Ketidaksetaraan Gender di dalam Musik Metal Underground sebagai Dampak Sistem Patriarki yang Crosscultural

5.1. Ketidaksetaraan Gender di dalam Musik Metal Underground sebagai Dampak Sistem Patriarki yang Crosscultural

Temuan-temuan data yang peneliti dapatkan menunjukkan adanya bentuk- bentuk ketidaksetaraan yang melemahkan dan mendiskreditkan posisi perempuan yang terjadi di dalam lingkungan metal underground . Hal tersebut tergambarkan dari pengalaman-pengalaman yang dirasakan oleh para personel Psychotic Angels ketika mereka mulai berkecimpung di dalam musik metal underground . Ketika wawancara dengan Onenk tanggal 6 November 2015, Onenk mengatakan ketika mereka memulai karier di musik metal underground , mereka sering kali diragukan musikalitasnya dan sempat dianggap sebagai band ‘ cupu ’ oleh para metalhead karena personel band mereka yang perempuan semua. Sikap para

metalhead , yang mayoritas adalah laki-laki, tersebut sangat jelas berlandaskan pada adanya perbedaan jenis kelamin antara mereka, sebagai laki-laki, dan para personel Psychotic Angels , yang adalah perempuan semua. Keraguan tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap kredibilitas dari para personel Psychotic Angels , sebagai perempuan, untuk menjadi penampil di dalam musik metal underground . Keadaan ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Davies (2001), yakni permasalahan yang sering kali dilekatkan pada penampil perempuan yang ada di dalam musik keras adalah kredibilitas mereka sebagai penampil yang dipertanyakan. Padahal peneliti menganggap pengakuan terhadap kredibilitas sangatlah penting untuk seseorang yang berkarier di dalam dunia musik karena hal tersebut akan berbanding lurus dengan diakuinya mereka sebagai seorang seniman secara utuh.

Permasalahan mengenai kredibilitas dari seorang penampil juga dipengaruhi oleh orisinalitas dari apa yang ditampilkan dan diekspresikan oleh para penampilnya (Davies, 2001). Dalam musik metal underground itu sendiri, citra-citra yang umum ditampilkan adalah seperti pemberontakan, kemarahan, keangkuhan, dan juga kekerasan oleh para penampilnya. Oleh karenanya, ketika ada perempuan yang menampilkan citra-citra tersebut ke atas panggung, penampilan mereka akan diragukan kredibilitasnya karena citra yang ditampilkan dan diekspresikannya tersebut dianggap bukanlah sesuatu yang orisinal berasal dari perempuan, melainkan tampilan dan ekspresi yang dimiliki oleh laki-laki. Pertimbangan mengenai orisinalitas yang diangkat oleh Davies tersebut, menurut peneliti, juga dikarenakan bagaimana gaya dari musik metal itu sendiri adalah maskulin sehingga, merujuk pada Weinstein (2000), perempuan yang ingin menjadi bagian dari subkultur metal itu sendiri harus bergaya seperti laki-laki. Gambaran-gambaran yang terbaca dari mode gaya metal juga seolah menunjukkan bahwa metal itu dari, oleh, dan untuk laki-laki (Weinstein, 2000).

Kondisi tersebut di atas juga menjadi permasalahan yang dihadapi oleh para personel Psychotic Angels . Ketika mereka perform di sebuah acara di daerah Jakarta Selatan, mereka mendapatkan respon yang tidak baik dari para metalhead di sana. Berdasarkan wawancara dengan Chumi tanggal 11 Oktober 2015, Chumi mengatakan dirinya dan rekan-rekan Psychotic Angels lainnya benar-benar tidak

dianggap dan dipandang tidak ‘cukup metal ’ untuk sebuah band metal underground karena mereka perempuan semua. Kondisi tersebut dikarenakan para metalhead memiliki anggapan bahwa penampil dari musik metal itu harus laki- laki, karena merasa musik metal itu ‘milik’ laki-laki. Oleh karenanya, ketika para personel Psychotic Angels , yang adalah perempuan semua, menampilkan pertunjukan musik metal underground , mereka dianggap hanya sebagai sekumpulan perempuan yang berusaha bergaya seperti laki-laki. Dengan demikian, muncul sebuah ketidakpercayaan terhadap kredibilitas dari Psychotic Angels sebagai sebuah band metal underground , yang dikarenakan mereka dianggap tidak menampilkan sesuatu yang orisinal sebagai perempuan.

Keberadaan perempuan di dalam dunia musik keras juga dikatakan selalu hanya menjadi pemeran pendukung, tidak pernah dianggap menjadi bintangnya

(Mullaney, 2007). Ketika peneliti melakukan wawancara dengan Chacha pada tanggal 1 November 2015, Chacha menceritakan para personel Psychotic Angels juga pernah merasakan praktik ketidaksetaraan yang berbasis gender tersebut, yang dilakukan oleh panitia sebuah acara musik metal underground di Jakarta. Mereka merasa dianggap tidak setara dengan band-band metal lainnya, yang adalah laki-laki semua, yang pada saat itu juga mengisi line up dari acara musik tersebut. Karena melihat personel Psychotic Angels yang adalah perempuan semua, pihak panitia menganggapnya lebih baik jika mereka dijadwalkan tampil pada sore hari saja. Hal tersebut disadari besar kemungkinannya karena pihak panitia tidak melihat Psychotic Angels sebagai band yang perlu menjadi sorotan lebih di acara mereka. Keadaan tersebut sangat jelas merugikan Psychotic Angels dalam upaya mereka untuk menunjukkan eksistensi mereka di skena musik metal underground . Selain itu, sebagaimana yang diceritakan oleh Chacha pada wawancara tanggal 1 November 2015, dirinya bersama dengan rekan-rekan Psychotic Angels lainnya juga pernah mendapatkan pandangan yang meng- underestimate dari para kru dan juga dari anggota-anggota band metal lainnya ketika berada di backstage sebuah acara. Saat itu, Chacha merasa bahwa para kru dan anggota band metal lainnya memandang remeh para personel Psychotic Angels karena melihat diri mereka adalah perempuan semua dan memiliki ukuran fisik yang relatif lebih kecil dari yang lainnya. Dari hal tersebut terlihat bahwa di dalam lingkungan metal itu sendiri juga terjadi praktik-praktik ketidaksetaraan berbasis gender yang merugikan posisi perempuan di dalam kebudayaan metal . Selain itu, dapat dilihat bahwa lingkungan metal juga merupakan lingkungan yang seksis, dan seksisme di dalam musik metal tersebut sebagai akibat dari pemahaman yang memaknai musik metal sebagai musik yang dari, oleh, dan untuk laki-laki. Sesuai dengan kondisi tersebut, Walser (1993) juga mengatakan bahwa seksisme itu sendiri dikatakan merupakan pokok ideologis utama dalam musik metal , dan varietas dari bentuk-bentuk wacana yang seksis tersebut dipahami sebagai penunjuk urgensi dan pengaruh dari cita-cita patriarkal.

Bentuk lain dari seksisnya lingkungan metal , melihat dari kejadian yang pernah dialami oleh Chumi. Melihat pada hasil wawancara dengan Chumi pada tanggal 11 Oktober 2015, Chumi mengatakan pernah beberapa kali mendapatkan

pesan-pesan singkat yang tidak menyenangkan, bahkan cenderung melecehkannya, dari orang yang tidak dikenal. Ketika band mereka belum memiliki manager, saat itu Chumi menjalankan dua tugas sekaligus, yakni sebagai vokalis dan juga merangkap sebagai manager. Karena kondisi tersebut, Chumi selalu menyediakan nomor kontaknya kepada pihak-pihak yang ingin membicarakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan bandnya. Namun, ada beberapa pihak yang menghubungi kontaknya bukan dengan tujuan membicarakan hal- hal terkait band, melainkan untuk ‘mem- booking ’ dirinya. Pengalamannya tersebut menunjukkan bahwa di dalam lingkungan metal keberadaan perempuan tetap dilihat sebagai obyek seksual. Keadaan tersebut disadari karena partisipasi perempuan di dalam musik keras pada umumnya dibayangkan hanya untuk mendukung penampilan dari laki-laki, seperti yang dikatakan Schilt (2003), atau juga hanya dilihat kontribusinya dalam konteks seksual, seperti yang dikatakan oleh Wald (1998). Pengalaman yang dialami oleh Chumi tersebut jelas sangat mendiskriminasi Chumi karena posisinya sebagai seorang perempuan yang menjadi penampil di dalam musik metal underground tetap kurang dipandang seutuhnya sebagai seorang seniman metal underground , melainkan tetap dipandang dari sudut kontribusi secara seksualnya saja.

Jika melihat pada pengalaman-pengalaman yang dirasakan oleh para personel Psychotic Angels selama mereka berada di dalam kebudayaan metal , peneliti menganggap bahwa kebudayaan metal itu sendiri bisa dikatakan kebudayaan yang juga tidak ‘ramah perempuan’. Maksudnya di sini adalah masih banyak terdapat praktik-praktik ketidaksetaraan berbasis gender yang merendahkan dan membatasi posisi perempuan di dalam kebudayaan metal . Praktik-praktik ketidaksetaraan berbasis gender ini sendiri merupakan bentuk kekerasan simbolik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Ketidaksetaraan gender dikatakan sebagai kekerasan simbolik karena, sebagaimana yang dikatakan oleh Bourdieu (2001), kekerasan yang dimaksud tidak menimbulkan kesakitan secara fisik, melainkan menyerang mental dan cara berpikir seseorang. Memang, jika merujuk pada Sylvia Walby (1991), kekerasan oleh laki-laki itu sendiri merupakan salah satu struktur dalam level abstraksi patriarki.

Melihat kondisi ini, peneliti memiliki analisis bahwa adanya ketidaksetaraan berbasis gender yang terjadi di dalam kebudayaan metal ini sebagai dampak dari sistem patriarki yang dikatakan Eisenstein (1979) bersifat crosscultural . Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kate Millet, bahwa patriarki merupakan bentuk dominasi yang paling fundamental di dalam setiap masyarakat (Vold, Bernard, Snipes, 1998). Dominasi laki-laki terhadap perempuan yang dikarenakan berjalannya sistem masyarakat yang patriarkis juga terjadi di dalam masyarakat metal ini. Berdasarkan pandangan terhadap sistem patriarki yang crosscultural tersebut, hierarki seksual yang terlembagakan antara laki-laki dan perempuan memang teraktualiasi secara berbeda pada masyarakat yang berbeda, akan tetapi kekuasaan tetap terletak pada laki-laki (Eisenstein, 1979). Peneliti melihat bahwa kebudayaan metal itu sendiri merupakan bentuk kebudayaan populer yang juga tumbuh di dalam masyarakat yang memang pada dasarnya adalah patriarkal, dan citra-citra yang ditampilkan dari kebudayaan tersebut pun, kemudian, adalah citra-citra yang berasal dari cita-cita patriarki. Sejalan dengan pendapat ini, Walser (1993) mengatakan bahwa musik metal merupakan wacana yang dibentuk oleh patriarki. Citra pemberontakan, kemarahan, agresivitas, yang ditampilkan di dalam musik metal itu sendiri selalu diasosiasikan dengan nilai- nilai maskulin yang dilekatkan kepada laki-laki. Berdasar pada hal tersebut, musik metal digambarkan sebagai tempaan maskulinitas dan juga dibangun atas citra- citra hipermaskulinitas (Hecker, 2012).

Kondisi tersebut di atas, membuat Arnett (1996) berpendapat bahwa musik metal sebagai domain dari laki-laki. Pandangan yang melihat musik metal serta- merta sebagai domain dari laki-laki tersebut disadari karena adanya sosialisasi sistem seks-gender yang berlandaskan pada cita-cita patriarki. Dikatakan bahwa patriarki termantapkan dan terawat melalui sosialisasi peran seks dan penciptaan identitas gender (Vold, Bernard, Snipes, 1998), di mana terdapat pemisahan ciri- ciri gender yang khas antara laki-laki dan perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh Gayle Rubin, sistem seks-gender itu sendiri dipahami sebagai sebuah satuan susunan yang dengannya masyarakat menjelmakan seksualitas biologis ke dalam produk-produk dari aktivitas manusia (Tong, 2009). Dalam konteks ini, musik metal underground dilihat sebagai produk dari aktivitas manusia, aktivitas dari Kondisi tersebut di atas, membuat Arnett (1996) berpendapat bahwa musik metal sebagai domain dari laki-laki. Pandangan yang melihat musik metal serta- merta sebagai domain dari laki-laki tersebut disadari karena adanya sosialisasi sistem seks-gender yang berlandaskan pada cita-cita patriarki. Dikatakan bahwa patriarki termantapkan dan terawat melalui sosialisasi peran seks dan penciptaan identitas gender (Vold, Bernard, Snipes, 1998), di mana terdapat pemisahan ciri- ciri gender yang khas antara laki-laki dan perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh Gayle Rubin, sistem seks-gender itu sendiri dipahami sebagai sebuah satuan susunan yang dengannya masyarakat menjelmakan seksualitas biologis ke dalam produk-produk dari aktivitas manusia (Tong, 2009). Dalam konteks ini, musik metal underground dilihat sebagai produk dari aktivitas manusia, aktivitas dari

Lebih jauh lagi, masyarakat patriarki menggunakan fakta-fakta tertentu tentang biologis laki-laki dan perempuan sebagai dasar untuk membentuk satuan identitas dan perilaku gender maskulin dan feminin yang dijalankan untuk menguasakan laki-laki dan melemahkan perempuan (Tong, 2009). Di dalam teori feminis radikal-libertarian dikatakan bahwa masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku tersebut untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif dan laki-laki tetap aktif. Perempuan ditetapkan sebagai individu yang pasif dengan ciri-ciri perilaku gender yang ceria, ramah, penuh kasih sayang, penurut, dan lainnya, sebaliknya, laki-laki ditetapkan sebagai individu yang aktif dengan ciri-ciri perilaku gender yang kuat, agresif, ambisius, kompetitif, dan lainnya. Berdasar pada kondisi inilah yang juga membuat anggapan musik metal adalah domain dari laki-laki tersebut dapat tumbuh, yakni karena citra agresif yang dimunculkan di dalam setiap pertunjukan-pertunjukannya dilihat sebagai ciri dari perilaku gender yang maskulin. Selain itu, teori feminis radikal-libertarian melihat bahwa indentitas gender yang secara eksklusif ditempelkan pada perempuan kemungkinan besar membatasi perkembangan perempuan sebagai seorang manusia secara utuh. Hal ini juga yang dialami oleh para personel Psychotic Angels , sebagai perempuan yang ingin menjadi penampil di dalam musik metal underground mereka mengalami pembatasan perkembangan mereka secara utuh sebagai seorang seniman di dalam musik metal underground underground karena adanya indetitas gender yang melemahkan diri mereka sebagai perempuan tersebut.

Selanjutnya, terdapat juga pandangan yang mengatakan bahwa maskulinitas dan femininitas sulit untuk diberikan batasan karena kedua konsep tersebut bergantung pada interpretasi budaya mengenai kelelakian dan keperempuanan (Matthis et al, 2004). Namun demikian, karena dampak sistem

patriarki yang crosscultural , batasan-batasan gender mengenai maskulin dan feminin yang berada di dalam kebudayaan metal underground tidaklah berbeda dengan batasan-batasan yang ada di dalam kebudayaan masyarakat Indonesia patriarki yang crosscultural , batasan-batasan gender mengenai maskulin dan feminin yang berada di dalam kebudayaan metal underground tidaklah berbeda dengan batasan-batasan yang ada di dalam kebudayaan masyarakat Indonesia

Lebih lanjut lagi, crosscultral -nya sistem patriarki juga menyebabkan relasi dan identitas gender yang ada di dalam kebudayaan metal pun tetap dilihat dari sudut pandang kebudayaan masyarakat Indonesia yang dominan, yakni patriarki. Karena penetapan relasi dan identitas gender yang berlandaskan pada cita-cita patriariki tersebut, Krenske dan McKay (2000) mengatakan nilai-nilai dari laki- laki kemudian dipandang lebih tinggi daripada perempuan, oleh karenanya

perempuan secara berkelanjutan harus ‘melakukan’ gender dengan kondisi yang dirugikan. Di dalam kebudayaan metal , perempuan kemudian dirugikan ketika mereka menjadi penampil di dalam musik metal underground . Sebagai penampil di dalam musik yang penuh dengan citra kekerasan dan pemberontakan, akan sangat membantu ketika mereka menunjukkan ekspresi kemarahan. Namun demikian, kemarahan itu sendiri dianggap sebagai sifat atau ciri dari maskulin, sehingga setiap perempuan yang berani untuk mengekspresikan kemarahan mereka, perempuan tersebut kemudian akan dianggap tidak masuk akal (Davies, 2001). Selain itu, perempuan yang memilih menjadi penampil dalam musik metal underground juga akan dianggap menyimpang karena tidak melakukan gendernya yang sudah diatur secara sosial oleh sistem patriarki. Hal ini dikarenakan ketika ada tindakan yang tidak sesuai dengan setiap aturan sosial yang ada, maka tindakan tersebut akan disebut sebagai “menyimpang” (Becker, 1963).