1. Hambatan dan Tantangan
Masalah-masalah yang muncul dari penerapan pendidikan multikultural di Indonesia secara umum ada dua hal, yaitu:
Pertama, pendidikan multikultural merupakan suatu proses. Artinya, konsep pendidikan multikultural yang baru dimulai dalam dunia
pendidikan khususnya di Indonesia memerlukan proses perumusan, refleksi dan tindakan di lapangan sesuai dengan perkembangan konsep-
konsep yang fundamental mengenai pendidikan dan hak-hak asasi manusia.
Kedua, pendidikan multikultural merupakan suatu yang multifaset. Oleh sebab itu meminta suatu pendekatan lintas disiplin border crossing
dari para pakar dan praktisi pendidikan untuk semakin memperhalus dan mempertajam konsep pendidikan multikultural yang dibutuhkan oleh
masyarakat yang dalam hal ini masyarakat Indonesia.
11
Selain dari pada itu masalah yang muncul dari implementasi pendidikan multikultural adalah kokohnya kemapanan yang telah terbangun selama ini yang
berkaitan dengan latar sosiologisantropologis bangsa ini. Indonesia adalah masyarakat majemuk, baik secara horisontal maupun vertikal. Secara horisontal
berbagai kelompok masyarakat yang kini dikategorikan sebagai ”Bangsa Indonesia” dapat dipilah-pilah ke dalam berbagai suku bangsa, kelompok penutur
bahasa tertentu, maupun ke dalam golongan penganut ajaran agama yang berbeda satu dengan lainnya.
Sedang, secara vertikal berbagai kelompok masyarakat itu dapat dibeda- bedakan atas dasar mode of production yang bermuara pada perbedaan daya
adaptasinya. Dalam realitas-empirik, kenyataan ini justru kerap diterabaikan, yang terjadi seringkali bukannya penghargaan dan pengakuan atas kehadiran yang
lain akan tetapi upaya untuk ”mempersamakan” conformity atas nama persatuan dan kesatuan. Politik sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru
memaksakan monokulturalisme yang nyaris seragam adalah bukti nyata hal di
11
Lihat dalam http:multikulturalisme.blogspot.com200612pendidikan-multikultural- di-indonesia_04.html
atas. Tak aneh, kalau kemudian monokulturalisme ini memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan
Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan
pemerintahan, terjadi peningkatan gejala provinsialisme yang hampir tumpang tindih dengan etnisitas. Politik identitas kelompok, seiring dengan
menggejalanya komunalisme, makin menguat. Konflik antarsuku maupun agama muncul bak cendawan di musim hujan. Kesatuan dan persatuan yang lama
diidam-idamkan ternyata semu belaka, yang mengemuka kemudian adalah kepentingan antarsuku, daerah, ras ataupun agama dengan mengenyampingkan
realitas atau kepentingan yang lain. Bahkan tak jarang, suatu kelompok menghalalkan segala cara demi mewujudkan kepentingan ini.
Faktor lain yang turut menyebabkan mandulnya pendidikan multikultural pada tingkat praksis bisa jadi disebabkan masih dominannya wacana ”toleransi”
yang seringkali terjebak pada ego-sentrisme. Ego-sentrisme di sini adalah sikap saya mentoleransi yang lain demi saya sendiri. Artinya, setiap perbedaan
mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan mengawetkan perbedaannya sendiri I am what I am not, yang terjadi kemudian adalah ko-eksistensi
bukannya pro-eksistensi yang menuntut kreativitas dari tiap individu yang berbeda untuk merenda dan merajut tali-temali kebersamaan. Tak aneh kalau kemudian
yang muncul bukannya situasi rukun malah situasi acuh tak acuh indifference.
12
Kemudian selain dari itu, masalah pemilihan model yang cocok untuk bangsa Indonesia juga perlu dicermati dan diperhatikan. Kita mengenal paling
tidak tiga model kebijakan multikultural negara-negara di dunia: Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah
sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat
integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif— berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang
sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model
12
M. Khoirul Muqtafa, Paradigma Multikultural, dalam http:www.sinarharapan.co.id- berita040205opi02.html
kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi
nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu. Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik
yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional founders. Selain itu, kesatuan bahasa juga
merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan
darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.
Ketiga, model multikultural- etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi
realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal- usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan
kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi
lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru
dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi
pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik- konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu
sendiri.
13
Dengan demikian ketiga model tersebut tidak tepat diterapkan di Indonesia. Model pertama jelas mensubordinatkan etnik-etnik yang seharusnya
tetap eksis dan berkembang, model kedua jutsru rawan dengan xenophobia dan diskriminasi antar etnik dan model ketiga rawan memunculkan konflik dari
kebijakan negara yang bias. Dalam
sebuah keterangan
yang lain
terdapat lima
model multikulturalisme. Penyelenggara pendidikan dapat memilah dan memilih mana di
antaranya yang tepat dan relevan untuk konteks Indonesia. Kelima model multikulturalisme yang dimaksud adalah:
Pertama, “multikulturalisme isolasionis” yang mengacu kepada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara
otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
13
Ahmad Fedyani Saefuddin, Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia, http:www.kompas.comkompas-cetak060121pustaka2374717.htm
Contoh-contoh kelompok ini adalah seperti masyarakat yang ada pada sistem “milled” di Turki Usmani atau masyarakat Amish di A.S.
Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain pada
umumnya.
Kedua, “multikulturalisme akomodatif”, yakni masyarakat plural yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan
akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan
undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk
mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka. Sebaliknya kaum minoritas tidak menentang kultur yang dominan. Kelompok ini
dapat ditemukan di Inggris, Prancis, dan beberapa Negara Eropa lainnya.
Ketiga, “multikulturalisme otonomis” yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan
kesetaraan equality dengan budaya dominant dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa
diterima. Konsern pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka yang memiliki hak yang sama
dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua
kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar. Jenis kelompok ini didukung oleh kelompok Iuebecois di Kanada, dan kelompok-kelompok muslim
imigran di Eropa, yang menuntut untu bisa menerapkan syari’ah, mendidik anak-anak mereka pada sekolah Islam dan sebagainya.
Keempat, “multikulturalisme kritikal” atau “interaktif”, yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu
konsern dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan
perspektif-perspektif distingtif mereka. Kelompok budaya dominant tentu saja cenderung menolak tuntutan ini, dan bahkan berusaha secara paksa
untuk menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya-budaya kelompok-kelompok minoritas. Karena itulah kelompok-
kelompok minoritas menantang kelompok kultur dominan, baik secara intelektual maupun politis, dengan tujuan menciptakan iklim yang
kondusif bagi penciptaan sebuah kultur kolektif baru yang egaliter secara genuine. Jenis kelomopk diperjuangkan oleh masyarakat kulit hitam di
A.S, Inggris, dan lain-lain.
Kelima, “multikulturalisme
kosmopolitan”, yang
berusaha menghapuskan batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah
masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu dan begitu juga sebaliknya, secara bebas terlibat di
dalam
eksperimen-eksperimen interkultural
dan sekaligus
mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Pendukung jenis ini
biasanya intelektual diasporik dan intelektual liberal yang cenderung pada postmodernis
14
. Namun lagi-lagi kelima model tersebut tidak cocok untuk konteks
Indonesia. Barangkali yang perlu dilakukan oleh penyelenggara pendidikan adalah menyaring kira-kira multikulturalisme mana yang tepat atau paling tidak
mendekati tujuan meminimalisir konflik horizontal. Karena ragam dan macam multikulturalisme itulah yang melahirkan pendidikan multikultural, yaitu
pendidikan untuktentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan bahkan dunia secara keseluruhan
15
. Selain dari model pendidikan, dalam praktik di lapangan terdapat juga
beberapa tantangan, misalnya : Pertama, fenomena homogenisasi terjadi dalam dunia pendidikan akibat tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan. Para
siswa tersegregasi dalam sekolah-sekolah sesuai latar belakang sosio-ekonomi, agama, dan etnisitas. Apalagi pasal yang mengatur pendidikan agama dalam UU
No 202003 membuat sekolah berafiliasi agama merasa enggan menerima siswa tidak seagama. Lalu, terjadi pengelompokan anak berdasar agama, kelas sosio-
ekonomi, ras, dan suku. Tiap hari anak-anak bergaul dan berinteraksi hanya dengan teman segolongan. Jika interaksi di luar sekolah juga demikian,
pengalaman anak-anak untuk memahami dan menghargai perbedaan menjadi amat langka.
Tantangan kedua dalam pendidikan multikultural adalah kurikulum. Sebuah penelitian atas kurikulum 1994 menganalisis isi 823 teks bacaan dalam 44
buku ajar bahasa Inggris yang digunakan di SMA berdasar jender, status sosio- ekonomi, kultur lokal, dan geografi. Dalam keempat kategori itu, buku-buku ini
masih menunjukkan ketidakseimbangan dan bias yang amat membatasi kesadaran multikultural peserta didik.
Ungkapan You are what you read Anda dibentuk oleh apa yang Anda baca perlu melandasi penyusun kurikulum. Jika siswa disodori bahan-bahan
14
Ahmad Fedyani Saefuddin, Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia, http:www.kompas.comkompas-cetak060121pustaka2374717.htm
15
Ruslan Ibrahim, Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama, dalam El-Tarbawy : Jurnal Pendidikan Islam, No. 1, Vol.I 2008
pelajaran yang mengandung bias kelas, jender, etnis, agama, suku, siswa akan tumbuh menjadi manusia dengan praduga dan prasangka negatif terhadap orang
lain yang berbeda. Keberagaman dan kekayaan budaya Nusantara diakomodasi dalam kurikulum hanya sebatas ikon dan simbol budaya seperti pakaian, kesenian
daerah, dan stereotip suku. Tantangan terakhir dan terpenting adalah kelayakan dan kompetensi guru
di Indonesia umumnya masih di bawah standar apalagi untuk mengelola pembelajaran multikulturalisme.
16
Dari keempat tantangan tersebut, nampaknya berhubungan political will dari pemerintah. Dalam hal ini perlu ada reformasi
kebijakan yang mengatur pendidikan yang mengakomodir multikulturalisme baik dalam kurikulum hingga pada tataran tenaga kependidikan.
Selanjutnya, selain perlu dukungan dari pemerintah, gagasan pendidikan multikultural juga bisa mandeg oleh adanya hambatan yang paling serius dalam
penerapannya yang justru datang dari keluarga orang tua siswa dan guru. Sepertinya harus diakui bahwa keluarga memegang peranan penting dalam ikut
menyukseskan implementasi konsep pendidikan multikulturalisme itu. Dalam hal ini, keluarga dapat mulai menanamkan nilai multikulturalisme sejak dari
lingkungan keluarga, seperti anak mulai diajarkan bagaimana mensikapi teman yang berbeda secara suku, bahasa, dan bahkan agama. Keteladanan dan
konsistensi orang tua dalam membumikan ide-ide multikulturalisme tersebut sangat penting di sini.
Namun ironisnya, sering orang tua siswa masih merasa khawatir terhadap penerapan ide pendidikan multikulturalisme tadi, apalagi kalau sudah menyangkut
aspek multikulturalisme berupa pluralisme agama. Aspek inilah sebenarnya yang membutuhkan perhatian yang lebih serius untuk segera dicarikan solusinya.
Satu hal lagi yang sering terlewatkan ketika mendiskusikan konsep pendidikan multikulturalisme, yaitu peranan guru. Harus diakui bahwa guru
memegang peran yang sangat dominan dalam keberhasilan implementasi
16
Anita Lie, Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural, http:www.kompas.com kompas-cetak060901opini2921517.htm
pendidikan multikulturalisme ini. Bagaimana mungkin ide cemerlang itu berhasil jika para gurunya saja tidak mempunyai sense of multiculturalism.
17
Meski demikian, dari segudang masalah dan hambatan yang terpampang dalam implementasi pendidikan multikultural di Indonesia, tersimpan sebuah
urgensi dan harapan yang meniscayakan aplikasi pendidikan multikultural berintegrasi dengan pendidikan nasional, terutama dalam pendidikan Islam di
Indonesia.
2. Peluang dan Harapan