Lesbi Menurut Ulama Fiqh

ﱠﻠ ﱠﻠ : Artinya: Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:” Barang siapa diantara kamu sekalian menemukan seseorang yang melakukan perbuatan yang dikerjakan kaum Luth yaitu lesbi, maka bunuhlah dia yang diatas maupun yang di bawah”, dan dalam riwayat lain dikatakan:” Bunuhlah si pelaku dan yang melayaninya”. Imam Syafi’i, Abu Yusuf dan Muhammad telah berkata: Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi S.A.W. telah bersabda bahwa jika si pelanggar telah menikah maka hukuman Hadd dirajam sampai mati ditimpakan atasnya: tetapi kalau dia belum kawin, maka cukupkan hukuman ta’zir baginya. 15 Ibnu Qayyim al-Jauzi mengemukakan bahwa sebagian Fuqoha berpendapat, tidak ada hukuman yang bisa dijatuhkan kepada pelaku, sebab perbuatan itu hanya sekedar lari dari tabi’at dan perbuatan yang dianggap buruk, sehingga hal ini tidak bisa dijadikan alasan bagi pembuat syari’at untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku. Menurut mereka, jika seorang melakukan lesbi secara terus-menerus, maka dia bisa di bunuh sekedar sebagai pelajaran bagi yang lain. Ibnu Qayyim juga menyatakan bahwa para sahabat telah sepakat bahwa orang yang melakukan lesbi harus di hukum mati, meskipun mereka berbeda pendapat dalam cara pelaksanaanya. 16 15 Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta 1992, Cet.1 h.42-43

D. Lesbi Menurut Hukum Positif

Dalam masalah lesbi, tidak terdapat Undang-undang perdata yang secara jelas mengatur tentang hal ini, namun hal tersebut bisa dimasukan pada peraturan yang mengatur tentang perceraian sebab penyakit yang berakibat salahsatu pasangan tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri yang terdapat dalam Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 116 point e. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak secara tegas menyebutkan bahwa lesbi dapat dijadikan alasan sang suami untuk melakukan perceraian. Tetapi bila melihat pada pasal 39 point 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengaatakan” Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu betul-betul tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri. Hal ini didasarkan pada pasal 34 point 3 yaitu ” Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing maka salahsatu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan”. Bila kita menganalisa kata-kata melalaikan kewajiban, banyak arti yang dapat diambil dari kata-kata tersebut. Kewajiban berumah tangga yaitu memenuhi kebutuhan keluarga baik jasmani maupun rohani, kewajiban terhadap rohani disini termasuk terpenuhinya kebutuhan biologis. 16 Ibnu Qayyim al-Jauzi, Raudhah al-Muhibbah wa’al-Nuuzhah al-Mustaqin, terj.oleh Kathur Suhardi, Jakarta: Daar al-Fatah, 1417 h.419 Bila kewajiban kebutuhan biologis tidak terpenuhi, maka dikhawatirkan akan berdampak besar terhadap keharmonisan rumah tangga. Bila hal ini terus-menerus terjadi, dan salah satu pihak berniat cerai maka alasan ketidak harmonisan tersebut dapat dijadikan alasan untuk bercerai. Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana lesbi diatur dalam pasal 292, yang berbunyi:”orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”. Dan dalam pasal 293 yang berbunyi,”barang siapa yang memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan penyesatan sengaja menggerakan seorang yang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.