23
Hal tersebut diatas juga tercantum dalam pasal 1 ayat 11 UU. No. 29 Tahun 2004, yang berbunyi: ”Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah
suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh oleh pendidikan yang berjenjang, dan
kode etik yang besifat melayani masyarakat”. Dapat disimpulkan bahwa dokter sebagai pengemban profesi adalah orang
yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kedokteran yang diberikan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Dalam pertanggungjawaban tindakan dan perbuatan profesi kedokteran
sebagai subjek hukum dalam prakteknya dapat ditinjau dari dua aspek, ialah sebagai berikut:
a. Tanggungjawab Kode Etik Profesi
Kode etik kedokteran menyangkut dua hal yang harus diperhatikan oleh para pengemban profesi kedokteran, yaitu:
1 Etik jabatan kedokteran medical ethics, yaitu menyangkut masalah yang
berkaitan dengan sikap dokter terhadap teman sejawatnya, Perawatnya, masyarakat, dan pemerintah.
2 Etik asuhan kedokteran ethics medical care, merupakan etika kedokteran
untuk pedoman dalam kehidupan sehari-hari, yaitu mengenai sikap tindakan seorang dokter terhadap penderita yang menjadi
tanggungjawabnya.
24
Pelanggaran kode etik tidak menimbulkan sanksi formil bagi pelakunya, sehingga terhadap kasus pelanggaran umumnya hanya dilakukan tindakan koreksi
berupa teguran dan bimbingan. Secara maksimal hanyalah memberikan saran kepada lembaga terkait untuk melakukan tindakan administratif, sebagai tindakan
langkah pencegahan terhadap kemungkinan penanggulangan pelanggaran yang sama kemudian hari atau pencegahan akan kemungkinan semakin besarnya
intensitas pelanggaran tersebut. Akan tetapi disinilah letak perbedaan antara etika dan hukum. Sanksi
etika ditetapkan oleh kelompok profesi yang menetapkan kode etik tersebut, sedangkan sanksi hukum ditetapkan melalui wewenang pemerintah. Hukum lebih
tegas menunjukan apa yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan, sedangkan etika lebih mengendalkan itikad baik dan kesadaran moral para pelakunya.
b. Tanggungjawab Hukum
Tanggungjawab hukum dokter adalah suatu ’keterikatan’ dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya.
13
Keterikatan dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya merupakan
tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi dokter pada dasarnya meliputi pertanggungjawaban, yaitu:
14
13
Legality, Jurnal Ilmiah Hukum, T.Tp.tt, h. 150
14
Anny, Tanggungjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Op. Cit, h. 5
25
1 Tanggung Jawab Perdata
Pada mulanya, tanggung jawab seorang dokter apabila melakukan kesalahan dalam menjalankan profesinya hanya terbatas pada tanggung jawab
yang timbul sebagai akibat adanya hubungan kontrak yang terjadi antara kedua belah pihak, yaitu antara dokter dengan pasiennya. Dengan demikian,
tanggung jawab yang timbul hanya terbatas pada lingkup bidang hukum perdata misalnya, pertanggung jawaban yang timbul karena wanprestasi atau
perbuatan melawan hukum. Atas dasar tersebut, maka tanggung jawab dokter tersebut baru timbul
apabila seorang pasien mengajukan gugatan kepada dokter untuk membayar ganti rugi atas dasar perbuatan yang merugikan pasien.
15
a Melakukan wanprestasi pasal 1239 KUHPerdata
b Melakukan perbuatan melanggar hukum pasal 1365 KUHPerdata
c Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian pasal 1366
KUHPerdata d
Melakukan pekerjaan sebagai penanggung jawab pasal 1367 KUHPerdata.
16
Dari uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa seorang dokter melakukan malpraktek dan pasien mengalami suatu cidera, dapat
menimbulkan tanggung jawab perdata bagi seorang dokter, dengan dasar
15
Ninik Marianti, Malpraktek Kedokteran, Jakarta: Bima Aksara, T.Tt, h. 5
16
Ibid , h. 42
26
gugatan melakukan wanprestasi, perbuatan melawan hukum, kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian, dan melalaikan pekerjaan sebagai
penanggung jawab, yang sanksinya lazim berupa ganti kerugian materi kepada pasien korban.
2 Tanggung Jawab Pidana
Dari dasar hukum pidana maka masalah malpraktek lebih ditekankan pada masalah consent atau persetujuannya. Suatu tindakan medis yang invasif
khususnya, haruslah didasarkan pada persetujuan pasien. Tanpa adanya persetujuan pasien maka dokter yang melakukan tindakan medis tersebut
dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana penganiayaan, terlebih lagi dalam tindakannya itu juga dilakukan pembiusan.
Sebenarnya secara yuridis-formil seorang dokter melakukan tindakan invasif, misalnya pembedahan, telah dapat dipersalahkan melakukan tindak
pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP, namun pasal 351 ini, tidak dapat diberlakukan terhadap dokter yang melakukan
tindakan medis bila dipenuhi syarat: a
Adanya indikasi medis; b
Adanya persetujan pasien; c
Sesuai dengan standar profesi medik.
17
Tanggung jawab pidana yang perlu dibuktikan dengan adanya kesalahan profesional biasanya dihubungkan dengan adanya masalah:
17
Husein Kerbala, Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan , 1993, cet. Ke-2, h. 94
27
a Kelalaian negligence, dan
b Persetujuan dari pasien yang bersangkutan.
18
Berkaitan dengan adanya kesalahan profesional yang berupa kelalaian neligence, harus dilihat dengan adanya kelalaian tersebut berakibat
pertanggung jawaban pidana, terutama pertanggung jawaban pidana akibat dari pelanggaran Informed consent.
Istilah kelalaian dalam hukum pidana identik dengan kealpaan. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kelalaian atau kealpaan dalam konteks
malpraktek, kita harus melihat pada hukum pidana umum. Menurut hukum pidana, kelalaian atau kealpaan dibedakan menjadi:
a Kealpaan ringan culpa levissma, dan
b Kealpaan berat culpa lata.
KUHP tidak menyebutkan apa arti dari kelalaian, tetapi memperoleh gambaran tentang itu, Jonkers menyebutkan unsur kelalaian dalam arti pidana
ialah: a
Bertentangan dengan hukum b
Akibat sebenarnya dapat dibayangkan c
Akibat sebenarny adapat dihindarkan d
Perbuatannya dapat dipersalahkan kepadanya.
19
18
Nanik Marianti, Op. cit., h. 8
19
J. Guwandi, Kelalaian Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, h. 51