Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya
menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.”
3
Langgengnya kehidupan dalam ikatan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diutamakan dalam Islam. Akad nikah diadakan agar rumah tangga
menjadi tempat berlindung, menikmati curahan kasih sayang dan memelihara anak- anaknya sehingga mereka tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa ikatan antara suami isteri adalah ikatan paling suci dan paling kokoh, sehingga tidak ada suatu dalil yang lebih jelas menunjukan tentang kesuciannya yang begitu
agung selain Allah sendiri yang menamakan ikatan perjanjian antara suami isteri itu dengan kalimat mitsaqan ghaliza “perjanjian yang kokoh”.
4
Sebagaimana disebutkan oleh Allah SWT, dalam fimannya:
ء ﺎ ﺴ ﻨ ﻟ ا
: 21
Artinya: “Dan mereka isteri-isterimu telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat” .
QS: An-Nisa :21.
Dari ayat diatas penulis menilai bahwa begitu kuat dan kokohnya hubungan antara suami isteri, maka tidak sepatutnya apabila hubungan tersebut dirusak dan
disepelekan. Setiap usaha untuk menyepelekan hubungan pernikahan sangat di benci
3
Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 117
4
A. Rahman, I, Doi. Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Cet. I, h. 303
oleh Islam. Hal tersebut sama saja merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan.
Oleh karena itu, apabila terjadi perselisihan antara suami isteri, sebaiknya diselesaikan sedini mungkin agar tidak terjadi suatu masalah yang sangat besar, yang
memungkinkan terjadinya perceraian. Karena bagaimanapun baik suami maupun isteri pasti tidak menginginkan hal itu terjadi.
Adanya khitbah perkenalan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan sebelum perkawinan pada umumnya hanya merupakan penilaian jasmani semata,
sehingga tidak aneh jika cacat yang dimiliki oleh suami atau isteri baru di ketahui setelah pernikahan. Hal ini karena hampir tidak ada orang yang secara jujur
menyebutkan tentang kekurangan dirinya terhadap calon pasangannya, Justru yang lebih banyak terjadi di masyarakat, apabila sudah timbul rasa cinta yang terlihat
hanyalah yang baiknya saja. Sehingga bila talak dibolehkan oleh Islam, maka akan membahayakan kedua belah pihak, namun lebih berbahaya lagi apabila talak di
bebaskan begitu saja.
5
Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan. Ia dapat lepas dengan lafaz tertentu
yang kemudian disebut dengan talak, yang mana makna dasar dari talak adalah melepaskan ikatan atau melepaskan perjanjian. Misalnya saja seorang suami berkata
kepada isterinya “engkau telah ku talak”, dengan ucapan ini ikatan pernikahan
5
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Rumah Tangga Dalam Islam. Jakarta: Prenada Media, 2003, hal. 45
menjadi lepas.
6
Ulama fiqh berpendapat bahwa talak adalah melepaskan ikatan hall al-aqid atau biasa juga disebut pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata
yang telah ditentukan.
7
Sayyid sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dengan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.
8
Definisi yang agak panjang dapat dilihat dalam kitab Kifayat Al-Akhyar yang menjelaskan talak adalah lafaz jahiliyah yang setelah Islam datang menetapkan lafaz
itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang talak itu berdasarkan Al- Qur’an, Al-Hadis, Al-Ijma dan Ahli Sunnah.
9
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Islam datang dengan konsep pokok sebagai berikut:
10
a. Talak tetap ada di tangan suami sebab suami mempunyai sikap rasional, sedang isteri bersifat emosional.
b. Talak dijatuhkan oleh suami atau pihak lain atas nama suami, seperti Pengadilan Agama.
c. Isteri berhak mengajukan talak kepada suami dengan alasan-alasan tertentu lewat qadi Pengadilan Agama.
6
Muhammad Rifa’I, Fiqh Islam, Semarang: PT. Thoha Karya Putra, 1978, h.48
7
Abdurrahman Al-jaziri, kitab al-fiqh ‘ala mazahib al-Arba’ah, juz IV, Kairo: Dar al-fikr, t.t, h.278
8
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz II, Beirut: Dar el-fikr, 1983, h. 206
9
Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, juz II, Bandung: Al-Ma’arif, t. th, h.84
10
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, Bandung: Cv Pustaka Setia, 1999, h.16
d. Talak bisa kembali lagi antara kedua suami isteri sesuai dengan ketentuan agama.
e. Bagi mantan isteri ada masa iddah dan memiliki hak menerima mut’at dan nafkah dari mantan suami.
Putusnya perkawinan disebabkan tiga hal yaitu
11
: kematian, perceraian, dan keputusan Pengadilan. Putusnya perkawinan selain cerai mati terjadi karena cerai
talak dan cerai gugat. Menurut Inpres No.1 tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam KHI pasal 114: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi sebab talak atau sebab gugatan perceraian” Ada tiga hal yang perlu diketahui dalam hal yang berhubungan dengan putusnya perkawinan itu, yakni:
a. Terjadinya perceraian hanya mungkin kalau suami dan isteri tidak rukun lagi dalam berumah tangga.
b.
Perceraian hanya dapat di lakukan di depan sidang Pengadilan dan terhitung sejak perceraian dinyatakan di depan sidang Pengadilan Agama
.
12
c. Putusnya perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai. Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai
talak harus disampaikan di hadapan sidang Pengadilan Agama.
13
UU No.502009 tentang Peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti yang terdapat pada
11
Pasal 113 : Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan. KHI dan pasal 38 UU No. 1 1974.
12
Pasal 123 KHI dan pembahasan dalam pasal 39 UU No. 11974 tentang perkawinan.
13
Pasal 115 KHI: “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”
pasal 66 ayat 1 yang berbunyi: ”seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan
isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak”.
Walaupun Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai talak harus disampaikan di hadapan sidang Pengadilan Agama, UU
No.502009 tentang Peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama, tetapi yang terjadi di masyarakat masih banyak yang melakukan perceraian tanpa sepengetahuan
Pengadilan Agama. Hal ini terjadi karna masyarakat bawah grass root menganggap bahawa pengadilan sangat bertele-tele dan mahal sehingga mereka melakukan
perceraian sendiri dengan surat perjanjian bawah tangan bermaterai disaksikan dua orang saksi kemudian bercerai atas dasar suka sama suka karna percekcokan yang
tidak bisa di damaikan lagi. Kebanyakan masyarakat kita menganggap hal ini sah menurut agama.
Di dalam fikih klasik, suami diberi hak yang luas untuk menjatuhkan talak, sehingga kapan dan di manapun ia mengucapkannya, talak itu jatuh seketika.
Keadaan seperti ini dipandang dari sudut pemeliharaan kepentingan keluarga, kepastian hukum dan ketertiban masyarakat tidak mewujudkan maslahat bahkan
banyak merugikan terutama bagi kaum wanita isteri. Oleh karena itu demi terwujudnya kemaslahatan, maka perceraian harus diproses melalui pengadilan. Jadi
di sini menurut penulis memang harus ada perubahan hukum, yaitu dari kebolehan suami menjatuhkan talak kapan dan di manapun menjadi keharusan menjatuhkannya
di depan sidang pengadilan. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
” ا ﺮﯿﻐﺘﺑ مﺎﻜﺣﻷا ﺮﯿﻐﺗ ﺮﻜﻨﯾ ﻻ
ن ﺎ ﻣ ز ﻷ
14
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.
Selain kaidah diatas, ibnu al Qoyim menyatakan:
ﻟا ﺮﯿﻐﺗ ﻔ
ا و ى ﻮ ﺘ ﺣ
ﺪﺋاﻮﻌﻟاو تﺎﯿﻨﻟاو لاﻮﺣﻷاو ﺔﻨﻣزﻷا ﺮﯿﻐﺗ ﺐﺸﺤﺑ ﺎﮭﻓﻼﺘ ”
15
Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman,
tempat, keadaan, niat dan adat istiadat. Dari penjelasan diatas jelas sekali bahwa didalam perundang-undangan yang
berlaku, telah diatur bagi siapa saja yang ingin mengajukan talak dapat mengajukan permohonannya ke Pengadilan Agama baik lisan maupun tulisan, dan tentunya
disertai dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang. 2. Dasar Hukum Perceraian:
Cerai talak seperti yang telah penulis cantumkan diatas dasar hukumnya ialah firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 228 dan 229, yaitu:
14
Samsul maarif , Kaidah-Kaidah Fiqih
I’lam al-Muwaqqi’in
, Juz III Jakarta: PUSTAKA RAMADHAN, 2005 , h. 3
15
Ahmad Azhar Basyir
, “I’lamul mauqiin” h. 23
ة ﺮ ﻘ ﺒ ﻟ ا :
٢ ٢ ٨
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri menunggu tiga kali quru.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka para suami menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang maruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Q.S: Al-Baqarah : 228.
ة ﺮ ﻘ ﺒ ﻟ ا
: ٢ ٢ ٩
Artinya: “Talak yang dapat dirujuki dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
maruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya suami isteri tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Q.S: Al-Baqarah : 229.
Agama Islam membolehkan suami isteri bercerai, namun harus dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu sesuatu yang dibolehkan, namun sangat dibenci Allah
SWT.
16
Sebagai dasar hukum dari hadis :
ﱠﻠ ﱠﻠ
.
Artinya : “Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, perbuatan halal yang dibenci
Allah Azza Wazalla adalah talak”. H.R. Abu Daud dan Hakim, dan disahkan olehnya
Siapapun orangnya yang akan merusak hubungan suami isteri, dia tidak mempunyai tempat terhormat dalam Islam. Demikian dijelaskan dalam sebuah hadis
B .
Alasan-Alasan Perceraian
Yang dimaksud dengan alasan perceraian disini adalah suatu kondisi dimana suami atau isteri mempergunakannya sebagai alasan untuk mengakhiri atau
memutuskan tali perkawinan mereka. Di Indonesia masalah perceraian telah diatur dalam undang-undang No.1
tahun 1974 tentang perkawinan. Sebagai warga Negara Indonesia sudah kita harus mentaati dan menjalankan peraturan yang ada. Undangiundang No.1 tahun 1974
tentang perkawinan pasal 39 ayat 1 menerangkan bahwa “ perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
16
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, cet.ke-2, h.102
Dalam hal terjadinya perceraian haruslah memenuhi beberapa alasan-alasan perceraian, sehingga perceraian tersebut dapat terlaksana, hal ini sesuai dengan pasal
39 ayat 2 undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:” untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan isteri itu tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri”. Didalam muatan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang
perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menerangkan bahwa alasan-alasan perceraian yang dinyatakan pada pasal 19 sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain luar
kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suamiisteri. f.
Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Sedangkan didalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam KHI pasal 116 memberikan tambahan dua point untuk menyempurnaan
alasan-alasan perceraian yang disebutkan dalam UU No.1 tahun 1974 yaitu, perceraian dapat terjadi karena:
a. Salah satu pihak berbuat zina atu menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suamiisteri. f.
Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik-talak. h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.