BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap masyarakat, di negeri manapun juga menghendaki agar mempunyai derajat kesehatan yang baik. Derajat kesehatan yang baik dapat
tercapai, jika setiap anggota masyarakat dengan perasaan bebas mengunjungi dokter, mengemukakan dengan hati terbuka segala keluhan tentang penderitaan
tentang jasmani, maupun rohani agar mendapatkan pengobatan yang sesuai.
1
Secara humanistik, dokter sebagai manusia biasa tentunya tidak lepas dari kelalaian dan kealpaan
2
. Perasaan takut atau khawatir itu yang dapat menjadi salah satu sebab penting, bahwa dalam masyarakat terdapat banyak orang sakit
yaitu karena mereka segan berobat.
3
Kelalaian yang terjadi pada saat melakukan tugas profesinya inilah yang dapat mengakibatkan malpraktek medis.
4
Sementara dalam masyarakat terdapat pula orang yang beritikad kurang baik, yang sengaja
menarik dokter untuk berperkara.
5
1
Oemar Seno Adji, Prof, Etika Profesional dan Hukum Pertanggung jawaban Pidana Dokter,
Jakarta; Erlangga, 1991, h. 223.
2
M. Iqbal Mochtar, Dokter Juga Manusia, Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2009
3
Ibid., h, 224
4
Nusye KI. Jayanti, SH, S.Hum, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009.
5
Anny Isfandyarie dan Fahrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Jakarta; Prestasi Pustaka, 2006, h. 5
1
2
Dokter dalam melakukan profesinya selalu dituntut untuk berusaha sebaik mungkin dalam merawat pasiennya dan setiap tindakan yang ia lakukan harus
sesuai dengan standar profesi kedokteran. Dokter sebagai subyek hukum mempunyai tanggung jawab hukum atas setiap perbuatan yang ia lakukan jika
perbuatan tersebut ternyata menimbulkan kerugian terhadap pasien, maka dokter tidak dapat berdalih bahwa tindakan tersebut bukan tanggung jawabnya.
6
Malpraktek dalam prakteknya terkadang dikaburkan dengan apa yang disebut dengan resiko medik. Sehingga tidak jarang seorang dokter yang telah
bekerja dengan sangat profesional yaitu telah sesuai dengan standar profesi medik, standar pelayanan medis, serta Standar Operating Procedure SOP masih
dituntut dengan tuduhan telah melakukan malpraktek. Praktek kedokteran sebagai salah satu aktifitas yang melibatkan manusia,
kita juga mengenal adanya kesalahan yang dilakukan dokter. Mudah dimengerti karena dokter yang melakukan praktek kedokteran, bukan saja ia adalah manusia
dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tetapi yang terpenting lagi adalah karena praktek kedokteran merupakan kegiatan suatu yang komplek. Praktek
kedokteran betapa pun berhati-hatinya dilaksanakan selalu berhadangan dengan kemungkinan terjadinya resiko, yang salah satu diantaranya berupa kesalahan
atau kelalaian yang dimaksud.
7
6
Rosa Elita dan Yusuf Shofie, Malpraktek; Penyelesaiian Sengketa, dan Perlindungan Konsumen,
Jakarta; Unika Atma Jaya, 2007
7
Azrul Azwar, Kesehatan Kini dan Esok, Jakarta; Ikatan Dokter Indonesia, 1990, cet. ke- I, h. 20
3
Oleh karena itu, mau tak mau kalangan kesehatan harus lebih memahami aspek-aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, sehingga dalam menjalankan
profesi kepada masyarakat menjadi lebih yakin diri.
8
Dimana dalam era globalisasi yang terjadi saat ini profesi kesehatan merupakan salah satu profesi
yang banyak mendapatkan sorotan dari masyarakat, karena sifat pengabdiannya kepada masyarakat yang sangat komplek. Etika profesi yang semula mampu
menjaga citra tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya kelihatannya makin memudar sehingga perlu didukung oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih mengikat bagi tenaga kesehatan dan lebih memperdayakan pasien dan keluarganya sebagai pengguna pelayanan kesehatan.
9
Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi kesehatan merupakan suatu pertanda bahwa pada saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap
pelayanan kesehatan dan pengabdian profesi tenaga kesehatan terhadap masyarakat pada umumnya dan pasien pada khususnya. Berkurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap dokter, maraknya tuntutan yang diajukan masyarakat dewasa ini seringkali di identikan dengan kegagalan upaya
penyembuhan yang dilakukan oleh dokter. Sebaliknya, apabila tindakan yang dilakukan berhasil dianggap berlebihan, padahal dokter dengan ilmu
peengetahuan dan teknologi yang dimilkinya hanya unuk penyembuhan, dan
8
Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta; Widya Medika, 1997, cet. ke-I. h. VII
9
Hendrojono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien Dalam transaksi Terapeutik, h. 5
4
kegagalan penerapan ilmu kedokteran tidak selalu identik dengan kegagalan dalam tindakan.
10
Namun hasrat memberikan pertolongan kepada sesama tidaklah semulus dengan apa yang dicita-citakan oleh para pengembang profesi kesehatan saat ini.
Ancaman pidana menghantui harapan mulia tersebut, sehingga beberapa diantaranya lebih memilih untuk tidak melanjutkan pengabdian sebagai seorang
dokter.
11
Sorotan masyarakat terhadap profesi kedokteran merupakan salah satu tanda bahwa saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan dan
pengabdian profesi tersebut. Pada umumnya ketidakpuasan pasien atau keluarganya terkait masalah sengketa pasien tindakan medik, yaitu dugaan adanya
malpraktik medik seperti:
12
1. Perbuatan tercela actus rheus
2. Perbuatan dengan sikap batin yang buruk mens rhea yang terdiri atas:
a. perbuatan sengaja intenstional berupa aborsi tanpa indikasi medik Pasal
349 KUHP jo Pasal 347 dan Pasal 348 KUHP, Euthanasia Pasal 344 KUHP, Membocorkan rahasia kedokteran Pasal 332 KUHP, Tidak
menolong orang yang membutuhkan Pasal 332 KUHP, Surat keterangan
10
Ibid, h. 6
11
Anny Isfandyarie dan Fahrizal A, Tanggung jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, h. V
12
“Dugaan Malpraktek Kedokteran dan Alternatif Penyelesaian,” Harian Sains, edisi; 03 Juni 2009
5
dokter yang tidak benar Pasal 378 KUHP, Memberi keterangan yang tidak benar di depan pengadilan.
b. kecerobohan recklessness berupa tindakan medik yang tidak sesuai
prosedur lege artis dan tanpa informed consent persetujuan. 3.
Kelalaian yang berupa tindakan meninggalkan alat bedah dalam perut pasien. Kelalaian yang menyebabkan cacat atau kematian Pasal 359 KUHP.
Perbuatan dokter dianggap sebagai tindak pidana bila dapat dibuktikan bahwa dokter tersebut mempunyai niat jahat. Namun perbuatan jahat tanpa
dilandasi niat jahat belum tentu bisa dianggap tindak pidana. Akibat dari perbuatan, perbuatan tersebut yang dilakukan, tanggung jawabnya bersifat
individual. Deretan ancaman pidana yang dapat dikenakan bagi profesi ini makin hari
makin bertambah yang tersebut berupa Undang-undang, yaitu KUHP, UU. No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU. No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran. Didalam Undang-undang tersebut ada beberapa pasal yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perbuatan-perbbuatan yang dapat
dipidana, yang dapat diancamkan dalam pelaksanaan praktek kedokteran. Seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating Procedure
SOP, serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam
KUHP.
6
Perlindungan hukum terhadap profesi dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktek medik menggunakan Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 Ayat 1
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal 53 Ayat 1 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Pasal 24 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
Dalam tahapan mekanisme penanganan pelanggaran disiplin kedokteran, MKDKI menentukan tiga jenis pelanggarannya yaitu pelanggaran etik, disiplin
dan pidana . Untuk pelanggaran etik dilimpahkan kepada Majelis Kode Etik
Kedokteran MKEK, pelanggaran disiplin dilimpahkan kepada Konsil Kedokteran Indonesia KKI, dan pelanggaran pidana dilimpahkan kepada pihak
pasien untuk dapat kemudian dilimpahkan kepada pihak kepolisian atau kepada pengadilan negeri. Apabila kasus dilimpahkan kepada pihak kepolisian maka
pada tingkat penyelidikannya dokter yang diduga telah melakukan tindakan malpraktek medik tetap mendapatkan haknya dalam hukum.
13
Di mana yang tercantum dalam etika kedokteran ini hak untuk membela diri yaitu: dalam hal
menghadapi keluhan pasien yang tidak pernah puas terhadapnya, atau dokter bermasalah, maka dokter mempunyai hak untuk membela diri dalam lembaga
dimana ia berkerja Rumah Sakit dalam perkumpulan dimana ia menjadi anggota IDI, misalnya, atau pengadilan jika telah diajukan gugatan terhadapnya.
13
M. Jusuf Hanafiyah, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta; EGC, 1999
7
Hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan, memelihara, dan melindungi kemaslahatan manusia. Dalam kaidah Ushuliyyat disebutkan, bahwa hukum
senantiasa berkembang dan berubah seiring perkembangan dan perubahan IPTEK. Islam sangat menghargai jiwa lebih-lebih jiwa manusia. Cukup banyak
ayat Al-qur’an maupun Hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia hifd al-nafs. Jiwa, meskipun merupakan hak asasi
manusia tetapi ia adalah anugerah dari Allah SWT.
14
Kajian tentang hukum Islam yang menyangkut isu-isu kedokteran yang bersentuhan langsung dengan manusia adalah sangat penting dan dapat menjadi
bagian penting dalam substansi hukum Islam. Muhammad Tahir Azhari menyatakan bahwa masalah-masalah kontemporer, seperti hukum kedokteran,
lingkungan, dan lain-lain melalui ijtihad dapat substansi hukum Islam,
15
Hukum Islam mengkategorikan tindak pidana malpraktek medik ini dalam jarimah al-khata’ atau tindak pidana karena kesalahan. Jarimah al-khata’ adalah
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak mempunyai maksud untuk berbuat maksiat tetapi karena kesalahannya baik dalam kesalahan perbuatan
maupun dalam persangkaan perilaku jarimah tesebut. Terdapat tiga unsur dalam Jarimah al-khata’:
1. Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian;
14
Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafidz Anshory, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002, cet. ke- III, h. 69
15
Mastuhu dan M. Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar Disiplin Ilmu,
Bandung; Penerbit Nuansa, 1998, cet I, h. 136
8
2. Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan;
3. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan matinya
korban. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka dari segi hukum Pidana Islam
ditempuh dengan dua cara;
16
1. Menetapkan Hukuman berdasarkan Nash, dan 2. Menyerahkan penetapannya kepada penguasa Ulul Amri. Oleh karena itu
seseorang sama sekali tidak berwenang dan tidak melenyapkan tanpa kehendak dan aturan Allah sendiri.
Dalam hal ini ajaran Islam memberikan petunjuk bahwa tidak ada yang sia-sia dari sebuah usaha, bahkan Allah menilai usaha seseorang daripada hasil.
Kewajiban berusaha dengan terus memberikan pengobatan kepada si pasien mendapatkan legitimasi yang jelas dalam Islam, dimana telah diriwayatkan dalam
sebuah Hadits:
ًءﺎ ﺷ لﺰْا ﻻإ اًءاد لﺰْﻳ ْ ﷲا نﺈﻓ ْوواﺪﺗ ﻦ إ ﻦ ﺪ ﺣأ اور
دﻮﻌﺴ
Artinya: “Wahai kaum Muslimin, berobatlah, sesungguhnya Allah tidak
menciptakan suatu penyakit tanpa menciptakan obatnya” HR. Ahmad dari Ibn
Mas’ud Dalam praktek apa saja, termasuk dalam bidang kedokteran, Nabi sangat
menekan sifat profesionalisme. Untuk menjadi profesional maka mesti mempelajarinya dengan baik sebelum mempraktekannya, misalnya Nabi
16
AW. Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta; Sinar Grafika, 2004h. 6
9
melarang berobat kepada yang bukan ‘ahlinya’, bahkan mengancam ‘siapa yang mengobati padahal ia tidak mempunyai ilmuunya, jika terjadi kesalahan maka ia
mesti bertanggungjawab terhadap resiko yang diderita pasien’ .
17
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah