Kerangka Teoritis

2.2. Kerangka Teoritis

Penelitian ini, dalam melakukan analisisnya, akan menggunakan dua jenis kajian, yakni Kriminologi Budaya dan kajian Feminis . Kedua kajian tersebut dapat dikatakan masuk dalam pergerakan posmodernisme. Vold, Bernard, dan Snipes (1998) mengatakan posmodernisme memandang bahwa pemikiran modernism telah membawa kita kepada meningkatnya opresi ketimbang kepada sebuah tindakan yang memerdekakan, dan inilah yang menjadi pusat perhatian dari para pemikir posmodernisme. Para pemikir posmodernisme meresponnya dengan membuka struktur-struktur dominasi dalam masyarakat sebagai upaya untuk pencapaian pembebasan yang lebih besar. Posmodernisme juga menguji hubungan antara agen-agen kemanusiaan dan bahasa dalam membentuk makna, identitas, kebenaran, keadilan, kekuasaan, dan pengetahuan. Hubungan tersebut dikaji melalui analisis wacana, yang menginvestigasi bagaimana arti dan makna adalah sesuatu yang terkonstruksi (Vold, Bernard, Snipes, 1998: 271-272). Mustofa (2010) juga mengatakan bahwa aliran pemikiran posmodern sendiri merupakan hasil otokritik terhadap pemikiran kriminologi kritis yang mendefinisikan kejahatan secara ideologis semata-mata sebagai definisi yang dibuat oleh penguasa, dan pengabaiannya terhadap realitas kejahatan jalanan yang menimbulkan korban terutama perempuan (Mustofa, 2010: 145).

Henry dan Lanier (2004), dalam Essential Criminology (Second Edition) , mengatakan bahwa posmodernisme sendiri lebih dipahami sebagai sebuah pergerakan daripada sebuah teori. Posmodernisme memandang dan memahami fenomena kejahatan tidak hanya berdasarkan definisi hukum mengenai kejahatan itu saja, melainkan juga berdasarkan masyarakat secara menyeluruh sebagai Henry dan Lanier (2004), dalam Essential Criminology (Second Edition) , mengatakan bahwa posmodernisme sendiri lebih dipahami sebagai sebuah pergerakan daripada sebuah teori. Posmodernisme memandang dan memahami fenomena kejahatan tidak hanya berdasarkan definisi hukum mengenai kejahatan itu saja, melainkan juga berdasarkan masyarakat secara menyeluruh sebagai

“terkonstruksi secara sosial”, yang berarti tidak ada realitas yang independen diluar dari pikiran-pikiran dan praktik-praktik dari mereka yang menciptakan dan menciptakan kembali realitas tersebut (Henry dan Lanier, 2004).

Posmodernisme mengacu pada beragam tema yang luas yang relevan dengan berbagai disiplin ilmu, termasuk seni, arsitektur, sastra, dan sosiologi (Madfis, 2014). Kriminologi posmodern mengadopsi keprihatinannya dengan bahasa, simbol, dan pengetahuan dari gerakan posmodern yang lebih besar. Aplikasi kriminologis dari posmodernisme terdiri dari beragam konsep dan teori. Dengan demikian, masukan ini berfungsi untuk mengekspos beberapa kesamaan, perbedaan, dan masalah yang luas di antara karya kontemporer pada kriminologi posmodern melalui survey singkat dari literatur, dengan fokus khusus pada teori- teori konstitutif, chaos , dan semiotik tentang kejahatan (Madfis, 2014).

2.2.1. Kriminologi Budaya

Jeff Ferrell (1999) mengungkapkan bahwa gagasan mengenai kriminologi budaya merujuk pada meningkatnya perhatian analitis yang diberikan oleh para kriminolog terhadap konstruksi budaya populer, dan khususnya konstruksi media massa, mengenai kejahatan dan pengendalian kejahatan (Ferrell, 1999). Mike Presdee (2000) mengatakan kriminologi budaya berusaha untuk membongkar atau membuka seluk-beluk dari proses di mana bentuk-bentuk kebudayaan dan ekspresi-ekspresi kebudayaan menjadi terkriminalisasi. Selanjutnya, Presdee (2000) mengatakan bahwa bagi kriminologi budaya puing-puing dari kehidupan sehari- hari merupakan ‘data’, yakni menggunakan artefak-artefak kultural yang hadir kapan pun dan dimana pun, menguji ‘jejak’ kultural yang berada dibaliknya. Sejarah kehidupan, gambaran, musik dan tarian, semuanya memiliki sebuah cerita untuk diceritakan dalam membuka seluk-beluk dari kejahatan itu sendiri (Presdee, 2000: 15). Kriminologi budaya merupakan sebuah pendekatan yang dapat Jeff Ferrell (1999) mengungkapkan bahwa gagasan mengenai kriminologi budaya merujuk pada meningkatnya perhatian analitis yang diberikan oleh para kriminolog terhadap konstruksi budaya populer, dan khususnya konstruksi media massa, mengenai kejahatan dan pengendalian kejahatan (Ferrell, 1999). Mike Presdee (2000) mengatakan kriminologi budaya berusaha untuk membongkar atau membuka seluk-beluk dari proses di mana bentuk-bentuk kebudayaan dan ekspresi-ekspresi kebudayaan menjadi terkriminalisasi. Selanjutnya, Presdee (2000) mengatakan bahwa bagi kriminologi budaya puing-puing dari kehidupan sehari- hari merupakan ‘data’, yakni menggunakan artefak-artefak kultural yang hadir kapan pun dan dimana pun, menguji ‘jejak’ kultural yang berada dibaliknya. Sejarah kehidupan, gambaran, musik dan tarian, semuanya memiliki sebuah cerita untuk diceritakan dalam membuka seluk-beluk dari kejahatan itu sendiri (Presdee, 2000: 15). Kriminologi budaya merupakan sebuah pendekatan yang dapat

Guna lebih memperjelas mengenai kajian kriminologi budaya, Jeff Ferrell, bersama dengan Keith Hayward dan Jock Young (2008), lebih jauh lagi, menjelaskan bahwa kriminologi budaya mengeksplorasi berbagai cara di mana kekuatan-kekuatan budaya terjalin dengan praktik kejahatan dan pengendalian kejahatan dalam masyarakat kontemporer. Kriminologi budaya menekankan pada pentingnya makna, representasi, dan kekuasaan dalam konstruksi terhadap kejahatan. Menurut pandangan mereka, kajian ini memiliki banyak kegunaan dan kriminologi kritis penting untuk bergerak di atas gagasan-gagasan yang sempit mengenai kejahatan dan peradilan pidana untuk memasukkan tampilan-tampilan simbolis dari pelanggaran hukum dan pengendalian terhadapnya, berbagai perasaan dan emosi yang muncul dalam kejadian-kejadian kriminal, dan kampanye-kampanye publik dan politik yang didesain untuk menetapkan (dan membatasi) baik kejahatan dan konsekuensinya (Ferrell, Hayward, Young, 2008: 2). Ditegaskan kembali bahwa kriminologi budaya mencoba untuk memahami kejahatan sebagai sebuah aktivitas manusia yang ekspresif, dan juga untuk mengkritik kebijaksanaan yang dirasakan di sekitar politik kejahatan dan peradilan pidana kontemporer (Ferrell, Hayward, Young, 2008: ibid). Merujuk pada Ferrell, Mustofa (2010) menjelaskan kriminologi budaya secara jelas bertujuan untuk mempelajari keseluruhan dunia budaya, termasuk kerangka yang digayakan dan dinamika pengalaman dari subkebudayaan yang tidak sah, kriminalisasi simbolik terhadap bentuk-bentuk budaya pop ( pop culture ), konstruksi pengendalian kejahatan yang dimediasi secara budaya, representasi kejahatan dan pengendalian kejahatan media massa dan dampak saling interaksi dari representasi tersebut terhadap khalayak populer dan budaya pemolisian (Mustofa, 2010: 173). Lebih lanjut lagi, Mustofa mengungkapkan bahwa pemikiran kriminologi budaya juga mendorong dilakukannya penelitian yang cermat tentang pemberitaan media massa terhadap kejahatan (Mustofa, 2010:

174). Mustofa (2010) juga menambahkan bahwa terdapat kecenderungan kuat bahwa media massa di dalam melakukan pemberitaan mengenai kejahatan telah tidak proporsional yang dikarenakan konstruksi masalah kejahatan yang dilakukan oleh pejabat publik.

Kriminologi budaya dikatakan sebagai pedoman hybrid atau campuran (Ferrell, 1999: 397) karena dibangun dari berbagai pemikiran, seperti kajian sosiologi interaksionis, teori-teori kritis, kajian kultural, dan juga kajian posmodern. Analisis kriminologi budaya terbagi ke dalam empat dimensi yang saling berhubungan. Dimensi yang pertama dan kedua adalah “ crime as culture ” dan “ culture as crime ”. Area yang ketiga membaurkan dinamika dari media dalam mengkonstruksi realitas dari kejahatan dan pengendalian kejahatan dengan berbagai macam cara; yang keempat mengeksplorasi politik sosial dari kejahatan dan budaya dan politik intelektual dari kriminologi budaya (Ferrell, 1999: 402- 403). Dari keempat dimensi analisis yang terdapat di dalam kriminologi budaya, penelitian ini menggunakan dimensi analisis culture as crime .

2.2.2. Culture as Crime Gagasan culture as crime menunjukkan rekonstruksi dari usaha kultural sebagai usaha kriminal, misalnya melalui pelabelan terhadap produk-produk budaya populer oleh publik sebagai sesuatu yang kriminogenik, atau kriminalisasi terhadap para penghasilnya yang disalurkan melalui media atau hukum (Ferrell, 1999: 404). Ferrell (1999) mencontohkan band-band punk dan heavy metal , dan perusahaan-perusahaan rekaman, para distributor, toko-toko penjualan karya yang tergabung di dalamnya, telah menghadapi kasus-kasus yang saru/tidak nyata, gugatan-gugatan secara perdata atau pidana, target razia tinggi oleh polisi, dan campur tangan dari polisi dengan konser-konser mereka. Kasus seperti tersebut berada di dalam lahan kriminologi budaya karena target dari kriminalisasinya

bersifat “kultural”, karenanya kriminalisasi terhadapnya itu sendiri berkembang sebagai sebuah proses kultural. Dari hal tersebut, kriminologi budaya mengembangkan gagasan “kriminalisasi” menjadi proses yang lebih luas, yakni “kriminalisasi kultural” (Ferrell, 1999: 404-405). Sejalan dengan pengembangan proses kriminalisasi yang diungkapkan Ferrell, Presdee (2000) menekankan bahwa tindakan kriminal didefinisikan melalui proses-proses sosial dan kultural, bersifat “kultural”, karenanya kriminalisasi terhadapnya itu sendiri berkembang sebagai sebuah proses kultural. Dari hal tersebut, kriminologi budaya mengembangkan gagasan “kriminalisasi” menjadi proses yang lebih luas, yakni “kriminalisasi kultural” (Ferrell, 1999: 404-405). Sejalan dengan pengembangan proses kriminalisasi yang diungkapkan Ferrell, Presdee (2000) menekankan bahwa tindakan kriminal didefinisikan melalui proses-proses sosial dan kultural,

Lebih jauh lagi, Ferrell (1999) mengatakan bahwa kriminalisasi dalam konteks di atas disadari berisfat politis. Kriminalisasi kontemporer terhadap kebudayaan populer muncul sebagai bagian dari “perang budaya” yang lebih luas yang dilancarkan oleh para konservatif politis dan para pembangkang kebudayaan (Ferrell, 1999: 406). Kriminalisasi kultural dalam hal ini memaparkan hubungan yang belum merupakan sebuah kesatuan antara gaya dan simbol subkuktural dengan konstruksi dan rekonstruksi yang termediasi tersebut sebagai kriminal atau kriminogenik (Ferrell, 1999). Ferrell (1999) menambahkan sebagai proses yang sebagian besar dilakukan dalam kalangan publik, kriminalisasi kultural memiliki sumbangan pada persepsi dan kepanikan populer, dan karenanya lebih jauh lagi akan menimbulkan marjinalisasi. Dan jika berhasil, menurut Ferrell (1999), hal tersebut akan membangun sebuah derajat ketidaksenangan/kegelisahan sosial yang merendahkan wajah dari kebudayaan populer dan ke dalam praktiknya di kehidupan sehari-hari. Berdasar pada pemaparan kriminologi budaya tersebut, dimensi analisis culture as crime disadari sangat penting digunakan sebagai upaya penangkapan makna dari setiap tindakan yang terdapat dalam sebuah kebudayaan metal underground . Keberadaan musik metal underground itu sendiri masih termarjinalisasi, baik oleh media (Arnett, 1996), industri musik mainstream , dan juga negara (Baker, 2011). Berbagai citra kekerasan, pemberontakan, satanis, dan lainnya yang muncul di dalam kebudayaan metal underground dianggap dan dinyatakan sebagai sesuatu yang “buruk” sehingga kebudayaan tersebut didefinisikan sebagai kebudayaan yang menyimpang, baik secara formal maupun nonformal, oleh masyarakat. Proses pendefinisian menyimpang tersebut, kemudian, berujung pada stigmatisasi terhadap mereka yang berada di dalam kebudayaan metal underground tersebut.

2.2.3. Kriminologi Feminis

Sebagai upaya untuk memahami keputusan perempuan untuk mengambil bagian di dalam kebudayaan metal underground , penelitian ini juga memerlukan analisis feminis sebagai penguat analisisnya. Hal ini dikarenakan dalam penelitian ini melihat keberadaan perempuan di dalam kelompok subkultur yang menampilkan citra-citra maskulinitas di dalamnya. Selain itu, perspektif feminis menjadi sangat penting untuk memaknai keputusan ini sebagai bentuk counter- culture bagi perempuan untuk mengkritik struktur sosial budaya yang ‘patriarkis’ di masyarakat, yang juga menjalar hingga ke ranah musik.

Mustofa (2010), dalam Kriminologi: Kajian Sosiologi terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpan dan Pelanggaran Hukum , menjelaskan kriminologi feminis berkembang sebagai kritik atas kecenderungan karya-karya pada tahun 1970-an yang banyak menghasilkan penelitian tentang kejahatan yang dilakukan oleh perempuan, dan dikritik sebagai bias gender karena memandang perempuan yang melanggar hukum sebagai penyimpang ganda, yakni pertama karena dia perempuan yang secara sosial tidak diharapkan melakukan pelanggaran, dan yang kedua karena pelanggarannya itu sendiri. Kriminologi yang ada saat itu adalah kriminologi laki-laki yang melihat masalah kejahatan dan pengendalian kejahatannya dalam perspektif laki-laki (Mustofa, 2010: 152). Kemudian, Mustofa (2010) merujuk pada karya Smart merumuskan pangkal tolak dari feminisme, yaitu pengalaman, namun bukan sekadar pengalaman saja. Pengalaman feminisme yang dimaksud adalah pengalaman perjuangan dalam menghadapai penindasan, yang akan memberikan pemahaman yang lebih lengkap dan kurang terdistorsi dibandingkan perspektif dari kelompok laki-laki penguasa (Mustofa, 2010: 156).

Henry dan Lanier (2004) menyatakan para pemikir feminis meyakini bahwa pemikiran kriminologi mainstream yang tradisional tidak sanggup dalam menjelaskan pola-pola perilaku kejahatan yang melibatkan perempuan di dalamnya karena mereka mengabaikan struktur masyarakat yang terbangun oleh gender yang menghasilkan patriarki. Selanjutnya, Henry dan Lanier (2004) merujuk pada pernyataan Miller yang berpendapat bahwa kriminologi feminis meletakkan studi mengenai kejahatan dan peradilan pidana ke dalam sebuah Henry dan Lanier (2004) menyatakan para pemikir feminis meyakini bahwa pemikiran kriminologi mainstream yang tradisional tidak sanggup dalam menjelaskan pola-pola perilaku kejahatan yang melibatkan perempuan di dalamnya karena mereka mengabaikan struktur masyarakat yang terbangun oleh gender yang menghasilkan patriarki. Selanjutnya, Henry dan Lanier (2004) merujuk pada pernyataan Miller yang berpendapat bahwa kriminologi feminis meletakkan studi mengenai kejahatan dan peradilan pidana ke dalam sebuah

Kemudian, Henry dan Lanier (2004) merujuk pada Kathleen Daly dan M. Chesney-Lind dalam membedakan antaran kajian kriminologi feminis dan kajian kriminologi lainnya dan hubungannya dengan sifat gender, yakni terdapat lima aspek pembeda: (1) gender adalah sebuah konstruksi secara sosial, historis, dan kultural yang terbentuk pada perbedaan jenis kelamin secara biologis dan kapasitas reproduktifnya; (2) gender dan hubungan-hubungan gender merupakan pengatur fundamental dari institusi-institusi sosial dan kehidupan sosial; (3) hubungan-hubungan gender dan konstruksi sosial mengenai maskulinitas dan femininitas didasarkan pada asumsi bahwa laki-laki adalah superior terhadap perempuan dan hal ini tercermin pada dominasi laki-laki pada institusi-institusi sosial, ekonomi dan politik; (4) apa yang diterima begitu saja sebagai pengetahuan alam dan sosial adalah pengetahuan laki-laki,dan hasil dari pengetahuan tersebut ter-gender-kan; dan (5) perempuan harus berada pada pusat pencarian intelektual dan tidak berfungsi sebagai sesuatu yang bukan pokoknya, hanya tambahan yang tidak terlihat bagi laki-laki. Kegagalan dalam mengakui politik gender ini telah dihasilkan dalam pandangan yang rabun terhadap kejahatan –juga penyimpangan– dan peradilan pidana yang gagal untuk menunjukkan beberapa ciri yang paling khas dari politik gender tersebut (Henry dan Lanier, 2004: 292).

Penelitian ini menggunakan dua kajian feminis, yakni feminis radikal- libertarian dan feminis sosialis. Tong (2009), dalam bukunya Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction (Third Edition) , mengatakan para feminis radikal-libertarian mengklaim bahwa indentitas gender yang secara eksklusif ditempelkan pada perempuan kemungkinan besar membatasi perkembangan perempuan sebagai seorang manusia secara utuh (Tong, 2009: 50). Pada dasarnya feminis radikal-libertarian menolak asumsi adanya hubungan yang pasti antara jenis kelamin seseorang dengan gender seseorang. Mereka justru menyatakan bahwa gender adalah sesuatu yang terpisah dengan jenis kelamin, dan masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif (penuh kasih sayang, penurut, ceria, ramah, dll) dan laki- laki tetap aktif (kuat, agresif, ambisius, bertanggung jawab, kompetitif, dll). Oleh Penelitian ini menggunakan dua kajian feminis, yakni feminis radikal- libertarian dan feminis sosialis. Tong (2009), dalam bukunya Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction (Third Edition) , mengatakan para feminis radikal-libertarian mengklaim bahwa indentitas gender yang secara eksklusif ditempelkan pada perempuan kemungkinan besar membatasi perkembangan perempuan sebagai seorang manusia secara utuh (Tong, 2009: 50). Pada dasarnya feminis radikal-libertarian menolak asumsi adanya hubungan yang pasti antara jenis kelamin seseorang dengan gender seseorang. Mereka justru menyatakan bahwa gender adalah sesuatu yang terpisah dengan jenis kelamin, dan masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif (penuh kasih sayang, penurut, ceria, ramah, dll) dan laki- laki tetap aktif (kuat, agresif, ambisius, bertanggung jawab, kompetitif, dll). Oleh

Selanjutnya, adalah analisis feminis sosialis. Feminisme sosialis dikatakan sebagai upaya untuk menggabungkan pemikiran feminisme Marxis dan feminisme radikal (Vold, Bernard, Snipes: 1998: Lanier dan Henry, 2004; Tong, 2009). Feminis sosialis menguji kekuatan-kekuatan kapitalisme dan patriarki yang saling berhubungan dan saling bergantungan yang mendorong adanya kejahatan oleh laki-laki dan opresi, subordinasi, dan penjajahan terhadap perempuan (Henry dan Lanier, 2004). Henry dan Lanier mengutip Jagar yang mencatatkan bahwa kontribusi khas dari feminis sosialis adalah pengakuannya yang mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidaklah terberi begitu saja, melainkan terkonstruksi secara sosial dan oleh karenanya dapat berubah (Henry dan Lanier, 2004: 304).

Feminisme sosialis menolak adanya pemisahan pekerjaan yang kaku antara laki-laki dan perempuan, baik dalam lingkup dunia kerja maupun dalam lingkup keluarga, yang hanya didasari oleh pertimbangan jenis kelaminnya (Eisenstein, 1979). Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin nampak sudah universal dalam sejarah manusia dan dalam masyarakat pembagian berdasarkan jenis kelamin tersebut bersifat hierarkis, dengan laki-laki di atas dan perempuan di bawahnya (Eisenstein, 1979). Status perempuan yang lebih tidak diuntungkan dalam dunia kerja dan penetapan pemisahan pekerjaan beradasarkan jenis kelamin disadari adalah buah dari proses interaksi yang panjang antara patriarki dan kapitalisme. Persepektif ini melihat sistem patriarkal telah ada sebelum kapitalisme di mana laki-laki mengatur pekerjaan perempuan dan anak-anak dalam keluarga, dan laki-laki mempelajari teknik-teknik organisasi dan penguasaan hierarkis dari sistem patriarkal tersebut untuk diterapkan ke dalam kapitalisme (Eisenstein, 1979).

Lebih jauh lagi, Eisenstein (1979) mengatakan bahwa pemisahan jenis pekerjaan berdasarkan jenis kelamin merupakan mekanisme utama dalam masyarakat kapitalis yang memelihara superioritas dari laki-laki terhadap perempuan, karena pemisahan tersebut melaksanakan upah yang lebih rendah untuk perempuan dalam pasar tenaga kerja. Upah rendah tersebut, menurut Eisenstein (1979), menjaga perempuan untuk tetap bergantung pada laki-laki karena mereka mendorong perempuan untuk menikah. Perempuan yang menikah harus melakukan pekerjaan domestik untuk suami mereka. Kemudian, laki-laki diuntungkan baik dari upah yang lebih besar dan dari pembagian kerja domestik. Pembagian kerja domestik tersebut melemahkan posisi perempuan dalam pasar tenaga kerja. Karenanya, pembagian kerja domestik yang hierarkis tersebut diabadikan oleh pasar tenaga kerja, dan sebaliknya. Proses ini merupakan hasil dari interaksi yang berkelanjutan antara dua sistem yang berpautan, yakni kapitalisme dan patriarki (Eisenstein, 1979: 208).