Konsep pendidikan multi kultural dalam kerangka pendidikan islam

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh:

I S M A I L F U A D NIM : 104011000181

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2009 M/1429 H


(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh:

I S M A I L F U A D NIM : 104011000181

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2009 M/1429 H


(3)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : ISMAIL FUAD

Nim : 104011000181

Jurusan : Pendidikan Agama Islam (PAI)

Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata satu ( S1 ) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, Maret 2009


(4)

diujikan pada sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam.

Jakarta, 30 Juni 2009

Panitia Sidang Munaqasyah,

Ketua Jurusan

Dr. H. Abdul Fatah Wibisono, MA. NIP. 150 236 009

Sekretaris Jurusan

Drs. Sapiuddin Shiddiq, MA. NIP. 150 299 477

Penguji I

Drs. Sapiuddin Shiddiq, MA. NIP. 150 299 477

Penguji II

Siti Khadijah, MA. NIP. 19702707 199703 1 003

Mengetahui,

Dekan Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(5)

kemajemukan. Tidak saja lantaran kondisi sosio-geografis dan kesukuan semata, tetapi keragaman ini telah dimulai sejak cikal bakal sejarah kelahirannya. Sayangnya potensi kemajemukan, pluralitas dan sebutan sejenisnya, kerap menjadi pemicu pertentangan dan pertikaian-pertikaian yang akhir-akhir ini sering mengguncang. Parahnya umat muslim dijadikan kambing hitam oleh beberapa orang, hingga tak pelak stereotip dan stigma buruk mulai disematkan pada umat yang kebetulan menjadi penghuni mayoritas bangsa ini.

Berangkat dari sinopsis tersebut penelitian ini dilakukan dengan salah satu alasan menjawab kalau tidak disebut membantah stigma dan tuduhan buruk teradap Islam sebagaimana yang mereka sangkakan adalah salah besar. Ajaran Islam telah diwariskan (dibudayakan) secara turun temurun melalui instrumen pendidikan yang mengakomodasi terhadap pluralitas dan multikulturalisme.

Pendidikan multikultural yang ditawarkan sebagai solusi dan mengurangi efek negatif dari fenomena keberagaman kultur. Konsep pendidikan multikultural dalam kerangka pendidikan Islam, nyatanya sangat wellcome dan padu. Artinya, pendidikan Islam tidak bertentangan, bahkan senafas dengan pendidikan multikultural. Relevansi dan implementasi keduanya bisa terwujud dengan proses usaha dan upaya yang panjang dan berkesinambungan.

Untuk membuktikan asumsi tersebut, dalam peneltian ini penulis mencari titik temu dalam prinsip-prinsip dasar dan tujuan pendidikan multikultural yang dikonsultasikan dengan pendidikan Islam. Dengan teknik deskripsi analitis, akhirnya penulis mendapatkan kesimpulan bahwa keduanya (pendidikan multikultural dan pendidikan Islam) dalam prinsip dan tujuannya sangat relevan dan saling akomdatif .

Tegasnya, tidak dibetulkan bahwa ajaran Islam yang dimanifestasikan dalam pendidikan Islam mengajarkan kekerasan atas nama perbedaan, bahkan Islam telah menggariskan sikap etis terhadap pluralisme dan multikulturalisme sebagaimana diajarkan oleh al-Qur’an dan Hadits. Bahkan, Islam tidak sekadar mengapresiasi issue-issue HAM, demokrasi, keadilan, kesetaraan dan dustrur multikulturalisme lainnya, tetapi Islam telah mempraktikannya dengan sangat indah pada jaman Nabi.

Dengan demikian, pendidikan Islam yang berparadigma multikultural atau pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam sudah ada secara eksplisit dalam ajaran Islam. Hanya saja, perlu dihadirkan kembali agar pelaku pendidikan Islam menyadari akan hal itu. Dengan kesadaran pluralisme dalam pendidikan Islam bisa dipraktikkan oleh seluruh pelaku pendidikan Islam dengan harapan akan tercipta kehidupan masyarakat madani, lepas dari konflik SARA sebagaimana visi kelahiran Islam sebagai rahmatan lil ’alamien. Semoga


(6)

sayangNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang ”Konsep Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Islam” ini, maka sepatutnya puja-puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.

Shalawat dan salam, semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mengorbakan jiwa. Raga, harta maupun tenaga untuk membawa risalah kebenaran, menabur pesan perdamaian kepada seluruh umat manusia. Isyfa Lana..

Setelah bergelut dengan berbagai aktivitas yang nyaris ”melalaikan” penyusunan skripsi ini, ijinkan penulis menyampaikan rasa terima kasih sekaligus permohonan maaf setulusnya kepada semua pihak. Segala upaya, usaha dan untaian doa tercurah ruah dalam penyusunan skripsi ini dengan suatu asa semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Pun juga, terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari partisipasi beberapa pihak yang telah membantu, motivasi serta arahan dari berbagai pihak, sehingga patut kiranya penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar dan teliti dalam mengoreksi dan membimbing penulis dalam pembuatan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Sururin, MA selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan pengarahan dan masukan kepada penulis.

5. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah pada umumnya dan jurusa PAI pada khususnya yang telah memberikan konstribusi pemikiran melalui pengajaran dan diskusi di kelas perkuliahan.


(7)

inspiration kang Uus, Ba’onk, Linda, Iim dan Bontot Anik.

8. All Crew CV. Wangsamerta dan CV. Wicaksana. Mahadewi sarayat my spirite, aisheteru!!!.

9. Teman diskusi di PAI 2003A konde, fuad, dkk. PAI 2004 E Indra, Ate, dkk.

10.Seluruh anggota, simpatisan dan alumni Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Brebes (KPMDB), khususnya Wil. Jakarta Raya, ayo bangun Brebes!!

11.Tabloid Suaka yang banyak mengasahku, kawan-kawan aktivis dan pergerakan Brebes, Insan Pers Indonesia, and all elementary civill society.

Teruskan Perjuangan..!!!

Penulis berharap dan berdoa semoga seluruh pengorbanan semua pihak yang telah membantu penulis semoga mendapatkan balasan yang setimpal dari-Nya. Terimakasih

Jakarta, Mei 2009 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI ... ii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

D. Metode Penelitian ... 7

E. Kegunaan dan Tujuan Penelitian ... 7

BAB II : KONSEPSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL ; SEBUAH KAJIAN TEORITIS ... 8

A. Definisi Pendidikan Multikultural ... 8

B. Sejarah Lahirnya Pendidikan Multikultural ... 12

C. Prinsip Prinsip Pendidikan Multikultural ... 22

1. Prinsip Pengakuan Terhadap Hak Azazi Manusia (HAM) 29 2. Prinsip Persamaan Derajat ... 30

3. Prinsip Pelestari Kebudayaan ... 31

4. Prinsip Pluralisme ... 31

D. Tujuan Pendidkan Multikultural; Mewujudkan Manusia Cerdas ... 33

E. Implikasi Multikulturalisme Terhadap Pendidikan Islam ... 36

BAB lll : KONSEPSI PENDIDIKAN ISLAM ; SEBUAH KAJIAN TEORITIS ... 43

A. Pengertian Pendidikan ... 43

1. Definisi Pendidikan ... 43


(9)

3. Prinsip Pendidkan yang Seimbang ... 56

4. Prinsip Menghargai Perbedaan ... 56

C. Fungsi Dan Tujuan Pendidikan Islam ... 58

1. Fungsi Pendidkan ... 58

2. Tujuan Pendidikan Islam ... 60

a) Tujuan Akhir ... 64

b) Tujuan Umum ... 65

c) Tujuan Khusus ... 67

BAB IV: RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PENIDIKAN ISLAM ... 70

A. Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam ... 71

B. Tujuan Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam : Antara Manusia Cerdas dan Manusia Sempurna (Insan - Kamil) ... 76

C. Implementasi Pendidikan Multikulural dalam Pendidikan Islam; Upaya Mencari Format Pendidikan Ideal ... 79

1. Hambatan dan Tantangan ... 80

2. Peluang dan Harapan ... 86

3. Kurikulum dan Guru Multikultural ... 93

BAB V : PENUTUP ... 104

A. Kesimpulan ... 104

B. Saran-saran ... 106


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah mahluk yang diciptakan berbeda-beda dan beragam, dari jenis kelamin, suku bangsa, bahasa, hingga agama. Sejatinya keragaman ini menjadi alat perekat harmonisasi bangunan kebersamaan antar sesama. Namun faktanya, perbedaan SARA acapkali memicu timbulnya sebuah konflik dan ketegangan. Bukankah kemajemukan merupakan sunatullah yang meski terjadi, sebagaimana adanya langit dan bumi. Pengingkaran atas kemajemukan berarti juga pembangkangan atas kehendakNya.1

Kemajemukan (pluralitas), keanekaragaman (diversitas), dan kepelbagaian (heterogenitas) serta kebermacam-macaman (multiformisme) masyarakat dan kebudayaan di Indonesia merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan, sejak dulu sebelum terbentuk negara-bangsa. Ini harus kita akui secara jujur , terima dengan lapang dada, resapi dengan penuh kesadaran, kelola rawat dengan cermat, dan jaga dengan penuh suka cita, Bukan harus kita tolak, pungkiri, abaikan, sesalkan, biarkan dan ingkari hanya karena kemajemukan dan keanekaragaman ternyata telah menimbulkan ekses negatif dan resiko kritis belakangan ini, antara lain benturan masyarakat dan kebudayaan lokal di pelbagai tempat di Indonesia.2

1

Said Aqil Siradj, Islam Kebangsaan; Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), cet. 1, hal. 203.

2

Rasiyo, Berjuang Membangun Pendidikan Bangsa; Pijar-pijar Pemikiran dan Tindakan, (Malang: Pustaka Kayu Tangan, 2005), cet. 1, hal. 47.


(11)

Begitulah Indonesia ditakdirkan melebihi negara-negara lain karena tidak saja multi-suku, multi-etnik, multi-agama tetapi juga multi-budaya. Jika demikian, maka bangsa Indonesia sangat rentan dengan kekerasan yang timbul akibat dari kemajemukan yang ada. Oleh karenanya perlu ada tindakan preventive dari

stakeholders untuk meredam segala potensi konflik dan membangun sikap kebersamaan, saling menghargai dan saling menghormati. Salah satu upaya strategis adalah dengan membangun kesadaran pluralis pada generasi muda lewat pendidikan yang berbasis pada multikulturalisme. Hal ini sesuai dengan ungkapan Abudin Nata:

Indonesia yang berideologi Pancasila memiliki latar belakang budaya, etnis, paham keagamaan, tingkat ekonomi dan sosial yang amat beragam. Kondisi pluralistis dan heterogenitas masyarakat di Indonesia yang demikian itu pula pada gilirannya sangat mempengaruhi corak pendidikan manusia3.

Pendidikan menjadi salah satu kunci penting sebagai instrumen membangun peradaban manusia dan bangsa. Keberadaannya masih diyakini mempunyai peran besar dalam membentuk karakter individu-individu yang dididiknya, dan mampu menjadi “guiding light” bagi generasi muda penerus bangsa. Hal tersebut dengan suatu pertimbangan, bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah untuk meningkatkan keberagamaan peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan sikap toleransi.4

Selama ini di Indonesia pendidikan secara makro belum menunjukan hasil yang diharapkan karena beberapa hal yang perlu diperbaiki dan diubah, filosofi pendidikan tampak sangat positivis, pragmatis, developmentalis, industrialis, indoktrinatif, uniformistis dan monokultural. Filsafat pendidikan semacam ini tidak bisa dipertahankan lagi,..dan harus dirubah dengan filsafat pendidikan yang

3

Abudin Nata, Pidato Pengukuhan Guru Besar (Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan dan Peluang), UIN Syarif Hidayatullah Press, hal. 1.

4

Syamsul Maarif, Islam dan Pendidikan Pluralisme; Menampilkan Wajah Islam Toleran Melalui Kurikulum PAI Berbasis Kemajemukan, disampaikan dalam Annual Confrence di Lembang Bandung, sumber www.google.com/pluralisme-pendidikan, akses tanggal 22 Januari 2008


(12)

ideal untuk Indonesia yakni, idealistis, holistis, liberatif, intelektualistis, pluralistis, dan multikultural.5

Era sekarang adalah era multikulturalisme di mana seluruh masyarakat dengan segala unsurnya dituntut untuk saling tergantung dan menanggung nasib secara bersama-sama demi terciptanya perdamaian abadi. Salah satu bagian penting dari konsekuensi tata kehidupan global yang ditandai kemajemukan etnis, budaya, dan agama tersebut adalah membangun dan menumbuhkan kembali sikap egaliter dalam masyarakat. Implikasi dari era global multikultural sendiri bagi pendidikan adalah bagaimana pendidikan itu bisa menampilkan dirinya, apakah ia mampu mendidik dan menghasilkan output yang memiliki daya saing tinggi (qualified) atau ia justru “mandul” dalam menghadapi gempuran berbagai kemajuan era penuh persaingan (competitive) diberbagai sektor tersebut.

Pun dengan Pendidikan Islam, ia ditantang untuk menjawab tantangan zaman antara lain : Pertama, bagaimana ia meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing development). Kedua, bagaimana pendidikan Islam mampu melakukan riset secara komperhensif terhadap terjadinya era reformasi dengan transformasi struktur sosial masyarakat, dari masyarakat tradisional-agraris ke masyarakat modern-industrial dan reformasi-komunikasi, serta bagaimana pengembangan sumber daya manusia (SDM). Ketiga, bagaimana pendidikan Islam itu meningkatkan daya saing kreatif yang berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam persaingan global. Keempat, bagaimana pendidikan Islam itu mampu menghadapi tantangan terhadap munculnya inovasi kolonialisme di bidang politik dan ekonomi.6

5

Rasiyo, Berjuang…, hal. 47. Maksud dari filosofi positivis yakni paradigma pendidikan yang terlalu mengesampingkan keragaman potensi siswa, pragmatis artinya mementingkan hasil daripada proses, developmentalis (pembangunan-centris), industrialis pendidikan hanya mencetak robot-robot industri, cnderung menyeragamkan siswa dan menunggalkan kemajemukan.Intinya adalah filosofi tersebut ketiadaan mata jiwa pendidikan terhadap hakikat manusia dan filosofi pendidikan ini harus diubah menjadi berdasarkan cita-cita luhur (ideal), menyeluruh (holistis), membebaskan eksplorasi terhadap potensi (liberatif), mengedepankan intelektual, menghargai keragaman dan kemajemukan budaya maupun karakteristik siswa.

6

Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: C3RD Press, 2005), hal. 6-7. Lihat pula Armai Arief, Tantangan Pendidikan di Era Global, dalam Jurnal Institut, NO. I, thn. 2005, hal.33.


(13)

Selain itu, tantangan bagi pendidikan Islam yang paling mendesak adalah globalisasi multikultural yang sangat rawan perpecahan dan permusuhan (dehumanisasi), maka penerapan pendidikan yang menggunakan pendekatan multikultural (multicultural approach) pun menjadi penting adanya.7

Posisi pendidikan agama juga berperan dalam menumbuhkembangkan sikap pluralisme dalam diri siswa. Pendidikan agama merupakan bagian integral dari pendidikan pada umumnya dan berfungsi untuk membantu perkembangan pengertian yang dibutuhkan bagi orang-orang yang berbeda iman, sekaligus juga untuk memperkuat ortodoksi keimanan bagi mereka. Artinya, pendidikan agama adalah wahana untuk mengeksplorasi sifat dasar keyakinan agama di dalam proses pendidikan dan secara khusus mempertanyakan adanya bagian dari pendidikan keimanan dalam masyarakat. Pendidikan agama dengan begitu, seharusnya mampu merefleksikan persoalan pluralisme, dengan mentransmisikan nilai-nilai yang dapat menumbuhkan sikap toleran, terbuka dan kebebasan dalam diri generasi muda.

Di Indonesia, jaminan kebebasan dasar setiap manusia telah diregulasikan sebagaimana termaktub dalam ayat (2) pasal 29 UUD 1945. begitupun dalam hal Pendidikan sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas tahun 2003 sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 (1), Bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, disebutkan bahwa : “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.”8

Dalam ajaran Islam, pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis. Hal ini dapat ditelusuri dari sejarah kenabian. Wahyu yang pertama diterima Rasulullah SAW memperlihatkan pada pentingnya proses pendidikan. Yakni permulaan surat Al-Alaq ayat 1-5.9 Pun banyak berserak ayat-ayat alQuran maupun hadits yang menunjukan bahwa pendidikan Islam adalah suatu yang penting, misalnya Allah menjanjikan kepada siapa saja untuk mengangkat

7

Lihat dalam Abudin Nata, Paradigma Baru Pendidikan Islam di Era Pasar Bebas, dalam Didaktika Islamika, Jurnal Kependidikan, Keislaman dan Kebudayaan, Vol. 1, Januari 2005, hal. 42.

8

Beny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, (Yogyakarta: LkiS, 2005), cet. 1, hal. 171.

9

Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), cet. Ke-1, hal. 171.


(14)

derajatnya, selagi ia diberi ilmu dan mengamalkannya, sesuai dengan surat al-Mujadalah :11 :

Artinya :

ﹺﻊﹶﻓﺭﻴ

ﷲﺍ

ﻥﻴﺫﹼﻟﺍُ

ﻡﹸﻜـﹾﻨﻤﺍﻭﹸﻨﻤﺁ

ﻥﻴﺫﱠﻟﺍﻭ

ﻡﹾﻠﻌﹾﻟﺍﻭـﹸﺘﻭُﺃ

ﹰﺔﺠﺭﺩ

. . . .

“.. Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi pengetahuan dengan beberapa derajat”.

Begitu pentingnya ilmu (pendidikan) dalam Islam hingga Allah mewanti-wanti kepada umat Islam untuk tidak mengabaikan masalah yang satu ini sebagaimana firmanNya: Artinya :

ﻥﺎﹶﻜﺎـﻤﻭ

ﻥﻭﹸﻨﻤْﺌﻤﹾﻟﺍ

ﺄـﹶﻜﺍﻭﺭﻔﹾﻨﻴِﻟ

ﹰﺔﹶﻓ

ﹶﻻﻭﹶﻠﹶﻓ

ﺭﹶﻔﹶﻨ

ﻥﻤ

ِلﹸﻜ

ﺔﹶﻗﺭﻓ

ﻡﻬﹾﻨﻤ

ﹲﺔﹶﻔِﺌﺎـﹶﻁ

ﱠﻘﹶﻔﹶﺘﻴِﻟ

ﻰﻓﺍﻭﻬ

ﹺﻥﻴﺩﻟﺍ

ﺍﻭﺭﺫﹾﻨﻴِﻟﻭ

ﻡﻬﻤﻭﹶﻗ

ﺍﻭﻌﺠﺭﺍﹶﺫﺇ

ﻡﹺﻬﻴﹶﻟِﺇ

ﻡﻬـﱠﻠﻌﹶﻟ

ﻥﻭﺭﹶﺫﹾﺨﻴ

. .

“..Mengapa tidak pergi tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah: 122).10

Sementara itu, sikap Islam terhadap keragaman (pluralitas) sangat jelas. Islam tidak menolak adanya pluralisme, bahkan Islam memberikan kerangka sikap etis dan positif. Sikap etis dan positif Islam dimaksud tercermin dari beberapa ayat al-Qur’an yang secara eksplisit mengakui kenyataan tersebut. Seperti al-Qur’an menyatakan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai (QS. Al-Hujurat: 13). Al-qur’an juga menyatakan bahwa perbedaan di antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima sebangai kenyataan positif sebagai satu di antara tanda-tanda kekuasaan Allah (QS. Ar-Rum: 22). Dalam ayat lain ditegaskan, tentang

10

Syaikh Mahmud Abdul Fayid, Pendidikan dalam Al-Qur’an, (terj. Drs. Judi al-Falasany) (Semarang: Wicaksana, 1986), hal. 35.


(15)

kemajemukan pandangan dan cara hidup diantara manusia yang tidak perlu menimbulkan kegusaran, tetapi hendaknya dipahami sebagai pangkal tolak sumber motivasi untuk berlomba-lomba menuju kebaikan, karena hanya Tuhan-lah yang akan menerangkan mengapa manusia berbeda, nanti ketika manusia kembali kepadaNya.11

Pendidikan multikultural semakin dibutuhkan bagi masyarakat Indonesia, kian mendesak dilaksanakan di sekolah. Dengan pendidikan multikultural, sekolah menjadi lahan menghapus prasangka. Pembangunan rasa kesatuan berdasarkan budaya lokal juga dapat dimulai.

B. Identifikasi Masalah

Tertarik pada masalah yang terjadi dan yang telah disebutkan di atas, maka penulis mencoba melakukan pengkajian ilmiah yang akan meneliti mengenai relevansi pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam sebagai kerangka penyamaan pandangan persepsi, visi, dan misi masing-masing. Untuk itu penulis memilih judul :”Konsep Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam”.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar penelitian ini lebih terarah, maka perlu ada pembatasan masalah yang meliputi permasalahan sebagai berikut:

1. Konsep pendidikan multikultural yang dalam hal ini dibatasi pada pengertian pendidikan multikulural, prinsip-prinsip dasar dan tujuannya. 2. Konsep pendidikan Islam yang meliputi pengertian pendidikan Islam,

prinsip-prinsip dasar dan tujuannya.

3. Relevansi pendidikan multikultural dengan konsep pendidikan Islam.

11

Syamsul Arifin dan Ahmad Barizi, Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi, (Malang: UMM Press, 2001), cet. 1, hal. 2. Ayat-ayat lain yang senada al-Maidah: 48, al-Syura: 8, Hud: 118-119, dsb.


(16)

Dari pembatasan permasalahan tersebut, maka perumusan masalahnya timbul dari pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Bagaimana konsep pendidikan multikultural dalam pengertian, prinsip-prinsip dasar dan tujuannnya?

2. Bagaimana konsep pendidikan Islam meliputi pengetian, prinsip-prinsip dasar dan tujuannya?

3. Bagaimana relevansi pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam?

D. Metode Pembahasan

Penelitian ini merupakan kajian konsep, maka penulis mendasarkan pada sumber-sumber data atau referensi yang berbentuk teks dari pendapat para hali pendidikan yang telah diformulasikan dalam bentuk buku maupun lainnya. Tegasnya hal ini biasa disebut dengan penelitian kepustakaan (library research).

Sebagai proses understanding dari data teks tersebut, penulis kemudian menginterpretasikannya menggunakan metode deskripsi analisis, yakni diawali dengan pengumpulan data secara sistematis dam konsisten, yang kemudian dianalisis, diseleksi serta digabungkan untuk kemudian diambil kesimpulan menggunakan analisis yang deduktif, dari masalah yang bersifat umum kemudian diambil kesimpulan bersifat khusus.

E. Kegunaan dan Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui konsep pendidikan multikultural dalam perspektif pendidikan Islam.

2. Untuk mengetahui konsep pendidikan Islam multikulturalis.

3. Untuk mengetahui relevansi pendidikan multikultural dengan konsep pendidikan Islam dan bagaimana implementasinya.

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

2. Sebagai konstribusi penulisan, khususnya dalam dunia pendidikan Islam sebagai bahan rujukan awal bagi peneliti selanjutnya.


(17)

8

BAB II

KONSEPSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL; SEBUAH TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi Pendidikan Multikultural

Oleh beberapa pakar pendidikan multikultural masih diartikan sangat beragam. Belum ada kesepakatan, apakah pendidikan multikultural tersebut berkonotasi pendidikan tentang keragaman budaya, atau pendidikan untuk mengambil sikap agar menghargai keragaman budaya.

Dua kata, pendidikan dan multikultural, memiliki keterkaitan sebagai subjek dan objek atau ‘yang diterangkan’ dan ‘menerangkan’, juga esensi dan konsekuensi. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan dan mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdeasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirirnya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan pendidikan multikultural, secara terminologi merupakan proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama).1

Menurut Prudance Crandall, seorang pakar dari Amerika menyatakan, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaan) dan budaya (kultur).2

1

Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural: Rekonstruksi Sistem Pendidikan Berbasis Kebangsaan, (Surabaya: JP Books kerjasama dengan STAIN Salatiga Press, 2007), cet. 1, hal. 48.

2

Ainnurrofik Dawam, Emoh Sekolah Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural,(Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya, 2003),hal. 100.


(18)

Sementara itu, Azyumardi Azra mengatakan, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam mersepon perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.3

Dede Rosyada, sebagaimana mengutip Karmanto Sunarto menjelaskan bahwa pendidikan multikultural biasa diartikan sebagai “pendidikan keragaman budaya dalam masyarakat, dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan yang menawarkan ragam model untuk keragaman budaya dalam masyarakat, dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan untuk membina sikap siswa agar menghargai keragaman budaya masyarakat.4

Jika dipetakan, definisi pendidikan multikultural sesungguhnya dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu sebagai sebuah ide atau konsep, sebagai gerakan pembaruan pendidikan, dan sebagai sebuah proses. Pendidikan multikultural sebagai sebuah ide diartikan bahwa bagi semua siswa – dengan tanpa melihat gender, kelas sosial, etnik, ras, dan karakteristik budaya – harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah.5 Banks, dalam kutipan Azyumardi Azra mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai bidang kajian dan disiplin yang muncul yang tujuan utamanya menciptakan kesempatan pendidikan yang setara bagi siswa dari ras, etnik, kelas sosial, dan kelompok budaya yang berbeda.6

Sebagai sebuah gerakan, pendidikan multikultural sebagai suatu pendidikan yang menunut kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita sehingga mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Pendidikan akan dasar-dasar

3

Azyumardi Azra, Pendidikan Multikultural; Membangun Kembali Indonesia Bhineka Tunggal Ika, dalam Tsaqofah, Vol. I, No. 2, tahun 2003, hal. 21.

4

Dede Rosyada, Pendidikan Multikultur Melalui Pendidikan Agama, dalam Jurnal Didaktika Islamika, Vol, VI, No. I, Juni 2005, hal. 21-22.

5

Khaerudin, Konstribusi Teknogi dalam Membangun Pendidikan Multikultural, sumber : http://www.ilmupendidikan.net/?p=8

6

Azyumardi Azra, Dari Pendidikan Kewargaan hingga Pendidikan Multkultural : Pengalaman Indonesia, dalam Edukasi : Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Vol. 2, No. 4, tahun 2004, hal. 19-20.


(19)

kemanusiaan untuk perdamaian, kemeredekaan, dan solidaritas7. Bikhu Parekh mendefinisikan pendidikan multikultur sebagai, “an education in freedom, both in the sense of freedom from ethnocentric prejudices and biases, and freedom to eksplore and learn from other cultures and prespectives”.8

Sedangkan dalam perspektif sebagai proses, pendidikan multikultural adalah (1) proses mengenal realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami individu yang secara kultural berbeda dan dalam interaksi manusia yang kompleks, dan (2) cerminan pentingnya memperhatikan budaya, ras, perbedaan seks dan gender, etnis, agama, status sosial, dan ekonomi dalam proses pendidikan. Sletter sebagaimana dikutip oleh Burnet (1991:1), mengartikan pendidikan sebagai “any set of prosess by which schools work with rather than against appressed groups”. 9

Sebagai proses pembelajaran semangat multikulturalisme, pendidikan multikultur berupaya membina dan mendidik kemampuan belajar hidup bersama (living together) di tengah perbedaan dapat dibentuk, dipupuk, dan atau dikembangkan dengan kegiatan, keberanian, dan kegemaran melakukan perantauan budaya (cultural passing over), pemahaman lintas budaya (cross cultural understanding) dan pembelajaran lintas budaya (learning a cross culture).10

Selanjutnya, pendidikan multikultural berkehendak pada penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia darimanapun dia datangnya dan berbudaya apapun dia. Harapannya, sekilas adalah terciptanya kedamaian yang sejati, kemanan yang tidak dihantui kecemasan, kesejahteraan yang tidak dihantui manipulasi, dan kebahagiaan yang terlepas dari jaring-jaring manipulasi rekayasa sosial.

7

Frans Magnes Suseno, Islam dan Pendidikan Pluralisme, dalam Suara Pembaruan, edisi 23 September 2000.

8

Biku Parekh, Rethinking Multiculturalisme: Cultural Diversity and Political Theory, (Cambridge: Harvard University Press, 2000), hal. 230.

9

Lihat dalam Miftahul Choiri, Pendidikan Multikultural dan Implementasinya dalam Pendidikan, dalam Jurnal Cendekia, Vol. 3, No.2 Juli-Desember 2003.

10


(20)

Dalam penggolongan yang lain, Calarry Sada menutip tulisan Sletter dan Grant menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki empat makna (model), yakni :

1) pengajaran tentang keragaman budaya sebuah pendekatan asimiliasi kultural;

2) pengajaran tentang berbagai pendekatan dalam tata hubungan sosial; 3) pengajaran untuk memajukan pluralisme tanpa membedakan strata

sosial dalam masyarakat;

4) pengajaran tentang refleksi keragaman untuk meningkatkan pluralisme dan kesamaan.11

Dus, definisi pendidikan mulikultural masih sangat beragam, bahkan Banks dalam bukunya Multicultur Education: Historical Development,

Dimension, and Practice (1993) menyatakan bahwa meskipun tidak ada konsesus

tentang itu ia berkesimpulan bahwa diantara banyak pengertian tersebut maka yang dominan adalah pengertian pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color.

Meski demikian, dari banyaknya definisi-definisi tersebut tersimpul garis besar beberapa hal penting yaitu, pendidikan tentang multikultural, pendidikan untuk multikultural dan pendidikan kepada multikultural. Kemudian keterkaitan pendidikan multikultural dengan konteks waktu dan realitas sebagai respon zaman juga terlihat dari beberapa definisi tersebut. Tentang hal ini, Paulo Freire berpendapat bahwa pendidikan bukan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.12

Dengan demikian, jelas bahwa orientasi dari pendidikan multikultural adalah pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis sekaligus berwawasan multikultural. Pendidikan semacam ini harus dilihat sebagai bagian dari upaya komperhensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, sparatisme, dan disintegrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.

11

Dede Rosyada, Pendidikan Multikultur…., hal. 22.

12

Muhaimin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam http://www.cyberschooldps.net - 27 February, 2008, hal. 3.


(21)

Pendidikan multikultural dalam konteks ini juga diartikan sebagai proses pendidikan yang memberikan peluang yang sama pada seluruh anak bangsa tanpa membedakan perlakuan karena perbedaan etnik, budaya dan agama yang memberikan penghargaan terhadap keragaman, dan yang memberikan hak-hak yang sama bagi etnik minoritas dalam upaya memperkuat persatuan dan kesatuan, identitas nasional dan citra bangsa di mata dunia internasional. Dus, pendidikan multikultural adalah salah satu solusi dari banyaknya konflik dan ketegangan-ketegangan bermotif SARA yang kerap muncul di Indonesia yang menguras energi bangsa ini.

Sebagai penegas akhirnya penulis sendiri menarik kesimpulan bahwa definisi-definisi pendidikan multikultural tersebut di atas memiliki muara yang lebihkurang sama, yakni sebuah ide (gagasan), gerakan dan proses pengembangan potensi, sikap dan tata laku manusia dalam usaha pendewasaan melalui pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan dan tata-cara yang menghargai perbedaan, demokratis, humanis, pluralis dan egaliter guna mewujudkan bangsa yang kuat, maju, adil, makmur dan sejehtera tanpa diskriminasi dan dikotomisasi. Dengan demikian bangsa ini memiliki harga diri yang tinggi dan dihargai oleh bangsa-bangsa lain di dunia

B. Sejarah Lahirnya Pendidikan Multikultural di Dunia

Setelah menjelaskan pengertian dari definisi pendidikan multikultural, kiranya perlu digambarkan bagaimana sejarah, wacana kelahiran dan perkembangannya di beberapa negara di dunia. Hal ini agar diketahui dan dipahami konsep pendidikan multikultural secara komperhensif dan integral.

Secara sederhana multikulturalisme berarti “keragaman budaya”. Menurut Dawam Rahardjo, sebenarnya multikulturalisme itu sama atau sejalan dengan beberapa faham lain yang juga sering disebut, yaitu pluralisme, masyarakat terbuka (open society) dan globalisme. Pluralisme adalah suatu paham yang bertolak dari kenyataan pluralitas masyarakat. Ia tidak bertolak dari asumsi bahwa


(22)

setiap kultur atau agama itu sama, justru yang didasari adalah adanya perbedaan.13 Meski demikian, sebenarnya ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut -baik keberagaman ras, agama, bahasa, dan budaya-, yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversitas), dan multikultural.

Sedikit berbeda, Tilaar membedakan istilah-istilah tersebut. Ia menyatakan istilah plural itu sendiri mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan sekedar pengakuan akan adanya hal-hal yang berjenis, tetapi juga pengakuan tersebut mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial, ekonomi, dan yang lainnya.14 Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak mempresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ‘ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ‘hal-hal yang lebih dari satu’ (many); kergaman menunjukan bahwa keberadaan yang ‘lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan; multikultural yang relatif paling baru, adalah tidak sekadar mengakui adanya yang ‘lebih dari satu’ tapi juga kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.

Jadi, jika pluralitas sekadar mempresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu dipelakukan sama oleh negara. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut adanya pengakuan (politics of recognition).15 Ditambahkan, bahwa pengakuan tersebut

13

M. Dawam Rahardjo, Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme, dalam Bulletin Kebebasan Edisi No. 4/V/2007, hal. 5.

14

H.A.R Tilaar, Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grassindo, 2004), hal. 82.

15

Politics of Recognition dikemukakan oleh Charles Taylor pada 1992 di depan kuliah terbuka di Princenton University. Mulanya gagasan ini adalah gagasan politik yang kemudian berkembang di kajian lain, filsafat, sosiologi, budaya dan lainnya. Gagasan ini dipengaruhi oleh Jean Jacques Rousseau dalam Discourse Inequality dan kesamaan martabat (equal dignity of human rights) yang dicetus Immanuel Kant. Gagasan Taylor bersumber pada pertama, sesungguhnya harkat dan martabat manusia adalah sama. Kedua, pada dasarnya budaya dalam


(23)

bukan hanya oleh negara semata-mata tapi juga antar komunitas satu dengan lainnya karena secara hakiki, multikulturalisme mengandung pengertian pengakuan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik. Pengakuan berarti penghargaan akan keberadaan yang dimiliki orang lain. Abdurrahman Assegaf juga memaknai “menghargai perbedaan” berarti siap untuk menerima kehadiran orang lain di tengah kehidupan kita secara kolektif (learning to live together).16 Dengan demikian multikulturalisme adalah paham dan gerakan yang menuntut penghargaan dan pengakuan yang bersifat vertikal (antar komunitas) dan horizontal (komunitas dengan negara). Indonesia yang multikultur secara sukubangsa atau kebudayaan suku bangsa sebagaimana ciri masyarakat majemuk, belum sepenuhnya memahami multikulturalisme, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan tersebut dalam kesedarajatan.

Demikianlah bahwa multikultutralisme memberikan pengandaian akan adanya kesadaran bagi setiap komunitas dengan identitas kultural tertentu dan posisinya sebagai bagian dari harmoni kehidupan. Dalam hal ini multikulturalisme meniscayakan keragaman dan pluralitas. Titik tekan pluralisme dan multikulturalisme adalah terletak pada domain bangunan kesadaran akan keragaman. Jika pluralisme mengisaratkan kesadaran dibangun atas individu dengan cita-cita ideal adanya personal right yang mengarah pada liberalisme dan masyarakat komunikatif, adapun multikulturalisme dibangun atas kesadaran kolektif sebuah komunitas yang mengarah pada pembentukan masyarakat madani yang multi etnik, keragaman agama dan identitas sosial yang lain

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan

masyarakat adalah berbeda-beda, oleh karena itu membutuhkan hal yang ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semua elemen sosial-budaya, termasuk juga negara. Lihat Charles Taylor, “The Politics of Recognition” dalam Amy Gutman, Multiculturalism, Examining the Politics of Recognition, (Princenton: Princenton University Press, 1994), hal. 18. sumber : www.bagais.go.id/jurnaldikti/dokfdp akses tanggal 20 Januari 2008

16

Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural: Rekonstruksi Sistem Pendidikan Berbasis Kebangsaan, (Surabaya: JP Books kerjasama dengan STAIN Salatiga Press, 2007), cet. 1, hal. 7.


(24)

konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.

Selanjutnya Suparlan menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.17

Menurut Bloom, multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian budaya seseorang dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Meski demikian, sebuah penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan orang lain tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi

17

Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, makalah disajikan pada Simposium Internasional, di Universitas Udayana 16-19 Juli 2002. Sumber: http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikelps.htm Diakses tanggal 24 September 2006.


(25)

anggota-anggotanya sendiri.18 Dengan demikian multikulturalisme sebagai sebuah paham menekankan pada keseteraan budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada.

Konsep multikulturalisme mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi, politik, demokrasi, keadilan, penegakan hukum, kesempatan kerja dan usaha, hak asasi manusia, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, tingkat serta mutu produktivitas serta berbagai konsep lainnya yang relevan.19

Lantas kapan wacana multikulturalisme mulai mengemuka? Multikulturalisme marak digunakan pada tahuan 1950-an di Kanada. Menurut

Longer Oxford Dictionary, istilah “multiculturalism” berasal dari dari kata “multicultural”. Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada Montreal

Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat

“multicultural dan multi-lingual”.20

Secara umum, sejarah multikulturalisme baru sekitar 1970 di berbagai belahan dunia seperti Kanada, Australia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan lainnya yang kemudian diskursus multikulturalisme berkembang sangat cepat. Hal itu lebih disebabkan karena tuntutan dan perkembangan zaman. Lahirnya multikulturalisme ditandai dan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :

a) Proses demokratisasi dalam masyarakat;

b) Pembangunan kembali setelah Perang Dunia ke-II; dan c) Lahirnya Paham Nasionalisme Kultural.21

Sejarah multikulturalisme adalah sejarah tentang masyarakat majemuk. Selain Kanada, Amerika dan Australia adalah dari sekian negara yang sangat serius mengembangkan konsep dan teori-teori multikulturalisme dan pendidikan multikultural, mereka tergolong negara yang berhasil mengembangkan

18

Atmaja, Multikulturalisme dalam Perspektif Filsafat Hindu, makalah disampaiakan pada Seminar Damai dalam Perbedaan, Singaraja 5 Maret 2003.

19

Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, makalah disajikan pada Simposium Internasional, di Universitas Udayana 16-19 Juli 2002. Sumber: http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikelps.htm

20

Muhaimin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam dalam situs http://www.education/pendOrg.hatm.

21

H.A.R Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grassindo, 2004), hal. 82.


(26)

masyarakat multikultur dan mereka dapat membangun identitas kebangsaannya, dengan atau tanpa menghilangkan identitas kultur mereka sebelumnya, atau kultur nenek moyang tanah asalnya.

Di Amerika misalnya, menurut Muhaimin el-Ma’hady, sejarah multikulturalisme berjalan secara bertahap dan dinamis. Sejak Colombus menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara, terdiri dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi di mata Anglo Saxon (imigran asal Eropa) yang menyebarkan koloni di abad ke-17, tanah di negara baru itu adalah kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari mahluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukan. Dari perpektif kaum puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabel secara generik dengan nama “Indian” adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berprespektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang ada.

Hingga kemudian pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776), ketika ingin membentuk masyarakat baru Amerika Serikat mulai menyadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karenanya dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan22. Dalam pada itu, Dede Rosyada mengelaborasi bahwa sejarah multikulturalimse diawali dengan teori

meltingpot yang sering diwacanakan oleh J. Hector, seorang imigran gelap asal Normandia. Dalam teorinya Hector menekankan penyatuan budaya dan melelehkan budaya asal, sehingga seluruh imigran Amerika hanya memiliki satu budaya yaitu budaya Amerika yang lebih didominasi oleh kultur White Anglo Saxon Protentant (WASP) sebagai kultur imigran putih asal Eropa.

22

Muhaimin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam dalam situs http://www.education/pendOrg.hatm


(27)

Kemudian ketika komposisi etnik Amerika kian beragam dan budaya mereka kian menjemuk, maka teori melting pot kemudian dikritik dan muncul teori baru yaitu salad bowl sebagai alternative dipopulerkan oleh Horace Kallen. Berbeda dengan melting pot yang melelehkan budaya asal dalam membangun budaya baru yang dibangun dalam kergaman, teori salad bowl atau teori gado-gado terebut tidak menghilangkan budaya asal, tapi sebaliknya kultur-kultur lain di luar WASP diakomodir dengan baik dan masing-masing memerlukan ruang gerak yang leluasa, sehingga dkembangkan teori cultural pluralisme, yang membagi ruang pergerakan budaya menjadi dua, yakni ruang publik untuk seluruh etnik mengartikulasikan budaya politik dan mengekspresikan partisipasi sosial politik mereka. Dalam konteks ini, mereka homogen dalam sebuah tatanan budaya Amerika, akan tetapi mereka juga memiliki ruang privat yang di dalamnya mereka mengekspresikan budaya etnisitasnya secara leluasa.

Dengan berbagai teori di atas, bangsa Amerika berupaya memperkuat bangsanya, membangun kesatuan dan persatuan, mengembagkan kebanggaan sebagai orang Amerika. Namun pada tahun 1960-an, masih ada sebagian masyarakat yang merasa hak-hak sipilnya belum terpenuhi. Kelompok Amerika latin atau etnik minoritas lainnya merasa belum terlindungi hak-hak sipilnya. Atas dasar itulah kemudian mereka mengembangkan multiculturalisme, yang menekankan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak minoritas baik di lihat dari segi etnik, agama, ras atau warna kulit. Multikulturalisme pada akhirnya sebuah konsep akhir untuk membangun kekuatan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang etnik, agama, ras, budaya dan bahasa dengan menghargai dan menghormati hak-hak sipil mereka, termasuk hak-hak minoritas. Sikap apresiatif tersebut akan dapat meningkatkan partisipasi mereka dalam membesarkan sebuah bangsa, karena mereka akan menjadi besar karena kebesaran bangsanya itu.23

Sementara itu, pendidikan multikultural di Kanada mempunyai wajah yang berlainan karena sejak semula sebagian dari negara Kanada mengenal budaya yang belainan, yaitu budaya Prancis di negara bagian Quebec. Perkembangan

23

Dede Rosyada, Pendidikan Multikultur Melalui Pendidikan Agama, dalam Jurnal Didaktika Islamika, Vol, VI, No. I, Juni 2005, hal. 20-21.


(28)

pendidikan multikultural di Kanada dengan demikian lebih bersifat progresif dibandingkan dengan negara tetangganya.

Di Jerman dan Inggris, pendidikan multikultural dipacu oleh migrasi penduduk akibat pembangunan kembali Jerman atau migrasi dari eks jajahan Inggris memasuki Inggris Raya. Kebutuhan akan kelompok-kelompok etnis baru ini terhadap pendidikan generasi mudanya telah meminta paradigma baru di dalam pendidikan yang melahirkan pendidikan multikultural.

Kemudian juga di Australia, pendidikan multikultural mendapatkan momentumnya dengan perubahan politik luar negri Australia. Seperti diketahui Australia merupakan suatu negara yang relatif tertutup bagi kelompok kulit berwarna. White man policy yang belum lama ditinggalkan oleh pemerintah Australia telah menyebabkan migrasi dari kelompok-kelompok etnis bukan hanya dari Eropa tetapi juga dari Asia seperti India, Cina, Vietnam, dan juga dari Indonesia24.

Menurut Bikhu Parekh, setelah tiga dekade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang penting yaitu, pertama

multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda, prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (poltics of recognition) adalah ciri utama dari gelombang ini.

Gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya. Pada gelombang ini mengalami beberapa tahapan, di antaranya :

a. kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai displin akademik lain, pembebasan melawan imrealisme dan kolonialisme.

b. gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/masyarakat adat (indigeous people), post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post modernisme dan post-strukturalisme yang mendekonstruksi struktur kemapanan dalam masyarakat.25

24

Sumber dari http://multikulturalisme.blogspot.com/2006/12/pendidikan-multikultural-di-indonesia_04.html

25

Grgory Jay, Critical Context For Multiculturalism, dalam www.uwm.edu-/gjay/Multicult/conte+tmulticulut.htm. Download 2 Desember 2005


(29)

Gelombang kedua ini tampak makin progresif dan dinamis, memandang jauh ke depan. Pun begitu, Steve Fuller mewanti-wanti adanya tantangan yang harus diperhatkan dan diwaspadai yang muncul dari akibat multikulturalisme gelombang kedua ini, antara lain :

Pertama, adanya hegemoni barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan. Komunitas, utamanya negara-negara berkembang, perlu mempelajari sebab-sebab hegemoni barat dalam bidang-bidang tersebut dan mengambil langkah-langkah seperlunya mengatasinya, sehingga dapat sejajar dengan dunia barat.

Kedua, esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi budaya tanpa harus jatuh ke dalam pandangan xenophobia

dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas itu sendiri di dalam era globalisasi, dan

Ketiga, proses globalisasi yang bisa memberangus identitas dan

kepribadian suatu budaya.26

Kemudian bagaimana posisi pendidikan multikultural dalam proses, wacana dana teori-teori multikulturalisme di atas?. Pendidikan multikultural menjadi bagian penting dari multikulturalisme. Ia menjadi semacam medium sosialiasi dan pengembangan multikulturalisme. Wacana tentang pendidikan multikultural terus mengemuka seiring dengan terus bergulirnya arus demokratisasi dalam kehidupan bangsa, yang berimplikasi pada penguatan civil society dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).

Ketika ingin membentuk masyarakat baru pasca kemerdekaannya, Amerika Serikat menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakat induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui

26

Lihat Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grassindo, 2004),, hal. 83-85.


(30)

sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat menggunakan sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.27

Dengan demikian konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokrasi seperti di Amerika Serikat dan Kanada bukan hal baru lagi. Mereka telah mempraktikan khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit putih dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.

Pendidikan multikultural tidak bisa lepas dari diskursus multikulturalisme, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” seusai Perang Dunia ke-II. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri yang baru migrasi ke Amerika dan Eropa.28 R. Stavenhagen dalam kutipan Tilaar, menyatakan :

Religious, linguistic, and national minoritas as well as indigeous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people… had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the eduacational and legal system.29

Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang

27

Muhaimin, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam dalam situs http://www.education/pendOrg.hatm

28

Said Agil Husin al-Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai dalam Sistem Pendidikan Islam, (Ciputat: Ciputat Press, 2005), cet.2, hal. 208.

29

Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grassindo, 2004), hal. 46.


(31)

damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan multikultural bergandeng mesra dengan multikulturalisme, ditandai dengan proses demokratisasi dan dipicu oleh tuntutan pengakuan terhadap hak asasi manusia, anti diskriminasi dan dikotomisasi atas warna kulit, agama, adat istiadat, kultur maupun gender. Semua manusia diciptakan oleh Tuhan sama dan sederajat. Multikulturalisme dan pendidikan multikultural, sekarang dan ke depan akan menjadi tema menarik dan ramai diperbincangkan.

C. Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural merupakan sebuah model pendidikan aplikatif sekaligus responsible terhadap gejala multikulturalisme. Menurut Redolfo Stavenhagen, sebagaimana dikutip Miftahul Choiri, pendidikan multikultural harus didasarkan pada tujuan untuk menciptakan stabilitas dan integrasi nasional. Oleh karena itu, latar belakang kehidupan masyarakat baik yang berada di pedesaan maupun di perkotaan harus mendapatkan perhatian yang proporsional sehingga model pendidikan yang diberikan kepada mereka sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat.30

Sebagaimana keterangan pada proses keterkaitan antara (ke)budaya(an) dengan pendidikan terdahulu. Menurut Parekh bahwa istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen, yakni terkait dengan kebudayaan, konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara. Namun, yang masih menjadi pertanyaan besar, model kebijakan

30


(32)

multikultural seperti apa yang dapat dikembangkan oleh suatu negara seperti Indonesia?

Untuk menghantarkan pada pengidentifikasian pendekatan-pendekatan dalam perumusan prinsip-prinsip pendidikan multikultural, tidak ada salahnya jika menegok bentuk-bentuk materi-materi praktek pendidikan multikultural di Amerika sebagaimana catatan Kymlica yang dirangkum oleh Dede Royada, meliputi :

1. Tentang hak-hak individual dan hak-hak kolektif dari setiap warga negara masyarakat, yakni setiap individu dari suatu bangsa memiliki hak yang sama untuk terpebuhi seluruh hak-hak asasi kemanusiaannya, seperti hak untuk memeluk agama, hak untuk memperoleh kehidupan yang layak, hak atas kesempatan berusaha dan yang sebagnsanya. Demikian pula, secara kolektif, walaupun mereka berasal dari etnik minoritas dan tidak memiliki perwakilan dalam birokrasi dan lembaga legislatif, tapi mereka memiliki hak yang sama dengan kelompok mayoritas untuk menyampaikan aspirasi politiknya, mengembangkan budayanya, dan yang sebangsanya.

2. Tentang kebiasaan individual dan budaya, yakni bahwa setiap individu termasuk etnik minoritas memiliki kebebasan untuk berkreasi, berkarya bahkan untuk mengembangkan dan memajukan budayanya. Kelompok etnik mayoritas harus menghargai hak-hak minoritas untuk mengembangkan budayanya itu.

3. Tentang keadilan dan hak-hak minoritas, yakni seluruh anggota masyarakat memiliki hak yang sama untuk memperoleh keadilan dari negara, dan bahkan mereka juga memiliki hak untuk mengembangkan kultur etniknya, termasuk etnik minoritas yang harus mampu mengelola bahsa, dan berbagai institusi sosialnya, agar tidak hilang dalam budaya kelompok etnik mayoritas.

4. Jaminan minoritas untuk bisa berbicara dan keterwakilan aspirasinya dalam struktur pemerintahan legislatif. Mereka memiliki hak untuk bisa terwakili, tetapi karena sistem kepartaian, seringkali kelompok-kelompok etnik, budaya dan kepentingan tidak terwakili, seperti wanita pekerja yang belum tentu terwakili di parlemen. Etnik kecil yang belum tetntu terwakili aspirasi dan suaranya dalam pengambilan putusan tentang kebijakan pembangunan.

5. Toleransi dan batas-batasnya, yakni bahwa etnik minoritas yang tidak terwakili langsung di parlemen atau birokrasi, harus dilindungi oleh etnik atau kelompok yang menguasai lembaga-lembaga otoritatif untuk pengambilan kebijakan-kebijakan publik. Akan tetapi, mereka yang berusaha memperhatikan hak-hak minoritas tersebut memiliki berbagai keterbatasan, karena harus memperhatiakan etnik atau kelompok mayoritas yang justru mereka wakili. Oleh sebab itu, hak-hak minoritas itu tetap memperoleh perhatian tapi dalam keterbatasan.31

31


(33)

Dengan bentuk materi praktek pendidikan multikultural demikian, Amerika Serikat menurut hasil sebuah penelitian mengungkapkan beberapa program pendidikan multikultural di Amerika ini sangat memungkinkan diterapkan dalam masyarakat yang multikultur, meskipun masih ada beberapa masalah yang akan terus muncul, namun kontribusi pendidikan multikultural sangatlah signifikan. Tidak terbantahkan bahwa anggapan pendidikan multikultural sebagai faktor kunci membutuhkan proses panjang dan menghadapi berbagai tantangan. Namun demikian, pendidikan multikutural juga sangat membantu sebagai strategi merekonstruksi kesetaraan dalam pendidikan, mewujudkan kurikulum yang mengakomodasikan keberagaman, perubahan budaya, teknik pengajaran dan meminimalkan diskriminasi dalam bentuk ras, kecurigaan dan prasangka untuk semua warga negara dalam wadah masyarakat multikultural.32

Selanjutnya, secara umum paling tidak tiga model kebijakan multikultural negara-negara di dunia: Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu.

Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar

32

Yuyun Nur Hidayati, Multicultural Education In America, (Tesis), (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada). Sumber: google.com/search/Multi_Amerika.htm.


(34)

yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.

Ketiga, model multikultural- etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik- konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri33.

Sekali lagi, tiap bangsa memiliki keunikannya sendiri, pendidikan multikultural di Amerika bisa jadi tidak bisa diterapkan sepenuhnya di Indonesia. Namun, secara universal, di manapun pendidikan multikultural mestilah terkandung nilai-nilai penghormatan terhadap hak asasi kemanusiaan dan kearifan memandang setiap manusia sebagai mahluk yang berbudaya. Multikulturalisme sendiri adalah bagian integral dalam pelbagai sistem budaya masyarakat, salah satunya adalah menjelma dalam pendidikan multikultural. Pendidikan berwawasan multikultural dalam rumusan Jemes A. Banks adalah konsep, ide atau falasafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribaadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.34

33

Achmad Fedyani Saifuddin, Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia, sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/21/pustaka/2374717.htm

34

James A. Bank dan Cherry A. Mc Gee (ed), Handbook of Research on Multicultural Education, (San Fransisco: Jossey-Bass, 2001), hal. 28.


(35)

Mengenai manusia mahluk yang berbudaya, Bikhu Parekh menggaris bawahi tiga asumsi dasar yang harus diperhatikan dalam kajian ini, pertama, pada dasarnya manusia akan terkait dengan struktur dan sistem budayanya sendiri dimanapun dia hidup dan berinteraksi. Keterkaitan ini tidak berarti bahwa manusia tidak bisa bersikap kritis terhadap sistem budaya tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya tersebut. Kedua, perbedaan budaya merupakan representasi dari sistem nilai dan cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu budaya merupakan satu entitas yang realtif sekaligus partial dan memerlukan budaya lain untuk memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya-pun yang berhak memaksakan budayanya kepada sistem budaya lain.

Ketiga, pada dasarnya budaya secara internal merupakan entitas yang plural yang merefleksikan interaksi antar perbedaan tradisi dan untaian cara pendang. Hal ini tidak berarti menegasikan koherensi dan identitas budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah suatu yang majemuk, terus berproses dan terbuka.35 Parekh menulis:

“a culture’s relation to it self shapes and is turn shaped by its relatin to others, and their internal and external pluralities presuppose and reinforceeach other. A cultur cannot appreciate the value of other unless it appreciates the plurality within it.36

Dengan demikian jelaslah bahwa prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam penerapan pendidikan multikultural harus menimbang akan kebutuhan dan budaya suatu negara. Dalam pelaksanaannya, Banks menjelaskan lima dimensi yang harus ada dalam perumusan pendidikan multikultural, yaitu: Pertama,

adanya integrasi pendidikan dalam kurikulum (content integration) yang di dalamnya melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yang tujuan utamanya adalah menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan (konwledge construction) yang diwujudkan dengan mengetahui dan memahami secara komperhensif keragaman yang ada. Ketiga, pengurangan prasangka

35

Diambil dari Bikhu Parekh, What is Multiculturalism?, dalam Jurnal India Seminar, Desember 1999, sumber,www.google.com/search/what-is-multiculturalisme.htm

36

Bikhu Parekh, What is Multiculturalism?, dalam Jurnal India Seminar, Desember 1999, sumber,www.google.com/search/what-is-multiculturalisme.htm


(36)

(prejudice reduction) yang lahir dari interaksi antar keragaman dalam kultur pendidikan. Keempat, pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy) yang memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap elemen yang beragam.

Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering school culture). Hal yang kelima ini adalah tujuan dari pendidikan multikultur yaitu agar sekolah menjadi elemen pengentas sosial (transformasi sosial) dari struktur masyarakat yang timpang kepada struktur yang berkeadilan.37

Peran pendidikan di dalam multikuklturalisme hanya dapat dimengerti di dalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan meliputi disiplin-disiplin ilmu yang lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah posmoderenisme, antropologi, dan sosiologi. Dalam hal ini dimaksudkan agar dalam perjalanan sejarah pendidikan multikultural nantinya tidak kehilangan arah atau bahkan berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme. Oreintasi yang seharusnya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi:

1. Orientasi kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian besifat universal, global, diatas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama.

2. Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang tidak ada batasannya. Tentunya kebersamaan yang dibangun di sini adalah kebersamaan yang sama sekali terlepas dari unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-maising pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta negara.

3. Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan suatu kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini hanya dijadikan sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi harus dibuktikan dengan prilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat.

4. Orientasi profesional. Profesional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan.

37

James A. Banks, Multiccultural Education: Historical Developmen, Dimension, and Practice, dalam Handbook…., hal. 28


(37)

5. Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang diyakini oleh orang banyak.

6. Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan dominasi hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Hanya saja kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari jauh-jauh oleh para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis. Karena hegemoni bukan hanya dibidang politik, melainkan juga dibidang pelayanan terhadap masyarakat.18

Selanjutnya Tilaar juga menggarisbawahi enam hal kebutuhan model pendidikan (multikultural) di Indonesia yang yang harus diperhatikan, antara lain:

Pertama, pendidikan multikultural haruslah berdimensi right to culture dan identitas lokal. Kedua, kebudayaan Indonesia yang menjadi, artinya kebudayaan Indonesia merupakan weltanschauung yang terus berproses dan merupakan bagian integral dari proses kebudayaan mikro. Oleh karena itu, perlu sekali untuk mengoptimalisasikan budaya lokal yang beriringan dengan apresiasi terhadap budaya nasional. Ketiga, pendidikan multikultural normatif yaitu model pendidikan yang memperkuat identitas nasional yang terus menjadi tanpa harus menghilangkan identitas budaya lokal yang ada. Keempat, pendidikan multikultural tidak boleh terjebak pada xenophobia, fanatisme dan fundamentalisme, baik etnik, suku, ataupun agama. Kelima, pendidikan multikultural merupakan pedagogik pemberdayaan (pedagogy of empowerment)

dan pedagogik kesetaraan dalam kebudayaan yang beragam (pedagogy of equite). Pedagogik pemberdayaan pertama-tama berarti seseorang diajak mengenal budayanya sendiri dan selanjutnya digunakan untuk mengembangkan budaya Indonesia di dalam bingkai negara-bangsa Indonesia. Dalam upaya tersebut diperlukan suatu pedagogik kesetaraan antar-individu, antar-suku, antar-agama dan beragam perbedaan yang ada. Keenam, pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan visi Indonesia masa depan serta membangun etika bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan untuk mengembangkan prinsip-prinsip eris (moral)

18


(1)

DAFTAR PUSTAKA

al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, tt).

Ahmadi, Abu, Islam sebagai Pardigma Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta : Aditya Media, 1992).

Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: C3RD Press, 2005). ---, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta:

Ciputat Press, 2002), cet.1.

---, Tantangan Pendidikan di Era Global, dalam Jurnal Institut, NO. I, thn. 2005.

---, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Diktat perkuliahan, 2002). Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993).

Arifin, Syamsul dan Barizi, Ahmad, Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme

dan Demokrasi, (Malang: UMM Press, 2001), cet. 1.

Azizy, A. Qodri, Pendidikan (agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), cet. 2.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Multikultural; Membangun Kembali Indonesia

Bhineka Tunggal Ika, dalam Tsaqofah, Vol. I, No. 2, tahun 2003.

---, Dari Pendidikan Kewargaan hingga Pendidikan Multkultural :

Pengalaman Indonesia, dalam Edukasi : Jurnal Penelitian Pendidikan

Agama dan Keagamaan, Vol. 2, No. 4, tahun 2004.

Bakhtiar, Adam, Paradigma Pendidikan Islam, dikutip www.pendidikan.net/mk-hujair.pdf. akses: 03/03/2006.

Bukhari, Imam, Shahih Bukhari, (Beirut : Darul Fikri, 1994), juz. 1.

Choiri, Miftahul, Pendidikan Multikultural dan Implementasinya dalam

Pendidikan, dalam Jurnal Cendekia, Vol. 3, No. 2 Juli-Desember 2003.

Daradjat, Zakiah, et.al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992). Dawam, Ainnurrofik, Emoh Sekolah Menolak Komersialisasi Pendidikan dan

Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural,(Yogyakarta:


(2)

Faqih, Abdullah, Pendidikan Multikultural dan Keabsahan Demokrasi, dalam http://abdullahfaqih.multiply.com/journal/item/6

Fayid, Syaikh Mahmud Abdul, Pendidikan dalam Al-Qur’an, (terj. Drs. Judi al-Falasany), (Semarang: Wicaksana, 1986).

Gutman, Amy, Multiculturalism, Examining the Politics of Recognition, (Princenton: Princenton University Press, 1994), hal. 18. sumber : www.bagais.go.id/jurnaldikti/dokfdp

Hanum, Farida, Rintisan Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah dalam

Membangun Perilaku Bangsa, Pidato pengukuhan Guru Besar Sosiologi

Pendidikan, FKIP Universitas Negeri Yogyakarta, 20 April 2009.

Hasan, Chalidijah, Kajian Pendidikan Perbandingan, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1994), cet. 1.

Hidayati, Yuyun Nur, Multicultural Education In America, (Tesis), (Yogyakarta:

Universitas Gajah Mada). Sumber:

google.com/search/Multi_Amerika.htm.

Hussain, Syed Sajjad dan Syed Ali Ashraf, Krisis dalam Pendidikan Islam, (terj. : Fadlah Mudhafir), (Jakarta : Al-Mawardhi Prima, 2000), cet.ke-I.

Ibrahim, Ruslan, Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik dalam

Era Pluralitas Agama, dalam El-Tarbawy : Jurnal Pendidikan Islam, No.

1, Vol.I 2008.

Ihsan, Hamdani dan Ihsan. Fuad, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001), cet. II.

Jalal, Fasli, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Aditia, 2001).

Jalaludin dan Said, Usman, Filsafat Pendidikan Islamm ; Konsep dan

Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994).

James A. Bank dan Cherry A. Mc Gee (ed), Handbook of Research on

Multicultural Education, (San Fransisco: Jossey-Bass, 2001), hal. 28.

www.bagais.go.id/jurnaldikti/dokfdp

Jay, Grgory, Critical Context For Multiculturalism, dalam www.uwm.edu-/gjay/Multicult/conte+tmulticulut.htm. Download 2 Desember 2005


(3)

Khaerudin, Konstribusi Teknogi dalam Membangun Pendidikan Multikultural,

sumber : http://www.ilmupendidikan.net/?p=8

Las, Scott dan Featherstone, Mike (ed)., Recognition And Difference: Politics,

Identity, Multiculture, (London: Sage Publication, 2002), hal. 2-6. Sumber

www.bagais.go.id/jurnaldikti/dokfdp

Lie, Anita, Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural, http//www.kompas.com/ akses 25 Desember 2007

el-Ma’hady, Muhaimin, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam http://www.cyberschooldps.net - 27 February, 2008.

Maarif, Syamsul, Islam dan Pendidikan Pluralisme; Menampilkan Wajah Islam

Toleran Melalui Kurikulum PAI Berbasis Kemajemukan, sumber

www.google.com/pluralisme-pendidikan, akses tanggal 22 Januari 2008 Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : PT.

Al-Maarif, 1989), cet. Ke-VIII.

Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural: Rekonstruksi Sistem Pendidikan

Berbasis Kebangsaan, (Surabaya: JP Books kerjasama dengan STAIN

Salatiga Press, 2007), cet. 1.

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).

Mendatu, Achmanto, Strategi Meningkatkan Kompetensi Guru dalam

Melaksanakan Pendidikan Multikultur. Sumber

http://.www.psikologipendidikan.blogspot.com/pendidikan-multikultural.htm

al-Munawar, Said Agil Husin, Aktualisasi Nilai-nilai dalam Sistem Pendidikan

Islam,(Ciputat: Ciputat Press, 2005), cet.2.

Muqtafa, M. Khoirul, Paradigma Multikultural, dalam http://www.sinarharapan.co.id/-berita/0402/05/opi02.html

Muslim, Imam, Shahih Muslim, (Beirut : Darul Fikri, 1998), juz. 2.

an-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,

(Jakarta : Gema Insani Press, 1995), cet. Ke-I.

Nata, Abudin, Pidato Pengukuhan Guru Besar (Pendidikan Islam di Indonesia:


(4)

---, Paradigma Baru Pendidikan Islam di Era Pasar Bebas, dalam Didaktika Islamika, Jurnal Kependidikan, Keislaman dan Kebudayaan, Vol. 1, Januari 2005.

Nurdin, Zainal Arifin, Gagasan dan Rancangan Pendidikan Berwawasan

Multikultural di Sekolah Agama dan Madrasah, dalam Jurnal Kerukunan

Umat Beragama Edisi No.1 tahun 2005

Parekh, Biku, Rethinking Multiculturalisme: Cultural Diversity and Political

Theory, (Cambridge: Harvard University Press, 2000). Sumber:

www.bagais.go.id/jurnaldikti/dokfdp

---, What is Multiculturalism?sumber : www.google.com/search/what-is-multiculturalisme.htm

Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1991), cet. Ke-XII.

Rahardjo, M. Dawam, Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme, dalam Bulletin Kebebasan Edisi No. 4/V/2007.

Rahmat, Pupu Saeful, Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia, dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/wacana-pendidikan-multikultural-di-indonesia.htm

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1998), cet. Ke-2. Rasiyo, Berjuang Membangun Pendidikan Bangsa; Pijar-pijar Pemikiran dan

Tindakan, (Malang: Pustaka Kayu Tangan, 2005)

Ridho, Irsyad dan Fitri, Susi, Perspektif Multikultur dalam Pengembangan

Kurikulum, dalam http://www.backtohome schooling.org/htm/artikel

Rosyada, Dede, Pendidikan Multikultur Melalui Pendidikan Agama, dalam Jurnal Didaktika Islamika, Vol, VI, No. I, Juni 2005.

Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. 1. Sabri, Alisuf, Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1999), cet. Ke-I. Salamah, Husniyatus, Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun

Keberagamaan Inklusif di Sekolah, sumber dalam

http://www.lubisgrafura.wordpress.com

Saefuddin, Ahmad Fedyani, Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia,


(5)

Shaleh, Abd. Rochman, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta : Gema Windu Panca Perkasa, 2000), cet.ke-I.

Siradj, Said Aqil, Islam Kebangsaan; Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), cet. 1.

Soedirjato, Pendidikan sebagai Sarana Reformasi Mental dalam Upaya

Pembangunan Bangsa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998).

Sumarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), cet. Ke- VIII.

Suparlan, Parsudi, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Sumber: http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikelps.htm Diakses tanggal 24 September 2006.

Suprayogo, Imam, Pendidikan Agama Di Era Multikultural, dalam http://www.imamsuprayogo.com /viewd_artikel.php?pg=31

Surya, Mohammad, Tantangan Pembelajaran di Era Millenium Ketiga, dalam Jurnal Didaktika Pendidikan, Vol. III, No.2, Desember 2002.

Suseno, Frans Magnes, Islam dan Pendidikan Pluralisme, dalam Suara Pembaruan, edisi 23 September 2000

Susetyo, Beny, Politik Pendidikan Penguasa, (Yogyakarta: LkiS, 2005), cet. 1. Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press,

2004), cet. Ke-1.

Tilaar, H.A.R, Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan

dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grassindo, 2004).

---, Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik

Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta : Grassindo, 2002), cet. ke-1.

---, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat MadaniIndonesia,

(Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000).

---, Kekuasaan dan Pendidikan : Suatu Tinjauan dari Prespektif

Kultural, (Magelang : Indonesia Tera, 2003).

Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, tt), cet. Ke-III.


(6)

Tim Dosen IAIN Sunan Ampel, Dasar-dasar Kependidikan, (Surabaya : Karya Abditama, 1996), cet. Ke-I.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), cet.

Ke-II.

Tim Penyyusun, Undang-undang Republik Indonesia, No.2 tahun 2003, Tentang

Sistem Pendidikan Nasional, Bab II pasal 3, (Jakarta: CV. Mitama Utama,

2004).

Waidl, A., Pendidikan Yang Menghargai Kemajemukan, dalam Bulletin Jum'at Al-Ikhtilaf, No. 07/9 Juni 2000, diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta. Download di www.is-lam@isnet.org 18 Januari 2008