Aktivitas dan Kegiatan Intelektualnya

B. Aktivitas dan Kegiatan Intelektualnya

Selain aktif di bangku kuliah, Nurcholish Majdid juga terlibat aktif dalam kegiatan organisasi di luar kampus. Beliau menambah pengalaman organisasinya sekaligus bertartisipasi dalam sebuah organiasasi mahasiswa yang cukup solid dan masyhur pada waktu itu, yaitu Hipunan Mahasiswa Islam HMI. Beliau memasuki organisasi tersebut pada tahun 1963, kira-kira setelah empat semester dalam masa perkuliahannya, diawali dari tingkat cabang, beliau menunjukkan keunggulannya sebagai seorang leader, yang tidak saja dikagumi oleh kawan-kawannya sekaligus juga disegani oleh rival-rivalnya. Karir organisasinya semakin diperhitungkan, ketika tahun 1966 HMI melakukan kongres di kota Solo, beliau sebagai ketua cabang pinggiran Cabang Ciputat menjadi calon kuat Ketua Pengurus Besar PB HMI. Dan karena citra kepemimpinan yang menonjol, ia terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI. Dalam masa aktif organiasasi di HMI, aktifitas intelektualnya menunjukkan perkembangan yang pesat, yang mana ia banyak berhadapan dengan realitas yang mendorongnya aktif memikirkan solusi tentang persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa dan negara serta agamanya. Nurcholish yang ketika itu menduduki ketua PB HMI melontarkan isyu modernisasi dalam artikel yang berjudul Modernisasi ialah Rasionalisasi, bukan Westerniasasi. Baginya, modernisasi adalah identik dengan rasionalisasi, yaitu suatu proses perombakan pola pikir dan tata kerja yang tidak rasional. Adapun kegunanya adalah untuk memperoleh daya guna dan efisien yang maksimal. Isyu tersebut diperoleh berdasarkan penerapan hasil temuan pengetahuan mutakhir, karena ilmu pengetahuan tidak lain adalah hasil dari pemahaman manusia atas hukum-hukum objektif yang mengatur alam semesta. Selanjutnya menurut beliau, modernisasi itu merupakan suatu keharusan, sebab modernisasi dalam pengertian tersebut berarti bekerja dan berfikir menurut sunnatullah. Menjadi modern berarti mengembangkan kemampuan berfikir secara ilmiyah, bersikap dinamis dan progresif dalam mendekati keberanran-kebenaran universal. 53 Kemudian Nurcholish menggulirkan sekaligus menegaskan ide pembaharuan, beliau mengedepankan perlunya kebebasan dalam rangka pembaharuan, beliau mengedapankan perlunya kebebasan dalam rangka pembaharuan. Menurut beliau pembaharauan harus dimulai dengan dua tindakan yang satu dengan yangn lainnya sasling erat berhubungan, yakni melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai yang berorientasi ke depan. Dalam kaitan ini, beliau melontarkan gagasan sekularisasi. Sekularisasi yang dimaksud adalah sebagai sebuah proses pembebasan. Proses sekularisasi ini kata Nurcholish sangat diperlukan bagi kondisi umat Islam Indonesia yang sudah tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang dianggapnya Islamis, mana yang brsifat transenden dan mana yang bersifat temporal. Sekularisasi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilkai yang suadah semesti bersifat duniawi dan melepaskan ummat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. 54 Selanjutnya, gagasan sekularisasi dalam kehidupan politik membawa implikasi penolakan terhadap gagasan partai Islam atau Negara Islam. Dalam kaitan 53 Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987, h. 172- 173 54 Muhammad Afif, Op. Cit., h. 207 ini, Nurcholish melontarkan gagasan kontroversial “Islam, Yes, partai Islam, NO” 55 . Dengan adanya sekularisasi dalam kehidupan politik ummat Islam tersebut, nampaknya beliau berharap akan tercipta suatu efek yang meruntuhkan monopoli dan konsentrasi kekuasaan, melalui kontrol terhadap sistem simbolik keagamaan ditangan para pemimpin partai Islam tersebut. Sekaligus dengan proses itu, melalui konsep yang sama, beliau juga berharap terjadi pemekaran kekuasaan yang mendirikan dasar embenaran bagi siapa saja untuk merasakan sirinya sebagai seorang partai-partai yang secara formalistik bersimbol Islam. Dalam konteks Indonesia yang sedang mengalami proses modernisasi dalam berbagai bidang sosial, politik, dan ekonomi, jelas dibutuhkan sebuah agama yang mampu memberikan landasan nilai dan moral universal. Paham keagamaan tidak bisa memainkan peran pada tingkat nilai dan moral, bukan saja tidak bisa memainkan eran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat modern. Sekaligus juga akan mempertajam pluralitas yang pada akhirnya akan mengarah pada tingkat instabilitas masyarakat. Dalam kaitannya dengan persoalan di atas, gagasan Nurchalish tentang “Islam, Yes. Partai Islam, No” menemukan araj dan tujuannya. Bagi Nurcholish, mengingat bagsa Indonesia sangat majemuk bukan hanya dari suku bagsa tapi beragamnya paham keagamaan dikalangan umat Islam itu sendiri. Gagasannya tentang keadilan, demokrasi, sampai masyarakat madani civil Society yang dilontarkannya sejak tahun 70-an masih sangat relevan dengan kehidupan politik di era reformasi. Beliau juga dikenal sebagai salah seorang pendiri Yayasan Wakaf Paramadina. Sebuah Yayasan yang dikenal sebagai tempat orang-orang menengah 55 Ibid, 204 kota berdiskusi masalah-masalah keagamaan. Paramadina merupakan wahana mensosialisasikan pemikiran-pemikirannya. Melalui Paramadina pula beliau membangun cita-cita mencitakan suatu tatanan “masyarakat madani” Sebagai seorang intelektual yang giat dengan wacana-wacana demokrasi dan civil society, Nurcholish menjadi salah seorang anggota Komnas komisi Nasional Hak Asasi Manusia HAM, tepatnya sebagai Wakil Ketua Sub Komisi Penyuluhan dan Pendidikan Komnas HAM Indonesia, dan belum lama ini Nurcholish telah merampungkan tugas beratnya sebagai salah seoarang tokoh nasional. Menjadi ketua Tim sebelas, tim yang dibentuk dalam rangkja menyeleksi partai-partai yang layak ikut dalam Pemilu Juni 1999. pemilu yang mengantarkan negara Indonesia sebagai negara yang termasuk dalam jajaran negara paling demokratis di dunia.

C. Nurcholish Madjid dan Paramadina