1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah mahluk yang diciptakan berbeda-beda dan beragam, dari jenis kelamin, suku bangsa, bahasa, hingga agama. Sejatinya keragaman ini
menjadi alat perekat harmonisasi bangunan kebersamaan antar sesama. Namun faktanya, perbedaan SARA acapkali memicu timbulnya sebuah konflik dan
ketegangan. Bukankah kemajemukan merupakan sunatullah yang meski terjadi, sebagaimana adanya langit dan bumi. Pengingkaran atas kemajemukan berarti
juga pembangkangan atas kehendakNya.
1
Kemajemukan pluralitas,
keanekaragaman diversitas,
dan kepelbagaian heterogenitas serta kebermacam-macaman multiformisme
masyarakat dan kebudayaan di Indonesia merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan, sejak dulu sebelum terbentuk negara-bangsa. Ini harus kita akui
secara jujur , terima dengan lapang dada, resapi dengan penuh kesadaran, kelola rawat dengan cermat, dan jaga dengan penuh suka cita, Bukan harus kita tolak,
pungkiri, abaikan, sesalkan, biarkan dan ingkari hanya karena kemajemukan dan keanekaragaman ternyata telah menimbulkan ekses negatif dan resiko kritis
belakangan ini, antara lain benturan masyarakat dan kebudayaan lokal di pelbagai tempat di Indonesia.
2
1
Said Aqil Siradj, Islam Kebangsaan; Fiqh Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999, cet. 1, hal. 203.
2
Rasiyo, Berjuang Membangun Pendidikan Bangsa; Pijar-pijar Pemikiran dan Tindakan, Malang: Pustaka Kayu Tangan, 2005, cet. 1, hal. 47.
Begitulah Indonesia ditakdirkan melebihi negara-negara lain karena tidak saja multi-suku, multi-etnik, multi-agama tetapi juga multi-budaya. Jika demikian,
maka bangsa Indonesia sangat rentan dengan kekerasan yang timbul akibat dari kemajemukan yang ada. Oleh karenanya perlu ada tindakan preventive dari
stakeholders untuk meredam segala potensi konflik dan membangun sikap kebersamaan, saling menghargai dan saling menghormati. Salah satu upaya
strategis adalah dengan membangun kesadaran pluralis pada generasi muda lewat pendidikan yang berbasis pada multikulturalisme. Hal ini sesuai dengan ungkapan
Abudin Nata: Indonesia yang berideologi Pancasila memiliki latar belakang budaya,
etnis, paham keagamaan, tingkat ekonomi dan sosial yang amat beragam. Kondisi pluralistis dan heterogenitas masyarakat di Indonesia yang
demikian itu pula pada gilirannya sangat mempengaruhi corak pendidikan manusia
3
. Pendidikan menjadi salah satu kunci penting sebagai instrumen
membangun peradaban manusia dan bangsa. Keberadaannya masih diyakini mempunyai peran besar dalam membentuk karakter individu-individu yang
dididiknya, dan mampu menjadi “guiding light” bagi generasi muda penerus bangsa. Hal tersebut dengan suatu pertimbangan, bahwa salah satu fungsi
pendidikan adalah untuk meningkatkan keberagamaan peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan untuk
mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan sikap toleransi.
4
Selama ini di Indonesia pendidikan secara makro belum menunjukan hasil yang diharapkan karena beberapa hal yang perlu diperbaiki dan diubah, filosofi
pendidikan tampak sangat positivis, pragmatis, developmentalis, industrialis, indoktrinatif, uniformistis dan monokultural. Filsafat pendidikan semacam ini
tidak bisa dipertahankan lagi,..dan harus dirubah dengan filsafat pendidikan yang
3
Abudin Nata, Pidato Pengukuhan Guru Besar Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan dan Peluang, UIN Syarif Hidayatullah Press, hal. 1.
4
Syamsul Maarif, Islam dan Pendidikan Pluralisme; Menampilkan Wajah Islam Toleran Melalui Kurikulum PAI Berbasis Kemajemukan, disampaikan dalam Annual Confrence di
Lembang Bandung, sumber www.google.compluralisme-pendidikan, akses tanggal 22 Januari 2008
ideal untuk Indonesia yakni, idealistis, holistis, liberatif, intelektualistis, pluralistis, dan multikultural.
5
Era sekarang adalah era multikulturalisme di mana seluruh masyarakat dengan segala unsurnya dituntut untuk saling tergantung dan menanggung nasib
secara bersama-sama demi terciptanya perdamaian abadi. Salah satu bagian penting dari konsekuensi tata kehidupan global yang ditandai kemajemukan etnis,
budaya, dan agama tersebut adalah membangun dan menumbuhkan kembali sikap egaliter dalam masyarakat. Implikasi dari era global multikultural sendiri bagi
pendidikan adalah bagaimana pendidikan itu bisa menampilkan dirinya, apakah ia mampu mendidik dan menghasilkan output yang memiliki daya saing tinggi
qualified atau ia justru “mandul” dalam menghadapi gempuran berbagai kemajuan era penuh persaingan competitive diberbagai sektor tersebut.
Pun dengan Pendidikan Islam, ia ditantang untuk menjawab tantangan zaman antara lain : Pertama, bagaimana ia meningkatkan pembangunan
berkelanjutan continuing development. Kedua, bagaimana pendidikan Islam mampu melakukan riset secara komperhensif terhadap terjadinya era reformasi
dengan transformasi struktur sosial masyarakat, dari masyarakat tradisional- agraris ke masyarakat modern-industrial dan reformasi-komunikasi, serta
bagaimana pengembangan sumber daya manusia SDM. Ketiga, bagaimana pendidikan Islam itu meningkatkan daya saing kreatif yang berkualitas sebagai
hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam persaingan global. Keempat, bagaimana pendidikan Islam itu mampu
menghadapi tantangan terhadap munculnya inovasi kolonialisme di bidang politik dan ekonomi.
6
5
Rasiyo, Berjuang…, hal. 47. Maksud dari filosofi positivis yakni paradigma pendidikan yang terlalu mengesampingkan keragaman potensi siswa, pragmatis artinya mementingkan hasil
daripada proses, developmentalis pembangunan-centris, industrialis pendidikan hanya mencetak robot-robot industri, cnderung menyeragamkan siswa dan menunggalkan kemajemukan.Intinya
adalah filosofi tersebut ketiadaan mata jiwa pendidikan terhadap hakikat manusia dan filosofi pendidikan ini harus diubah menjadi berdasarkan cita-cita luhur ideal, menyeluruh holistis,
membebaskan eksplorasi terhadap potensi liberatif, mengedepankan intelektual, menghargai keragaman dan kemajemukan budaya maupun karakteristik siswa.
6
Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta: C3RD Press, 2005, hal. 6-7. Lihat pula Armai Arief, Tantangan Pendidikan di Era Global, dalam Jurnal Institut, NO. I, thn. 2005,
hal.33.
Selain itu, tantangan bagi pendidikan Islam yang paling mendesak adalah globalisasi multikultural yang sangat rawan perpecahan dan permusuhan
dehumanisasi, maka penerapan pendidikan yang menggunakan pendekatan multikultural multicultural approach pun menjadi penting adanya.
7
Posisi pendidikan agama juga berperan dalam menumbuhkembangkan sikap pluralisme dalam diri siswa. Pendidikan agama merupakan bagian integral
dari pendidikan pada umumnya dan berfungsi untuk membantu perkembangan pengertian yang dibutuhkan bagi orang-orang yang berbeda iman, sekaligus juga
untuk memperkuat ortodoksi keimanan bagi mereka. Artinya, pendidikan agama adalah wahana untuk mengeksplorasi sifat dasar keyakinan agama di dalam proses
pendidikan dan secara khusus mempertanyakan adanya bagian dari pendidikan keimanan dalam masyarakat. Pendidikan agama dengan begitu, seharusnya
mampu merefleksikan persoalan pluralisme, dengan mentransmisikan nilai-nilai yang dapat menumbuhkan sikap toleran, terbuka dan kebebasan dalam diri
generasi muda. Di Indonesia, jaminan kebebasan dasar setiap manusia telah diregulasikan
sebagaimana termaktub dalam ayat 2 pasal 29 UUD 1945. begitupun dalam hal Pendidikan sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas tahun 2003 sebagaimana
disebutkan dalam pasal 4 1, Bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, disebutkan bahwa : “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis
dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.”
8
Dalam ajaran Islam, pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis. Hal ini dapat ditelusuri dari sejarah kenabian. Wahyu yang pertama diterima
Rasulullah SAW memperlihatkan pada pentingnya proses pendidikan. Yakni permulaan surat Al-Alaq ayat 1-5.
9
Pun banyak berserak ayat-ayat alQuran maupun hadits yang menunjukan bahwa pendidikan Islam adalah suatu yang
penting, misalnya Allah menjanjikan kepada siapa saja untuk mengangkat
7
Lihat dalam Abudin Nata, Paradigma Baru Pendidikan Islam di Era Pasar Bebas, dalam Didaktika Islamika, Jurnal Kependidikan, Keislaman dan Kebudayaan, Vol. 1, Januari 2005, hal.
42.
8
Beny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, Yogyakarta: LkiS, 2005, cet. 1, hal. 171.
9
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2004, cet. Ke-1, hal. 171.
derajatnya, selagi ia diberi ilmu dan mengamalkannya, sesuai dengan surat al- Mujadalah :11 :
Artinya :
ﹺﻊﹶﻓﺭﻴ ﷲﺍ
ﻥﻴﺫﹼﻟﺍُ ﻡﹸﻜـﹾﻨﻤﺍﻭﹸﻨﻤﺁ
ﻥﻴﺫﱠﻟﺍﻭ ﻡﹾﻠﻌﹾﻟﺍﻭـﹸﺘﻭُﺃ
ﹰﺔﺠﺭﺩ
. . . .
“.. Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi pengetahuan dengan beberapa derajat”.
Begitu pentingnya ilmu pendidikan dalam Islam hingga Allah mewanti- wanti kepada umat Islam untuk tidak mengabaikan masalah yang satu ini
sebagaimana firmanNya: Artinya :
ﻥﺎﹶﻜﺎـﻤﻭ ﻥﻭﹸﻨﻤْﺌﻤﹾﻟﺍ
ﺄـﹶﻜﺍﻭﺭﻔﹾﻨﻴِﻟ ﹰﺔﹶﻓ
ﹶﻻﻭﹶﻠﹶﻓ ﺭﹶﻔﹶﻨ
ﻥﻤ ِلﹸﻜ
ﺔﹶﻗﺭﻓ ﻡﻬﹾﻨﻤ
ﹲﺔﹶﻔِﺌﺎـﹶﻁ ﱠﻘﹶﻔﹶﺘﻴِﻟ
ﻰﻓﺍﻭﻬ ﹺﻥﻴﺩﻟﺍ
ﺍﻭﺭﺫﹾﻨﻴِﻟﻭ ﻡﻬﻤﻭﹶﻗ
ﺍﻭﻌﺠﺭﺍﹶﺫﺇ ﻡﹺﻬﻴﹶﻟِﺇ
ﻡﻬـﱠﻠﻌﹶﻟ ﻥﻭﺭﹶﺫﹾﺨﻴ
. .
“..Mengapa tidak pergi tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. At-Taubah:
122
.
10
Sementara itu, sikap Islam terhadap keragaman pluralitas sangat jelas. Islam tidak menolak adanya pluralisme, bahkan Islam memberikan kerangka
sikap etis dan positif. Sikap etis dan positif Islam dimaksud tercermin dari beberapa ayat al-Qur’an yang secara eksplisit mengakui kenyataan tersebut.
Seperti al-Qur’an menyatakan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai QS. Al-Hujurat: 13.
Al-qur’an juga menyatakan bahwa perbedaan di antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima sebangai kenyataan positif sebagai satu di antara tanda-
tanda kekuasaan Allah QS. Ar-Rum: 22. Dalam ayat lain ditegaskan, tentang
10
Syaikh Mahmud Abdul Fayid, Pendidikan dalam Al-Qur’an, terj. Drs. Judi al-Falasany Semarang: Wicaksana, 1986, hal. 35.
kemajemukan pandangan dan cara hidup diantara manusia yang tidak perlu menimbulkan kegusaran, tetapi hendaknya dipahami sebagai pangkal tolak
sumber motivasi untuk berlomba-lomba menuju kebaikan, karena hanya Tuhan- lah yang akan menerangkan mengapa manusia berbeda, nanti ketika manusia
kembali kepadaNya.
11
Pendidikan multikultural semakin dibutuhkan bagi masyarakat Indonesia, kian mendesak dilaksanakan di sekolah. Dengan pendidikan multikultural,
sekolah menjadi lahan menghapus prasangka. Pembangunan rasa kesatuan berdasarkan budaya lokal juga dapat dimulai.
B. Identifikasi Masalah