Penampil Perempuan dalam Musik Metal Und

UNIVERSITAS INDONESIA PENAMPIL PEREMPUAN DALAM MUSIK METAL UNDERGROUND: SEBUAH KAJIAN KRIMINOLOGI BUDAYA DAN FEMINIS SKRIPSI I GUSTI NGURAH ADITIA TJANDRA ASMARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN KRIMINOLOGI DEPOK JANUARI 2016

UNIVERSITAS INDONESIA PENAMPIL PEREMPUAN DALAM MUSIK METAL UNDERGROUND : SEBUAH KAJIAN KRIMINOLOGI BUDAYA DAN FEMINIS SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana I GUSTI NGURAH ADITIA TJANDRA ASMARA

1106082501

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI KRIMINOLOGI DEPOK 2016

ii

iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih terbesar peneliti panjatkan kepada Yesus Kristus yang telah memberikan peneliti tuntunan, kekuatan, dan kesabaran selama proses penulisan skripsi ini dan karena kasih karunia-Nya pula peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih juga peneliti ucapkan kepada berbagai pihak yang sudah membantu peneliti dari awal sampai akhir proses penyelesaian skripsi ini, antara lain:

- Dr. Iqrak Sulhin, S.Sos., M.Si., selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar menyediakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membimbing saya dari awal hingga akhir pengerjaan skripsi ini. Terima kasih telah menjadi pembimbing yang sangat bersahabat.

- Herlina Permata Sari, S.Sos., M.Crim., selaku penguji ahli, Dra. Mamik Sri Supatmi, M.Si., selaku ketua sidang, serta Drs. Eko Hariyanto, M.Si., selaku sekretaris sidang. Terimakasih untuk waktu dan kritik yang membangun sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

- Seluruh Dosen dan Staff Departemen Kriminologi yang banyak sekali memberikan pemahaman, ilmu, serta bantuan selama saya belajar di jurusan ini.

- Teman-teman Psychotic Angels, yaitu Chumi, Chacha, Onenk, dan juga Iniz, yang bersedia direpotkan oleh saya untuk menjadi subjek penelitan dalam skripsi ini. Terima kasih atas waktu, cerita, dan pengalaman yang telah kalian bagikan.

- Febrianto Dwi Tama, saudaranya Endah yang karena obrolan isengnya bersama Endah membuahkan bantuan yang sangat besar untuk penyelesaian skripsi ini. Terima kasih untuk informasinya mengenai band Psychotic Angels. Terima kasih juga kepada Endah Larasati yang terus memberikan bantuan, dukungan, dan semangat kepada saya.

- Anak-anak Nyasar 2011; Abram, Albert, Ammar, Glen, Delilah, Meiki, Anggi, Ardy, Bara, Dara, Bodig, Eko, Endah, Fadhil, Ruri, Ace, Ais, Agra, Hilman, Yanu, Inno, Jody, Kahfi, Vivi, Leni, Maria, Arief, Luthfi, Pange, Acel, Retsa, Andro, Shaila, Toro, Taufik, Tua, Tebe, Yuriko,

iv

Zainal. Terima kasih telah menjadi keluarga yang sangat berarti bagi saya. Terima kasih untuk cerita, tawa, dan kebahagiaan yang dibagikan selama ini.

- Rekan-rekan wepreventcrime ; Albert, Tua, Kahfi, Yanu, Abram, Agra, Luthfi, Meiki, Bagas, Kaspo, Drasup, Zikri, Ucup, Akbar, Aldi, Rayhan, Ghasani, Sabrina, Marie, Yumna, Uli, Konep, Luna, Cyane, Seren, Oji, Didit, dan yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas kebersamaannya. Kalian adalah calon-calon pembesar Kriminologi di masa depan.

- Kepada Tua Maratur Naibaho dan Yanuar Permadi, yang tidak hanya menjadi rekan selama magang, tetapi juga telah menjadi teman terbaik saya. Terima kasih telah menjadi orang-orang garis terdepan yang mau mendengarkan keluh-kesah saya dengan sangat sabar, serta memberikan bantuan ketika saya sedang mengalami kesusahan dalam hal apa pun. Kalian telah mengajarkan saya tentang apa itu sahabat.

- Terima kasih kepada Ibu Tuti Martuti Asih Sairin, pahlawan yang nyata dalam hidup saya, yang telah dengan sabar merawat dan mendidik saya hingga sekarang ini. Kepada I.G.N. Eltarianda B.T dan I.G.N. Citra Dharma A., kedua abang saya, dan I.G.A. Maria L. Erika, adik yang sangat saya sayangi dan kasihi. Terima kasih untuk semua dukungan, kepercayaan, nasihat, canda, tawa, kehangatan, dan segalanya yang membuat saya kembali semangat ketika rasa malas datang.

- Terakhir, skripsi ini saya dedikasikan untuk Papa saya tercinta, I.G.N. Virgiandhy. Hanya dua kata yang bisa saya katakan: terima kasih.

Depok, 18 Januari 2016

Peneliti

vi

ABSTRAK

Nama : I Gusti Ngurah Aditia Tjandra Asmara Program Studi : Kriminologi Judul Skripsi : Penampil Perempuan dalam Musik Metal Underground: Sebuah

Kajian Kriminologi Budaya dan Feminis

Skripsi ini membahas tentang perempuan yang memutuskan untuk menjadi penampil di dalam musik metal underground sebagai upaya counter- culture terhadap sistem kebudayaan yang patriarkis. Penelitian ini menggunakan dimensi analisa culture as crime dalam kajian kriminologi budaya mengingat terdapat praktik-praktik di dalam kebudayaan metal yang dilihat sebagai praktik- praktik yang menyimpang karena dianggap tidak sesuai dengan moralitas yang ada di masyarakat dominan. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan kajian teori feminis radikal-libertarian dan feminis sosialis sebagai dasar dalam memaknai upaya yang dilakukan perempuan sebagai bentuk counter-culture. Sebuah band dengan personel keseluruhannya yang adalah perempuan menjadi subyek dalam penelitian ini, yakni Psychotic Angels. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan studi kasus feminis dan critical social science guna memaknai keputusan perempuan untuk menjadi penampil di dalam musik metal underground sebagai upaya counter-culture.

Kata kunci: penampil perempuan, metal underground, counter-culture, sistem seks-gender, identitas gender

vii

Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : I Gusti Ngurah Aditia Tjandra Asmara Study Program

: Criminology

Title : Female Performer in Metal Underground Music: A Cultural Criminology and Feminist Study

This thesis discusses about the choices that women made to be a performer in metal underground music as a way to make counter-culture to the patriarchy culture. This thesis using the culture as crime dimension analysis in cultural criminology because there are so many aspect in metal music culture that people view it as a forms of deviance that does not analogous with the dominant morality in society. This thesis also using radical-libertarian feminist and socialist feminist theory as a core to understand the way the women use to do counter-culture. The subject of this research is a full women personel band, named Psychotic Angels. This thesis using the qualitative methods with feminist case study and critical social science perspective to understand the women choices to be a metal underground music performer in order to do counter-culture.

Keywords: female performer, metal underground, counter-culture, sex-gender system, gender identity

viii Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Metode Penelitian .................................................................................. 45

Universitas Indonesia xii

GLOSARIUM

Black metal: Band Black metal masih cenderung bermain Thrash metal. Pada awal 80-an sampai 90-an, Black metal sangat berkembang di daerah Skandinavia oleh band di atas tadi. Jenis musik metal ini juga termasuk jenis metal underground. Lirik dinyanyikan dengan vibra di tenggorokan, bernuansa kikir, setan yang mengingatkan kepada penyiksaan, dan ini sudah menjadi standar band-band Black Metal. Lirik sering mengambil kata-kata yang berbau setan, penyembahan berhala, dewa-dewa kuno, tema gaib yang mengutuk agama Kristen (Anti Kristus). Dalam aksinya sering kali mempertunjukkan meminum darah segar membuat guna suara menjadi lebih serak atau hanya sebagai atribut aliran musik tersebut

Death metal: Death metal adalah sebuah sub-genre dari musik heavy metal yang berkembang dari thrash metal pada awal 1980-an. Beberapa ciri khasnya adalah lirik lagu yang bertemakan kekerasan atau kematian, ritme gitar rendah ( downtuned rhythm guitars ), perkusi yang cepat, dan intensitas dinamis. Doom metal: Doom metal adalah bentuk dari musik heavy metal yang sangat khas, mempunyai tempo yang sangat lamban, stem gitar yang rendah dan suara gitar lebih tebal atau lebih berat dari suara genre metal yang lainnya.

EP: Extended play (EP) atau Album mini adalah rekaman yang mengandung lebih dari satu singel tapi terlalu pendek untuk menjadi album. Biasanya, sebuah Album mini memiliki 4-7 lagu. Format EP banyak digunakan di dunia punk rock oleh band yang belum terkenal dan ingin menerbitkan album dengan biaya rendah. Hal ini lantas ditiru oleh berbagai band metal dan alternatif, terutama dari underground .

Gothic metal: Gothic metal adalah sejenis musik metal yang biasanya (namun tidak selalu) memakai dua orang vokalis. Pertama vokal wanita dengan

xiii xi Universitas Indonesia

suara soprano, lalu vokal kedua adalah vokal pria dengan gaya vokal dari musik black atau death metal (sehingga gaya vokal seperti itu banyak disebut sebagai vokal 'Beauty and the Beast'). Lirik-liriknya kebanyakan bernuansa pagan, kemuraman, kegelapan. Grindcore: Grindcore adalah sebuah lairan musik yang muncul pada awal hingga pertengahan 1980-an. Musik ini adalah gabungan dari beberapa musik ekstrem: death metal, musik industrial, musik bising, dan beberapa variasi hardcore punk Growl: Growl memiliki arti ‘geraman’. Teknik growl hanya berbeda sedikit dengan teknik scream. Growl juga dikenal den gan nama “Scream Rendah”. Jika teknik scream mengeluarkan suara dengan keras dan terbuka, teknik growl juga mengeluarkan suara dengan keras akan tetapi mulut harus berbentuk pelafalan huruf “O“ pada setiap kata yang diucapkan. Perbedaan teknik scream dan growl hanya terletak pada bentuk mulut, jika teknik scream mulut terbuka jika teknik growl mulut berben tuk seperti pelafalan huruf “O“. Grunge: Grunge, sering kali disebut juga Seattle sound, adalah sebuah sub genre dari rock alternatif yang muncul pada pertengahan 1980-an di negara Amerika Washington, khususnya di wilayah Seattle. Terinspirasi oleh punk rock, heavy metal dan indie rock, grunge umumnya dikenali melalui suara distorsi gitar yang berat dan lirik melankonis atau apatistik.

Hardcore: Hardcore adalah istilah generik yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang lebih ekstrem daripada versi biasanya.

Idealisme: Idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam jiwa, jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik; hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yg dianggap sempurna. Indie: Indie (singkatan dari independen), dapat berarti 'bebas', 'merdeka' atau 'berdiri sendiri'. Musik independen merupakan subkultur musik yang berdiri sendiri tanpa adanya campur tangan produser besar.

xiv

Universitas Indonesia xii

Metalhead: Metalhead adalah sebutan untuk para penikmat musik metal. Musik Underground: Musik underground merupakan bermacam-macam jenis aliran subgenre musik yang biasanya mengembangkan suatu cabang kebudayaan (subkultur) meskipun tanpa permintaan pasar khalayak ramai dan bukan sesuatu hal yang komersil.

Nu metal: Nu metal (disebut juga new metal / nü metal / neo metal / aggro metal) adalah genre musik yang mirip dengan musik grunge dan alternative metal dikombinasikan dengan musik funk, hip-hop. Musik ini merupakan subgenre dari heavy metal.

Punk: Punk merupakan subkultur yang lahir di London, Inggris. Pada awalnya, kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhead. Namun, sejak tahun 1980-an, saat punk merajalela di Amerika, golongan punk dan skinhead seolah- olah menyatu, karena mempunyai semangat yang sama. Namun, Punk juga dapat berarti jenis musik atau genre yang lahir pada awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun kadang-kadang kasar, beat yang cepat dan menghentak.

Riff: Riff adalah sebuah frase gitar yang berulang dan dapat di transpose (transpose = dipindah posisikan). Riff adalah frase gitar yang singkat, panjangnya hampir selalu 1,2 atau 4 bar yang berulang pada berbagai posisi dalam sebuah komposisi, riff ini bisa di transpose/dipindah posisikan pada saat perubahan chord dan bisa sedikit dimodifikasi pada saat perubahan chord tersebut

xv xi Universitas Indonesia

Scream: Scream diartik an ‘teriakan’ atau ‘berteriak’. Teknik scream dapat diartikan mengeluarkan suara dengan keras, sama halnya dengan berteriak. Akan tetapi, pada teknik scream memiliki nafas yang agak berat. Skena: Skena merupaka terjemahan kasar dari istilah inggris “ scene ”. Scene dalam artian skena dalam istilah musik diartikan sebagai panggung.

Thrash metal: Thrash metal adalah sebuah extreme metal bagian dari genre heavy metal yang memiliki ciri tempo yang cepat dan agresif. Lagu- lagu thrash metal biasanya menggunakan stem gitar dengan nada rendah dan perkusi yang cepat. Lirik-lirik thrash metal sering mengangkat tema masalah- masalah sosial menggunakan bahasa yang kasar dan mendalam. Genre ini lebih agresif dibandingkan speed metal. Sering kali dicampurkan dari kategori metal yang satu dengan metal yang lain, dan juga beberapa band ada yang menggabungkan pengaruh musikal dari genre non-metal.

xvi

Universitas Indonesia xii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang tidak akan lepas dari pergolakan-pergolakan hidup yang ada di dalam setiap perjalanan hidupnya. Pergolakan hidup tersebut dapat berupa emosi terhadap sesuatu yang dialami seseorang tersebut dan juga dapat berupa kritik-kritik terhadap sesuatu yang salah terkait dengan idealisme yang dimiliki olehnya. Dan manusia akan selalu berusaha untuk meluapkan segala pergolakan emosi dan kiritik tersebut, dengan berbagai cara, untuk mendapatkan kelepasan dan kelegaan setelahnya atau hanya sekadar untuk menyampaikan ke orang lain mengenai apa yang sedang dirasakannya. Ekspresi pergolakan hidup tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, dan salah satunya adalah melalui seni. Melalui seni segala emosi dan perasaan yang ada di dalam diri manusia terekspresikan ke dalam suatu karya dengan nilai estetika di dalamnya.

Seni dianggap sebagai bagian yang penting dalam kehidupan dan kebudayaan manusia. Seiring dengan perkembangan peradabannya, kehidupan dan kebudayaan manusia bertumbuh dan berkembang tidak lepas dari seni di dalamnya. Mengacu pada Oxford Dictionaries , seni diartikan sebagai ekspresi atau penerapan keterampilan kreatif dan imajinasi manusia, menghasilkan karya

untuk dihargai terutama untuk kecantikan atau kekuatan emosionalnya. 1 Graham (2005) merujuk pada Suzanne K. Langer yang mengatakan bahwa seni merupakan

sebuah kreasi dari bentuk-bentuk simbolik dari perasaan manusia. Lebih jauh lagi, Graham (2005) juga merujuk pada Hegel yang membedakan seni menjadi lima bentuk, antara lain lukis, pahat, persajakan, musik, dan juga arsitektur. Hegel juga menambahkan pembedaan seni dan perhitungan-perhitungan yang berbeda dari sifat dan nilai dari seni itu sendiri memiliki kepentingan filosofis di dalamnya (dalam Graham, 2005).

1 http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/art#art (diaskes pada 17 September 2014, pukul 15.00)

1 Universitas Indonesia

Sebagaimana bentukan seni yang lainnya, Bryson (1996) menjelaskan bahwa musik telah lama disadari sebagai bagian yang penting dari perkembangan kehidupan dan kebudayaan manusia. Kekuatan simbolik dan kekuatan ritual di dalamnya digunakan untuk menjelaskan kohesi sosial dan resistensi kultural. Lebih jauh lagi, Bryson juga mengatakan bahwa musik merupakan sebuah medium kultural dan komunikatif yang penting (Bryson, 1996). Musik memiliki peranan penting di dalam ritual-ritual penyembahan terhadap dewa-dewa sejak zaman kuno hingga terus berkembang ke dalam ritual-ritual keagamaan yang modern. Musik merupakan bentukan seni yang unik. Melalui musik seseorang dapat mengekspresikan luapan hati, emosi, dan juga idealismenya. Belakangan ini, musik sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat luas. Seiring pada perkembangannya, musik tidak lagi hanya digunakan untuk mendukung berjalannya ritual-ritual keagamaan, melainkan juga telah menjadi kebutuhan sekuler. Musik yang telah menjadi kebutuhan sekuler tersebut menunjukkan bagaimana tidak terbatasnya kebutuhan manusia akan musik.

Musik dapat dikatakan sebagai yang paling istimewa dari bentuk-bentuk seni yang lainnya. Ketika seni fotografi dapat menggantikan seni lukis atau seni filem dapat menggantikan seni teater, tidak ada yang dapat menggantikan pengalaman dari mendengarkan musik. Musik secara unik menyediakan struktur- struktur yang luas dari nada yang terorganisasi kepada kita dalam artian kita bisa mengeksplorasi pengalaman manusia darinya, dan dalam nada musikal yang konvensional, kekayaan tersebut meningkat dengan adanya kemungkinan pertunjukkan yang penuh tafsir di dalamnya (Graham, 2005).

Terdapat banyak aliran di dalam musik itu sendiri, mulai dari musik klasik, pop, jazz, blues, rock, hingga musik yang tidak lazim didengarkan oleh masyarakat kebanyakan, seperti musik underground . Dari berbagai jenis musik yang berkembang hingga saat ini, musik underground merupakan jenis yang paling menarik untuk dibahas. Hal ini disebabkan ideologi perlawanan yang kental di dalamnya, dan benar-benar dapat menggambarkan kesemangatan anak muda. Semangat tersebut diejawantahkan melalui etika Do It Yourself (D.I.Y) yang mampu menggambarkan semangat kemandirian, serta menciptakan berbagai kreatifitas yang tak terduga dan tak terbatas dari anak muda. Gagasan dari etika Terdapat banyak aliran di dalam musik itu sendiri, mulai dari musik klasik, pop, jazz, blues, rock, hingga musik yang tidak lazim didengarkan oleh masyarakat kebanyakan, seperti musik underground . Dari berbagai jenis musik yang berkembang hingga saat ini, musik underground merupakan jenis yang paling menarik untuk dibahas. Hal ini disebabkan ideologi perlawanan yang kental di dalamnya, dan benar-benar dapat menggambarkan kesemangatan anak muda. Semangat tersebut diejawantahkan melalui etika Do It Yourself (D.I.Y) yang mampu menggambarkan semangat kemandirian, serta menciptakan berbagai kreatifitas yang tak terduga dan tak terbatas dari anak muda. Gagasan dari etika

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh Jeremy Wallach (2005), perkembangan pergerakkan musik underground di Indonesia tidak lepas dari pergerakan demokrasi yang ada di Indonesia sendiri, di mana pemuda-pemuda memiliki peran yang penting di dalamnya. Wallach menambahkan bahwa pergerakan musik underground di Indonesia dapat dibagi ke dalam empat genre (jenis) dasar, yakni punk, hardcore, metal, dan alternatif. Punk menjadi kategori yang paling tua. Musik metal Indonesia, di lain sisi, terus berkembang dalam menanggapi perkembangan pesat dan fragmentasi gaya pada subgenre-subgenre

dari underground di dalam komunitas metal “ekstrem” internasional seperti death metal , black metal , dan grindcore . Musik hardcore , yang mula-mula berkembang dari musik punk Amerika Serikat pada tahun 1980-an, merupakan genre tersendiri di Indonesia yang dapat terbagi menjadi “ old school ” dan “ new school ”. Musik hardcore di Indonesia dikenal dengan lirik-lirik politisnya yang eksplisit dan salah satu dari genre underground pertama yang bereksperimen dengan menuliskan lagu dengan blak-blakan , dengan bahasa Indonesia sehari-hari daripada dengan

bahasa Inggris. Selain itu masih ada musik alternatif atau rock “ indie ” (Wallach, 2005). Perkembangan pergerakan musik underground di Indonesia berjalan dengan cepat. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin menjamurnya komunitas- komunitas musik underground di berbagai daerah di Indonesia, yang di mulai pada kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya. Salah satu komunitas musik underground yang cukup terkenal dan terus berkembang hingga saat ini adalah Ujung Berung Rebels , yang berada di daerah

Ujung Berung, Bandung Timur. Ujung Berung Rebels merupakan salah satu penggagas lahirnya etos kerja yang independen dalam bermusik di kota Bandung. Komunitas ini berpengaruh dalam tumbuh kembangnya band-band underground seperti Burgerkill, Jasad, Funeral, Forgotten, dan juga Beside. 2

Keberadaan musik underground di Indonesia sendiri meskipun telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, pada kenyataannya adalah musik yang masih termarjinalkan di dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut dikarenakan permainan dan musikalitas dari musik underground sering dianggap asal-asalan dan lebih kepada menciptakan sebuah kekacauan nada daripada sebuah harmonisasi nada. Selain itu, lirik-lirik yang keras dan penuh dengan umpatan di dalamnya juga menjadi salah satu alasan mengapa musik jenis ini termarjinalkan. Padahal lirik- lirik tersebut tercipta karena memang “kritik” adalah tema yang diusung oleh musik underground itu sendiri.

Marjinalisasi terhadap musik underground , kemudian, tidak hanya sebatas dikarenakan permainan musik yang bising, penyampaian lirik dengan vokal yang tidak jelas, dan lirik yang penuh dengan umpatan saja. Marjinalisasi terhadapnya semakin meningkat dikarenakan pilihan gaya dari para musisi dan penikmat musik underground yang dianggap berbeda dari masyarakat kebanyakan. Gaya yang tidak lazim –rambut gondrong, rambut runcing dengan warna mencolok, pakaian hitam-hitam, jaket kulit, celana jeans robek-robek, tattoo yang memenuhi tubuh, aksesoris tindikan, dan lainnya – membuat mereka dianggap berbeda dengan masyarakat kebanyakan, yang memilih gaya yang “normal”. Padahal inti dari pilihan gaya tersebut adalah sebagai penanda penolakan terhadap kemapanan. Gaya tersebut, kemudian, dipahami bukan hanya sebagai sebuah abstraksi samar yang menujukkan bentuk atau mode, melainkan sebagai sebuah elemen konkrit dari identitas personal atau kelompok, yang mendasarkan pada praktik-praktik kehidupan sosial sehari-hari (Ferrell et. al., 2004).

Jeff Ferrell (2004) mengatakan bahwa permasalahan mengenai gaya juga menjadi kajian di dalam kriminologi karena gaya merupakan perantaraan di mana praktik-praktik hukum yang tidak adil dapat terjadi. Para ahli hukum membaca

2 http://news.detik.com/read/2008/02/25/085754/1048203/682/4/ujung-berung-rebels-potret- pergerakan-kaum-muda-uber (diakses pada 9 April 2014, pukul 20.15) 2 http://news.detik.com/read/2008/02/25/085754/1048203/682/4/ujung-berung-rebels-potret- pergerakan-kaum-muda-uber (diakses pada 9 April 2014, pukul 20.15)

Lebih jauh lagi, proses marjinalisasi dari keberadaan musik underground di Indonesia sendiri meluas hingga tataran politik. Musik underground diberikan cap “pemberontak” terhadap pemerintah karena idealisme mereka dalam bermusik yang dianggap melawan keteraturan yang telah dibuat oleh pemerintahan di Indonesia. Terkait dengan idealisme musisi underground di Indonesia, ketika banyak musisi mainstream yang selalu waspada dalam merilis musik yang terlalu tajam secara politik, bahkan sejak pasca jatuhnya rezim Soeharto, para musisi underground telah berani dalam melampiaskan kritik mereka terhadap politik Indonesia (Wallach, 2005). Musik underground , kemudian, dikarakteristikan sebagai musik “perjuangan melawan rezim”, dan mereka termarjinalisasi oleh media, industri musik mainstream , dan juga negara (Baker, 2011).

Media, sebagaimana dikatakan di atas, juga memiliki andil dalam proses marjinalisasi terhadap musik underground . Media tersebut tentu saja media yang kontra terhadap budaya underground . Peran media dalam mengkonstruksikan pandangan masyarakat luas terhadap musik underground di Indonesia terlihat dalam pemberitaan-permberitaannya yang terkesan memvisualisasikan bahwa bentuk budaya populer anak muda ini merupakan musiknya kaum bar-bar, khusunya pasca tragedi konser Beside di Gedung Asia Afrika Culture Center (AACC), Jln.Braga, Bandung, yang harus merenggut 11 nyawa. Salah satu contoh pemberitaan yang tidak berimbang terlihat di dalam artikel yang ditulis dalam portal berita online news.liputan6.com. Isi berita di dalam portal berita online Media, sebagaimana dikatakan di atas, juga memiliki andil dalam proses marjinalisasi terhadap musik underground . Media tersebut tentu saja media yang kontra terhadap budaya underground . Peran media dalam mengkonstruksikan pandangan masyarakat luas terhadap musik underground di Indonesia terlihat dalam pemberitaan-permberitaannya yang terkesan memvisualisasikan bahwa bentuk budaya populer anak muda ini merupakan musiknya kaum bar-bar, khusunya pasca tragedi konser Beside di Gedung Asia Afrika Culture Center (AACC), Jln.Braga, Bandung, yang harus merenggut 11 nyawa. Salah satu contoh pemberitaan yang tidak berimbang terlihat di dalam artikel yang ditulis dalam portal berita online news.liputan6.com. Isi berita di dalam portal berita online

adanya kerusuhan, melainkan tidak memadainya fasilitas gedung konser untuk menampung jumlah penonton konser. Peristiwa yang memilukan tersebut seakan menjadi alat pembenaran dari penegak hukum untuk mengatakan bahwa komunitas musik underground merupakan sekelompok kriminal dengan gaya subkultur yang sama, yang suatu saat dapat menjadi ancaman bagi masyarakat.

Seiring dengan perkembangan dari pergerakan musik underground yang cukup pesat di Indonesia, alunan-alunan musik dan lirik-lirik yang cenderung keras yang ada di dalam musik underground tidak membuat musik ini hanya milik masyarakat laki-laki, melainkan juga masyarakat perempuan. Tidak hanya sebagai penikmat, melainkan juga sebagai penampil serta ikut andil dalam perkembangan dari musik underground itu sendiri di Indonesia. Melihat pada perkembangan musik itu sendiri, Schmutz dan Faupel (2010) mengatakan perempuan memang sejak lama tidak memiliki tempat yang baik di dalam pasar musik populer, ketika laki-laki telah menduduki lokasi-lokasi yang lebih sentral, seperti peran dalam posisi produksi dan pembuat keputusan dalam bermusik. Hal tersebut tidak lepas dari nilai-nilai patriarki yang ada berdampingan dengan kehidupan bermasyarakat sejak dahulu (Schmutz dan Faupel, 2010).

Namun demikian, peneliti melihat keberadaan perempuan dalam musik underground itu sendiri tidak lepas dari kontroversi dan perdebatan di dalamnya. Perdebatan mengenai keberadaan perempuan di dalam masyarakat musik

underground lebih dari sekedar perdebatan mengenai “keabsahan” musik underground itu sendiri di tengah-tengah masyarakat, melainkan juga mengenai bagaimana musik underground yang selama ini dipandang sebagai musiknya laki- laki, musik yang kuat dengan nilai-nilai maskulin di dalamnya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa penampil dan penikmat musik underground memang didominasi oleh laki-laki (Arnett, 1996). Keagresifan yang muncul dari permainan nada-nada dan lirik-lirik dari musik underground membuat masyarakat berkesimpulan bahwa musik dengan aliran seperti ini memang musiknya laki-laki.

3 http://news.liputan6.com/read/154646/konser-beside-rusuh-sepuluh-orang-tewas (diakses pada 15 September 2014, pukul 13.20)

Musik underground adalah dunianya laki-laki yang menciptakan perilaku hipermaskulin dalam budaya yang secara sosial menuntut mereka untuk agresif dan penuh dengan pemberontakan. Hubungan antara musik dan perilaku agresif telah mendapatkan perhatian yang serius di dalam literatur dan penelitian mengenai musik dan perilaku. Terdapat beberapa bukti penelitian yang menunjukkan bahwa paparan terhadap musik heavy metal dapat meningkatkan pikiran dan perilaku yang agresif (Roberts dan Mattern, 2014). Sedangkan, secara sosial perempuan lebih dituntut untuk menjadi pasif (Tong, 2009), karenanya, ketika ada perempuan yang masuk ke dalam masyarakat musik underground tersebut, khususnya yang mengambil bagian sebagai performer , mereka dianggap

‘aneh’ dengan pilihan mereka dalam berseni dan berbudayanya. Pandangan aneh tersebut kemudian terus condong ke arah pandangan yang negatif dari masyarakat,

yang kemudian terus berkembang menjadi sebuah stigma terhadap para penampil perempuan tersebut.

Tanggapan aneh dari masyarakat terhadap keberadaan perempuan di dalam musik underground tersebut juga tidak lepas dari bagaimana perempuan yang berada di dalam lingkungan komunitas underground , kemudian, memutuskan untuk memilih gaya yang dianggap maskulin oleh masyarakat. Masyarakat Indonesia memang hingga saat ini masih memandang segala sesuatunya dengan pandangan yang ter-gender-kan. Pilihan perempuan untuk bergaya maskulin tersebut dipandang oleh masyarakat sebagai penyimpangan terhadap bentukan perempuan yang seharusnya di masyarakat. Hal tersebut jelas sangat merugikan karena pada dasarnya pilihan berseni, pilihan bermusik, dan juga pilihan menentukan gaya adalah pilihan bebas, yang seharusnya tidak terdikotomi oleh gender. Akan tetapi pada kenyataannya, masyarakat seakan lebih setuju kalau keberadaan perempuan di dalam dunia musik itu harus tetap di dalam batas bagaimana seharusnya perempuan bertindak dan, kembali lagi, bagaimana perempuan seharusnya berpenampilan atau memilih gayanya dalam berseni.

Berbeda dengan penampil perempuan yang memilih berkiprah dalam musik underground , mereka yang memilih jalur musik yang lebih populer –dapat dikatakan musik mainstream – mendapatkan respon yang positif akan keberadaan mereka dalam dunia musik oleh masyarakat luas. Misalnya, penyanyi seperti

Raisa, Agnes Monica, Gita Gutawa, Anggun C. Sasmi, dan lainnya, yang lebih dapat diterima oleh masyarakat Indonesia karena pilihan bermusik mereka dan pilihan gaya mereka diangap tepat dan sesuai garis menurut masyarakat. Hal tersebut sebenarnya juga tidak lepas dari bagaimana selera masyarakat terhadap aliran musik tertentu itu sendiri. Masyarakat mayoritas yang lebih dapat menerima musik-musik populer dibandingkan dengan musik-musik underground membuat

para penampil perempuan yang memilih berkiprah di dunia musik underground menjadi semakin teranak-tirikan. Mereka dianggap aneh karena pilihan berseninya, yang dianggap salah jalur oleh masyarakat.

1.2. Perumusan Masalah

Musik underground yang mengusung kritik sosial dan ekspresi kemarahan ini, melalui pandangan masyarakat awam, cenderung dinilai ke arah yang negatif. Pandangan serta penilaian yang cenderung negatif yang diterima oleh para penggiat musik underground tersebut tidak terlepas dari bagaimana pembentukan image terhadap mereka yang dilakukan oleh tekanan-tekanan dari budaya dominan yang ada. Budaya dominan yang dilegalisasi oleh kekuatan negara dan didukung oleh masyarakat luas memarjinalisasi dan cenderung mengkriminalisasi penggiat musik underground tersebut (Wallach, 2005; Baker, 2011), yang kemudian dianggap sebagai sebuah subkebudayaan menyimpang. Selain itu, pembentukan image negatif tersebut juga tidak lepas dari peran media massa, terutama media-media massa yang kontra terhadap budaya anak muda.

Lebih lanjut lagi, pendikotomian segala aspek kehidupan yang berbasis gender disadari hanyalah sebuah ciptaan dan konstruksi dari budaya dominan yang dianut oleh masyarakat kebanyakan. Dengan kaca mata budaya dominan, individu yang tidak “bekerja” sesuai dengan konstruksi budaya dominan yang ada akan dicap sebagai penyimpang (Becker, 1963; Gofman, 1963). Eksistensi

perempuan sebagai penampil di dalam musik metal underground , kemudian, menjadi fenomena yang menarik jika dipandang, sekali lagi, melalui kaca mata awam. Mitos-mitos mengenai kehidupan perempuan yang tumbuh dan mendarah daging di tengah masyarakat awam di Indonesia menjadi halangan tersendiri bagi

kaum perempuan untuk berkespresi. Dengan demikian, penampil perempuan di dalam musik metal underground seolah mendapatkan tekanan ganda dari kaum perempuan untuk berkespresi. Dengan demikian, penampil perempuan di dalam musik metal underground seolah mendapatkan tekanan ganda dari

1.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dilakukan, peneliti menyimpulkannya ke dalam pertanyaan:

1. Bagaimana pandangan penampil perempuan di dalam musik metal underground terhadap penilaian masyarakat tentang dirinya?

2. Bagaimana keberadaan penampil perempuan di dalam musik metal underground serta pandangan masyarakat tentang dirinya dalam perspektif Kriminologi Budaya dan Feminis?

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan keberadaan penampil perempuan di dalam musik metal underground ketika dilihat berdasarkan perspektif Kriminologi Budaya dan juga perspektif Feminis. Selain itu, penelitian ini juga hendak menjelaskan keberadaan penampil perempuan di dalam musik metal underground dengan menggunakan kajian kriminologi budaya untuk memperlihatkan bahwa pilihan perempuan untuk menjadi penampil di dalam musik metal underground merupakan bentuk kampanye perlawanan terhadap konstruksi budaya dominan (baca: patriarki) mengenai perempuan di masyarakat indonesia. Penelitian ini, dengan melakukan pendekonstruksian pemahaman

masyarakat umum terkait penampil perempuan dalam musik metal underground , juga berusaha menunjukkan bahwa musik metal underground dipilih oleh penampil perempuan sebagai bentuk social movement .

1.5. Signifikansi Penelitian

1.5.1. Signifikansi Akademis

Signifikansi akademis dari penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan terkait kebudayaan populer anak muda, serta menambah ranah baru bagi penelitian kriminologis di Indonesia dengan menggunakan kajian Signifikansi akademis dari penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan terkait kebudayaan populer anak muda, serta menambah ranah baru bagi penelitian kriminologis di Indonesia dengan menggunakan kajian

1.5.2. Signifikansi Praktis

Signifikansi praktis dari penelitian ini adalah penelitian diharapkan dapat memberikan suatu perubahan persepsi masyarakat umum terkait dengan penampil perempuan di dalam musik metal underground di Indonesia. Sehingga masyarakat umum tidak dengan mudah memberikan label negatif kepada para penampil

perempuan dalam musik metal underground tersebut.

1.6. Sistematika Penulisan Bab I – Pendahuluan

Bab ini berisikan latarbelakang dan perumusan masalah yang menjadi dasar peneliti dalam melakukan penelitian mengenai keberadaan penampil perempuan di dalam musik metal underground . Selain itu, bab ini juga berisi pertanyaan, tujuan, dan signifikansi dari penelitian yang dilakukan.

Bab II – Tinjauan Pustaka

Bab ini menjelaskan konsep-konsep penting dan juga teori yang membantu peneliti dalam memahami dan menganalisis permasalahan yang diangkat.

Bab III – Metode Penelitian

Bab ini berisikan metode penelitian yang digunakan dalam proses pengumpulan data, juga mengenai pendekatan penelitian, tipe penelitian, dan juga teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini.

Bab IV – Temuan Data Lapangan

Bab ini berisikan uraian temuan data yang telah peneliti dapatkan dari proses pengumpulan data. Temuan data ini merupakan dasar dalam mengkaji dan menganalisis lebih jauh permasalahan penelitian.

Bab V – Analisis Data

Bab ini berisikan analisis yang peneliti lakukan terhadap temuan-temuan data penelitian. Analisis data dilakukan dengan menjelaskan uraian data pada Bab

IV menggunakan konsep-konsep dan teori yang sudah peneliti uraikan sebelumnya pada Bab II. Analisis pun dilakukan sesuai dengan skema analisis yang telah peneliti buat juga pada Bab II.

Bab VI – Penutup

Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan, yaitu keputusan perempuan untuk menjadi penampil di dalam musik metal underground adalah sebagai upaya perempuan untuk melakukan counter-culture terhadap ketidaksetaraan berbasis gender yang dialami oleh perempuan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Konseptual

2.1.1. Musik Metal Underground di Indonesia

Secara singkat, jika melihat dari sejarah perkembangannya, musik heavy metal dapat dikatakan mulai muncul pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, yakni ketika muncul band-band seperti Black Sabbath, Judas Priest, Led Zeppelin, dan Deep Purple di tanah Britania (Walser, 1993; Bennet, 2001; Kahn- Harris, 2007; Hecker, 2012;). Akan tetapi, musik heavy metal juga dihubungkan dengan band-band musik rock Amerika seperti Iron Butterfly, Steppenwolf, atau Blue Cheer (Weinstein, 2000; Walser, 1993). Generasi-generasi pertama dalam

musik heavy metal sering kali disebut dengan “ classic ” metal , dimana subgenre glam merupakan yang paling lumrah saat itu. Musik heavy metal terus berkembang hingga awal-awal tahun 1980-an hingga 1990-an, dan pada era ini musik metal juga memunculkan pergerakan dan perubahan dalam permainan musik dan dalam gayanya. Subgenre baru yang bermain dengan lebih keras, lebih cepat, dan agresif ke tingkat yang ekstrem, yang karenanya biasa disebut

“ extreme ”, “ speed ”, atau juga “ thrash ” metal (Kahn-Harris, 2007; Hecker, 2012; Walser, 1993; Klypchak, 2007). Era ini ditandai dengan munculnya band-band seperti Metallica, Slayer, Megadeth, dan Anthrax, yang disebut-sebut sebagai “ The Big Four ” musik metal (Walser, 1993) dan menjadi band-band metal yang paling berpengaruh terhadap semua band-band metal di dunia.

Munculnya subgenre thrash metal ini disadari selain karena adanya keinginan bermain musik yang lebih cepat dan keras, juga karena penolakan terhadap gaya yang terlalu banyak riasan wajah dan “ glam ”, bahkan terlalu girly , yang diusung oleh band-band heavy metal sebelumnya (Klypchak, 2007: 58). Perubahan gaya terjadi secara signifikan di era ini, yang pada era Motley Crue atau David Bowie gaya yang ditampilkan terlalu glam dan penuh make-up , sedangkan era “ thrash ” ini mengedepankan gaya kaos hitam dan jeans yang lebih sederhana, seringkali juga ditambah gelang tangan hitam. Thrash metal secara

perlahan juga terus bertumbuh menjadi sebuah pergerakan metal underground (Klypchak, 2007: 60), dengan skena berbasis pada klub-klub kecil bukannya

12 Universitas Indonesia 12 Universitas Indonesia

yang dipengaruhi juga oleh punk (Kahn-Harris, 2007: 2-3). Hingga tahun 1990-an musik metal terus mengalami perkembangan, sebagai mana yang dikatakan oleh Hecker (2012) bahwa metal merupakan sesuatu yang dinamis. Seterusnya bermunculan subgenre-subgenre lainnya, seperti doom metal , black metal , hingga nu metal (Kahn-Harris, 2007: 3-5).

Di Indonesia, perkenalan anak-anak muda dengan musik metal dimulai dengan hadirnya media musik anak muda MTV saat itu (Wallach, 2008). Dan ketika berbicara musik metal di Indonesia, generasi thrash bisa dikatakan adalah yang paling berpengaruh karena ketika pertama kali anak-anak muda di Indonesia mulai terpapar dengan MTV sekitar pertengahan tahun 1990-an, thrash metal memang sedang berjaya. Metallica, Slayer, Megadeth, dan Anthrax menjadi pengaruh utama dalam munculnya band-band metal di Indonesia. Musik metal di Indonesia kemudian lebih digerakan secara bawah-tanah ( underground ), yang lebih menawarkan kepada anak-anak muda otonomi yang lebih besar dari pengawasan orang dewasa yang dominan (Wallach, 2008: 226). Disebutkan juga oleh Wallach (2008) bahwa dalam skena musik underground ini penampil perempuan sangatlah sedikit, dan umumnya hanya diturunkan sebagai peran- peran pendukung saja. Sayangnya tidak dijelaskan lebih jauh oleh Wallach dalam tulisannya mengenai ‘peran-peran pendukung’ tersebut.

Wallach (2008) juga menjelaskan bagaimana istilah “bawah-tanah” atau “ underground ” itu digunakan dalam jenis musik yang ada di Indonesia. Bermula pada awal tahun 1990- an, istilah “ underground ” digunakan di Indonesia untuk menggambarkan sebuah kelompok dari beberapa subgenre musik rock terkait dengan metode dalam memproduksi dan mendistribusikan obyek-obyek kulturalnya. Musik underground terdiri dari beberapa aliran, antara lain, punk, hardcore, death metal, grindcore, brutal death, hyperblast, black metal, grunge, indies, industrial , dan gothic (Wallach, 2008: 36). Pergerakkan akar-rumput, yakni sifat produksi budaya underground yang berskala kecil, secara diskursif Wallach (2008) juga menjelaskan bagaimana istilah “bawah-tanah” atau “ underground ” itu digunakan dalam jenis musik yang ada di Indonesia. Bermula pada awal tahun 1990- an, istilah “ underground ” digunakan di Indonesia untuk menggambarkan sebuah kelompok dari beberapa subgenre musik rock terkait dengan metode dalam memproduksi dan mendistribusikan obyek-obyek kulturalnya. Musik underground terdiri dari beberapa aliran, antara lain, punk, hardcore, death metal, grindcore, brutal death, hyperblast, black metal, grunge, indies, industrial , dan gothic (Wallach, 2008: 36). Pergerakkan akar-rumput, yakni sifat produksi budaya underground yang berskala kecil, secara diskursif

sendiri, idealisme, komunitas, dan perlawanan terhadap tekanan-tekanan komersial (Wallach, 2008: 37).

Berbicara mengenai skena musik underground di Indonesia, Wallach (2005) berpendapat bahwa pergerakan musik underground di Indonesia memiliki

hubungan dengan pergerakan demokrasi di Indonesia, di mana anak muda memainkan peran yang krusial. Keberadaan musisi underground di Indonesia merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap praktik perpolitikan Orde Baru. Pada masa kepemimpinan Suharto selama 32 tahun di Indonesia, kebebasan bersuara masyarakat sangatlah terkungkung, khususnya ketika mengkritik rezim. Beberapa novelis dan musisi penting yang mengkritik rezim kemudian ditangkap dan dipenjarakan pada masa ini. Ketika banyak musisi dan produser musik mainstream yang berhati-hati dalam mengeluarkan musik yang terlalu tajam secara politik, para seniman underground telah dengan tegas mengkritik politik di Indonesia (Wallach, 2005: 18-19).

2.1.2. Kebudayaan

Berbagai disiplin ilmu selalu berusaha untuk mengonseptualisasikan kebudayaan dengan makna yang berbeda-beda, oleh karenanya konsep kebudayaan pun menjadi kategori yang ambigu, terbaur, dan mudah menguap, penuh dengan kebingungan analitik terhadapnya (Hecker, 2012). Jika merujuk pada Koentjaraningrat (2009), dalam buku Pengantar Ilmu Antropologi , kebudayaan dimaknai sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Melalui definisi tersebut, dapat dimengerti bahwa hampir seluruh tindakan manusia merupakan “kebudayaan” karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar. Lebih jauh lagi, Koentjaraningrat membedakan kebudayaan ke dalam tiga wujud, yakni (Koentjaraningrat, 2009: 150):

1. Kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya.

2. Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3. Kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Kemudian, sebagai pengertian alternatif dari “kebudayaan” secara

sosiologis dan antropologis yang tradisional, Ann Swidler menggambarkan kebudayaan juga sebagai kebiasaan, keterampilan dan gaya dari masyarakat, yang

digunakan sebagai ‘alat’ untuk membangun ‘strategi-strategi bertindak’ (Garrison, 2000: 143).

Jeff Ferrell, Keith Hayward, dan Jock Young (2008), dalam bukunya Cultural Criminology: An Invitation , merujuk pada Zygmunt Bauman, di mana Bauman membedakan dua wacana mengenai budaya, yakni sudah berlangsung lama dan nampaknya bertentangan secara diametris. Yang pertama

mengonseptualisasi ‘budaya sebagai aktivitas dari jiwa yang menjelajah bebas, tempat dari kreativitas, hasil ciptaan, self-critique dan self-transcendence ’, menimbulkan pikiran ‘keberanian untuk memecahkan horizon yang telah ditentukan, untuk melangkah di atas batas- batas yang dijaga secara rapat’. Yang kedua melihat kebudayaan sebagai ‘sebuah alat dari rutinisasi dan kontinuitas – hamba dari tatanan sosial’, sebuah budaya yang berpegang pada ‘keajegan dan pola –dengan kebebasan dari yang namanya “pelanggaran norma” dan “penyimpangan”’ (Ferrell, Hayward, Young, 2008:3-4). Konsep budaya yang pertama disadari cocok ke dalam tradisi teori subkultural sebagaimana yang dikembangkan oleh Albert Cohen (1955) dan yang lainnya, dan konsep budaya yang kedua dilihat lebih masuk ke dalam wewenang antropologi sosial ortodoks, fungsionalisme Parsonian dan sosiologi kulturan post-Parsonian (Ferrell, Hayward, Young, 2008:4).

Lyn Spillman, Laura Desfor Edles, dan Andreas Reckwitz memiliki kesamaan dalam membedakan kebudayaan ke dalam tiga konsep, yakni etnografis, estetis, dan simbolis (dalam Hecker, 2012). Konsep yang pertama merujuk pada kebudayaan sebagai keseluruhan cara hidup dari kelompok tertentu, yang juga digambarkan oleh Spillman sebagai pemikiran antropologis terhadap kebudayaan. Konsep yang kedua melihat kebudayaan sebagai bidang estetis yang murni, seperti seni, musik dan literatur. Yang ketiga melihat kebudayaan sebagai Lyn Spillman, Laura Desfor Edles, dan Andreas Reckwitz memiliki kesamaan dalam membedakan kebudayaan ke dalam tiga konsep, yakni etnografis, estetis, dan simbolis (dalam Hecker, 2012). Konsep yang pertama merujuk pada kebudayaan sebagai keseluruhan cara hidup dari kelompok tertentu, yang juga digambarkan oleh Spillman sebagai pemikiran antropologis terhadap kebudayaan. Konsep yang kedua melihat kebudayaan sebagai bidang estetis yang murni, seperti seni, musik dan literatur. Yang ketiga melihat kebudayaan sebagai

Dalam konteks penelitian ini, peneliti memberi perhatian lebih pada konsep yang ketiga mengenai kebudayaaan, yakni melihat kebudayaan sebagai sebuah proses pembentukan makna. Kajian kebudayaan yang melihat kebudayaan sebagai proses pembentukan makna ini menginvestigasi bagaimana orang mengikatkan makna terhadap realitas. Kebudayaan merupakan sesuatu yang terbagikan secara kolektif dan, karenanya, memungkinkan setiap anggota di dalam kelompok yang sama dapat berkomunikasi dan memahami satu sama lain (Hecker, 2012: 15).

Perspektif yang melihat kebudayaan sebagai sebuah proses pembentukan makna ini juga menjadi dasar dari kajian kriminologi budaya dalam memaknai

konsep kebudayaan. Dalam ranah kriminologi budaya, konsep ‘kebudayaan’ dipahami sebagai perihal pembentukan makna dan identitas secara kolektif; dengan jalan demikian, pemerintah dapat mengklaim otoritasnya, dan makna mengenai “si penjahat”, baik sebagai orang maupun sebagai persepsi, menjadi hidup dan tumbuh (Ferrell, Hayward, Young, 2008: 2). Ferrell, Hayward, dan Young (2008) juga mengatakan bahwa kebudayaan merupakan pencarian terhadap makna, dan makna dari pencarian itu sendiri; budaya menampakkan kemampuan dari seseorang untuk bertindak bersama melewati waktu, untuk menghidupkan objek-objek di sekitarnya dengan sesuatu yang penting dan implikasi di dalam objek tersebut, bahkan hingga objek-objek terendah seperti, misalnya, bandana atau ikat kepala dari anggota sebuah gang. Kebudayaan menunjukkan semacam penampilan publik yang terbagikan, sebuah proses negosiasi publik, tetapi hal yang ditampilkan tersebut dapat berupa sebuah persetujuan atau pemberontakan, dan negosiasi tersebut dapat berupa sebuah konflik kekerasan atau kepatuhan (Ferrell, Hayward, Young, 2008: 4).

2.1.3. Patriarki