Kerangka Teori Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan

Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008 permasalahan sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan terbuka untuk dikritisi yang sifatnya kontruktif sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Teori yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori politik criminal criminal politic dari G. Peter Hoefnagels. Menurut beliau, criminal politic is the rational organization of the social reaction to crime. 15 Hal ini berarti bahwa politik criminal adalah usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Upaya menanggulangi kejahatan atau tindak pidana termasuk kedalam kerangka politik kriminal criminal politic. Di sinilah peranan yang sangat penting dari politik kriminal, yaitu dengan mengerahkan semua usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan. Sebagaimana dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan pidana criminal policy dapat ditempuh melalui 3 cara yaitu: 16 1. criminal law application penerapan hukum pidana; 2. prevention without punishment pencegahan tanpa pidana; 15 G. Peter hoefnagels, The Other Side of Criminology, Holland : Kluwer Deventer, hlm. 57. 16 Ibid Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008 3. influencing views of society on crime and punishment mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media. Politik kriminal adalah sebahagian daripada kebijakan sosial dalam hal menanggulangi masalah kejahatan dalam masyarakat, baik dengan sarana penal maupun non penal. Upaya ini hakekatnya memberikan perlindungan masyarakat social defence planning atau protection of society untuk mencapai kesejahteraan. antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat, sehingga keduanya harus berjalan beriringan. 17 Salah satu wacana yang mempengaruhi jalannya reformasi politik dan ekonomi di Indonesia adalah good governance, yang mana menekankan pentingnya suatu kepemerintahan kolaboratif yang mengikut sertakan stakeholder di luar negara dalam proses pengambilan kebijakan. Kolaborasi antar negara dan aktor lain di luar pemerintah menjadi sarat bagi efektifitas sebuah kebijakan. Negara tidak akan dapat memahami permasalahan masyarakat tanpa adanya dukungan dari aktor lain. Politik kriminal sebagai sebagai bentuk kebijakan publik dalam menanggulangi masalah kejahatan tidak dapat dilepas dari perubahan wacana dalam suatu proses kebijakan. Dalam konteks kebijakan kriminal sebagai bentuk kebijakan publik untuk menangulangi masalah kejahatan. 18 17 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Perkasa Persada,1997, hlm. 24. 18 http:www.politikhukum.com diakses tanggal 08-02-2008 Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008 Politik kriminal tidak dapat berdiri sendiri mencakup berbagai hal baik itu penegak hukum yang mencakup hukum pidana, hukum perdata maupun administrasi, semua hal tersebut adalah bagian dari social policy kebijakan sosial, yaitu usaha rasional dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Dikatakan sebahagian daripada kebijakan sosial social policy, oleh karena untuk mencapai kesejahteraan masyarakat masih ada kebijakan sosial yang lainnya seperti kebijakan di bidang perekonomian, politik dan hankam sebagaimana termuat dalam GBHN. 19 Sehubungan dengan kebijakan kriminal adalah bagian dari politik sosial dapat diketahui dari rumusan yang terdapat dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat internasional maupun pendapat yang dikemukakan oleh W. Clifford pada”The 32 nd International seminar Course on Reform in Criminal Justice” tahun 1993 di Jepan: Kongres ke4 PBB mengenai Prevention of Crime and Treatment of Offenders tahun 1970; kongres ke 5 Tahun 1975 Deklarasi Caracas yang dihasilkan kongres PBB ke 6 tahun 1980 Milan Plan of Action yang dihasilkan oleh Kongres PBB ke 7 tahun 1995 di Milan; termasuk juga di dalam “Guiding Principles for Crime Prevention and criminal Justice in Context of Development and a News Internasional. Economic Order di Kongres PBB ke 7 di Milan; Kongres PBB di Havana, Cuba. 20 Usaha penanggulangan kejahatan melalui undang-undang hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat social defence. Kebijakan sosial social policy dapat diartikan sebagai usaha yang 19 M. Hamdan, op. cit, hlm. 24. 20 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakty, 1996, Hlm. 5. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008 rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi dalam pengertian “social politic” mencakup di dalamnya “social welfare politic” dan “social defence politic”. Jadi tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 21 Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, politik kriminal criminal politic secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penal dan non penal. Dalam hal menggunakan sarana penal, tidak lain adalah menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya; baik hukum pidana materil, hukum pidana formal maupun pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui Sistem Peradilan Pidana untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan tersebut dalam jangka pendek adalah resosialisasi memasyarakatkan kembali pelaku tindak pidana, jangka menengah adalah untuk mencegah kejahatan dan dalam jangka panjang yang merupakan tujuan akhir untuk mencapai kesejahteraan sosial. 22 Politik kriminal criminal politic dengan menggunakan sarana pidana penal dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana penal politic merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman pada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan kepada para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana penal politic tersebut 21 M. Hamdan, op. cit, hal 24. 22 Ibid Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008 merupakan salah satu komponen dari modern criminal science di samping kriminologi dan criminal law. 23 Dengan demikian, penal politic politik hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman pada pembuat undang-undang kebijakan legislatif, kebijakan aplikasi kebijakan yudikatif dan pelaksana hukum pidana. Selain itu jika politik kriminal menggunakan politik hukum pidana maka ia harus merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menangulangi kejahatan harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung fungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataan. Hukum pidana di sini berfungsi ganda yaitu primer sebagi sarana penanggulangan kejahatan yang rasional sebagai bagian politik kriminal dan yang sekunder ialah sebagai sarana pengaturan kontrol sosial secara spontan dibuat oleh negara dan alat kelengkapannya. 24 Menurut Muladi hukum pidana modern yang bercirikan orientasi pada perbuatan dan pelaku daad-dader straafrecht, stelsel sanksinya tidak hanya meliputi pidana straf, punishment yang bersifat penderitaan, tetapi juga tindakan tata tertib maatregel, treatment yang secara relatif lebih bermuatan pendidikan. 25 23 Teguh Prasetyo dan Abdul halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Penerbit Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 18. 24 M. Hamdan, op. cit., hlm.49. 25 Sholehhuddin, Sistem sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track Sistem Implementasinya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 3. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008 Sebagai salah satu masalah sentral dalam politik kriminal, sanksi hukum pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan yang rasional, karena jika tidak akan menimbulkan “the crisis of overcriminalization” krisis kelebihan kriminalisasi dan “the crisis of overreach of the criminal law” krisis pelampauan batas dari hukum pidana. Pentingnya pendekatan rasional telah banyak dikemukakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi, antara lain: G.P Hoefnagels, Karl O. Christiansen, J. Andenaes, Mc. Grath W. T dan W. Clifford. 26 Usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam hal menggunakan sarana non penal adalah meliputi usaha yang sangat luas di seluruh sektor kebijakan sosial. Usaha- usaha non penal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkatan usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinyu oleh polisi dan aparat keamanan lainnya. Demikian pula dengan cara melakukan pembinaan media massa, pers yang bertanggungjawab sehingga media massa tidak menjadi faktor kriminogen. Media massa dapat menjadi faktor kriminogen yang dapat menyebabkan terjadinya kriminal, diantaranya dapat terlihat dalam pemberitaan yang sensasional, pemberitaan yang cenderung menerangkan hal-hal yang negatif tentang terjadinya suatu peristiwa kejahatan, yang dapat mempengaruhi orang lain untuk dapat melakukan kejahatan. 26 Ibid. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008 Tujuan utama dari usaha-usaha non penal itu adalah memperbaiki kondisi- kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non penal tersebut sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan. Masalah utama adalah menginterpretasikan dan mengharmonisasikan kebijakan penal dan non penal kearah penekanan atau pengurangan faktor-faktor potensial untuk tumbuh suburnya kejahatan. Dengan pendekatan kebijakan yang integral inilah diharapkan “social defence planning” benar-benar dapat berhasil. 27 Pada dasarnya kebijakan penal policy lebih menekankan pada tindakan represif setelah terjadinya tindak pidana, sedangkan non penal policy menekankan kepada tindakan preventif sebelum terjadinya tindak pidana. Politik kriminal pada hakikatnya adalah merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat social defence dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat social welfare. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama politik kriminal adalah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. 28 Politik kriminal criminal politic telah menjadi pembicaraan dalam perkembangan pemikiran tentang hakikat tujuan pemidanaan. Ada beberapa teori 27 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, 1998, hlm.160. 28 http:www.islakomputer.comnurois diakses tanggal 08 -02-2008 Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008 tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut retributif, teori relatif deterrence utilitarian, teori penggabungan integratif, treatment dan perlindungan sosial social defence. Teori absolut teori retributif, memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi beriorentasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain. 29 Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. 30 Teori relatif deterrence, teori ini memandang, pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagi sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Menurut Leonard Orland, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan. Tujuan 29 Teguh prasetyo dan Abdul halim Barkatullah, op. cit., hlm. 90. 30 Muladi dan Barda Nawawi, op. cit., hal. 12 Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008 pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. 31 Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu: 1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat. 2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana. 32 Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini memiliki keistimewaan dari segi proses resosialisasi pelaku sehingga diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan moral masyarakat agar dapat berintegrasi lagi ke dalam masyarakat. Menurut Albert Camus, pelaku kejahatan tetap human offender. Namun demikian sebagai manusia, seorang pelaku kejahatan tetap bebas pula mempelajari nilai-nilai baru dan adaftasi baru. Oleh karena itu pengenaan sanksi 31 Teguh prasetyo dan Abdul halim Barkatullah, op. cit., hlm. 96-97. 32 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2002, hlm. 162-163. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008 harus mendidik pula. 33 Dalam hal ini seorang pelaku kejahatan membutuhkan sanksi yang bersifat treatment. Treatment sebagai tujuan pemidaan dikemukakan oleh aliran positif. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor lingkungan maupun faktor kemsyarakatannya. 34 Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, melainkan harus diberikan perawatan treatment untuk resosialisasi pelaku. Social defence perlindungan sosial adalah merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern dngan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana kesalahan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, sedangkan menurut Marc Ancel tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu adanya seperangkat peraturan- peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya. 35 33 Teguh prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 100-101. 34 Muladi dan Barda Nawawi, op. cit., hlm. 150 35 Ibid. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008 Berdasarkan teori-teori yang dikemukan di atas dapat diketahui bahwa tujuan pemidanaan sendiri merumuskan perpaduan antara kebijakan penal dan non penal dalam hal untuk menanggulangi kejahatan. Di sinilah peran negara melindungi masyarakat dengan menegakkan hukum. Aparat penegak hukum diharapkan dapat menanggulangi kejahatan melalui wadah Sistem Peradilan Pidana Criminal Justice Sistem. Sistem Peradilan Pidana Criminal Justice Sistem secara singkat dapat diartikan sebagai sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan agar hal tersebut berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana mempunyai komponen-komponen penyelenggara, diantaranya Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, yang kesemuanya saling terkait dan diharapkan adanya kerjasama yang terintegrasi. Jika terdapat kelemahan pada satu sistem maka akan mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem yang terintegrasi demikian. Aparat penegak hukum harus terintegrasi dalam sistem peradilan pidana dan mampu bekerjasama dalam suatu integrated administration of criminal justice sistem, sehingga terjadi koordinasi yang baik. Gambaran ini hanya salah satu tujuan dari sistem peradilan pidana secara universal sehingga cakupan tugas sistem peradilan pidana dapat dikatakan luas, meliputi: 36 36 Marjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Edisi I Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994, hlm. 85. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008 1. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; 2. menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat menjadi puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan pelaku kejahatan telah ditegakkan dan pelaku kejahatan telah dipidana; dan 3. berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan itu untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Peradilan pidana selama ini lebih mengutamakan perlindungan kepentingan pembuat kejahatan offender centered, dilatar belakangi pandangan bahwa sistem peradilan pidana diselenggarakan untuk mengadili tersangka dan bukan untuk melayani kepentingan korban kejahatan karena kejahatan adalah melanggar kepentingan publik hukum publik maka reaksi terhadap kejahatan menjadi monopoli negara sebagai representasi publik atau masyarakat. Pandangan tersebut mendominasi praktik peradilan pidana, akibatnya orang yang dilanggar haknya dan menderita akibat kejahatan diabaikan oleh sistem peradilan pidana. 37 Di dalam sistem peradilan pidana criminal justice sistem terkandung gerak sistemik dari komponen-komponen pendukungnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Gerak sistematik ini secara keseluruhan dan totalitas berusaha menstranformasikan masukan menjadi keluaran yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan pidana criminal justice sistem ini, yaitu sasaran jangka pendek adalah resosialisasi pelaku kejahatan, sasaran jangka menengah adalah 37 Teguh prasetyo dan Abdul halim Barkatullah, op. cit., hlm. 118. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008 pencegahan kejahatan, serta tujuan jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat. 38 Menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku sub sistem kepolisian bertugas sebagai penyelidik dan juga penyidik; sub sistem kejaksaan bertugas sebagai penyidik dan penuntut, dan dalam tindak pidana khusus dapat juga bertindak sebagai penyidik; sub sistem pengadilan bertugas untuk mengadili suatu kasus atau peristiwa pidana yang dimajukan oleh pihak Kejaksaan; dan sub sistem lembaga pemasyarakatan pada dasarnya bertugas untuk pembinaan bagi terpidana, atau terhukum. Proses kerja dari sistem ini seolah-olah sebagai ban berjalan, yakni pelaku dari suatu peristiwa pidana bergerak dari satu tempat ketempat yang lain, dalam hal bergerak dan berpindah dari satu sub sistem ke sub sistem yang lain proses pergerakan maupun perpindahannya telah diatur suatu ketentuan yang berlaku. 39 Penegak hukum dalam sistem peradilan pidana merupakan institusi pelaksana undang-undang, yang terdiri dari komponen-komponen aparatur penegak hukum sebagai organisasi managemen yang memiliki mekanisme kerja yang terstruktur. Dari sini dapat diketahui bahwa komponen-komponen aparat penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial. Hal ini berarti masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggungjawab atas berhasil atau tidaknya pelaksanaan penegakan hukum. 38 Mahmud Mulyadi, Diktat Mata Kuliah Sistem Peradilan Pidana, Medan : Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2007, hlm. 42. 39 Chainur Arrasjid, Diktat Mata Kuliah Sistem Peradilan Pidana, Medan : Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2007, hlm. 9. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008 Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa tugas penegakan hukum tidak semata-mata hanya menjadi tugas aparat penegak hukum tapi juga merupakan tugas dari seluruh komponen masyarakat. Dilihat sebagai bagian dari mekanisme penegakan hukum pidana, maka pemidanaan yang biasa juga diartikan pemberian pidana tidak lain merupakan proses kebijakan yang sengaja direncanakan. Tujuan dari kebijakan menetapkan suatu sanksi tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik kriminal dalam arti keseluruhan yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejateraan. Politik kriminal atau penanggulangan kejahatan harus rasional, karena karakteristik dari suatu politik kriminal yang rasional tidak lain dari pada penerapan metode-metode yang rasional, kalau tidak demikian tidak sesuai dengan defenisinya sebagai “a rational total of the responses to crime”. Pendekatan yang rasional merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan .

2. Kerangka Konsep