Kajian Literatur

2.3. Kajian Literatur

2.3.1. Musik Metal dan Gender

Kajian-kajian mengenai metal telah lama selalu dihubungkan dengan pembahasan mengenai gender. Gender dikatakan selalu menjadi pembahasan yang utama dalam kajian musik metal . Metal digambarkan sebagai “tempaan maskulinitas” dan dibangun atas citra-citra “hipermaskulinitas” (Hecker, 2012: 155). Bennet (2001) mengutip Frith dan McRobbie yang mengatakan pertunjukan-pertunjukan heavy metal menjadi ruang untuk mempertontonkan seksualitas dan ikatan laki-laki antara band dan para penonton mereka yang sebagian besar adalah laki-laki. Hal tersebut diangkat ke atas panggung oleh para musisi yang cara mereka memperlakukan mikrofon dan gitar mereka seperti simbol-simbol ke-lelaki-an, sebuah gaya dalam bermusik yang memiliki irama bertubi-tubi dan lirik-lirik yang tegas, angkuh, dan arogan (Bennet, 2001: 48).

Robert Walser (1993), dalam karyanya Running with the Devil: Power, Gender, and Madness in Heavy Metal Music , menjelaskan bagaimana tempaan maskulinitas menjadi bagian di dalam musik heavy metal . Walser mengatakan heavy metal sering kali mementaskan fantasi-fantasi dari keahlian dan kontrol maskulin di dalamnya. Secara musikal, heavy metal mengartikulasikan sebuah Robert Walser (1993), dalam karyanya Running with the Devil: Power, Gender, and Madness in Heavy Metal Music , menjelaskan bagaimana tempaan maskulinitas menjadi bagian di dalam musik heavy metal . Walser mengatakan heavy metal sering kali mementaskan fantasi-fantasi dari keahlian dan kontrol maskulin di dalamnya. Secara musikal, heavy metal mengartikulasikan sebuah

Walser (1993) juga menyebutkan bahwa heavy metal merupakan sebuah wacana yang dibentuk oleh pratriarki. Dalam sejarahnya sendiri, musik metal kebanyakan diapresiasi dan didukung oleh pendengar remaja laki-laki. Ide-ide gender tersebar di dalam teks, bunyi, penggambaran, dan praktik-praktik dalam heavy metal , dan juga penegasan dan perubahan pengalaman para fans atas identitas tergenderkan mereka melalui keterlibatan mereka di dalamnya (Walser, 1993: 109). Lebih jauh lagi, Walser (1993) menjelaskan bahwa seksisme pada kenyataannya adalah pokok ideologis utama dalam heavy metal , dan intensitas dan varietas dari bentuk-bentuk wacana yang seksis pasti dipahami sebagai penunjuk urgensi dan pengaruh dari cita-cita pratriarkal.

Maskulinitas musik heavy metal juga terlihat dalam penampilan mereka di dalam video- videonya yang lebih menunjukkan bahwa kehidupan “luar” adalah milik laki-laki, segala bentuk kekerasan dan kemerdekaan adalah milik laki-laki (Walser, 1993). Walser (1993) mengutip pendapat Barbara Ehrenreich yang mengatakan bahwa untuk laki-laki muda yang tumbuh di dunia yang patriarkal, dimana laki-laki mendominasi the “real” world sementara perempuan membesarkan anak-anak, bertumbuh dewasa berarti bertumbuh jauh dari perempuan. Hal tersebutlah yang terkonstruksikan dalam video-video penampilan musik heavy metal –baik secara langsung maupun tidak langsung–, yakni menunjukkan kebebasan maskulin. Musik heavy metal , kemudian, juga mempertegas bahwa tidak ada perempuan yang diperbolehkan masuk ke dalamnya. Selain karena tampilan video dan penampilan secara langsungnya yang mengedepankan kebrutalan dan dominasi maskulin, juga tercermin dari beberapa liriknya yang cenderung misoginistis (Walser, 1993: 117).

Selain itu, Deena Weinstein (2000), dalam bukunya Heavy Metal: The Music and Its Culture, mengatakan bahwa gaya metal , dari pakaian dan rambut, dengan bentukan dan gerakannya, adalah laki-laki. Gambaran yang terbaca dari Selain itu, Deena Weinstein (2000), dalam bukunya Heavy Metal: The Music and Its Culture, mengatakan bahwa gaya metal , dari pakaian dan rambut, dengan bentukan dan gerakannya, adalah laki-laki. Gambaran yang terbaca dari

2.3.2. Perempuan dan Musik ‘Keras’

Banyak musisi perempuan yang mengalami hambatan dalam mengambil bagian penting dalam dunia musik keras yang sebagian besar didominasi oleh laki-laki sehingga mereka kurang dipandang secara seutuhnya sebagai seorang seniman. Partisipasi perempuan di dalam musik keras, pada umumnya dibayangkan hanya untuk mendukung penampilan dari laki-laki (Schilt, 2003) atau juga hanya dilihat kontribusinya dalam konteks seksual (Wald, 1998), seperti sebagai groupies , kekasih, dan penyanyi latar. Berdasar pada hal tersebut, dapat dilihat bahwa di dalam dunia musik keras, seperti musik metal underground

misalnya, selama ini terdapat sebuah ‘pemisahan peran’ yang seksis di dalamnya. Kondisi pemisahan peran yang berdasarkan jenis kelamin tersebut pun dinilai sangat melemahkan posisi perempuan di dalam kebudayaan musik metal underground karena hanya menempatkan perempuan sebagai pelengkap atau

‘tempelan’ dari para musisi laki-laki. Di dalamnya, perempuan selalu hanya menjadi pemeran pendukung, dan tidak pernah dianggap menjadi bintangnya (Mullaney, 2007).

Menanggapi realitas tersebut, pada tahun 1991, sekelompok perempuan muda dari Washington dan Olympia berkumpul untuk mendiskusikan bagaimana “menegur” seksisme yang ada di kancah musik keras. Mereka memutuskan untuk memulai sebuah “ girl riot ” terhadap masyarakat yang tidak mengesahkan pengalaman-pengalaman perempuan, yang kemudian muncul-lah nama Riot Grrrl (Schilt, 2003; Rosenberg dan Garofalo, 1998; Garrison, 2000). Mengganti kata “ girl ” menjadi “ grrrl ” guna merepresentasikan kemarahan dibalik pergerakan ini, dan dalam pengucapannya lebih terdengar seperti sebuah growl . Pengucapan layaknya sebuah growl tersebut ditujukan untuk menggantikan makna pasif yang keluar dari kata “ girl ” itu sendiri (Rosenberg dan Garofalo, 1998).

Riot Grrrl sendiri merupakan sebuah pergerakan subkultur anak muda feminis sebagai ruang politis yang mengombinasikan kesadaran feminis dengan estetika, politika, dan gaya dari punk (Garrison, 2000: 142). Gerakan ini Riot Grrrl sendiri merupakan sebuah pergerakan subkultur anak muda feminis sebagai ruang politis yang mengombinasikan kesadaran feminis dengan estetika, politika, dan gaya dari punk (Garrison, 2000: 142). Gerakan ini

Kristen Schilt (2003) lebih jauh membahas pergerakan Riot Grrrl melalui karya musik. Dalam dunia musik, beberapa band yang tergabung dalam gerakan feminis punk rock ini adalah Bikini Kill, Bratmobile, dan Heavens to Betsy. Dalam musiknya, mereka membuat lirik lagu dengan topik-topik seperti perkosaan, incest , dan kondisi makan yang tidak teratur –untuk mencapai kondisi “cantik” ideal. Seperti dalam lagu “ Feels Blind ” dari Bikini Kill yang berbicara tentang bagaimana masyarakat mengajarkan perempuan untuk membenci dirinya sendiri, yakni terkait dengan masalah kondisi makan yang tidak teratur, dan juga pada lagu “ If I Were a Real Woman ” yang mengkritik konstruksi sosial terhadap perempuan “sempurna” (Schilt, 2003: 8).

Namun demikian, dijelaskan oleh Helen Davies (2001), dalam jurnal All Rock and Roll Is Homosocial: The Representation of Women in The British Rock Music Press , berbagai upaya yang dilakukan oleh pergerakan Riot Grrrl ini sering kali mendapatkan penilaian negatif dan penyepelean dari pers-pers musik karena

mereka perempuan. Davies mengatakan penampil perempuan yang berkiprah di dalam musik keras dianggap sebagai pemberontak dan dibedakan dari perempuan yang bekerja di dunia hiburan mainstream , dan untuk dianggap sebagai pemberontak, akan sangat membantu jika seorang penampil untuk terlihat marah (Davies, 2001: 306-307). Kemarahan itu sendiri dianggap sebagai sifat atau ciri dari maskulin, sehingga setiap perempuan yang berani untuk mengekspresikan kemarahan mereka, perempuan tersebut kemudian akan dianggap tidak masuk akal bahkan sebagai orang yang gila, akan dianggap sebagai ‘karikatur yang mereka perempuan. Davies mengatakan penampil perempuan yang berkiprah di dalam musik keras dianggap sebagai pemberontak dan dibedakan dari perempuan yang bekerja di dunia hiburan mainstream , dan untuk dianggap sebagai pemberontak, akan sangat membantu jika seorang penampil untuk terlihat marah (Davies, 2001: 306-307). Kemarahan itu sendiri dianggap sebagai sifat atau ciri dari maskulin, sehingga setiap perempuan yang berani untuk mengekspresikan kemarahan mereka, perempuan tersebut kemudian akan dianggap tidak masuk akal bahkan sebagai orang yang gila, akan dianggap sebagai ‘karikatur yang