alga merah dan cokelat dan ditemukan memiliki aktivitas antioksidan dan antimikroba.
4.5 Aktivitas Antioksidan S. polycystum dengan Metode DPPH
Zheng et al. 2001 menyatakan saat ini terjadi peningkatan minat yang besar terhadap penemuan antioksidan alami untuk digunakan dalam makanan
ataupun material pengobatan untuk mengganti antioksidan sintetik, yang mungkin dapat bersifat karsinogenik. Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat
menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam. Pada umumnya terdapat dua kategori dasar dari
antioksidan yaitu natural dan sintetik. Antioksidan alami banyak terdapat pada berbagai macam jenis tumbuhan
baik dalam buah-buahan maupun tumbuhan. Senyawa-senyawa fenolat yang terkandung dalam tumbuhan memiliki aktivitas antioksidan karena senyawa ini
dapat menangkap radikal-radikal peroksida dan dapat mengkelat logam besi yang mengkatalis peroksida lemak Harborne 1987. Andayani et al. 2008
menyatakan biasanya senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan adalah senyawa fenol yang mempunyai gugus hidroksil yang tersubtitusi pada
posisi ortho dan terhadap gugus ─OH dan ─OR.
Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat dideteksi dengan melakukan uji antioksidan. Uji aktivitas antioksidan pada ekstrak
S. polycystum tiga pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda dilakukan dengan metode uji DPPH 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil. Pada metode ini larutan
DPPH yang berperan sebagai radikal bebas akan bereaksi dengan senyawa antioksidan sehingga DPPH akan berubah menjadi diphenilycrilhydrazine yang
bersifat non-radikal. Menurut Dehpour et al. 2009 dalam Ebrahimzadeh et al. 2010, metode DPPH dapat menstabilkan warna radikal bebas nitrogen dari
warna violet menjadi kuning pada proses reduksi dengan proses hidrogen atau donasi elektron.
Pembanding yang digunakan dalam pengujian aktivitas antioksidan ini adalah vitamin C. Berdasarkan Molyneux 2004, asam asorbat vitamin C
merupakan standar yang biasa digunakan dalam setiap pengujian antioksidan. Nilai aktivitas antioksidan dari metode DPPH diinterpretasikan dengan parameter
IC
50
Inhibition Concentration 50 yang berarti konsentrasi larutan sampel yang menyebabkan tereduksi aktivitas DPPH sebesar 50. Nilai IC
50
yang semakin kecil menunjukkan aktivitas antioksidan pada bahan uji semakin besar. Suatu
senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC
50
kurang dari 50 ppm, kuat untuk IC
50
antara 50-100 ppm, sedang jika IC
50
bernilai 100-150 ppm dan lemah jika IC
50
bernilai 150-200 ppm. Nilai IC
50
yang diperoleh dari larutan vitamin C dan ekstrak S. polycystum pada tiga jenis pelarut
dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai IC
50
Sampel larutan vitamin C dan ekstrak S. polycystum
C
50
ppm Metanol
109,43 1174,98
129,40 1,30
n-Heksana Etil asetat
Vitamin C Hasil pengujian aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa ketiga ekstrak
S. polycystum dan standar vitamin C memiliki aktivitas yang berbeda. Pembanding vitamin C memiliki nilai IC
50
terendah yaitu 1,30 ppm. Nilai ini menunjukkan aktivitas antioksidan sangat kuat dimana IC
50
vitamin C 50 ppm. Nilai ini lebih rendah dibanding ekstrak S. polycystum dari metanol, n-heksana,
dan etil asetat. Hal ini dikarenakan ketiga ekstrak tersebut masih dalam bentuk ekstrak kasar yang belum dimurnikan sehingga diduga masih terdapat senyawa
lain yang bukan merupakan senyawa antioksidan. Senyawa lain tersebut ikut terekstrak dalam pelarut selama proses ekstraksi. Grafik nilai rata-rata IC
50
antioksidan ekstrak S. polycystum disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Nilai rata-rata IC
50
antioksidan ekstrak S. polycystum Perbandingan aktivitas antioksidan pada jenis ekstrak menunjukkan nilai
yang relatif berbeda. Gambar di atas menunjukkan bahwa perbedaan pelarut memberikan pengaruh terhadap aktivitas antioksidan. Ekstrak S. polycystum
dengan metanol dan etil asetat memiliki nilai aktivitas antioksidan yang masuk dalam kategori sedang sehingga memberikan pengaruh yang berbeda terhadap
ekstrak n-heksana yang memiliki aktivitas antioksidan lebih besar dari 500 ppm. Tingginya nilai aktivitas antioksidan pada ekstrak metanol dan etil asetat
berkorelasi positif terhadap kandungan total fenol. Total fenol pada ekstrak metanol dan etil asetat S. polycystum memiliki nilai yang cukup tinggi
dibandingkan dengan ekstrak n-heksana. Hasil penelitian Molyneux 2004 menyatakan jika di dalam suatu bahan memiliki konsentrasi senyawa fenol yang
tinggi maka aktivitas antioksidan dalam bahan tersebut juga tinggi. Aktivitas antioksidan vitamin C dan masing-masing ekstrak S. polycystum
ditunjukkan oleh nilai inhibisinya pada beberapa konsentrasi yang dapat dilihat pada Lampiran 7. Nilai inhibisi pada beberapa konsentrasi menunjukkan bahwa
semakin tinggi nilai vitamin C dan ekstrak S. polycystum yang digunakan, maka semakin besar nilai persentase inhibisi sehingga semakin besar penghambatan
terhadap radikal bebas yang dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang digunakan, maka akan semakin tinggi pula nilai persentase penghambatan
aktivitas radikal bebas persen inhibisi. Hal ini berkorelasi dengan total fenol
109,43 129,40
1174,98
200 400
600 800
1000 1200
1400
Metanol Etil Asetat
n-Heksana
IC50 ppm
Pelarut
yang terkandung dalam ekstrak S. polycystum. Nilai inhibisi dan aktivitas antioksidan ekstrak metanol dan etil asetat relatif tinggi dibandingkan dengan
ekstrak n-heksana pada berbagai konsentrasi. Menurut penelitian Koleva et al. 2001, sebanyak 93 senyawa polifenol merupakan senyawa flavonoid.
Komponen ini mampu menghambat reaksi oksidasi dan menangkap radikal bebas. Hal ini dikarenakan adanya gugus hidroksil pada struktur kimianya.
4.6 Aktivitas Antimikroba S. polycystum