38
2 Dalam etika Islam, kesehatan merupakan unsur kesehatan yang utuh, artinya
jika orang tidak bermoral baik, positif, dan seimbang, ia juga tidak bisa merawat kesehatan dengan secara utuh. Jadi persefektif ini, baik kesehatan
moral maupun kesahatan fisik, menjadi perhatian medis secara langsung.
37
2. Pertanggungjawaban Secara Disiplin
Pengertian disiplin kedokteran Islam adalah sejumlah aturan yang harus diaplikasikan oleh sang dokter bila dalam penerapan keilmuanya harus patuh
terhadap sistem keilmuan kedokteran yang sudah diatur.
38
Dalam pelaksanaannya para dokter harus bisa menjalankan tugasnya dengan kompetensi, penuh rasa profesional, dan harus mengedepankan ajaran
akhlak dalam perilaku kepada pasien yang membutuhkan bantuan pengobatannya. Pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter akan mendapatkan sanksi yang
harus diterima oleh dokter mulai dikenakan denda hingga dicabut izin praktek oleh sejumlah ahli kedokteran yang memang ditunjuk untuk menilai perilaku dari
para dokter yang melaksanakan tugasnya.
3. Pertanggungjawaban Secara Hukum
37
Ibid., h. 133
38
Op. cit , h. 140
39
Pengertian pertanggungjawaban sendiri dalam hukum Islam ialah: pembebasan seorang bersama hasil perbuatan yang telah dikerjakannya dengan
kemauan sendiri dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu.
39
Adapun pertanggungjawaban dalam fikih jinayah dilandasi atas tiga prinsip, yaitu:
40
1 Melakukan perbuatan yang dilarang dan atau meninggalkan perbuatan yang
diwajibkan; 2
Perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri dengan kata lain bahwa pelaku memiliki pelihan yang bebas untuk melakukan atau meninggalkan
perbuatan tersebut; 3
Pelaku mengetahui akibat dari perbuatan yang ia lakukan. Dengan adanya syarat-syarat tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa
yang bisa terbebani dengan pertanggungjawaban pidana hanya manusia yang berakal fikiran dewasa dan berkemauan sendiri.
Pada diri orang dewasa melekat kewajiban untuk melaksanakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang, orang ini disebut orang yang
mempunyai Ahliyat al-Ada’. Ahliyat al-Ada’ ini berpatokan pada akal sehat, artinya hanya manusia yang berakal sehat yang terkena beban tuntutan taklif
39
Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, cet. Ke-IV, h. 154
40
Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, h. 242
40
ﻦ ا ﻓر ﻆ ﺴﻳ ﻰ ﺣ ﺋﺎ ا ﻦ و ﻎ ﻳ ﻰ ﺣ ﻰ ا ﻦ ﺔ
ﻳ ﻰ ﺣ نﻮ ا ﻦ و
42
Artinya: “Ali r.a. meriwayatkan dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: tiga
perkara yang dihapuskan dari dirinya, yaitu: anak kecil sampai ia bermimpi, orang tidur sampai ia bangun, dan orang gila sampai ia sadar”
43
Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana Islam tidak dibebani atas orang yang tidak berakal-fikiran, karena orang tersebut bukanlah orang yang
mengetahui dan tidak bisa menentukan pilihan. Demikian pula orang yang belum dewasa, tidak bisa dikatakan pengetahuan dan pilihannya sudah sempurna.
Bagaimanapun berat tanggungjawab dokter, ia tetap harus melasanakan tugasnya dengan baik, sebab ia akan dituntut pertanggungjawabannya kelak.
Adanya tanggungjawab pada masing-masing individu merupakan isyarat nash terhadap adanya kewajiban untuk menunaikan tugas dengan baik demi
kemaslahatan manusia sendiri.
41
Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, h. 155
42
Syeikh Imam Abi Ishak Ibrohim, al-Muhadzid Fiq al-Imam As-Syafi’I, Daar al-Fikr, Juz II, h. 267
43
Aridhatul al-Ahwadzi Bisyarhi, Shahih Tirmidzi. Daar al-Wahyu al-Muhammadi, 1989,
Bab: Hudud., h. 195
41
☺ ⌧
⌧
أﺮﺳﻹا 17
: 36
Artinya: “Janganlah Kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya”.
Q.S. al-Isra’. 17: 36 Kemudian, jika semua itu dilakukan oleh orang yang tidak memiliki ilmu
kedokteran atau tidak memiliki pengalaman di bidangnya, maka ia bertanggung jawab terhadap kesalahannya, sebab ia telah dianggap melakukan kesalahan.
Dalam sebuah riwayat Hadits:
44
لﺎﻗ ﺪﺟ ﻦ أ ﻦ ﻌﺷ ﻦ وﺮ ﻦ :
ص ﷲا لﻮﺳر لﺎﻗ .
م ﻦ ﺎﺿ ﻮﻬﻓ ﻚ ذ ﻗ
ﻌﻳ و ﺗ ﻦ
ﻦ ا اور ﺟﺎ
Artinya: “Dari ‘Amr bin Syuaib, dari Bapaknya dari Kakeknya, ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memberi pengobatan dengan tidak berdasarkan ilmunya, maka ia harus bertanggungjawab.”
H.R. Ibn Majjah Ja’far Khadim
45
menjelaskan, bahwa apabila dokter yang mahir dan mendapatkan izin serta melaksanakan tugasnya dengan baik, tetapi membuat
kesalahan, sehingga merubah organ sehat dan merusaknya, maka dokter wajib
44
Abu Daud Sulaiman Ibn al-Asy’asyi al-Sisjtsani, Sunan Abi Daud, Beirut: Daar al-Fikr, 1994, juz IV, h. 198
45
Jalal al-Din “Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir fi Qowa’id wa al-Furu’ Fiqh al-Syafi’iyyat,
Beirut: Daar al-Kitab al-Arabi, 1987, h. 233
42
memikul tanggungjawab atas kesalahannya tersebut. Apabila yang rusak melebihi bagian dari organ, maka ganti rugi akan ditanggung oleh ‘Aqilah keluarga atau
ahli warisnya, namun apabila tidak ada, maka baitulmal atau tidak ada baitulmal, menimbulkan dua pendapat: 1 dokter wajib membayar dengan hartanya sendiri
atau 2 dengan gugurnya diyat. Pandangan Setiawan Budi Utomo, dalam hal praktek kedokteran Islam,
ulama fikih berbeda pendapat, apakah dokter dituntut kesalahannya atau tidak. Dan ia mengutip pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam al-Thib al-Nabawi,
membedakan lima macam dokter dalam melaksanakan tugasnya terdapat beberapa resiko hukum.
46
Pertama , dokter yang memang ahli dan melaksanakan tugasnya
profesinya sesuai dengan ilmu kedokteran, jika dalam pengobatan yang diizinkan pasien terjadi kecelakaan, seperti cacat atau mati, maka jamhur ulama
berpendapat dokter tersebut tidak dituntut hukum pidana, namu bagi Abu Hanafiyah, dokter tersebut wajib membayar diyat.
Kedua , dokter ahli yang mengobati dengan izin pasiennya dan sesuai
dengan ilmu kedokteran yang dimilikinya, namun dalam pelaksanaannya dokter tersebut tidak memenuhi kesepakatan mereka berdua. Bagi mayoritas ulama fikih,
dokter tidak wajib membayar diyat, namun dikalangan ulama Mazhab Hambali menyatakan harus menanggung diyat karena masuk dalam kategori jinayah
46
al-Jauziyah, al-Thib al-Nabawi, h. 109-111, Lihat Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual: Jawaban Tuntas Maasalah Kontemporer,
Depok: Gema Insani Press, 2003, h. 51
43
khata’ . Sementara Ahmad bin Hambal sendiri membebankan diyat pada
baitulmal. Ketiga
, dokter ahli yang dalam melaksanakan pekerjaan dan pengobatan terhadap pasien yang melakukan pengobatan ijtihadnya sendiri, tetapi ia keliru
dalam melakukan ijtihadnya sehingga menyebabkan korban luka atau meninggal. Dalam hal ini ganti rugi dibayar oleh baitulmal untuk keluarga korban. Namun
bagi Imam Ahmad bin Hambal yang membayar ganti rugi keluarga dari dokter itu sendiri.
Keempat , dokter yang melakukan pengobatan tanpa izin, baik dari pasien
itu sendiri ataupun walinya, bila dalam bekerja dokter melakukan kesalahan, maka ulama mazhab Hambali menyatakan dokter itu wajib menanggung rugi.
sementara pendapat lain bahwa dokter tidak harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut, karena dalam praktek tersebut dokter berusaha berbuat baik
sesuai kemampuan yang dimilkinya. Kelima
, orang yang tidak mempunyai ilmu kedokteran tetapi melakukan praktek yang mengakibatkan pasien itu cacat atau meninggal. Dalam hal ini, jika
sebelumnya pasien itu tau bahwa ia bukanlah seorang dokter maka pasien atau walinya tidak berhak menerima ganti rugi, akan tetapi jikalau pasien tidak
mengetahui bahwa ia bukan dokter maka dokter tersebut wajib memberikan ganti rugi kepada pasiennya.
BAB III PENYEBAB TERJADINYA DUGAAN MALPRAKTEK KEDOKTERAN
DI LINGKUNGAN RUMAH SAKIT
A. Tinjauan Tentang Malpraktek
1. Pengertian Malpraktek
Malpraktek dalam bahasa asing Inggris, disebut dengan ”Malpractice”, sedangkan menurut Drs. Peter Salim, dalam The
Contemporary English Indonesia Dictonary: perbuatan atau tindakan yang salah, malpraktek juga berarti ’praktek yang buruk’ badpractice yang
menunjukan pada setiap tindakan yang keliru. Menurut Hermein Hadiati Koeswadji,
1
memberikan definisi tentang malpraktik yaitu: suatu bentuk profesional yang dapat menimbulkan luka-luka
pada pasien akibat langsung dari suatu perbuatan atau kelalaian dokter. Malpraktek adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk
menterapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan pengobatan atau perawatan terhadap seorang pasien yang lazimnya
diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di wilayah yang sama.
2
1
Y.A. Triana Ohoiwatun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Malang: Bayu Media, 2007, h. 48
2
J. Guwandi, Dokter dan Rumah Sakit, Jakarta: FKUI, 1991, h. 22
44