Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
Perbuatan dan sanksi pidana yang di atur dalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika bisa dilihat pada
lampiran dari tesis ini.
c. Pertanggungjawaban Pidana
Di dalam konteks hukum pidana untuk menentukan apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana akan dijatuhi pidana sesuai dengan yang diancamkan
tergantung pada, apakah dalam melakukan tindak pidana tersebut, orang tersebut melakukan kesalahan, hal ini sangat urgen sekali karena asas pertanggungjawaban
dalam hukum pidana yang secara tegas menyatakan:”tidak dipidana tanpa ada kesalahan”, atau yang dalam bahasa Belanda berbunyi: “geen straf zonder sculd”.
132
Dalam bahasa latin asas tersebut dirumuskan dengan actus non facit reum misi mens sit rea”. Sedangkan dalam bahasa Inggris diungkapkan dengan ungkapan:”an act
does not make a person quality, unless the mind is quality”.
133
Menurut Roeslan Saleh dipidana atau tidaknya seseorang yang melakukan perbuatan pidana tergantung apakah pada saat melakukan perbuatan ada kesalahan
atau tidak, apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang punya kesalahan maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi bila ia telah
132
Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana , Malang: UMM Press, 2004, hlm. 74.
133
Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, tetapi tidak mempunyai kesalahan ia tentu tidak di pidana.
134
Mengenai asas
kesalahan, Moeljatno dan Roeslan Saleh, memisahkan
perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana yang disebut ajaran dualisme. Ajaran dualisme memandang bahwa untuk mejatuhkan pidana ada dua tahap yang
perlu dilakukan, yaitu:
135
1. Hakim harus menanyakan, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang
dilarang oleh aturan undang-undang dengan disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melanggar aturan ini.
2. Apakah pertanyaan diatas menghasilkan suatu kesimpulan bahwa memang
terdakwa telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan udnang- undang, maka ditanyakan lebih lanjut, apakah terdakwa dapat dipertangung
jawabkan atau tidak mengenai perbuatan itu. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa masalah
pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan kesalahan, dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa asas kesalahan adalah merupakan asas yang sangat fundamental
dalam hukum pidana. Sekalipun dalam KUHP kesalahan tidak ada dirumuskan, tetapi asas ini hidup di dalam masyarakat sebagai hukum yang tidak tertulis yang di
Indonesia diakui keberadaannya sebagai sumber hukum. Secara doktriner,
136
kesalahan diartikan sebagai keadaan psychis yang tertentu pada orang yang
134
Roeslan Saleh 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana dua pengertian dasar dalam hukum Pidana. Jakarta: Aksara baru. Hal. 75.
135
Ibid., hal 89
136
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta:Penerbit PT. Bina Aksara, 1987, hlm:158.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena
melakukan perbuatan tadi. Berdasarkan pengertian kesalahan tersebut tersimpul, bahwa untuk adanya
kesalahan harus dipikirkan adanya dua hal di samping melakukan perbuatantindak pidana, yaitu:
137
a. Adanya kesalahan psychis batin yang tertentu.
b. Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan
perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan dalam masyarakat. Syarat pertama di atas mensyarakatkan adanya keaadaan batin pelaku haruslah
sedemikian rupa, hingga pelaku mengerti makna perbuatannya misalnya pelaku telah dewasa. Syarat kedua mengandung arti, bahwa keadaan batin dengan perbuatan yang
dilakukan haruslah sedemikian rupa, sehingga atas perbuatannya tersebut ia dapat dicela, misalnya jiwanya itu normal atau sehat. Dengan keadaan batin demikian
seperti itulah pelaku tersebut sadar dan insyaf atas pebuatannya.
138
Syarat kedua inilah yang secara teoritis sering disebut dengan istilah “kemampuan bertanggungjawab”. Hanya terhadap orang-orang yang berjiwa normal
inilah, dapat diharapkan tingkah lakunya sesuai dengan pola yang dianggap baik dalam masyarakat, sehingga terhadap pelanggarnya dapat dicelakan padanya.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan bertanggungjawab
137
Fuad Usfa dan Tongat, op. cit, hlm. 74
138
Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
merupakan dasar yang sangat penting untuk adanya kesalahan. Oleh karena masalah kemampuan bertanggungjawab ini sangat penting yaitu sebagai dasar adanya
kesalahn, maka sebelum berbicara tentang kesalahan maka sebelum berbicara tentang kesalahan, akan dibahas tentang kemampuan bertanggungjawab.
139
Secara doktriner, untuk kemampuan bertanggungjawab harus ada dua hal, yaitu:
140
1. Adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan baik dan yang
buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang bertentangan dengan hukum. 2.
Adanya kemampuan untuk menentukan kehendak menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut.
Hal pertama yang menjadi syarat di atas adalah merupakan faktor akal yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak
diperbolehkan. Sedangkan syarat kedua adalah merupakan faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan terhadap
yang mana diperbolehkan dan yang mana tidak diperbolehkan. Di dalam KUHP masalah kemampuan bertanggungjawab tidak diberikan batasan. KUHP, hanya
merumuskan secara negative, yaitu mensyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu bertanggungjawab.
Menurut Pasal 44 KUHP 1, seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya karena dua alasan, yaitu:
141
139
Ibid, hlm.75.
140
Moeljatno, op.cit, hlm 156-166.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
1. Jiwanya cacat dalam tumbuhnya.
2. Jiwanya terganggu karena penyakit.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka apabila seseorang itu jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau sehingga karenanya misalnya menjadikan dia tidak
mampu membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk, maka terhadap orang tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas alasan tidak ada
kemampuan bertanggungjawab. Pasal 44 1 hanya mensyaratkan bahwa tentang ketidakmampuan bertanggungjawab hanya berkaitan dengan cacat jiwa dalam
tumbuhnya atau terganggu karena penyakit. Dengan demikian, apabila ketidakmampuan bertanggungjawab pelaku disebabkan karena jiwa usia yang masih
sangat muda, Pasal 44 tidak bisa menjadi dasar untuk menghapuskan pidana. Dalam hal demikian terjadi, maka dapat dipakai dasar yang tidak tertulis, yaitu asas tidak
dipidana tanpa ada kesalahan. J.E Jonkers menyebutkan ada 3 syarat mengenai pertanggungjawaban pidana,
yaitu:
142
a. Kemungkinan untuk menetukan kehendaknya terhadap suatu perbuatan. b. Mengetahui maksud yang sesungguhnya dari perbuatan tersebut.
c. Keinsyafan, bahwa hal itu dilarang dalam masyarakat.
141
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP serta komentar-komentarnya lengkap Pasal demi Pasal, Bogor: Politeia, 1994, hlm. 60.
142
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I Stelsel Pidana, Teori-teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta: RajaGrafindo Persada, tahun 2001,
hlm: 144.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
Moeljatno menarik kesimpulan tentang adanya kemampuan bertanggungjawab, ialah:
143
1. harus adanya kemampuan untuk membeda-bedakan anatara perbuatan yang baik
dan perbuatan yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum. 2.
harus adanya kemampuan untuk menetukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tadi.
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena itu untuk membuktikan adanya unsur kemampuan bertanggungjawab itu sangat sulit
untuk membuktikannya dan akan membutuhkan biaya yang sangat besar, maka dalam praktekhukum dipakai fiksi, bahwa semua orang dianggap mampu bertanggungjawab
kecuali ada tanda-tanda yang menunjukkan sebaliknya. Apabila ada tanda yang demikian sehingga Hakim meragukan kemampuan bertanggungjawab pelaku maka
Hakim memerintahkan agar diadakan pemeriksaan terhadap jiwa pelaku. Apabila dari hasil pemeriksaan dianggap bahwa jiwanya tidak normal, maka sesuai dengan Pasal
44 1 maka pelaku tidak dapat dijatuhi pidana. Seseorang mungkin dihinggapi oleh penyakit jiwa secara terus menerus tapi
mungkin saja bisa hanya sementara temporair atau kumat-kumatan. Dalam hal ini gila kumat-kumatan tercakup dalam pasal 44 KUHP. Semula sistem
pertanggungjawaban seseorang yang berusia belum dewasa anak-anak didasarkan juga pada kemampuan bertanggungjawab di samping ditentukannya umur-umur
143
Moeljatno, op. cit, hlm:165.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
tertentu. Oleh karena itu maka ketentuan-ketentuan penyelesaian suatu tindakan pidana yang pelakunya anak-anak, di tempatkan setelah Pasal 44.
Ketidakmampuan bertanggungjawab yang diatur dalam Pasal 44 keadaan jiwa yang cacad, terganggu dan tak sadar sangat berbeda dengan kemampuan
bertanggungjawab dari seorang anak yang belum dewasa, kecuali keadaan jiwa anak tersebut ditentukan dalam Pasal 44 tersebut. Ketidakmapuan bertanggungjawab
seorang anak di dasarkan kepada apakah anak itu sudah dapat membedakan yang baik dan yang buruk, dan yang menyelidiki ini adalah seorang hakim.
Selanjutnya mengenai
kesengajaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana criminee wetboek tahun 1809 dicantumkan “sengaja ialah kemauan untuk
melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”. Memorie van Toelichtig MvT Menteri
Kehakiman sewaktu pengajuan criminiel wetboek 1881 yang menjadi Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Indonesia Tahun 1915 dijelaskan sengaja diartikan dengan
sadar dan kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu. Beberapa
sarjana merumuskan
de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will kehendak dapat
ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori
pengetahuan atau membayangkan.
144
144
Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Cetakan ke 2, Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum UNDIP. hal. 102 105, lihat juga Zainal Abidin Farid 1995. Hukum Pidana I, Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika. hal.
282 284
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur- unsur delik dalam rumusan undang-undang, sedangkan menurut teori pengetahuan
atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat mengingini, mengharapkan atau membayangkan adanya
suatu akibat. Adanya “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang
bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat. Teori
Moeljatno tersebut
lebih cendrung kepada teori pengetahuan atau
membayangkan. Alasannya adalah : Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk
menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan gambaran tentang sesuatu itu. Tapi apa yang dikehahui
seseorang belum tentu juga dikehendaki olehnya.Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan perbuatannya. Konsekuensinya ialah,
bahwa untuk menentukan sesuatu perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa, maka 1 harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk
berbuat dan bertujuan yang hendak dicapai 2 antara motif , perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa.
145
145
Moeljatno. 1984. Asas Asas Hukum Pidana. Cetakan Kedua. Jakarta: Bina Aksara. hal. 172 173.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
Secara umum ilmu hukum pidana membedakan 3 tiga macam kesengajaan, yaitu:
146
1. Kesengajaan sebagai maksud opzet alsoogmerk adalah suatu perbuatan yang
merupakan tindak pidana yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Jonkers kesengajaan ini merupakan bentuk yang paling murni dan sederhana.
2. kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian, yakni seseorang yang melakukan
suatu perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana, menyadari bahwa apabila perbuatan itu dilakukan, maka perbuatan lain yang juga merupakan pelanggaran
pasti terjadi. 3.
kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan timbulnya suatu perbuatan lain yang merupakan tindak pidana.
Kesengajaan ini dikenal pula dengan sebutan voorwardelijk opzet atau dolus eventualis.
Mengenai kelalaian Moeljotno mengutif pendapat Smint yang merupakan keterangan resmi dari pihak pembentuk WvS sebagai berikut:
Pada umumnya kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu
keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahayanya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan
banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang teledor. Dengan pendek, yang menimbulkan keadaan itu
146
Hamzah Hatrik. Op.Cit., hal 89.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
karena kealpaannya. Disini sikap batin orang yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang larang tersebut. Dia tidak menghendaki
atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannnya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal
yang dilarang, lelah bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu.
147
Jika anak tersebut berusia 16 tahun tapi belum dewasa maka hakim harus menyelidiki apakah anak itu sudah mencapai akal yang dapat memebedakan hal yang
baik atau hal yang buruk. Jika ternyata sudah berakal maka terhadap anak tersebut sesuai dengan asas peradilan, dapat dipidana dengan pengurangan sepertiganya. Dan
jika sebaliknya, anak tersebut tidak dapat dipidana, tetapi harus diberikan didikan paksaan.
Dengan terpenuhinya
syarat-syarat adanya pertangung jawaban pidana
seorang anak, hal ini berarti bahwa terhadap anak tersebut dapat dikenakan pemidanaan. Pemidanaan terhadap anak hendaknya harus memperhatikan
perkembangan seorang anak. Hal ini disebabkan bahwa anak tidak dapatkurang berfikir dan kurangnya pertimbangan atas perbuatan yang dilakukannya. Disamping
itu anak yang melakukan perbuatan pidana tidak mempunyai motif pidana. Sebagaimana di peroleh dari hasil penelitan dengan pemerhati anak seperti ibu Apong
Herlina,
148
ibu Purnianti dan ibu Made
149
, bahwa anak itu tidak mempunyai motif
147
Ibid., hal. 98.
148
Wawancara dengan Apong Herlina Pemerhati Anak, Jakarta, tanggal 2 Juni 2005.
149
Wawancara dengan Purnianti dan I Made, Pemerhati Anak, Jakarta, Tanggal 2 Juni 2005.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
pidana dalam melakukan tindakannya yang sangat berbeda dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana karena memang ada motif pidananya.
Pemberian pertanggungjawaban
pidana terhadap anak harus mempertimbangkan perkembangan dan kepentingan terbaik anak di masa yang akan
datang. Penanganan yang salah menyebabkan rusak bahkan musnahnya bangsa di masa depan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan cita-cita negara.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Bab III memuat sanksi pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 UU
No.3 Tahun 1997 pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok berupa: a Pidana penjara; b Pidana kurungan;
c Pidana denda atau d Pidana Pengawasan. Sedangkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1997 batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 delapan tahun tetapi belum mencapai
umur 18 tahun dan belum pernah kawin Pasal 4. Sedangkan mengenai penjatuhan sanksi, diberikan batasan umur terhadap anak yang masih berumur 8 delapan
sampai dengan 12 tahun, akan diberikan tindakan; 1 dikembalikan kepada orang tuanya; 2 ditempatkan pada organisasi sosial atau 3 diserahkan kepada negara.
Menurut peraturan yang berlaku sekarang ini bahwa sistim pertanggungjawaban anak-anak tidak lagi berdasarkan pada mampu atau tidaknya
bertanggungjawab. Semua anak asalkan jiwanya sehat dianggap mampu bertanggungjawab dan dapat dituntut. Namun demikian harus dapat dipahami bahwa
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
terhadap anak yang dianggap mampu bertanggungjawab masih tetap diadakan kemungkinan untuk tidak dipidana, alasan untuk tidak dipidana, terutama untuk anak
yang masih sangat muda, anatara lain belum dapat menginsyafi nilai maupun akibat dari tindakan dan pula menginsyafi ketercelaan dari tindakannya, yang demikian
tiada kesalahan pada si pelaku tersebut.
B. Kebijakan Penal Penal Policy Terhadap Anak yang Memakai Narkoba di