Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan sains dan teknologi, penyebaran arus informasi dan perjumpaan budaya dapat membuat kecenderungan masyarakat untuk berpikir rasional, bersikap inklusif dan berprilaku adaptif. Mereka semacam dihadapkan pada pilihan-pilihan baru yang menarik dan cukup menggoda untuk mengikutinya. Terlebih lagi pilihan-pilihan baru itu selalu dikemas dengan istilah yang mengandung nuansa propaganda, kendatipun dalam taraf tertentu bisa dibenarkan seperti efektif- efisien, kemajuan, pencerahan, pembaruan, dan sebagainya. Masyarakat sekarang begitu peka menjumpai perubahan-perubahan baik menyangkut pola pikir, pola hidup, kebutuhan sehari-hari hingga proyeksi kehidupan di masa depan. Kondisi seperti ini tentu berpengaruh secara signifikan terhadap standar kehidupan masyarakat. Mereka senantiasa berusaha berpikir dan bersikap progresif sebagai responss terhadap perkembangan dan tuntutan zaman. Bentuk respon selanjutnya yang perlu dipertimbangkan oleh kalangan pesantren. Sekarang ini kecenderungan masyarakat telah berubah padahal output pesantren tidak banyak berubah. Pokok permasalahannya bukan terletak pada potensi santri lulusan pesantren yang tidak pandai, melainkan pergeseran ukuran. Sekarang ini yang menjadi ukuran dalam masyarakat adalah masalah yang menyangkut wawasan sosial, organisasi modern, pluralisme keilmuan dan sebagainya. Masalah- masalah ini pada masa lampau tidak pernah diperhitungkan sama sekali di dalam materi pendidikan pesantren. 1 Kini pesantren menghadapi tantangan baru, yaitu tantangan pembangunan, kemajuan, pembaharuan, serta tantangan keterbukaan dan globalisasi. 2 Pesantren tidak bisa besikap isolatif dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Respons yang positif adalah dengan memberikan alternatif-alternatif yang berorientasi pada pemberdayaan santri dalam menghadapi era global yang membawa persoalan-persoalan yang makin kompleks sekarang ini. Sebaliknya, respons yang tidak kondusif seperti bersikap isolatif pada masa penjajahan dulu justru menjadikan pesantren kelewat konservatif yang tidak memberikan keuntungan bagi kemajuan dan pembaharuan pesantren. Pengalaman dalam menentukan strategi pada masa lampau itu seharusnya dijadikan pelajaran untuk memilih strategi yang memiliki prospek yang menjanjikan di masa depan. Evaluasi secara objektif terhadap langkah-langkah yang pernah ditempuh selama ini sepatutnya menjadi keniscayaan dan menjadi bagian integral dari sistem menajerial pesantren. Dengan begitu, segala langkah masa lalu yang tidak stategis perlu dikoreksi secara total, sementara langkah yang positif-konstruktif tetap dipertahankan dan berupaya ditingkatkan. Sikap ini juga menyangkut penentuan sistem pendidikan yang dilaksanakan pesantren. 1 Mujamil Qamar, Pesantren dari Transformasi metodologi menuju Demoratisasi Istitusi, Jakarta: Erlangga, 2005, h. 73 2 Ismail S. Ahmad, Mahfudh, dan M. Yoenus Noor, Teologi Sosial Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan Prof. Dr. K.H. Ali Yafie, Yogyakarta: LKPSM, 1997, h. 25 Oleh karena itu, sistem pendidikan pesantren harus selalu melakukan upaya rekontruksi pemahaman terhadap ajaran-ajarannya agar tetap relevan dan survive. 3 Bahkan, lebih lanjut pesantren harus mampu mewujudkan sistem pendidikan sinergik. Yakni sistem yang memadukan akar tradisi dan modernitas. Jika strategi ini mampu dilaksanakan, hubungan pendidikan pesantren dengan dunia kerja industrial bisa bersambung. Pemaduan antara akar tradisi dan modernitas dalam wacana pemikiran Islam disebut dengan neomodernitas. Selama ini tradisi dan modernisasi senantiasa dipertententangkan akibat pengaruh konsep Barat yang memetakan bahwa modernisasi membentur tradisi. Sementara itu pemikir neomodernis berpandangan bahwa modernisasi merupakan mata rantai dari tradisi, sehingga ada upaya mengintegrasikan tradisi dengan modernisasi. Pesantren bisa melakukan memadukan ini, dan telah biasa melakukannya. Slogan memelihara hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik al muhafadzah ala al qadim al shalih wa al akhzu bi al jaded al aslah bagaimanapun adalah cermin dari sikap neomodernis. Istilah memlihara hal-hal lama yang baik adalah refleksi dari tradisi, sedang istilah mengambil hal-hal baru yang lebih baik al muhafadzah ala al qadim al shalih adalah refleksi dari penerimaan modernisasi. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, pesantren menjadi tumpuan harapan. Menurut Nurcholis Madjid, Semboyan mewujudkan masyarakat madani akan mudah terwujud bila intitusi pesantren tanggap atas 3 Suwendi dan Saefuddin Zuhri, Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, h. 216 perkembangan dunia modern. 4 Pesantren memperoleh kepercayaan setinggi ini dapat dimengerti mengingat disamping sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren juga dikenal mentradisikan belajar melalui kitab kuning, jumlah pesantren yang cukup signifikan dan yang lebih penting lagi, pesantren berbasis pedesaan. Masyarakat pedesaan adalah masyarakat yang paling perhatian utama dalam mewujudkan masyarakat madani yang seringkali diidentikkan dengan masyarakat sipil civil society oleh kalangan tertentu. 5 Penilaian Madjid itu merupakan penilaian yang bersyarat artinya pesantren harus tanggap terhadap perkembngan dunia modern. Persyaratan ini sebenarnya berfungsi juga tantangan yang perlu direspon oleh pesantren. Pesantren tidak bisa mengelak dari tanggung jawab merespon tantangan itu, karena jika mengelak maka resiko yang dihadapi pesantren tidak kecil. Santri maupun alumni pesantren bisa gagap menghadapi perubahan global yang berkembang dengan cepat. Mastuhu menilai bahwa akibat pengaruh globalisasi,pesantren tidak bisa menutup diri dari perubahan social yang sangat cepat. Nilai-nilai modern sebagai snaw balling efek industrial, mulai mempengaruhi nilai-niali budaya pesantren. 6 Realitas ini memang terasa sebagai suatu dilema yang tidak mudah dipecahkan bagi pesantren. Sedangkan menurut Ismail pada realitas lainnya, perkembangan pesantren di masa depan sangat ditentukan oleh kemampuannya mengantisipasi dan mengatasi 4 Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurchalish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta: Ciputat Press, 2002, h. 70 5 Ibid., h. 70 6 Mastuhu, Kyai Tanpa Pesantren: KH. Ali Yafie Dalam Peta Kekuatan Sosial Islam Indonesia, Bandung: Mizan bekerjasama dengan Bank Muamalat Indonesia, 1997, h. 260-261 kesulitan, tantangan dan dilema yang selama ini menyelimutinya. 7 Pesantren yang mampu merespon minimal tidak akan termarjinalkan oleh desakan-desakan pengaruh global. Pesantren dengan demikian sepatutnya menempuh strategi adaptif-selektif. Artinya, pesantren perlu mengadakan pembaharuan yang bisa mengimbangi kemajuan zaman tetapi materi pembaharuannya harus terlebih dahulu diseleksi secara ketat berdasarkan parameter ajaran-ajaran Islam. Menurut Nur Shaleh pesantren dituntut mampu merumuskan konsep pengembangan ajaran Islam sebagai tatanan social. Bukan hanya lembaga legalistic yang bersifat hitam-putih. Untuk mempermudah pesantren menjalankan peranannya dibutuhkan kemampuan antisipatif dan keterbukaan. Keterbukaan akan menumbuhkan sikap lentur fleksibel yang akomodatif. 8 Bentuk dari keterbukan ini berupa pesantren dengan tulus ikhlas bersedia menerima masukan-masukan positif, konstruktif, dan inovatif yang berasal dari manapun termasuk sejumlah ahli dari luar pesantren. Kemudian pesantren juga harus bersedia mengakui dan mengoreksi serta mengoreksi kelemahan-kelemahan yang menimpanya, untuk dicarikan solusinya. Di samping itu, pesantren dituntut bersikap kreatif dalam mengelola dirinya. Dalam merespon tuntutan pendidikan, pesantren bisa melakukan improvisasi dan inovasi tanpa mengubah watak dan karakteristik tradisional. 9 Namun, hingga kini belum melakukan ekplorasi pemikiran untuk pengembangan mutu yang diharapkan. Padahal pendidikan kita membutuhkan pemikiran dan langkah-langkah transformatif. 7 Ismail SM, Pengembangan Pesantren Tradisional Sebuah Hipotesis Mengantisipasi Perubahan Sosial, Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan Pustaka Pelajar, 2002, h. 64 8 Muhammad Nur Shaleh, Pesantren Dalam Konstelasi Perubahan Zaman, 1997, h. 56-57 Menurut Mujamil Qamar, langkah transformatif yang dimaksudkan adalah langkah-langkah yang tidak sekadar merubah bentuk dari aslinya menjadi bentuk yang baru, tetapi yang lebih penting justru terletak pada nilai-nilai positif-konstruktif dari perubahan itu. Misalnya, perubahan dari sikap eksklusif menjadi inklusif, perubahan dari kepemimpinan individual menjadi kolektif, perubahan dari model pelajaran yang membelenggu santri menjadi emansipatoris, dan sebagainya. Jadi langkah transformatif di sini lebih diarahkan pada langkah strategis. 10 Jadi, menurut mujamil Qamar dengan menempuh langkah-langkah strategis itu, pesantren mampu manjawab berbagai tantangan baik tantangan internal maupun eksternal. Begitu pula tantangan seberat apapun, masih bisa disiasati, dihadapi dan direspon dengan baik apabila kalangan pesantren mengedepankan langkah-langkah strategis. Tentu saja penentuan langkah ini membutuhkan perenungan mendalam, pertimbangan yang matang, perencanaan yang mapan, dan kebijaksanaan dalam aplikasinya. 11 Masih menurut Mujamil Qamar, bahwa secara garis besar pesantren menghadapi tantangan makro dan mikro. Pada tataran makro, pesantren ditantang untuk menggarap triumvirat kelembagaan, yakni keluarga, lingkungan kerja dan pesantren sendiri. Sedangkan pada dataran mikro, pesantren dituntut untuk menata ulang interaksi antara santri dan kyai, konsep pendidikan yang digunakan, serta kurikulum. Baik tantangan makro maupun mikro keduanya harus direspon oleh 9 Faisal Ismail, NU Gusdurisme dan Politik Kyai, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999, h. 94 10 Mujamil Qamar, Pesantren dari Trasformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2005, h. 75-76 11 Ibid, h. 75 pesantren melalui langkah-langkah strategis, sehingga dapat membuahkan hasil yang memuaskan 12 . Sedangkan pesantren pada zaman modern ini menurut Mastuhu, harus memusatkan pada tiga variable mendasar yaitu materi, pandangan dunia, dan metodologi. 13 Dalam hal yang berkaitan dengan pemberdayaan wawasan atau pemikiran santri, metodologi mungkin paling sering mendapat kritikan oleh para ahli. Pesantren dianggap berhasil dalam pembentukan akhlak, tetapi pesantren mengalami kelemahan yang sangat serius dalam bidang metodologi. Kesan pesantren menjadi model pendidikan ideal digugat berbagai kalangan terutama lantaran kelemahan metodologi itu. Jika saja pesantren memperkuat aspek metodologi ini bisa jadi pesantren menjadi model pendidikan Islam alternatif di Indonesia. Akan tetapi upaya penguatan metodologi secara komprehensif tampaknya berat sekali, sebab rata-rata pengasuh pesantren tidak menguasai metodologi. Selanjutnya, dalam menghadapi tantangan yang berat akibat dari perubahan global tersebut pesantren dituntut memiliki tiga kemampuan; 1 kemampuan untuk survive bertahan hidup di tengah-tengah perubahan dan persaingan yang terus bergulir, 2 kemampuan untuk meningkatkan kualitas kehidupannya rohaniyah dan jasmaniyah, dan 3 kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi dengan tuntutan zaman yang terus berubah. 14 Sementara itu, menurut Azyumardi Azra, pesantren diharapkan bukan hanya mampu bertahan, melainkan juga mampu mengembangkan 12 Ibid, h. 76 13 Mastuhu, Kyai Tanpa Pesantren: KH. Ali Yafie Dalam Peta Kekuatan Sosial Islam Indonesia, Bandung: Mizan bekerjasama dengan Bank Muamalat Indonesia, 1997, h. 262 14 Muhammad Nur Shaleh, Pesantren Dalam Konstelasi Perubahan Zaman, 1997, h. 57-58 diri, dan bahkan kembali menempatkan diri pada posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan. 15 Untuk mewujudkan semua idealisme itu setidaknya kalangan pesantren perlu melakukan trasformasi sistem pendidikan pesantren yang lebih adaptif daripada sebelumnya, yaitu suatu sistem pendidikan yang senantiasa mempertimbangkan sistem pendidikan lainnya yang dipandang positif untuk diintegrasikan. Jika dilihat dari berbagai macam persoalan pendidikan Islam di Indonesia yang bisa dikatakan belum menggembirakan, terutama bila dihubungkan dengan tantangan di era globalisasi, maka diperlukan adanya gagasan dan pemikiran yang menyegarkan untuk dapat bangkit kembali dan merespon tantangan zaman. Oleh karena itu, melihat fenomena itulah yang kemudian mendasari penulis untuk mencoba mengkaji pemikiran dan gagasan pendidikan Prof. Dr. Nurcholish Madjid tentang pendidikan Islam di Indonesia terutama pesantrens. Adapun untuk alasannya adalah karena mengingat beliau termasuk salah satu tokoh pendidikan yang pernah mencurahkan perhatiannya untuk meneliti dan mengamati perkembangan dan permasalahan yang dialami oleh lembaga pendidikan Islam di Indonesia khususnya pesantren dalam menghadapi perkembangan Ilmu Pengeahuan dan Teknologi modern yang terjadi saat ini. Selain itu, beliau berhasil melakukan pemetaan atas suatu permasalahan serta mencurahkan gagasan solusi yang futuristik. Hal tersebut dapat kita lihat bahwa, ditengah-tengah kesibukannya sebagai pejabat penting dalam berbagai bidang, Prof. Dr. Nurcholish Madjid juga aktif dalam menulis berbagai macam buku dan berbagai 15 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 101 macam karya ilmiyah yang lainnya dengan berbagai macam persoalan, baik yang disampaikannya pada forum seminar nasional maupun internasional. Diantara karya ilmiyah yang dihasilkannya terutama yang berkaitan dengan dunia pesantren adalah buku yang berjudul “Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan”. Berdasarkan pokok masalah di atas, jika melihat latar belakang dan aktivitasnya yang banyak bergelut dengan dunia pendidikan –termasuk pendidikan Islam dan pesantren- maka cukup beralasan jika penulis terinspirasi untuk mengkaji peta pemikiran dan gagasan beliau di bidang pendidikan dalam upaya peningkatan mutu kualitas pendidikan Islam di Indonesia. Dan berdasarkan uraian diatas maka penulis berusaha mengkaji pemikiran dan gagasan beliau yang penulis tuangkan dalam skripsi dengan judul “ANALISA GAGASAN NURCHOLISH MADJID TENTANG PENGEMBANGAN KURIKULUM PESANTREN”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah