BAB II KAJIAN TEORITIS
PESANTREN
A. Pengertian Pesantren
Kata pesantren berawal dari akar kata cantrik yang merupakan kata benda konkrit kemudian berkembang menjadi kata benda abstrak yang diimbuhi awalan
pe dan akhiran an, karena pergeseran tertentu, kata cantrik berubah menjadi kata santri. Dengan demikian, prosesnya sesuai dengan hukum tata bahasa Indonesia,
fonem –ian- berubah menjadi –en- sehingga lahirlah kata pesantren.
16
Menurut beberapa ahli yang dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier antara lain Johns, bahwa kata pesantren juga berasal dari kata santri, dan kata santri itu sendiri
berasal dari bahasa Tamil yang artinya guru mengaji. Sedangkan C.C. Breg mengatakan bahwa istilah tersebut berasal dari kata shasri yang berasal dari bahasa
India berarti orang yang tahu buku-buku suci atau sarjana ahli kitab Hindu. Dan menurut M. Chatuverdi dan Tiwari, kata shasri berasal dari kata shastra yang berarti
buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku ilmu pengetahuan, maka pengertian dasar dari kata pesantren adalah tempat belajar bagi para santri.
17
B. Tujuan
16
Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, Cet.I h.
94
17
Zamkhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta:
LP3ES, 1994, Cet. VI, h. 18
Tujuan pendidikan merupakan bagian terpadu dari faktor-faktor pendiikan dan tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan. Di samping faktor-faktor lainnya
yang yaitu; pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan. Keberadaan empat factor ini tidak ada artinya bila tidak diarahkan oleh suatu tujuan.
Tak ayal lagi bahwa tujun menempati posisi yang amat penting dalam proses pendidikan sehingga materi, metode, dan alat pengajaran selalu disesuaikan dengan
tujuan. Tujuan yang tidak jelas akan mengaburkan seluruh aspek tersebut. Menurut Mastuhu, bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak
memiliki formulasi tujuan yang jelas, baik dalam tataran institusional, kurikuler, maupun intruksional umum dan khusus. Tujuan yang dimilikinya hanya ada dalam
angan-angan. Mastuhu melaporkan bahwa tidak pernah dijumpai perumusan tujuan pendidikan pesantren yang jelas dan standar yang berlaku umum bagi semua
pesantren.
18
Pokok persoalannya bukan terletak pada ketiadaan tujuan melainkan tidak tertulisnya tujuan. Seandainya pesantren tidak memiliki tujuan, tentu aktivitas di
di lembaga pendidikan Islam yang menimbulkan penilaian kontroversial ini tidak mempunyai bentuk yang konkrit. Proses pendidikan akan kehilangan orientasi
sehingga berjalan tanpa arah dan menimbulkan kekacauan. Jadi semua pesantren memiliki tujuan, hanya saja
tidak dituangkan dalam bentuk tulisan. Akibatnya beberapa penulis merumuskan tujuan itu hanya berdasarkan perkiraan asumsi atau wawancara semata.
19
18
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Seri INIS XX, Jakarta: INIS, 1994, h. 59
19
Zamkhsyari Dhofier, Op. Cit, h. 55
Asumsi sangat dipengaruhi kecenderungan dan selera pribadi, yang pada gilirannya menghasilkan kesimpulan yang secara konseptual berbeda. Perkiraan
mungkin hanya didasarkan pada pengamatan dari sudut pandang parsial bukan holistik, sehingga tujuan yang dirumuskan belum merefleksikan realitas sebenarnya
atau hanya menunjuk pada rincian global. Hiroko Horikoshi melihat dari segi otonominya, maka tujuan pesantren menurutnya adalah untuk melatih para santri
memiliki kemampuan mandiri.
20
Sedang Mannfred Ziemek tertarik melihat sudut keterpaduan aspek perilaku dan intelektual, tujuan pesantren menurut
pengamatannya, adalah membentuk kepribadian, memantapkan akhlak dan melengkapinya dengan pengetahuan.
21
Senada dengan hal tersebut, Mastuhu telah merangkum dari hasil wawancaranya dengan berbagai kyai pengasuh pesantren yang memiliki latar
belakang dan visi yang berlainan. Adapun tujuan pendidikan pesantren menurut Mastuhu adalah
Menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat
atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat tetapi rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian nabi Muhammad
mengikuti sunnah nabi, mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat di tengah-tengah
masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.
22
20
Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, terj. Umar Basalim dan Andi Mualy Sunrawa,
Jakarta: P3M, 1986, h. 120
21
Mannfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjoyo, Jakarta:
P3M, 1086, h. 157
22
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Seri INIS XX, Jakarta: INIS, 1994, h. 55-56
Formulasi tujuan menurut Ziemek dan Mastuhu itu hakikatnya sama. Jika Ziemek menyebutkan kepribadian menjadi sasaran yang dicita-citakan, hanya secara
garis besar, maka Mastuhu merinci wilayah kepribadian sehingga mengesankan adanya cakupan multidimensional. Kyai Ali Masum menganggap bahwa tujuan
pesantren adalah untuk mencetak para ulama.
23
Zamakhsyari Dhofier mengabarkan bahwa dalam 30 tahun pertama, tujuan pendidikan Tebu Ireng adalah untuk mendidik
calon ulama. Sekarang ini, tujuannya sudah diperluas yaitu mendidik para santri agar kelak dapat mengembangkan dirinya menjadi ulama intelektual ulama yang
menguasai pengetahuan umum. Dan intelektual ulama sarjana dalam bidang pengetahuan umum yang juga menguasai pengetahun Islam.
24
Pendapat Dhofier tersebut senada dengan Nurcholish Madjid yang menyamakan antara ulama dengan
kaum intelektual, karena kata ulama dalam bahasa Arab makna generiknya sebagai ilmuan adalah golongan masyarakat yang diharapkan paling mampu meresapi
ketaqwaan dan juga paling tinggi dalam menampilkan tingkat laku bermoral, beradab, dan berakhlak.
25
Oleh karena itu, lahirnya ulama tetap menjadi tujuan pesantren hingga sekarang, tetapi ulama dalam pengertian yang luas, ulama yang menguasai ilmu-ilmu
agama sekaligus memahami pengetahuan umum sehingga mereka tidak terisolasi dalam dunianya sendiri. Jadi secara esensial, tujuan pesantren relatif konstan.
23
Ali Mashum, Ajakan Suci, t.tp: LTN-NU DIY, 1995, h. 97
24
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta:
LP3ES, 1985, h. 113
25
Nurcholish Madjid, Tradisi Islam Peran Dan Fungsinya Terhadap Pembangunan Di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1997, h. 33
Pengamatan lembaga research Islam pesantren luhur benar bahwa pesantren selalu mengalami perubahan dalam bentuk penyempurnaan mengikuti tuntutan zaman,
kecuali tujuannya sebagai tempat mengajarkan agama Islam dan membentuk guru- guru ulama yang kelak meneruskan usaha dalam kalangan umat Islam.
26
Adapun tujuan khusus pesantren adalah sebagai berikut: 1. Mendidik siswasantri anggota masyarakat untuk menjadi seorang muslim
yang bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, ketrampilan dan sehat lahir dan batin sebagai warga Negara yang
berpancasila.
2. Mendidik siswasantri untuk menjadikan manusia muslim selaku kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiawa ikhlas, tabah, tanguh, wiraswasta dalam
mengamalkan sejarah Islam secara utuh dan dinamis. 3. Mendidik siswasantri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal
semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membagun dirinya dan bertanggung jawab kepada
pembangunan bangsa dan Negara
4. Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro keluarga dan regional pedesaanmasyarakat lingkungannya
5. Mendidik siswasantri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor pembangunan, khususnya pembangunan mental-spiritual.
6. Mendidik siswasantri untuk membantu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat
bangsa.
27
Rumusan tujuan ini adalah yang paling rinci di antara rumusan yang pernah
diungkapkan beberapa peneliti di atas, tetapi harapan untuk memberlakukan tujuan tersebut bagi seluruh pesantren rupanya kandas. Kyai-kyai pesantren tidak
mentransfer rumusan tersebut secara tertulis sebagai tujuan buku bagi pesantrennya kendati orientasi pesantren tidak jauh berbeda dengan kehendak tujuan tersebut.
Semua tujuan yang dirumuskan melalui perkiraan asumsi, wawancara maupun keputusan musyawarahlokakarya hanya menyinggung tujuan dalam tataran
26
Mujamil Qamar, Pesantren dari Transformasi metodologi menuju Demokratisasi Istitusi,
Jakarta: Erlangga, 2005, h. 5-6
27
Ibid., 6
institusional. Jika tujuan institusional saja belum diformulasikan secara tertulis, apalagi tujuan kurikuler dan tujuan intruksional baik umum maupun khusus. Mungkin
belum pernah terlintas dalam bayangan kyai untuk merumuskan kedua tujuan tersebut. Tidak adanya perumusan tujuan pesantren secara tertulis itu agaknya
dipengaruhi oleh budaya yang berkembang di pesantren di mana kegiatan menulis – terutama penulisan ilmiah- belum menjadi tradisi di kalangan kyai, ustad maupun
santri. Mereka lebih condong menjadi bagian dari Lestening Speaking Society masyarakat yanag suka mendengar dan berbicara dari pada berupaya mewujudkan
Reading Writing Society masyarakat yang gemar membaca dan menulis sebagai karakter masyarakat yang telah maju.
Dari beberapa tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pesantren adalah membentuk kepribadian yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan
mengamalkannya atau dengan kata lain ulama dalam pengertian yang luas, ulama yang menguasai ilmu-ilmu agama sekaligus memahami pengetahuan umum sehingga
mereka tidak terisolasi dalam dunianya sendiri dan bermanfaat bagi agama, masyarakat dan Negara.
28
C. Sejarah