60
1. Pada dasarnya pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan
pengadilan untuk memeperoleh fakta-fakta yang benar atau disebut ”bewijsgronden”
2. Alat-alat bukti yang dapat dipergunakan hakim untuk mendapatkan gambaran
tentang terjdinya perbuatan pidana yang sudah lampau atau yang disebut ”bewijsmiddelen”
3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di
sidang pengadilan atau disebut ”bewijsveoring” 4.
Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan atau disebut ”bewijskracht”
5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh Undang-undang untuk membuktikan
tentang dakwaan di muka persidangan atau disebut ”bewijslaft”, dan 6.
Bukti minimum yang diperukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim atau disebut sebagai ”bewijs minimum”.
21
Menurut pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata KUHAP, alat-alat bukti terdiri atas:
1 Keterangan saksi
2 Keterangan ahli
3 Surat
4 Petunjuk
21
Bambang Poernomo, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, Yogyakarta: Liberty,
1986, cet. Pertama, h. 39
61
5 Keterangan terdakwa.
22
Dalam menilai kekuatan pembuktian, alat-alat bukti yang ada dikenal beberapa sisitem atau teori pembuktiaan, diantaranya:
1 Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif.
Sistem pembuktiaan ini hanya berdasarkan pada alat pembuktian yang disebut Undang-undang secara positif. Artinya jikatelah terbukti suatu
perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut undng-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan lagi.
Teori pembuktian ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena katanya, ”bagaimana hakim dapat menetapkan
kebenaran selain menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu”, lagipula keyakinan hakim jujur dan berpengalaman mungkin sekali
sesuai dengan keyakinan masyarakat.
23
2 Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan haikm semata.
Sistem ini bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut Undang-undangsecara positif. Karena pembuktian ini hanya berdasarkan pada
keyakinan hakim semata. Sistem ini tidak diterapkan karena memberikan kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit untuk diawasi.
Disamping itu, terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan.
22
Ibid., h. 40
23
Bambang Poernomo, Op. Cit., h. 43
62
3 Sistem teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis.
Sistem ini terbagi menjadi dua jurusan, yaitu sistem pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif. Keduanya punya persamaan yaitu
berdasarkan keyakinan hakim, artinya tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah.
Perbedaannya adalah sistem yang pertama pada keyakinan hakim tapi tidak didasarkan Undang-undang. Sedangkan sistem yang kedua yaitu sistem
pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif, didasarkan pada aturan pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi juga diikuti oleh
keyakinan hakim. KUHP menganut sistem pembuktian berdasarkan Undang-undang secara
negatif. Hal tersebut dapat disimpulkan dari pasal 183 KUHAP, yang berbunyi: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
24
Jadi pembuktian dalam kasus malpraktek dipakai sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif, sebab dalam menjatuhkan suatu
hukuman pidana terhadap dokter karena adanya pelanggaran medik, membutuhkan pembuktian yang akurat. Pembuktian tersebuut dilakukan untuk
membuktikan ada tidaknya unsur kesalahan dokter dalam menjalankan penanganan medik terutama masalah malpraktek yang dapat merugikan pasien.
24
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985, h. 232