihak terkait yang dilaksanakan secara terbuka
dan obyektif dengan menjunjung tinggi rasa saling menghormati merupakan prinsip yang harus dipertahankan. Dengan melaksanakan
prinsip musyawarah ini akan menghasilkan keputusan yang lebih adil seadil-adilnya, karena melalui prinsip ini akan mampu menciptakan
kebebasan berfikir, menciptakan keterbukaan dan kebesaran hati untuk saling menerima adanya pertukaran gagasan yang sehat dan bebas,
walaupun, kemungkinan munculnya saling kritik dan saling menasihati satu sama lain sedemikian rupa. Akibat menggunakan prinsip inilah
maka para pengikut atau para bawahan merasa senang mendiskusikan persoalan yang menjadi kepentingan dan tujuan bersama.
6. Disiplin, konsisten, dan konsekuen
Disiplin, konsisten, dan konsekuen merupakan ciri kepemimpinan dalam Islam. Sikap dan sifat ini tentunya akan diwujudkan dalm semua
tindakan atau perbuatan dalam melaksanakan kepemiminannya, ia akan selalu memegang janji, ucapan dan perbuatannya, karena ia yakin benar
bahwa Allah SWT melihat semua apa yang diucapkan yaitu, yang ia tidak mampu melanggarnya.
38
38
Mulkanasir, Kepemimpinan Dakwah, Ciputat: Dakwah Press, 2015, h.99-103.
43