Kerangka Konseptual

2.1.6. Penyimpangan

Konsep “penyimpangan” di dalam penelitian ini akan digunakan untuk menjelaskan bagaimana individu atau masyarakat yang berada di luar kebudayaan Konsep “penyimpangan” di dalam penelitian ini akan digunakan untuk menjelaskan bagaimana individu atau masyarakat yang berada di luar kebudayaan

Mengenai penyimpangan itu sendiri, Becker memiliki pendapat demikian: “…social groups create deviance by making the rules whose

infraction constitutes deviance, and by applying those rules to

particular people and labeling them as outsiders…” (Becker, 1963: 9) (terjemahan bebas: kelompok sosial menciptakan penyimpangan dengan membuat aturan-aturan di mana pelanggaran terhadapnya merupakan penyimpangan, dan dengan mengaplikasikan aturan- aturan tersebut kepada orang tertentu dan melabelnya sebagai outsider )

Dari pernyataan tersebut di atas Becker mencoba menjelaskan bagaimana penyimpangan itu sendiri diciptakan oleh masyarakat. Kemudian, Becker menegaskan kembali bahwa penyimpangan bukanlah mengenai kualitas yang terletak pada perilaku, melainkan pada interaksi antara seseorang yang melakukan suatu tindakan dan mereka yang memberikan respon terhadapnya.

Goerge B. Vold, Thomas J. Bernard, dan Jeffrey B. Snipes (1998), dalam buku Theoretical Criminology , juga menjelaskan bahwa tindakan tertentu didefinisikan dan diproses sebagai penyimpangan atau kriminal tergantung pada makna dari tindakan tersebut yang diberikan oleh agen-agen dari masyarakat yang lebih luas. Masyarakat mendefinisikan penyimpangan dengan mengumumkan perilaku tertentu sebagai sesuatu yang “buruk”, baik secara formal atau informal, Goerge B. Vold, Thomas J. Bernard, dan Jeffrey B. Snipes (1998), dalam buku Theoretical Criminology , juga menjelaskan bahwa tindakan tertentu didefinisikan dan diproses sebagai penyimpangan atau kriminal tergantung pada makna dari tindakan tersebut yang diberikan oleh agen-agen dari masyarakat yang lebih luas. Masyarakat mendefinisikan penyimpangan dengan mengumumkan perilaku tertentu sebagai sesuatu yang “buruk”, baik secara formal atau informal,

2.1.7. Stigma

Goffman (1963) menggunakan istilah stigma untuk menunjuk pada sebuah atribut yang “ditempelkan” pada individu atau kelompok, yang

mendiskreditkannya secara mendalam. Sebuah atribut yang menstigmatisasi satu macam golongan dapat menegaskan kesamaan atau kebiasaan yang sama pada yang lainnya dalam golongan yang sama. Stigma, kemudian, dikatakan sebagai sebuah hubungan yang khusus antara atribut dan stereotype karena ada atribut- atribut penting yang terdapat hampir di mana pun di dalam masyarakat yang sifatnya mendiskreditkan.

Goffman juga membedakan stigma menjadi tiga macam. Pertama, stigma yang berhubungan dengan cacat tubuh seseorang. Kedua, stigma yang berhubungan dengan cela dari karakter individu, misalnya stigma yang diberikan kepada penderita kelainan mental, narapidana, homoseksual, pengangguran, dan perilaku politik yang radikal. Ketiga adalah stigma yang berkenaan dengan ras, bangsa, dan agama, hal tersebut menjadi stigma yang dapat ditransmisikan melalui garis silsilah dan secara sama mengontaminasi seluruh anggota dalam keluarga. Orang yang terstigma, kemudian, tidak dipandang sebagai manusia. Melalui asumsi tersebut orang- orang yang “normal” melakukan berbagai macam diskriminasi terhadap orang yang terstigma, dengan tanpa berpikir lebih jauh, sehingga mereduksi berbagai kesempatan hidup orang yang terstigma tersebut (Goffman, 1963).

2.1.8. Sistem Seks/Gender dan Ketidaksetaraan Gender

Tong (2009) dalam memahami yang disebut dengan sistem seks/gender merujuk pada seorang feminis radikal-libertarian, Gayle Rubin, yang mengatakan bahwa sistem seks/gender merupakan sebuah satuan susunan yang dengannya masyarakat mentransformasi seksualitas biologis ke dalam produk-produk dari aktivitas manusia. Masyarakat patriarki menggunakan fakta-fakta tertentu tentang Tong (2009) dalam memahami yang disebut dengan sistem seks/gender merujuk pada seorang feminis radikal-libertarian, Gayle Rubin, yang mengatakan bahwa sistem seks/gender merupakan sebuah satuan susunan yang dengannya masyarakat mentransformasi seksualitas biologis ke dalam produk-produk dari aktivitas manusia. Masyarakat patriarki menggunakan fakta-fakta tertentu tentang

Hingga kini seks dan gender sering kali dipahami sebagai sesuatu yang tumpang-tindih, didefinisikan secara tidak berbeda, sehingga masyarakat pun sering salah dalam menggunakan isitilah gender. Jika melihat dari perspektif sosiologis, seks dan gender merupakan dua konsep yang jelas berbeda. Istilah seks digunakan untuk menggambarkan kehadiran dari karakteristik-karakteristik seksual ketubuhan, seperti vagina, payudara, atau penis, dan seseorang yang mempunyai payudara dan vagina adalah perempuan, yang tidak memiliki ciri tersebut adalah laki-laki (Britton, 2011: 12). Sedangkan menurut Britton (2011), istilah gender merujuk pada atribut-atribut dan perilaku-perilaku yang diharapkan oleh individu, lembaga sosial, dan masyarakat secara sosial dan psikologis terhadap mereka yang dicap sebagai perempuan atau laki-laki, dan kita merujuk ciri-ciri tersebut sebagai femininitas atau maskulinitas.

Selain itu, penempatan seks di dalam interaksi sehari-hari juga disadari sebagai hasil dari proses sosial (Britton, 2011). Kita melihat pada tanda-tanda, seperti ciri-ciri tubuh atau pakaian, dalam menetapkan seseorang pada kategori- kategori yang ‘tepat’ (Britton, 2011: 13). Oleh karena itu, Britton (2011) mengatakan beberapa sosiolog berpendapat bahwa isitilah kategori seks akan menggambarkan secara lebih akurat bagaimana kebanyakan orang menangkap kelelakian dan keperempuanan dalam interaksi-interaksi yang terjalin setiap harinya. Gender terdiri dari atribut-atribut dan perilaku-perilaku yang diorganisasi dalam hubungan dengan kategori seks tersebut. Kumpulan perilaku, cara berpakaian dan pergerakan tubuh, serta cara berpikir dan berperilaku yang terikat pada kelelakian dan keperempuanan secara sosial didefinisikan sebagai maskulin Selain itu, penempatan seks di dalam interaksi sehari-hari juga disadari sebagai hasil dari proses sosial (Britton, 2011). Kita melihat pada tanda-tanda, seperti ciri-ciri tubuh atau pakaian, dalam menetapkan seseorang pada kategori- kategori yang ‘tepat’ (Britton, 2011: 13). Oleh karena itu, Britton (2011) mengatakan beberapa sosiolog berpendapat bahwa isitilah kategori seks akan menggambarkan secara lebih akurat bagaimana kebanyakan orang menangkap kelelakian dan keperempuanan dalam interaksi-interaksi yang terjalin setiap harinya. Gender terdiri dari atribut-atribut dan perilaku-perilaku yang diorganisasi dalam hubungan dengan kategori seks tersebut. Kumpulan perilaku, cara berpakaian dan pergerakan tubuh, serta cara berpikir dan berperilaku yang terikat pada kelelakian dan keperempuanan secara sosial didefinisikan sebagai maskulin

Matthis et al (2004), dalam buku Dialogues on Sexuality, Gender, and Psychoanalysis , merujuk pada Robert Stoller yang mengatakan bahwa seks adalah hasil biologikal, sedangkan gender adalah hasil sosial dan psikologis. Dikatakan pula bahwa maskulinitas dan femininitas sulit untuk diberikan batasan karena kedua konsep tersebut bukan ada dari dirinya sendiri, melainkan bergantung pada interpretasi budaya mengenai kelelakian dan keperempuanan (Matthis et al. 2004: 84).

Lebih jauh lagi, Leigh Krenske dan Jim McKay (2000), dalam karyanya ‘Hard and Heavy’: Gender and Power In A Heavy Metal Music Subculture,

menjelaskan bahwa relasi gender dan identitas gender bukanlah hasil ‘alami’ dari biologi atau produk dari sosialisasi sex-role yang ‘tepat’, melainkan lebih kepada praktik- praktik yang terinstitusionalisasikan yang semua dari kita ‘boleh atau harus lakukan’. Melihat hal tersebut, laki-laki menguasai institusi-institusi sosial yang paling kuat dan nilai-nilai mereka dipandang lebih tinggi daripada perempuan, sehingg a perempuan secara berkelanjutan harus ‘melakukan’ gender dengan kondisi yang dirugikan (Krenske dan McKay, 2000: 287).

2.1.9. Kekerasan Simbolik

Pierre Bourdieu (2001), dalam bukunya Masculine Domination , menggunakan istilah kekerasan simbolik untuk meru juk pada “… a gentle violence, imperceptible and invisible even to its victims, exerted for the most part through the purely symbolic channels of communication and cognition (more precisely, misrecognition), recognition, or even feeling. ” (Bourdieu, 2001: 2-3). Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa Bourdieu menggunakan istilah “kekerasan simbolik” bukan untuk merujuk pada kekerasan yang dapat dirasakan –lebih tepatnya menimbulkan kesakitan– secara fisikal, melainkan yang lebih “halus”, yakni menyerang mental dan cara berpikir seseorang.

Berdasarkan rumusan di atas, ketidaksetaraan gender, kemudian, dapat dipahami sebagai bentuk kekerasan simbolik. Clare Chambers (2008), dalam bukunya Sex, Culture, and Justice: The Limits of Choice , menjelaskan bahwa ketidaksetaraan gender dikatakan sebagai kekerasan simbolik karena perempuan (dan laki-laki) mematuhinya dengan kerelaan, dengan tanpa membutuhkan pemaksaan secara sengaja atau secara paksa, dan karena efeknya adalah untuk menciptakan gambaran-gambaran normatif simbolik mengenai perilaku tergenderkan yang ideal (Chambers, 2008: 51-52).