BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Diare
Diare adalah buang air besar lembek atau cair dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari
DepkesRI, 2000. Menurut WHO 1992 diare adalah tinja yang mengandung lebih banyak air
dibandingkan yang normal atau sering disebut mencret atau tinja seperti air. Diare sering didefinisikan sebagai buang air encer tiga kali atau lebih dalam sehari,
sedangkan diare yang mengandung darah disebut disentri. Menurut Depkes 2010 diare adalah suatu keadaan pengeluaran tinja yang
tidak normal atau tidak seperti biasanya, ditandai dengan peningkatan volume keenceran, serta frekuensi lebih dari tiga kali sehari pada anak dan pada bayi lebih
dari empat kali sehari dengan atau tanpa lendir darah. Diare menurut Ngastiyah 2005 adalah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari empat kali sehari pada
bayi dan lebih dari tiga kali sehari pada anak, konsistensi feces encer, dapat berwarna hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja. Gejala diare yang
sering ditemukan mula-mula pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan berkurang, tinja mungkin disertai lendir atau darah, gejala muntah dapat
timbul sebelum dan sesudah diare. Bila penderita banyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi mulai nampak, yaitu berat badan menurun, turgor
berkurang, mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut tampak kering
7
Universitas Sumatera Utara
Beberapa perilaku yang dapat meningkatkan risiko terjadinya diare pada balita, yaitu Depkes RI, 2007:
1. Tidak memberi ASI secara penuh 4-6 bulan pertama pada kehidupan. Pada balita yang tidak diberi ASI risiko menderita diare lebih besar daripada balita
yang diberi ASI penuh, dan kemungkinan menderita dehidrasi berat lebih besar.
2. Menggunakan botol susu, penggunaan botol ini memudahkan pencemaran oleh kuman karena botol susah dibersihkan. Penggunaan botol yang tidak
bersih atau sudah dipakai selama berjam-jam dibiarkan dilingkungan yang panas, sering menyebabkan infeksi usus yang parah karena botol tersebut
dapat menyebabkan infeksi diare. 3. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar, bila makanan disimpan
beberapa jam pada suhu kamar, makanan akan tercemar dan kuman akan berkembang biak.
4. Menggunakan air minum yang tercemar. 5. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja
anak atau sebelum makan dan menyuapi bayibalita. 6. Tidak membuang tinja dengan benar, seringnya beranggapan bahwa tinja anak
tidak berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Selain itu tinja binatang juga dapat menyebabkan infeksi pada
manusia.
Universitas Sumatera Utara
Faktor-faktor yang meningkatkan resiko diare adalah sebagai berikut Savitri, 2002 :
1. Faktor lingkungan a. Pasokan air tidak memadai.
b. Air terkontaminasi tinja. c. Fasilitas kebersihan kurang.
d. Kebersihan pribadi buruk, seperti tidak mencuci tangan setelah buang air. e. Kebersihan rumah buruk, seperti tidak membuang tinja anak di WC.
f. Metode penyiapan dan penyimpanan makanan tidak higienis, misalnya makanan dimasak tanpa dicuci terlebih dahulu atau menutup makanan
yang telah dimasak. 2. Praktik penyapihan yang buruk
a. Pemberian ASI eksklusif dihentikan sebelum bayi berusia 4-6 bulan dan pemberian susu botol.
b. Berhenti menyusui sebelum anak berusia satu tahun. 3. Faktor individu
a. Kurang gizi. b. Buruk atau kurangnya mekanisme pertahanan alami tubuh.
4. Produksi asam lambung berkurang. 5. Gerakan pada usus yang berkurang yang memengaruhi aliran makanan yang
normal.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Suharyono 2008 faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya diare, yaitu:
1. Faktor gizi Makin buruk gizi seorang anak, ternyata makin banyak episode diare yang
dialami. 2. Faktor makanan yang terkontaminasi pada masa sapih
Penggunaan botol susu pada anak-anak usia 6-24 bulan dapat menyebabkan penyakit diare. Meneruskan pemberian ASI, menghindari pemberian susu botol,
perhatian penuh terhadap higiene makanan anak dapat mencegah serangan diare pada anak. Serangan diare pada usia ini berpengaruh sangat buruk pada
pertumbuhan anak dan dapat menyebabkan malnutrisi, walaupun demikian anak- anak yang minum ASI juga dapat terserang diare. Hal ini dapat disebabkan oleh
karena puting susu ibu yang tidak bersih, untuk itu ibu yang masih menyusui perlu menjaga kebersihan puting susu.
3. Faktor sosial ekonomi Hal ini mempunyai pengaruh langsung terhadap faktor-faktor penyebab diare.
Kebanyakan anak yang mudah menderita diare berasal dari keluarga besar dengan daya beli yang rendah, kondisi rumah yang buruk, tidak punya penyediaan air
bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan, pendidikan orang tuanya yang rendah dan sikap serta kebiasaan yang tidak menguntungkan. Karena itu, faktor
edukasi dan perbaikan ekonomi sangat berperanan dalam pencegahan dan penanggulangan diare.
Universitas Sumatera Utara
4. Faktor lingkungan Sanitasi lingkungan yang buruk juga akan berpengaruh terhadap terjadinya diare.
Interaksi antara agent penyakit, tuan rumah manusia dan faktor-faktor lingkungan
yang mengakibatkan
penyakit perlu
diperhatikan dalam
penanggulangan diare. Peranan faktor lingkungan air, makanan, lalat dan serangga lain, enterobakteri, parasit usus, virus, jamur dan beberapa zat kimia
telah secara klasik dibuktikan pada berbagai penyelidikan epidemiologis sebagai penyebab penyakit diare, walaupun demikian, banyak yang masih perlu
dijelaskan mengenai pentingnya sebagai faktor lingkungan. Menurut Depkes 2010 proses terjadinya diare dapat disebabkan oleh
berbagai kemungkinan, diantaranya: 1
Faktor infeksi Proses ini dapat diawali adanya mikroba atau kuman yang masuk dalam
saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan darah permukaan usus selanjutnya terjadi perubahan
kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam absorbsi cairan dan elektrolit atau juga dikatakan bakteri akan menyebabkan sistem
transporaktif dalam usus sehingga sel mukosa mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit meningkat.
2 Faktor malabsorbsi Merupakan kegagalan dalam melakukan absorbsi yang mengakibatkan
tekanan osmotik meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadi diare.
Universitas Sumatera Utara
3 Faktor makanan
Dapat terjadi peningkatan peristaltik usus yang mengakibatkan penurunan kesempatan untuk menyerap makanan yang kemudian menyebabkan diare, seperti
makanan yang tercemar, basi, beracun dan kurang matang. 4 Faktor psikologis
Keadaan psikologis seseorang dapat memengaruhi kecepatan gerakan peristaltik usus yang akhirnya mempengaruhi proses penyerapan makanan yang dapat menyebabkan
diare. Departemen Kesehatan RI 2000, mengklasifikasikan jenis diare menjadi
empat kelompok yaitu: 1 Diare akut; yaitu diare yang berlangsung kurang dari empat belas hari umumnya
kurang dari tujuh hari, 2 Disentri; yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya,
3 Diare persisten; yaitu diare yang berlangsung lebih dari empat belas hari secara terus menerus,
4 Diare dengan masalah lain; anak yang menderita diare diare akut dan persisten mungkin juga disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau peyakit
lainnya. Diare akut dapat mengakibatkan: 1 kehilangan air dan elektrolit serta
gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia, 2 gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik sebagai
akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah; perfusi jaringan berkurang sehingga hipoksia dan asidosismetabolik bertambah berat; peredaran otak dapat terjadi,
Universitas Sumatera Utara
kesadaran menurun dan bila tak cepat diobati penderita dapat meninggal, 3 gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan
muntah; kadang-kadang orangtuanya menghentikan pemberian makanan karena takut bertambahnya muntah dan diare pada anak atau bila makanan tetap diberikan dalam
bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya telah menderita manultrisi atau bayi dengan gagal bertambah berat
badan. Sebagai akibat hipoglikemia dapat terjadi edema otak yang dapat mengakibatkan kejang dan koma Suharyono, 2008.
2.2. Gejala Diare