72
hasil hutan
Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 71 – 79
BULETIN
Songga merupakan salah satu jenis tanaman yang
mempunyai potensi sebagai bahan obat. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat NTB tanaman songga tumbuh secara dominan di kawasan hutan Kabupaten Dompu dan
Bima. Secara etnobotani, masyarakat di dua Kabupeten tersebut sudah sejak lama memanfaatkan keberadaan songga untuk mengobati beberapa penyakit. Mereka
memperoleh pengetahuan tentang manfaat songga dari warisan budaya lokal secara turun temurun sejak nenek moyang dan orang-orang tua. Namun, pada satu dekade
terakhir yaitu sejak tahun 2000-an, masyarakat di sana sudah mengetahui bahwa tanaman songga di daerahnya diminati oleh konsumen dari luar daerah. Sejak saat itu,
mereka mulai menjual kayu songga kepada pembeli pengumpul tanpa tahu tujuan pemasarannya. Transaksi tradisional ini telah berlangsung sekian lama, namun sejak
tahun 2006 hingga saat ini sudah sepi pembeli, meskipun disinyalir bahwa permintaan pasar masih tinggi.
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab sepinya transaksi kayu songga di Pulau Sumbawa tersebut, diantaranya adalah potensi yang semakin menipis di hutan,
harga jual terlalu murah, minimnya pengetahuan masyarakat tentang budidaya dan informasi pasar, dan kendala regulasi terutama perijinan pemungutan songga dari
hutan. Oleh karena itu, agar pahitnya songga ini dapat dirasakan kembali oleh konsumen secara terbuka, maka diperlukan upaya bersama dari berbagai
untuk mengembangkan salah satu HHBK unggulan lokal spesifik potensial NTB ini.
Tanaman songga yang berada di Kabupaten Dompu dan Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat tumbuh pada ketinggian 10 sampai 100 meter dari permukaan laut dan
biasanya terdapat di daerah yang berbatu Cunha, 1986. Kebanyakan tumbuh membentuk semak dengan tinggi dapat mencapai 3 m. Berbatang kecil dengan diameter
terbesar mencapai 15 cm, berkayu keras, dan kuat.
Nama lokal songga adalah bidara laut, bidara pait, bidara putih, kayu ular, dara laut, dara putih Jawa; bidara gunong Madura; aju mapa, bidara mapai Bugis; ai
betek, aihedu, hau feta Rote; maba putih, elu, ai baku moruk Timor. Secara botanis klasifikasi songga menurut Heyne 1950 adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae Tumbuhan Subkingdom : Tracheobionta Tumbuhan berpembuluh
Super divisi : Spermatophyta Menghasilkan biji
Divisi : Magnoliophyta Tumbuhan berbunga
Kelas : Magnoliopsida berkeping dua dikotil
Sub kelas : Asteridae
Ordo : Gentianales
Famili : Loganiaceae
Genus : Strychnos
Strychnos ligustrina
stake holders
II. BOTANIS SONGGA
Pengembangan Songga sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu ..... Sentot Adi Sasmuko
73 Spesies
: R.Br.
Sinonim :
BL. Nama botanis songga di atas masih menjadi perdebatan karena sebagian
masyarakat mengatakan bahwa tanaman songga tidak sama dengan bidara laut. Namun beberapa artikel ilmiah menggunakan
BL. sebagai nama botanis songga, dan ada yang mensinonimkan dengan
R.Br. Pada artikel lain menulis bidara laut dengan nama botanis S
L. yang berarti berbeda jenis dengan
maupun . Oleh karena itu, untuk memastikan nama
botanis songga tersebut diperlukan penelitian lebih lanjut dengan mengidentifikasi secara tepat.
Strychnos lucida Strychnos ligustrina
Strychnos ligustrina Strychnos lucida
trychnos nux-vomica S. lucida
S. ligustrina
Gambar 1. Batang dan buah songga
74
III. SEJARAH DAN MANFAAT SONGGA
Pada prinsipnya asal tumbuhan songga tidak diketahui secara pasti. Hasil wawancara dengan masyarakat di Kecamatan Sape dan Lambu, Kabupaten Bima dan
Kecamatan Huu, Kabupaten Dompu, mereka tidak mengetahui asal-usul tanaman songga tersebut. Sebuah artikel mengatakan bahwa di mulai abad ke XI kayu songga
sudah dikenal sejak jaman dahulu kala dari mulai pesisir pantai pulau sumatera sampai pada kerajaan kesultanan Abdul Aziz putra Abdullah dari kesultanan kerajaan Dompu
NTB. Pada masa dahulu kayu songga merupakan obat yang digunakan untuk menangani penyakit demam tinggi akibat dari serangan nyamuk malaria, selain itu
kerajaan-kerajaan yang berasal dari kesultanan Tambora telah menggunakan kayu songga sebagai pengobatan yang dapat merapatkan kembali tulang yang patah akibat
peperangan antar kerajaan Anonim, 2009.
Sedangkan dipulau Jawa nama songga berasal dari madura yang dibuat untuk beberapa campuran adonan jamu, yang rasanya sangat pahit sehingga orang jawa
sebahagian mengatakan kayu songga merupakan obat yang seperti setan kata umpatan, sehingga tidak tahan untuk meminum air rendamannya. Di pulau Sumatera,
kayu songga sudah dikenal sebagai obat bidara laut, obat ini sudah digunakan oleh kerajaan melayu islam untuk mengobati dan mengatasi penyakit yang sangat kronis
seperti kanker, darah tinggi, kencing manis, kencing batu, mati sebelahstroke, migrain, diabetes, sesak nafas, wasir, maag, sakit pinggang, demam, impoten dan sakit
gigi Setiawan, 2010.
Diduga kuat bahwa efektifitas pengobatan kayu tersebut bukan berasal dari komponen kimia penyusun dinding selnya lignin dan selulosa, akan tetapi
diakibatkan oleh bahan ekstraktif bukan penyusun dinding sel. Dengan demikian bahan ekstraktif tersebut dapat dianggap sebagai HHBK pula.
Hasil wawancara dengan masyarakat petani songga di Kabupaten Bima dan Dompu bahwa sejak nenek moyang mereka telah memanfaatkan songga untuk
mengobati sakit malaria, demam, lemah badan dan untuk menjaga stamina. Mereka menggunakan buah songga yang sudah tua berwarna oranye sebanyak 2-3 buah
dikupas kulitnya lalu langsung ditelah. Menurut keterangan mereka, dalam dua sampai tiga hari sudah ada perubahan sakitnya dan tidak ada efek samping. Apabila untuk
menjaga stamina tubuh, cukup makan dua buah songga dalam satu minggu satu kali. Bagian lain dari pohon songga jarang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, cukup
dengan mengkonsumsi buahnya saja sebagai obat. Seluruh bagian tanaman songga baik batang, daun, kulit, akar maupun buahnya mempunyai rasa yang teramat pahit.
Supriadi 1986, telah melakukan penelitian pengaruh rebusan kayu songga terhadap penurunan kadar gula darah. Percobaan menggunakan
kelinci jantan, sehat, berwarna putih berat badan berkisar antara
1,5 - 2 kg. Rebusan kayu songga 5, 10, 15 dan 20 diberikan secara oral dengan takaran 5 mLkg berat badan kepada kelompok yang bcrlainan. Pengambilan darah
melalui vena telinga dilakukan pada jam ke 0, 1, 2, 3, 4 sampai jam ke 5 setelah Strychnos ligustrina
Oryctolagus cuniculus
hasil hutan
Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 71 – 79
BULETIN
75 pemberian rebusan. Sebagai pembanding digunakan tolbutamid secara oral dengan
takaran 250 mgkg berat badan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian rebusan 5, 10, 15 dan 20 dengan takaran 5 mLkg berat badan menyebabkan
penurunan kadar gula masing-masing : 16,49, 20,23, 36,04 dan 43,96. Pada pemberian tolbutamid dengan takaran 250 mgkg bb. menunjukkan penurunan kadar
gula darah sebesar 44,72. Tidak ada perbedaan bermakna antara rebusan kayu songga 15 dan 20 dengan tolbutamid. Kemanjuran rebusan kayu songga tersebut
mengindikasikan bahwa yang berperan efektif adalah bukan komponen penyusun dinding sel kayu, akan tetapi bahan ekstraktifnya HHBK.
Permintaan pasar konsumen terhadap kayu songga masih tinggi, namun ada kendala pada kelangsungan supply bahan baku. Hasil pengamatan di lapangan saat ini
terdapat pedagang yang terpaksa menghentikan usahanya mengirim atau souvenir kayu berbentuk gelas ke luar Sumbawa yaitu Bali dan Surabaya. Namun masih ada pula
pedagang yang tetap mengirim ke konsumen di Kalimantan meskipun tidak dalam jumlah banyak seperti sebelumnya. Pengusahaan HHBK songga di Kabupaten Dompu
dan Bima ini tidak dapat berkembang disebabkan oleh beberapa faktor kendala, antara lain terbatasnya bahan baku, lemahnya pengetahuan masyarakat, lemahnya pemasaran,
dan kurangnya dukungan dan pembinaan.
Sejak pertama kayu songga di Kabupaten Dompu dan Bima diperjualbelikan, masyarakat secara sporadis mengambil dari kawasan hutan yang berjarak hanya kurang
dari 500 m. Kegiatan pengambilan ini tidak memperhitungkan kelestarian hasil dan legalitasnya. Ukuran kayu songga yang diambil sesuai dengan pesanan pedagang yaitu
panjang 1-2 m dengan diameter 10-20 cm. Pada saat ini, untuk memperoleh kayu songga dengan ukuran yang memadai masyarakat harus menempuh perjalanan yang lebih jauh
karena kerapatan tanamannya sudah menurun.
Dari sisi pedagang, mereka juga sudah mulai takut memesan kayu songga ke masyarakat karena kayu songga hanya ada dalam kawasan hutan yang mesti dikenakan
beban ijin untuk memungutnya. Apabila persyaratan hukum tidak dapat dipenuhi oleh pedagang atau petani dalam memungut songga dalam kawasan hutan, maka hal tersebut
termasuk ilegal logging atau melanggar hukum. Keadaan ini sangat memerlukan peran pemerintah agar keberadaan tanaman songga dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan
masyarakat tanpa merusak kelestarian dan lingkungan hutan itu sendiri. Selama ini belum dijumpai adanya tanaman songga yang tumbuh di lahan-lahan masyarakat atau
hutan rakyat.
IV. KENDALA PENGEMBANGAN