5.2.3. Faktor-faktor yang Memicu Perambahan
Perambahan dalam kawasan SPTN I TNK mengalami peningkatan seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan penduduk di dalamnya. Perambahan
yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi penutupan lahan tersebut. Secara umum faktor-faktor yang memicu terjadinya perambahan
dalam kawasan yaitu adanya aktivitas manusia yang berada dalam kawasan maupun sebagai pengelola kawasan.
Keadaan masyarakat dalam kawasan yang semakin berkembang telah mendorong masyarakat untuk melakukan perubahan dalam kehidupannya,
termasuk melakukan perubahan dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada. Pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh penduduk ini dapat
menyebabkan terjadinya perubahan penutupan lahan pada lahan yang dikelolanya. Faktor manusia yang berpengaruh tidak hanya masyarakat yang tinggal dalam
kawasan, tetapi juga pengelola dari pemerintah dan pengelola taman nasional sendiri.
Pada tanggal 29 Juni 1995, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 325Kpts.II95 status SMK berubah menjadi Taman Nasional Kutai dengan luas
198.629 Ha. Pasca penetapan sebagai taman nasional, ada beberapa kegiatan di dalam kawasan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan. Kebijakan yang
kontradiktif terhadap pengelolaan kawasan taman nasional yang pada akhirnya dapat menjadi pemicu perambahan dalam kawasan, yaitu :
a Izin operasi dan eksploitasi Pertamina di dalam kawasan TNK Dalam hubungannya dengan kegiatan pertambangan umum atau
pertambangan minyak dan gas bumi, analisis mengenai hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari keberadaan PT. Pertamina dan PT. Tambang Damai. Pasca
penetapan sebagai taman nasional, kegiatan PT. Pertamina di kawasan TNK dipayungi oleh:
1 Surat persetujuan Menhut No. 1238Menhut-VI1996 tanggal 12 September 1996 yang kemudian ditindaklanjuti dengan perjanjian pinjam pakai antara
Pertamina Sangatta dan Kanwil Departemen Kehutanan Provinsi Kaltim. Masa pinjam pakai adalah lima tahun sedang lahan yang dipakai seluas 11.569,7 ha
untuk empat sumur eksploitasi.
2 Perpanjangan pinjam pakai kawasan hutan No. 016KWLPTGH-31995 tanggal 16 Maret 1995 antara Pertamina Sangatta dan Kanwil Kehutanan
Departemen Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur. Jika merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam SKB Menteri
Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan No. 969.K05M.PE1989. 429Kpts-II1989 tentang Pedoman Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan
dan Energi dalam Kawasan Hutan, khususnya Pasal 2 ayat 3 maka seharusnya lokasi dimana terdapat kegiatan tersebut dikeluarkan dari penetapan Taman
Nasional. Selain itu dalam Pasal 2 ayat 1 SKB Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 969.K05M.PE1989. 429Kpts-II1989
tentang Pedoman Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan secara tegas menyatakan bahwa kegiatan pertambangan umum
atau pertambangan minyak dan gas bumi tidak dapat dilakukan di kawasan taman nasional.
Dalam kasus Pertamina, apabila masa perjanjian pinjam pakai kawasan telah selesai, maka yang diberlakukan adalah ketentuan yang terdapat dalam
Permenhut No. P.64Menhut-II2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Jika mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6, maka perjanjian
tersebut tidak dapat diperpanjang karena pada Pasal itu ditentukan bahwa kawasan hutan yang dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan adalah kawasan
hutan produksi dan kawasan hutan lindung. b Adanya jaringan jalan yang membelah kawasan TNK
Sesuai dengan SK. Menteri Kehutanan Nomor : 170Menhut-VI1990 tanggal 7 Februari 1990, Menteri Pekerjaan mendapat persetujuan prinsip rencana
pembangunan jalan Bontang-Sangatta-Muara Lembak yang melintasi TNK dan sesuai dengan SK Menhut No. 19Menhut-II1991 tanggal 7 Januari 1991,
penggunaan kawasan tersebut melalui perjanjian Pinjam Kawasan antara Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dengan Kepala Kantor Wilayah
Departemen Pekerjaan Umum Propinsi Kalimantan Timur. Dengan adanya jalan poros Bontang-Sangatta sepanjang 65 km tersebut
maka akses masuk TNK semakin terbuka dan lancar yang mengakibatkan
semakin tingginya tekanan dan gangguan terhadap TNK seperti perambahan dan pencurian kayu.
Gambar 10 Jalan Bontang-Sangatta yang membelah TNK.
c Penetapan desa definitif dalam kawasan oleh Pemerintah Daerah Sesuai dengan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan
Timur Nomor : 140SK.406.A1996 tanggal 30 September 1996 dibentuk tiga desa persiapan dalam kawasan TNK, yaitu Desa Teluk Pandan, Sangkima, dan
Sangatta Selatan. Kemudian dengan keluarnya keputusan Gubernur Nomor 06 tahun 1997 pada tanggal 30 April 1997 ketiga desa tersebut menjadi desa definitif.
Selanjutnya dilakukan pemekaran Desa Sangatta Selatan menjadi Desa Sengatta Selatan dan Desa Singa Geweh. Desa Singa Geweh menjadi desa definitif dengan
keluarnya SK Gubernur Nomor 410.44K.4521999. Hal ini tidak berhenti sampai di sini, keempat desa tersebut kemudian dimekarkan menjadi tujuh desa, dengan
tambahan Desa Sangkima Lama, Kandolo, dan Martadinata pada tahun 2005.
Gambar 11 Jaringan jalan dan lokasi desa dalam kawasan.
Pemukiman yang terdapat dalam kawasan TNK berawal dari datangnya masyarakat Bugis yang berasal dari Bone Sulawesi Selatan untuk menghindari
kesulitan ekonomi. Sebagian besar para pendatang tersebut datang ke Kutai karena mendapat kabar adanya kesempatan untuk hidup lebih baik di sana, seperti
adanya lahan pertanian yang lebih luas, perkembangan industri di Kota Bontang, dan banyaknya pertambangan di sekitar kawasan. Namun ternyata kualitas tanah
di kawasan tersebut tidak subur, sehingga sebagian berpindah ke tempat lain, sedangkan sebagian tetap bertahan dengan mengambil kayu dari dalam hutan.
Selain itu, tidak semua pendatang mendapatkan pekerjaan di industri dan pertambangan karena banyaknya persaingan dalam mencari kerja. Para pendatang
tersebut tidak ingin kembali lagi ke daerah asalnya sehingga pada akhirnya terbentuklah beberapa desa dalam kawasan.
SPTN wilayah 1 Sangatta terbagi ke dalam tiga wilayah resort, yaitu Resort Sangatta, Sangkima dan Teluk Pandan. Pendataan masyarakat desa yang
terdapat dalam kawasan TNK diketahui hasil sebagai berikut :
a Resort Sangatta Terdapat dua desa yang berada dalam kawasan, yaitu Desa Sangatta
Selatan dengan KK sejumlah 1.768 dan Desa Singa Geweh sejumlah 1.193 KK. Luas Desa Sangatta Selatan adalah 9.118 ha dan Desa Singa Geweh 3.781,25 ha.
Sebagian besar penduduk di kedua desa tersebut berasal dari Suku Bugis dan mayoritas beragama Islam. Penduduk di kedua desa tersebut menanam berbagai
jenis tanaman pertanian, baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan. Namun jenis yang paling banyak ditanam adalah padi seluas 110 ha, kemudian
kacang panjang 66,5 ha, karet 64,5 ha, pisang 21 Ha dan jeruk 18,5 ha.
b Resort Sangkima Dalam Resort Sangkima terdapat dua desa yang masuk ke dalam wilayah
Resort Sangkima, yaitu Desa Sangkima yang mempunyai 744 KK dan Desa Sangkima Lama 552 KK. Luas Desa Sangkima adalah 10.473 ha, masyarakatnya
berasal dari Sulawesi yaitu Suku Bugis, Mamuju dan Mandar dan mayoritas beragama Islam,. Sedangkan masyarakat Desa Sangkima Lama mayoritas berasal
dari Suku Dayak dan mayoritas beragama Kristen. Jenis Tanaman yang mayoritas ditanam adalah karet seluas 899 ha. Berikutnya adalah tanaman padi seluas 775
ha, sawit 166,25 ha, pisang 101,75 ha dan ubi kayu seluas 65,75 ha. Kegiatan di sector kelautan yang paling banyak digeluti masyarakat adalah budidaya rumput
laut, sebanyak 52 unit.
c Resort Teluk Pandan Terdapat tiga desa yang masuk ke dalam wilayah Resort Teluk Pandan,
yaitu Desa Kandolo, Martadinata dan Teluk Pandan. Luas Desa Kandolo adalah 5.200 ha, luas Desa Martadinata adalah 9.660 ha, sedangkan luas Desa Teluk
Pandan adalah 5.000 ha. Mayoritas masyarakat di ketiga desa tersebut berasal dari Suku Bugis, dan mayoritas beragama Islam. Jenis tanaman yang paling banyak
ditanam adalah padi seluas ± 383,5 ha, sawit seluas ± 307,25 ha, pisang seluas ± 237,5 ha, jagung ± 117 ha dan kakao ± 111,5 ha.
Pada tahun 1970an industri perkayuan, pertambangan batubara, minyak bumi, gas alam, dan pupuk di sekitar dan dalam kawasan TNK mulai beroperasi.
Hal ini telah menjadikan Kota Bontang dan Sangatta menjadi kota tujuan masyarakat pendatang, sehingga keberadaan masyarakat pendatang ke dalam
kawasan TNK tidak bisa dihindari. Pertumbuhan penduduk dalam kawasan SPTN I TNK sangat pesat. Hal ini
terlihat dari hasil perbandingan jumlah penduduk antara tahun 2006 dan tahun 2009 di seluruh desa yang terdapat dalam kawasan. Pertumbuhan penduduk
dalam tujuh desa tersebut tersaji dalam Tabel 10.
Tabel 10 Pertumbuhan jumlah penduduk di desa dalam kawasan SPTN I TNK
No. Nama Desa
Luas Desa
ha Jumlah
Penduduk jiwa
Pertambahan Penduduk
Kepadatan Penduduk
jiwakm
2
Pertambahan Kepadatan
Penduduk jiwakm
2
2006 2009
Jumlah 2006
2009
1 Sangata Selatan
4.750 5.825
6.918 1.093
18,76 1,23
1,46 0,23
2 Sangkima
1.967 3.072
9.866 6.794
221,16 1,56
5,02 3,45
3 Teluk Pandan
803 3.695
4.539 844
22,84 4,60
5,65 1,05
4 Singa Geweh 2.049,3
4.835 5.327
492 10,18
2,36 2,60
0,24 5
Martadinata 745
1.689 2.013
324 19,18
2,27 2,70
0,44 6
Kandolo 745
799 913
114 14,27
1,07 1,23
0,15 7
Sangkima Lama 1.967
979 978
-1 -0,10
0,50 0,50
0,00 13.026,3
20.894 30.554
9.660 46.23
1,60 2.346
0,74
Sumber : BPS dan BTNK tahun 2006 dan 2009
Pertumbuhan penduduk dalam kawasan SPTN I TNK mencapai 46,23 hanya dalam kurun waktu 3 tahun. Pertumbuhan yang terbesar terjadi pada Desa
Sangkima dengan pertambahan penduduk sebesar 221,16 atau lebih dari 3 kali lipat jumlah penduduk pada tahun 2006. Pertambahan penduduk terjadi pada
seluruh desa dalam kawasan kecuali Desa Sangkima Lama, tetapi penurunan jumlah penduduknya tidak signifikan.
Pertambahan penduduk tersebut diakibatkan oleh perpindahan penduduk ke dalam kawasan yang sebagian besar besar berasal dari luar daerah untuk
mengunjungi keluarga mereka yang telah menetap disana. Hal ini menyebabkan tidak terdeteksinya pendatang baru di dalam kawasan. Proses perpindahan
penduduk ke dalam kawasan biasanya dilakukan oleh warga pendatang yang pada awalnya tinggal di rumah keluarganya dalam kawasan. Setelah beberapa waktu
para pendatang tersebut membeli tanah kavling yang dijual oleh para spekulan
tanah daerah setempat dengan bermodalkan surat-surat tanah yang tidak resmi. Hal ini juga tidak terdeteksi oleh para pengelola kawasan karena patroli yang
dilakukan oleh polisi hutan polhut sangat jarang dilakukan karena SDM yang sangat terbatas. Berdasarkan hasil wawancara patroli dilaksanakan 2 bulan sekali
dengan jumlah polisi hutan sebanyak 13 orang yang mengelola dan mengawasi tiga resort dalam kawasan SPTN I TNK.
5.2.3. Hubungan antara jumlah penduduk dan deforestasi