Culture as Crime , Metal Panic , dan Stigma Terhadap Penampil Perempuan

5.2. Culture as Crime , Metal Panic , dan Stigma Terhadap Penampil Perempuan

Pada bagian ini peneliti akan mencoba menganalisis hubungan-hubungan yang terjalin antara kebudayaan metal yang ditetapkan sebagai subkebudayaan menyimpang dan metal panic , dan juga stigmatisasi yang didapatkan oleh perempuan karena keputusan dirinya untuk masuk ke dalam lingkungan metal . Dalam melihat kebudayaan metal yang ditetapkan sebagai subkebudayaan yang menyimpang, peneliti melihat tersebut dapat dijelaskan dengan menggunakan analisis culture as crime dalam kriminologi budaya dalam melihat kebudayaan tertentu. Analisis culture as crime itu sendiri menganalisis adanya praktik-praktik dalam kebudayaan tertentu dianggap sebagai kriminal atau menyimpang, yang dikarenakan praktik-praktik dalam kebudayaan tersebut dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam kebudayaan dominan. Dan dalam konteks ini, peneliti melihat kebudayaan metal ditetapkan sebagai subkebudayaan yang menyimpang oleh masyarakat kebudayaan dominan karena terdapat beberapa praktik-praktik dalam kebudayaan metal yang dianggap melanggar batas-batas moralitas yang ada sehingga tidak sesuai dan tidak bisa diterima oleh masyarakat dominan.

Praktik-praktik yang dimaksud juga tergambarkan melalui produk-produk kebudayaannya, seperti salah satunya melalui musik metal underground . Penggambaran-penggambaran dalam musik metal underground yang dianggap melanggar batas-batas moralitas tersebut menimbulkan tumbuhnya metal panic di masyarakat. Berdasar pada hasil wawancara yang dilakukan dengan ketiga

personel Psychotic Angels (Chumi, Chacha, dan Onenk) dan salah satu mantan personelnya (Iniz), peneliti juga melihat bagaimana metal panic menjadi faktor lainnya yang menjadi landasan dari tindakan-tindakan pembatasan dan pelarangan terhadap para personel Psychotic Angels dalam keputusannya berkarier di dalam musik metal underground oleh orang-orang terdekatnya. Lebih lanjut, peneliti menganggap bahwa pelarangan-pelarangan yang dilayangkan kepada para personel Psychotic Angels tersebut dikarenakan adanya kepanikan moral terhadap musik metal underground dan ditambah pula dengan adanya identitas gender yang dilekatkan diri mereka sebagai perempuan, mulai dari pengaturan jam malam personel Psychotic Angels (Chumi, Chacha, dan Onenk) dan salah satu mantan personelnya (Iniz), peneliti juga melihat bagaimana metal panic menjadi faktor lainnya yang menjadi landasan dari tindakan-tindakan pembatasan dan pelarangan terhadap para personel Psychotic Angels dalam keputusannya berkarier di dalam musik metal underground oleh orang-orang terdekatnya. Lebih lanjut, peneliti menganggap bahwa pelarangan-pelarangan yang dilayangkan kepada para personel Psychotic Angels tersebut dikarenakan adanya kepanikan moral terhadap musik metal underground dan ditambah pula dengan adanya identitas gender yang dilekatkan diri mereka sebagai perempuan, mulai dari pengaturan jam malam

Bentuk kepanikan moral yang paling terlihat jelas dari musik metal yang tumbuh di masyarakat adalah terkait dengan pembawaan-pembawaannya yang dianggap menggambarkan nilai-nilai satanis. Weinstein (2000) mengungkapkan bahwa musik metal dikatakan mengedepankan nilai-nilai satanis, dan menurut Hecker (2012) banyak sekali pernyataan, tuntutan, dan tuduhan yang menyalahkan musik metal karena menggoda anak-anak muda ke dalam satanisme dan juga penghinaan pada Tuhan. Oleh karena itu, para pemimpin keagamaan juga menyuarakan keprihatinan mereka terhadap tanda-tanda satanis yang dibawa oleh metal (Klypchak, 2007). Hal ini juga pernah dialami oleh Chacha, yang diungkapkannya ketika wawancara pada tanggal 1 November 2015. Ketika wawancara, Chacha menceritakan bahwa keluarga besar ibunya memang merupakan keluarga yang sangat kental dengan nilai-nilai ke-Islaman-nya. Suatu waktu, dirinya pernah diceramahi oleh salah seorang saudara dari keluarga besar ibunya tersebut mengenai keprihatinannya terhadap musik metal yang dilihat sebagai musik pengikut setan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, Chacha sempat dilarang-larang oleh saudara ibunya tersebut untuk berkarier di musik metal . Sebagai perempuan yang berasal dari keluarga yang menjunjung tinggi nilai ke-Islaman, dirinya dianggap tidak boleh untuk ikut- ikutan bermain musik metal karena dinilai menyimpang dari citra seorang perempuan Muslim. Di Indonesia sendiri, pada pertengahan tahun 1990-an moral panic memang pernah ditimbulkan oleh pemberitaan-pemberitaan media nasional arus-utama terhadap musik black metal yang “satanis” (Wallach, 2005). Hal ini yang kemungkinan besar melatarbelakangi masih adanya kepanikan moral dari keluarga besar Chacha terkait musik metal yang dianggap sebagai musik pengikut setan tersebut.

Kemudian, sebagaimana yang diungkapkan oleh Weinstein (2000) dan Hecker (2012), kepanikan moral masyarakat terhadap musik metal underground juga dikarenakan tampilan-tampilan di dalamnya yang menunjukkan citra kebengisan, kekerasan, kegaduhan dan kekacauan, dan juga kenakalan, serta menjerumuskan anak muda ke yang perilaku-perilaku negatif seperti bunuh diri, kekerasan, perbuatan seksual yang tidak wajar, obat-obatan terlarang, dan juga penyalahgunaan minuman beralkohol. Hal-hal tersebut menimbulkan kepanikan terhadap musik metal karena dilihat memiliki potensi pengaruh yang buruk terhadap anak-anak (Weinstein, 2000).

Para personel Psychotic Angels juga mendapatkan pembatasan dan pelarangan untuk berkarier di dalam musik metal underground dari orang-orang terdekatnya karena beberapa alasan-alasan di atas, antara lain karena citra kekerasan, kenakalan, penggunaan obat-obatan terlarang, dan penyalahgunaan minuman beralkohol. Melihat pada hasil wawancara yang dilakukan, baik dengan Chumi (11/10/2015), Chacha (1/11/2015), maupun Onenk (6/11/2015), mereka mengatakan pengalaman terekstrem adalah apa yang dialami oleh Iniz. Iniz adalah mantan personel band Psychotic Angels yang harus keluar dari band karena faktor pembatasan dan pelarangan dari orang tuanya akibat kekhawatiran orang tuanya terhadap musik metal . Ketika melakukan wawancara dengan Iniz pada 8 November 2015, Iniz mengatakan bahwa orang tuanya menganggap musik metal tidak elegan utnuk sebuah aliran musik. Pendapat mengenai musik metal sebagai musik yang tidak elegan tersebut disadari sebagai bentuk metal panic yang

melihat musik metal , seperti apa yang disebutkan oleh Weinstein (2000), hanya mengedepankan nilai kegaduhan dan kekacauan. Selanjutnya, Iniz juga mengatakan pertimbangan lain yang membuat orang tuanya tidak menyukainya berkarier di dalam musik metal underground adalah terkait dengan citra yang ditampilkan dari metal itu sendiri, yang kecenderungannya adalah lingkungan yang didominasi oleh laki-laki dan hal-hal negatif, seperti kekerasan, gaya yang berantakan, mabuk-mabukan, dan lainnya. Oleh karenanya, Iniz, sebagai perempuan, dianggap tidak cocok untuk berada di lingkungan yang seperti itu oleh orang tuanya.

Menanggapi hal tersebut di atas, peneliti melihat bahwa selain dilatarbelakangi oleh adanya kepanikan moral terhadap metal , pertimbangan lainnya yang melatarbelakangi pelarangan orang tuanya terhadap karier Iniz di dalam musik metal underground adalah karena dirinya yang perempuan. Sikap orang tua Iniz tersebut dimungkinkan karena sosialisasi perilaku gender yang berdasarkan cita-cita patriarki, yakni yang mengharuskan perempuan untuk tetap menjadi individu yang pasif –karena segala arogansi dari perilaku aktif adalah milik laki-laki. Penetapan perilaku gender yang kaku karena pemisahan seksual yang tergambarkan pada kondisi ini jelas sangat membatasi Iniz dalam mengembangkan dirinya secara utuh. Penstrukturan masyarakat melalui pemisahan seksual itu sendiri disadari akan membatasi aktivitas, pekerjaan, hasrat, dan aspirasi dari perempuan (Eisenstein, 1979).

Perilaku-perilaku yang ada di dalam lingkungan metal didefinisikan sebagai penyimpangan oleh orang tua Iniz karena dinilai sebagai perilaku-perilaku yang buruk. Penyimpangan itu sendiri didendefinisikan oleh masyarakat dengan mengumumkan perilaku tertentu sebagai sesuatu yang “buruk”, baik secara formal atau informal, dan kemudian berusaha untuk meminimalisasi atau mengeliminasi perilaku-perilaku tersebut (Vold, Bernard, Snipes, 1998). Sikap orang tua Iniz yang secara tidak langsung memaksa Iniz untuk menghentikan kariernya di dalam musik metal underground peneliti lihat sebagai salah satu bentuk dari usaha untuk meminimalisasi atau mengeliminasi perilaku-perilaku yang ditetapkan sebagai menyimpang tersebut.

Selanjutnya, peneliti akan membahas mengenai stigmatisasi para personel Psychotic Angels sebagai perempuan yang pernah mereka dapatkan terkait pilihan mereka untuk berkarier di dalam musik metal underground . Dunia musik metal yang diidentikan dengan lingkungan yang bebas dan lingkungan malam membuat para personel Psychotic Angels kerap mendapakan cap buruk dari orang lain. Contohnya disebutkan oleh Onenk ketika wawancara dengannya pada tanggal 6 November 2015, yakni mereka kerap dianggap sebagai ‘perempuan malam’ yang sudah tidak virgin karena mereka sering kali harus pulang larut malam karena kegiatan-kegiatan dalam band mereka. Selain itu, Onenk juga mengatakan karena orang lain menganggapnya orang-orang yang berada di lingkungan metal sangat Selanjutnya, peneliti akan membahas mengenai stigmatisasi para personel Psychotic Angels sebagai perempuan yang pernah mereka dapatkan terkait pilihan mereka untuk berkarier di dalam musik metal underground . Dunia musik metal yang diidentikan dengan lingkungan yang bebas dan lingkungan malam membuat para personel Psychotic Angels kerap mendapakan cap buruk dari orang lain. Contohnya disebutkan oleh Onenk ketika wawancara dengannya pada tanggal 6 November 2015, yakni mereka kerap dianggap sebagai ‘perempuan malam’ yang sudah tidak virgin karena mereka sering kali harus pulang larut malam karena kegiatan-kegiatan dalam band mereka. Selain itu, Onenk juga mengatakan karena orang lain menganggapnya orang-orang yang berada di lingkungan metal sangat

Jika merujuk pada Eisenstein (1979), jenis kelamin dikatakan sebagai sebuah kategori status dengan implikasi-implikasi yang politis di dalamnya. Dari pernyataan tersebut, jenis kelamin para subyek penelitian yang perempuan menyebabkan mereka terbatasi dalam membuat pilihan-pilihan. Ketika perempuan menjalani pilihan yang dianggap tidak sesuai dengan identitas gendernya, hal tersebut dapat berimplikasi pada stigmatisasi terhadap dirinya. Kondisi seperti ini membuat mereka terdiskreditkan secara mendalam karena pilihan mereka untuk berkarya di dalam musik metal underground tersebut tidak disikapi secara positif oleh orang lain, namun justru membuat mereka mendapatkan penilaian-penilaian yang negatif. Seperti yang dikatakan oleh Goffman (1963), orang-orang yang “normal” kemudian melakukan berbagai macam diskriminasi terhadap orang yang terstigma sehingga mereduksi berbagai kesempatan hidup orang yang terstigma tersebut.