kemampuan mengaji atau mengajarkan kitab-kitab nahwu-sharaf tertentu, seperti Ajurumiyah, ‘Imrity, Alfiyah atau tingkat tingginya kitab Ibn Aqil.
Namun, pendapat Nurcholish Madjid tersebut belum disempurnakan dengan pemahaman yang lebih luas. Misalkan saja, dengan memahami bidang ini para
santri diharapkan tidak hanya mengetahui dan menguasai isi kitab yang dimaksud, namun lebih dari itu para santri juga mampu mengapliksikan ilmu Nahwu-
Sharafnya untuk berinteraksi dengan sesamanya. Adapun salah satu manfaat yang bisa diambil yaitu agar para santri yang sudah berinteraksi dengan masyarakat
nantinya mampu beradaptasi dengan lingkungan.
2. Fiqih Menurut Nurcholish Madjid, para ulama fiqih sendiri mendefinisikan fiqih
sebagai sekumpulan hukum amaliyah sifatnya akan diamalkan yang disyariatkan dalam islam.
80
Pengetahuan tentang hukum-hukum agama, atau syariat memang untuk jangka waktu yang lama sekali memegang dominasi dunia pemikiran atau
intelektual islam. Perkembangan agama islam terjadi sedemikian rupa sehingga terdapat keharusan adanya pembakuan sistem hukum untuk mengatur masyarakat.
81
Pembakuan itu sendiri menurutnya terjadi pada sekitar abad ke-2 H. adapun alasannya karena fiqih ada hubungan yang erat dengan kekuasaan, maka
pengetahuan tentang hukum-hukum agama merupakan tangga naik yang paling langsung menuju pada status social politik yang lebih tinggi. Sehingga
80
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina,
1997, h. 8
81
M. Dawam Raharjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah, Jakarta: P3M,
1999, h. 7
meningkatlah arus orang yang berminat mendalami keahlian dalam bidang hukum ini, dan terjadi dominasi fiqih tersebut. Jadi tidaklah aneh bahwa keahlian dalam
fiqih merupakan konotasi terkuat bagi kepemimpinan keagamaan islam atau menjadi kurikulum pesantren yang sangat diminati.
82
Menurut Bruinessen seperti yang telah dikutip oleh Mujamil Qamar mengungkapkan, bahwa dari keseluruhan penyebab yang diungkapkan oleh
Bruinessen menunjukkan pesantren masih bersikap responsif. Sedang penyebab yang ditunjuk oleh Nurcholish Madjid mengisyaratkan bahwa pesantren hanya
bersikap melestarikan tradisi yang telah ada. Hanya saja perlu dipersoalkan mengapa pada awal dan tengah perkembangannya abad ke-15 sampai abad ke-18
pesantren lebih didominasi tasawuf padahal abad-abad tersebut berada di tengah- tengah perjalanan kelangsungan kemapanan pembakuan sistem hukum, sehingga
pembakuan system hukum yang berkaitan dengan kekuasaan sebagai fakor yang turut mempengaruhi orientasi pesantren pada fiqih mestinya masih perlu dikaji
ulang di luar wacana ini.
83
Jadi menurut Nurcholish Madjid, bahwa keahlian dalam fiqih merupakan konotasi terkuat bagi kepemimpinan keagamaan islam atau menjadi kurikulum
pesantren yang sangat diminati. Adapun alasannya adalah karena perkembangan agama islam terjadi sedemikian rupa sehingga terdapat keharusan adanya
pembakuan sistem hukum untuk mengatur masyarakat.
82
Nurcholish Madjid, Op Cit., h.8
83
Mujamil Qamar, Pesantren dari Transformasi metodologi menuju Demoratisasi Istitusi,
Jakarta: Erlangga, 2005, h. 116
3. Aqaid Menurut Nurcholish Madjid, bentuk plural dari aqidah yang padanannya
dalam bahasa kita adalah keyakinan. Aqaid ini meliputi segala hal yang bertalian dengan kepercayaan dan keyakinan seorang muslim.
84
Meskipun bidang pokok- pokok kepercayaan atau aqaid ini disebut ushuluddin pokok-pokok agama
sedangkan fiqih disebut dengan furu’ cabang-cabang, tetapi kenyataannya perhatian pada bidang-bidang ini kalah besar dan kalah antusias dibandingkan
dengan perhatian pada bidang fiqih yang hanya merupakan cabang furu’ itu. Agaknya ini disebabkan oleh kecilnya akses yang dimiliki bidang aqaid pada
struktur kekuasaan sosial-politik bila dibandingkan dengan akses yang dimiliki bidang fiqih.
85
Selain itu, bidang aqaid yang juga disebut ilmu kalam ini memang membuka pintu bagi pemikiran filsafat yang kadang sangat spekulatif. Sebagai akibatnya,
keahlian dibidang ini kurang mendalam. Dan untuk dapat dikatakan ahli dalam bidang aqaid ini cukuplah dengan menguasai kitab-kitab sederhana seperti Aqidatul
Awamm, Bad’ul Amal, Sanusiayah, dan kitab-kitab yang tidak begitu “sophisticated” lainnya.
86
Sedangkan menurut Mujamil Qamar yang mengutip pendapatnya Imam Al Ghazali, bahwa alasan terjadinya pergeseran tekanan dari tasawuf ke Fiqih bisa juga
dilihat sebagai upaya preventif dari kyai agar tidak terjadi penyimpangan aqidah di
84
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina,
1997, h. 9
85
M. Dawam Raharjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah, Jakarta: P3M,