atau mata kuliah di perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkatan akademik.
60
Di Indonesia istilah kurikulum boleh dikatakan baru menjadi populer sejak tahun 50-an. Sebelumnya yang lazim digunakan ialah istilah ‘rencana
pelajaran’, seperti kurikulum SD dengan nama ‘Rencana Pelajaran Sekolah Rakyat’ tahun 1927 yang isinya sejumlah mata pelajaran yang akan diberikan
pada kelas 1 sampai dengan kelas VI.
61
b. Pengertian Secara Modern Pengertian kurikulum yang lama sudah banyak ditinggalkan, baik dalam
teori maupun dalam praktek. Para ahli pendidikan kebanyakan memberi arti dan makna yang lebih luas daripada definisi kurikulum yang tradisional.
Selain itu pengertiannya pun senantiasa dapat berkembang dan mengalami perubahan. Perubahan itu antara lain terjadi karena tidak kunjung puas dengan
masalah pendidikan sekolah, dan selalu ingin memperbaikinya. Menurut Dra. Subandijah, secara operasional kurikulum dapat
didefinisikan ke dalam beberapa poin berikut: 1 Suatu bahan tertulis yang berisi uraian tentang program suatu pendidikan
di sekolah yang diselenggarakan dari tahun ke tahun 2 Bahan tertulis yang digunakan untuk digunakan oleh Guru dalam
melaksanakan pengajaran kepada siswa-siswa.
59
M. Ahmad, Et. All, Pengembangan Kurikulum, Bandung: Pustaka Setia, 1998, h. 9
60
S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, h. 2
61
Hendayat Soetopo, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1993,
h. 12
3 Suatu usaha untuk mencapaikan asas-asas dan ciri terpenting dari suatu rencana pendidikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga dapat
dilaksanakan oleh guru di sekolah. 4 Tujuan-tujuan pengajaran, pengalaman balajar, alat-alat belajar dan cara-
cara penilaian yang direncanakan dan digunakan dalam pendidikan 5 Suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk
mendapat tujuan pendidikan tertentu.
62
Sedangkan pengertian kurikulum menurut Undang-undang SISDIKNAS dan peraturan pelaksanaannya, bahwa kurikulum diartikan sebagai seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu.
63
Dari berbagai definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan aktivitas dan kegiatan belajar yang direncanakan, diprogramkan bagi
peserta didik di bawah bimbingan sekolah, baik di dalam maupun di luar sekolah.
2. Kurikulum Pesantren Salaf
Kurikulum dapat dipandang sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual siswa, khususnya kemampuan berpikir agar mereka dapat
memecahkan segala masalah yang dihadapinya. Maka pendidikan diharapkan dapat mengubah setiap individu manusia dalam berpikir, berperasaan, dan
berbuat. Oleh karena itu, pada hakikatnya dengan penggunaan kurikulum yang
62
Subandijah, Pengambangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta: Rajawali Press, 1996, h. 2
63
Undang-undang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya 2000-2004, Jakarta: Tamita
Utama, 2004, h. 6
baik memiliki peranan dapat mengubah masyarakat pada umumnya serta memberi corak baru kepada masyarakat dalam bertindak dan berpikir.
64
Sebagai bagian struktur internal pendidikan Islam Indonesia, pesantren mempunyai kekhasan, terutama dalam fungsinya sebagai institusi pendidikan, di
samping sebagai lembaga dakwah, bimbingan kemsyarakatan, dan bahkan perjuangan. Menurut Mukti Ali seperti yang telah dikutip oleh Amir Haidari,
bahwa pola umum pendidikan Islam tradisionalsalaf mempunyai identitas sebagai berikut:
a. Adanya hubungan akrab antara kyai dan santri b. Tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kyai
c. Pola hidup sederhana zuhud d. Kemandiriaa atau independensi
e. Berkembangnya iklim dan tradisi tolong menolong dan suasana
persaudaraan f. Disiplin ketat
g. Berani menderita untuk mencapai tujuan h. Kehidupan dengan tingkat religiusitas yang tinggi
65
Menurut Zarkasyi, bahwa pada beberapa lembaga pendidikan pesantren tidak dicanangkan secara rinci satuan program pengajaran. Hal ini dikarenakan
program itu menjadi mutlak milik tokoh seorang kyai, sehingga target khusus yang diinginkan kurang jelas. Misalnya dalam jangka satu tahun santri harus
memiliki kebebasan dalam memahami sebuah kitab tanpa dibatasi dengan usia maupun taarget tertentu.
66
64
Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000, h. 82
65
HM. Amir Haidari, dkk, Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, Jakarta: IRD Press, 2001, h. 15
66
Abdul Syukri Zarkasyi, M.A, Op Cit, h. 83
Meski pada satu sisi model ini mirip dengan sistem demokrasi pengajaran yang sedang menjadi wacana dewasa ini, namun di sisi lain memiliki kelemahan
dapat menimbulkan terjadinya keterlambatan program pada proses pengajaran dan dampak yang paling parah adalah keterlambatan bagi para santri yang kurang
disiplin menggunakan waktu, karena mereka cenderung menjadi santai tanpa terkontrol dengan adanya target waktu dan usia.
67
Pada lembaga pendidikan pesantren salaf, menurut Zarkasyi kurikulum sangatlah bervariasi, karena kurikulum pada model pesantren ini sangat
ditentukan oleh pengelola lembaganya kyai. Tapi secara umum pengajaran pada lembaga pendidikan pesantren salaf adalah kitab-kitab klasik, terutama karangan
ulama yang menganut faham syafi’iyah yang merupakan satu-satunya materi pengajaran yang diberikan dalam lingkungan lembaga pendidikan pesantren pada
saat itu. Pada perkembangan selanjutnya, banyak lembaga pesantren yang telah memberi pengajaran ilmu-ilmu umum yang dianggap tidak menyimpang dari
tujuan utamanya, yaitu mendidik para calon ulama yang tetap konsisten pada ajaran Islam.
68
Dengan adalnya variasi kurikulum, maka ada lembaga pendidikan pesantren yang lebih mengkhususkan diri pada bidang fiqih dan ushul fiqih, ada pula yang
mengkhususkan di bidang nahwu sharaf, ada yang khusus di bidang ilmu Falaq, ada yang khusus di bidang Tasawuf. Bahkan pada perkembagan selanjutnya
terdapat beberapa lembaga pendidikan pesantren yang khusus memunculkan
67
Ibid, h. 83
68
Ibid, h. 83
keahlian tidak hanya di bidang keagamaan, misalnya keahlian di bidang pertanian, pertukangan, koperasi, dan sebagainya.
69
Dari gambaran di atas, maka sudah barang tentu setiap lembaga pendidikan pesantren menetapkan sendiri kurikulumnya bila tidak menggunakan kurikulum
nasional terutama pada bentuk lembaga terrpadi dengan madrasah. Karena itu lembaga pendidikan pesantren bebas menetapkan secara mandiri kitab-kitab yang
harus diajarkan kepada para santrinya. Sebagai gambaran, pada umumnya kitab- kitab yang diajarkan oleh kebanyakan lembaga pendidikan pesantren dari tingkat
yang dianggap terendah sampai pada kitab yanng dianggap tertinggi adalah: a.
Nahwu Sharaf, terdiri dari Matan ‘Awamil, Matan Jurumiyah, Mutammimah, Imriti, dan Alfiyah ibn Malik, Matan Bina, Al Kailani, Mata
Izi, Yaqulu, dan sebagaiya. b.
Fiqih, terdiri dari Durus al Fiqih, Matan Taqrib, Al Bajuri, Fath al Mu’in atau I’anat al Thalibin.
70
B. Analisa Gagasan Nurcholish Madjid Tentang Kurikulum Pesantren Salaf
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa pesantren Salaf yaitu lembaga pesantren yang masih tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai
inti pendidikannya. Atau pesantren yang biasa dikenal dengan sebutan pesantren tradisional yang diasumsikan belum tersentuh arus modernitas, baik dari sisi model
pembelajarannya, maupun kurikulum pendidikannya.
69
Ibid, h. 84
70
Ibid, h. 84
Menurut Nurcholish Madjid, bahwa pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud poses perkembangan sistem pendidikan
nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia. Sebab, lembaga yang serupa
pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Budha. Sehinga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang
sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam mempelopori pendidikan di Indonesia.
71
Sesuai dengan karakteristiknya, bahan-bahan pelajaran yang dijadikan pedoman atau pegangan terfokus kepada pengajian-pengajian kitab-kitab kuning
secara murni, atau kitab-kitab klasik keagamaan karangan para ulama abad pertengahan. Bidang-bidang studi yang diajarkan di antara kitab-kitab klasik tersebut
pada umumnya meliputi bidang-bidang studi sebagai berikut: Ushuluddin tauhid, Tafsir, Fiqih, Tasawuf, Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Balaghah, Tajwid, Mantiq serta
Akhlak.
72
Namun demikian, setiap pesantren biasanya memiliki perbedaan satu sama lain dalam menetapkan kitab-kitab apa yang biasa diajarkan dari kebanyakan
pesantren salaf ini dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi adalah: “Hidayatus Shibyan, Tukhfatul Adfal, Mabadi, Jurumiyah, Imrity, Alfiyyah Ibnu Malik, Safinah,
71
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina,
1997, h. 3
72
Abdul Syukri Zarkasyi, M.A, Op Cit, h. 142
Fathul Muin, Fathul Wahab, Tafsir Jalalain, Ihya Ulumuddin dan kitab-kitab lainnya”.
73
Menurut Nurcholish Madjid yang dikutip oleh Yasmadi, dalam aspek kurikulum terlihat bahwa, “pelajaran agama masih dominan di lingkungan pesantren,
bahkan materinya hanya khusus yang disajikan dalam berbahasa Arab. Mata pelajarannya meliputi fiqh paling utama, aqaid, nahwu-sharaf juga mendapatkan
kedudukan penting, dan lain-lain. Sedangkan tasawuf dan semangat serta rasa agama religiusitas yang merupakan inti dari kurikulum “keagamaan” cenderung
terabaikan.”
74
Pendapat Nurcholish Madjid tersebut senada dengan hasil penelitian Mastuhu, bahwa:
“prosentase perbandingan kurikulum pesantren dengan kurikulum lain. Beberapa pesantren menyelenggarakan pendidikannya dengan 20 berisi
pelajaran umum dan 80 berisi pelajaran agama, misalnya madrasah yang diasuh oleh pondok pesantren Tebuireng. Sedangkan pada sekolah-sekolah
umum berlaku ketentuan kurikulum sebagaimana diatur oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan di Madrasah berlaku ketentuan dari
Departemen Agama. Madrasah yang menggunakan kurikulum Departemen Agama menggunakan perbandingan 30 berisi pelajran agama dan 70 berisi
pelajaran umum.”
75
Sedangkan menurut Nurcholish Madjid, membedakan istilah materi pelajaran “agama” dan “keagamaan”. Menurutnya, perkataan “agama” lebih tertuju pada segi
formil dan ilmunya saja. Sedangkan perkataan “keagamaan” lebih mengenai semangat dan rasa agama religiusitas. Menurutnya, materi “keagamaan” ini hanya
73
Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pandangan Islam, Surabaya: al Ikhlas, 1993, Cet,I, h.
61
74
Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurchalsih Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta: Ciputat Press, 2002, Cet. I, h. 78-79
75
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994, h. 142
dipelajari sambil lalu saja tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih berfungsi dalam masyarakat zaman modern, bukan fiqih maupun ilmu kalamnya
apalagi nahwu sharafnya serta Bahasa Arabnya. Di sisi lain, pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan secara setengah-setengah, sehinga kemampuan santri
biasanya sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat umum. Pada umumnya pembagian keahlian di lingkungan pesantren telah melahirkan
produk-produk pesantren yang berkisar pada; nahwu-sharaf, fiqih, aqaid, tasawuf, hadits, bahasa arab, dan lain-lain. Penyempitan orientasi kurikulum tersebut menurut
Nurcholish Madjid selain ada sisi positifnya, tetapi juga mempunyai dampak negatif bagi lembaga pesantren itu sendiri.
76
Dan selanjutnya akan dijelaskan di bawah ini. 1. Nahwu-Sharaf
Menurut Nurcholish Madjid dalam bahasa kita istilah nahwu-sharaf ini mungkin bisa diartikan sebagai gramatika bahasa Arab. Banyak orang berhasil
memperoleh status social-keagamaan –jadi berhak atas title kyai, ustadz, atau yang lainnya- hanya karena dianggap ahli dalam gramatika bahasa Arab ini. Bentuk
konkrit keahlian itu biasanya sangat sederhana, yaitu kemampuan mengaji atau mengajarkan kitab-kitab nahwu-sharaf tertentu, seperti Ajurumiyah, ‘Imrity, Alfiyah
atau tingkat tingginya kitab Ibn Aqil. Konotasi keagamaan dalam keahlian di bidang ini semata-mata karena bahasa objek studinya adalah bahasa Arab. Status social
keagamaan yang mereka dapatkan itu tidak akan hilang meskipun yang bersangkutan sendiri mungkin tidak menggunakan “ilmu alat”-nya ini untuk secara
76
Yasmadi, Op Cit, h. 79
sungguh-sungguh mempelajari ilmu agama, sebagaimana yang menjadi tujuannya semula.
77
Berbeda dengan pendapat Nurcholihs Madjid di atas yang masih mengunggulkan kemampuan Nahwu dan Sharaf para santri, menurut Suwendi
bahwa kebahasaan dalam kurikulum pesantren terlalu berlebihan pada aspek kognitif, sedangkan pada aspek afektif dan psikomotorik kurang terjelajahi secara
proporsional. Menurutnya, kecerdasan pada disiplin Nahwu dan Sharaf belum dapat dimanifestasikan dalam praktek-praktek komunikasi sosial yang efektif.
78
Maksudnya, dari ranah kognitif para santri mampu menghafal dari isi kitab sedangkan ranah afektif dan psikomotorik kurang memahami atas apa yang mereka
hafal. Oleh karena faktor inilah, maka banyak dipahami juga banyak santri pesantren yang hafal kitab Al fiyah bahkan dari belakang, tetapi kurang lancar
berbicara dengan menggunakan Bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memperhatikan situasi yang berkembang sekarang dan tentu juga
dihadapi pesantren, selanjutnya perlu dikembangkan kemampuan multibahasa sebagai alat utama pengembangan pemikiran. Maka para santri selain memiliki akar
tradisi kitab kuning dan pemikiran klasik sebagaimana terpelihara selama ini, juga terlibat aktif dan kritis dalam wacana modernitas kitab putih.
79
Jadi menurut Nurcholish Madjid, bahwa pada bidang Nahwu-Sharaf ini adalah merupakan bentuk konkrit keahlian dan biasanya sangat sederhana, yaitu
77
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina,
1997, h. 8
78
Suwendi, Rekontruksi Sistem Pendidikan Pesantren Beberapa Catatan, Bandung: Pustaka
Hidayah, 1999, h. 213
79
Mujamil Qamar, Pesantren dari Transformasi metodologi menuju Demokratisasi Istitusi,
Jakarta: Erlangga, 2005, h. 114
kemampuan mengaji atau mengajarkan kitab-kitab nahwu-sharaf tertentu, seperti Ajurumiyah, ‘Imrity, Alfiyah atau tingkat tingginya kitab Ibn Aqil.
Namun, pendapat Nurcholish Madjid tersebut belum disempurnakan dengan pemahaman yang lebih luas. Misalkan saja, dengan memahami bidang ini para
santri diharapkan tidak hanya mengetahui dan menguasai isi kitab yang dimaksud, namun lebih dari itu para santri juga mampu mengapliksikan ilmu Nahwu-
Sharafnya untuk berinteraksi dengan sesamanya. Adapun salah satu manfaat yang bisa diambil yaitu agar para santri yang sudah berinteraksi dengan masyarakat
nantinya mampu beradaptasi dengan lingkungan.
2. Fiqih Menurut Nurcholish Madjid, para ulama fiqih sendiri mendefinisikan fiqih
sebagai sekumpulan hukum amaliyah sifatnya akan diamalkan yang disyariatkan dalam islam.
80
Pengetahuan tentang hukum-hukum agama, atau syariat memang untuk jangka waktu yang lama sekali memegang dominasi dunia pemikiran atau
intelektual islam. Perkembangan agama islam terjadi sedemikian rupa sehingga terdapat keharusan adanya pembakuan sistem hukum untuk mengatur masyarakat.
81
Pembakuan itu sendiri menurutnya terjadi pada sekitar abad ke-2 H. adapun alasannya karena fiqih ada hubungan yang erat dengan kekuasaan, maka
pengetahuan tentang hukum-hukum agama merupakan tangga naik yang paling langsung menuju pada status social politik yang lebih tinggi. Sehingga
80
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina,
1997, h. 8
81
M. Dawam Raharjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah, Jakarta: P3M,