menunjukkan warna yang relatif sama pada tiap pelarut yaitu hijau kecokelatan. Rendemen yang dihasilkan pada ekstraksi dengan tiga pelarut menunjukkan nilai
yang berbeda. Rendemen ekstrak adalah perbandingan jumlah ektrak dan hasilnya dinyatakan dalam persen.
Data nilai rendemen ekstrak kasar S. polycystum pada Gambar 6 menunjukkan bahwa jenis pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai
rendemen. Rendemen ekstrak tertinggi terdapat pada ekstrak metanol sebesar 17,93, diikuti dengan etil asetat sebesar 1, dan terakhir n-heksana sebesar
0,57. Data tersebut menunjukkan bahwa komponen senyawa aktif yang bersifat polar banyak terdapat dalam jaringan S. polycystum karena banyaknya ekstrak
dari pelarut metanol yang dihasilkan. Sebaliknya, komponen senyawa aktif yang bersifat semipolar dan nonpolar terdapat dalam jumlah kecil dalam jaringan
S. polycystum karena sedikitnya ekstrak yang dihasilkan dari pelarut etil asetat dan n-heksana. Berdasarkan data tersebut, dapat diidentifikasi bahwa S. polycystum
mengandung senyawa-senyawa aktif yang relatif larut dalam pelarut polar. Wijayanto 2010 melaporkan bahwa penggunaan pelarut metanol lebih
efektif dalam ekstraksi alga merah Kappaphycus
alvarezii dan
Euchema denticullatum dibandingkan dengan etanol yang memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah. Hal ini dapat mempertegas adanya sifat kelarutan
senyawa-senyawa aktif pada rumput laut yang relatif larut pada pelarut yang bersifat polar.
Ekstrak dengan pelarut etil asetat dan n-heksana menghasilkan rendemen yang lebih kecil dibandingkan dengan metanol. Hal ini dapat dikarenakan adanya
senyawa flavonoid yang merupakan salah satu metabolit sekunder terbanyak di alam yang umumnya terikat pada glukosa. Proses glikosilasi ini menyebabkan
flavonoid menjadi kurang reaktif dan relatif larut dalam pelarut polar Markham 1988.
4.3 Kandungan Komponen Fitokimia S. polycystum
Pengujian komponen bioaktif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan uji fitokimia. Analisis fitokimia adalah analisis yang mencakup aneka
ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu
mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya. Analisis fitokimia
dilakukan untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau manfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi
Harborne 1987. Uji fitokimia yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, fenol hidrokuinon, saponin, dan tanin. Kandungan
senyawa fitokimia dalam ekstrak S. polycystum dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2 Hasil uji fitokimia ekstrak S. polycystum
Uji Fitokimia Pelarut
Standar warna
Metanol Etil
Asetat n-Heksana
Alkoloid a.
Meyer b.
Wagner c.
Dragendorff -
- -
- -
- -
- -
Endapan putih kekuningan Endapan cokelat
Endapan merahjingga
Steroid +
+ +
Perubahan merah menjadi biruhijau
Flavonoid +
+ +
Lapisan amil alkohol berwarna merahkuninghijau
Fenol hidrokuinon +
+ +
Warna hijauhijau biru Saponin
- -
- Terbentuk busa
Tanin -
- -
Perubahan warna dari hijau menjadi biru hingga hitam
Keterangan: - = tidak terdeteksi
+ = terdeteksi
Secara umum komponen fitokimia yang terdapat dalam ekstrak S. polycystum adalah senyawa steroid, flavonoid dan fenol hidrokuinon. Ekstrak
ketiga pelarut menghasilkan nilai kandungan yang berbeda pada setiap uji. Perbedaan jenis pelarut yang digunakan dalam ekstraksi memberikan pengaruh
yang sama, namun yang membedakan adalah intensitas kandungan senyawa fitokimia yang dihasilkan pada masing-masing ektrak. Secara kualitatif, senyawa
fitokimia S. polycystum memiliki intensitas yang kuat pada ekstrak dengan pelarut etil asetat. Hal ini mengidentifikasikan bahwa senyawa fitokimia dalam
S. polycystum cenderung larut dalam larutan semipolar.
Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Dahulu sterol terutama dianggap sebagai senyawa satwa
sebagai hormon kelamin, asam empedu, dll. Tetapi kemudian makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Sterol umumnya
terdapat dalam bentuk bebas dan sebagai glukosida sederhana. Terdapat dalam tumbuhan rendah, tapi kadang-kadang terdapat juga dalam tumbuhan tinggi,
misalnya fukosterol, yaitu steroid utama pada alga cokelat Harborne 1987. Hasil uji steroid dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Hasil uji steroid ekstrak kasar a metanol, b n-heksana dan c etil asetat
Uji steroid pada S. polycystum yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan bahwa komponen steroid terdeteksi pada semua jenis pelarut
ekstrak kasar S. polycystum dengan intensitas yang cukup kuat. Prekursor dari pembentukan steroid adalah kolesterol yang bersifat non polar, sehingga
n-heksana dan etil asetat dapat mengekstrak senyawa tersebut. Steroid juga terekstrak pada pelarut metanol yang merupakan pelarut polar yang juga mampu
mengekstrak komponen lainnya yang bersifat nonpolar dan semipolar. Hasil penelitian Swantara et al. 2009 menyatakan bahwa senyawa streroid dan ester
ditemukan pada ekstrak Sargassum ringgoldianum. Smit 2004 menyatakan komponen seperti sterol dan fenol dapat menjadi bahan antibiotik.
Flavonoid mengandung sistem aromatik yang umumnya terdapat pada tumbuhan, terikat pada gula sebagai glukosida dan aglikon. Flavonoid terdapat
dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan
mula-mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna Harborne 1987.
Ektrak S. polycystum pada semua pelarut mengandung senyawa flavonoid dengan intensitas yang berbeda. Tabel 2 menunjukkan ekstrak kasar dari metanol
dan n-heksana memiliki kandungan flavonoid yang lebih sedikit dibandingkan dengan etil asetat. Hasil pengujian ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah
dan kuning pada lapisan amil alkohol yang dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Hasil uji flavonoid ekstrak kasar a metanol, b n-heksana dan c etil asetat
Intensitas flavonoid pada pelarut metanol menunjukkan bahwa komponen flavonoid yang ada pada ekstrak S. polycystum memiliki kandungan flavonoid
yang bersifat polar. Hal ini diduga karena flavonoid tersebut berikatan dengan gula sebagai glikosida, sehingga flavonoid yang bersifat polar dapat larut pada
pelarut polar. Flavonoid yang larut pada etil asetat dan n-heksana diduga merupakan aglikon flavonoid yang bersifat kurang polar, sehingga dapat larut
dalam kedua pelarut tersebut Harborne 1987. Kandungan flavonoid jenis ini relatif kecil dalam S. polycystum karena jumlah terlarutnya yang kecil. Hasil uji
Prajitno 2006 menunjukkan bahwa rumput laut Halimeda opuntia mengandung senyawa flavonoid yang terdiri dari quercitrin, epigallocathecin, cathecol,
hesperidia, miricetin dan morin. Epigallocathecin merupakan komponen penting yang digunakan sebagai aktivitas antioksidan.
Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar. Kuinon untuk tujuan identifikasi dibagi menjadi empat kelompok, yaitu
benzokuinon kuinon yang kromofor terdiri atas dua gugus karbonil yang
berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon, naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama biasanya
terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol tanpa
warna Harborne 1987. Hasil uji senyawa fenol hidrokuinon pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Hasil uji fenol hidrokuinon ekstrak kasar a metanol,b n-heksana danc etil asetat
Ekstrak S. polycystum pada masing-masing pelarut mengandung senyawa kuinon dengan intensitas yang lebih kuat pada ekstrak etil asetat dan metanol.
Hal ini dapat dikarenakan senyawa kuinon yang terdapat dalam S. polycystum terbentuk dari berbagai jenis kuinon, dimana jenis kuinon yang larut dalam pelarut
semipolar relatif lebih banyak dibanding pelarut lain. Kelompok benzokuinon dan naftokuinon dapat larut dengan pelarut semipolar atau non polar, sedangkan
kuinon yang larut dalam metanol merupakan kelompok antrakuinon yang banyak hidrosilnya sangat polar sehingga larut dalam larutan polar Harborne 1987.
Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin sedikit larut dalam air polar, tetapi umumnya kuinon mudah larut dalam lemak dan akan
terekstraksi dari tumbuhan kasar bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Oleh karena itu keberadaan kuinon ditunjukkan dengan warna hijau.
Untuk memastikan apakah suatu pigmen termasuk kuinon atau bukan, reaksi warna sederhana masih tetap berguna, warna yang terlihat beragam, mulai dari
jingga dan merah sampai ungu dan biru, bahkan beberapa kasus terbentuk warna hijau Harborne 1987. Menurut Lincoln et al. 1991 dalam Smit 2004, banyak
ditemukan respon kimia berupa aktivitas antioksidan dari makroalga.
Beberapa zat yang penting pada reaksi ini adalah komponen halogen seperti alkali dan alkena, alkohol, aldehida, hidrokuinon, dan keton.
Alkaloid merupakan senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran. Alkaloid terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu elemen yang mengandung N terlibat pada pembentukan alkaloid dan reaksi yang terjadi untuk pengikatan khas elemen-elemen pada
alkaloid Sirait 2007. Uji fitokimia pada alkaloid ekstrak S. polycystum pada semua pelarut tidak terdeteksi. Suradikusumah 1989 menyatakan bahwa reaksi
utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi Mannich, yaitu suatu aldehida berkondensasi dengan suatu amina menghasilkan suatu ikatan
karbon-nitrogen dalam bentuk imina atau garam iminum diikuti oleh serangan suatu atom karbon nukleofilik yang dapat berupa suatu fenol. Tidak terdeteksinya
alkaloid mengidentifikasikan bahwa tidak adanya kandungan amina dalam ekstrak S. polycystum.
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan Harborne 1987. Glikosida saponin terdapat pada
tanaman tinggi dan dapat membentuk larutan koloidal dalam air. Kemampuan menurunkan tegangan permukaan disebabkan molekul saponin terdiri dari
hidrofob dan hidrofil. Bagian hidrofob adalah aglikon, bagian hidrofil adalah glikon. Sebagian besar saponin bereaksi netral larut dalam air, beberapa ada
yang bereaksi asam sukar larut dalam air, sebagian kecil ada yang bereaksi basa Sirait 2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan senyawa saponin
pada ketiga ekstrak S. polycystum bernilai negatif. Hal ini mengidentifikasikan bahwa komponen saponin tidak terkandung dalam S. polycystum. Hal ini berbeda
dengan penelitian Sahayaraj dan Kalidas 2011 yang mengidentifikasi adanya senyawa steroid, saponin dan komponen fenol pada ekstrak Padina pavonica
dengan pelarut benzena dan kloroform. Tanin adalah senyawa polifenol yang dapat membentuk senyawa
kompleks yang tidak larut dengan protein. Senyawa ini terdapat pada berbagai jenis tanaman yang digunakan baik untuk bahan pangan maupun pakan ternak
Harborne 1987. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak S. polycystum tidak mengandung senyawa tanin. Cox et al. 2010 menyatakan kandungan tanin
pada tumbuhan terestrial berbeda dengan yang berasal dari laut. Florotanin merupakan komponen tanin yang hanya dapat ditemukan dari alga laut. Penelitian
Tamat et al. 2007 pada uji fitokimia ekstrak metanol Ulva reticulata menunjukkan tidak adanya intensitas senyawa aktif alkaloid, saponin dan tanin.
4.4 Kandungan Total Fenol S. polycystum