Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
BAB IV KEBIJAKAN KRIMINAL CRIMINAL POLICY YANG DILAKUKAN
TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOBA DI KOTA MEDAN DI MASA YANG AKAN DATANG
B. Kebijakan Kriminal dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
1. Tinjauan Umum Kebijakan Kriminal
Secara teoritis, Sudarto membagi pengertian kebijakan kriminal kedalam 3 pengertian yaitu:
1 Dalam arti sempit , ialah keseluruhan asas dan mode yang menjadi dasar dari
reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. 2
Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan kepolisian.
3 Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui
peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
206
Sementara dalam pengertian praktis politik kriminal adalah merupakan usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi aktivitas dari
pembentuk undang-undang, kepolisian, kejaksaan, dan aparat eksekusi pemidanaan. Kebijakan kriminal criminal policy, dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu
pendekatan penal pendekatan melalui hukum pidana dan pendekatan non penal pendekatan di luar hukum pidana, sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab 1.
206
Barda Nawawi Arief, op. cit , Hlm. 1.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari “perilaku menyimpang”
yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat. Menurut Saparinah Sadli, perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman
yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun
ketegangan-ketegangan sosial dan merupakan ancaman riil atau potensil bagi berlangsungnya ketertiban sosial.
207
Kejahatan sebagai masalah sosial tampaknya tidak hanya merupakan masalah bagi suatu masyarakat secara nasional tapi juga
merupakan masalah internasional yaitu masalah yang dihadapi oleh seluruh masyarakat dunia.
Hal tersebut di atas menjadi pertimbangan Deklarasi Kongres PBB ke-4 Tahun 1970 di Kyoto, Jepang, mengenai pencegahan kejahatan dan pembinaan para
pelaku yang menyatakan:
208
Believing that the problem of crime in many countries in its new dimensions is far more serious that at any other time in the long history of
these congresses. Tema umum yang dibicarakan dalam kongres ke-4 PBB ini adalah masalah kejahatan dan pembagunan crime and development.
207
Saparinah Sadli, Persepsi sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm. 56.
208
Fourth United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and social Affairs, UN, 1971 hlm. 9.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
Kesimpulan pembahasan pada kongres ke-4 ini menyangkut “Social Defence Polies in Relation to Development planning,” ditegaskan:
“Social defence planning should be an integral part of national planning. No country can efford to exclude the social defence element in its over-all social and
economic planning and its allocation of adequate resources to that and. The prevention of crime and the treatment of offenders effectively undertaken unless it is
closely and intimately related to social and economic trends. Social and economic planning would be unrealistic if it did not seek to neutralize criminogenic potential by
the appropriate investment in development programmes.”
209
Meningkatnya kuantitas dan kualitas penjahat ditegaskan lagi dalam kongres ke-5 PBB tahun 1975 di Genewa, yang membahas topik khusus yaitu:
210
1. Perubahan bentuk-bentuk dan dimensi kejahatan , baik secara trans-nasional
maupun nasional, dan 2.
Akibat-akibat ekonomi dan sosial kejahatan. Mengenai akibat-akibat ekonomi dan sosial dari kejahatan, dalam laporan
kongres ke-5 PBB ini antara lain dikemukakan bahwa biaya kejahatan yang tersembunyi lebih besar dari biaya kejahatan yang diketahui. Namun dikemukakan
bahwa biaya kegiatan untuk operasi penanggulangan kejahatan menghabiskan sumber daya yang cukup besar, yaitu di atas 16 dari anggaran atau budget penyelengara
pemerintah. Proporsi sumber daya untuk menanggulangi kejahatan dinegara-negara
209
Ibid., hlm. 13.
210
Fifth United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and social Affairs, UN, 1976 hlm. 14 No.119.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
berkembang lebih besar dari pada negara yang sudah berkembang, sumber daya yang diperlukan untuk pembagunan seperti untuk industrialisasi, kesehatan, pendidikan
dan aspek-aspek lain dari pembangunan, telah dialihkan untuk usaha menanggulangi kejahatan.
211
Dilihat dari akibatnya, maka tidak diragukan lagi bahwa kejahatan membawa akibat-akibat sebagai berikut:
1. Mengganggu atau merusak dan merintangi tercapainya tujuan nasional; dan
2. Mencegah penggunaan optimal dari sumber-sumber nasional.
212
Akhirnya kongres PBB ke-5 menyimpulkan bahwa berbagai aspek dari kebijakan untuk menanggulangi kejahatan harus dikoordinasikan dan secara
keseluruhan harus terintegrasi dalam kebijakan sosial setiap negara. Dikatakan juga bahwa kongres ke-5 PBB ini berada pada saat yang paling kritis dari sejarah
kemanusian dan usaha-usaha PBB untuk meminimalkan pengaruh kejahatan melalui strategi jangka panjang merupakan pengakuan dan realisasi dari hak asasi manusia,
yaitu “bebas dari kejahatan” freedom from crime. Akibat ancaman dari kejahatan yang semakin meningkat oleh kongres PBB
ke-6 menegenai pencegahan kejahatan dan pembinaan para pelaku pada tahun1980 di Caracas malahan dipandang cukup membahayakan kualitas lingkungan hidup. Oleh
211
Ibid, hlm. 41 No. 306 dan 307.
212
Ibid, hlm. 41 No. 305: “There was no doubt that, in its effects, crime disorted national goals and impeded of
national resources”
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
karena itu tema sentral dari kongres ke-6 adalah crime prevention and quality of life PencegahanKejahatan dan kualitas Hidup.
Deklarasi Caracas menyatakan lebih rinci, sebagai berikut:
213
“crime prevention and criminal justice should be considered in the context of economic development, political sistem, social and cultural values and social
change, as well as in the context of the new international economic order; it is matter of great importance and priority that program’s for crime prevention
and treatment of offenders should be based on the social cultural, political and economic circumstances of each country, in a climate of freedom and
respect for human right, that member states should develop an effective capacity for the formulation and planning of criminal policy, and that all
crime prevention policies should be co-coordinated with strategies for social, economic, politic and cultural development; criminal policy and
administration of justice should be based on principles that will quarantee the equality of everyone before the law whithout any discrimination….;
Continous effort should be made to seek new approaches and develop better techniques for crime prevention and treatment of offenders, and to that end,
criminal law should be developed in such a way as to play an effective and important role in creating stable social conditions free from oppression and
manipulation.”
Dalam Deklarasi Caracas dinyatakan bahwa pencegahan kejahatan dan sistem peradilan sebaiknya dipertimbangkan dalam konteks pembangunan ekonomi, sistem
politik, sosial dan nilai budaya dan perubahan sosial baik dalam konteks ekonomi internasional yang baru, hal penting yang menjadi prioritas dari pencegahan dan
pembinaan pelaku kejahatan dapat menjadi dasar nilai budaya, politik dan ekonomi dari negara yang merdeka dan yang menghargai hak asasi manusia. Hal tersebut
sangat efektif untuk formulasi dan rencana politik kriminal criminal politic dan
213
Six United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and social Affairs, UN, 1981 hlm. 25.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
semua kebijakan pencegahan kejahatan dikoordinasikan dengan strategi untuk sosial, ekonomi, politik, pembangunan budaya, bahwa masalah kejahatan merintangi
kemajuan untuk pencapaian kualitas hidup yang pantas bagi semua orang. Kogres PBB ke-7 Tahun 1985 di Milan tentang Guiding Principles for Crime
Prevention and Criminal Justice in The Context of Development and a new International Economic Order, juga menyatakan harus ada keterpaduan kebijakan
untuk menanggulangi kejahatan dengan kebijakan di bidang ekonomi, politik dan budaya sebagai bagian dari kebijakan sosial, yang dinyatakan sebagai berikut:
“crime prevention and criminal justice should not be treated as isolated problem to be tackled by simplistic, fragmentary method, but rather as complex and
widerangging activities requiring sistematic strategies and differentiated in relation to:
a. The socio-economic, political and cultural contect and circumstances of the
society in which they are applied; b.
The development stage, which special emphasis on the changes taking place and likely to occur and related requirements;
c. The respective tradition and customs, making maximum and effective use of
human indigeneus options.”
214
Dalam kongres ke-8 PBB tahun 1990 di Havana, ditegaskan bahwa: “ Convinced that crime prevention and criminal justice in the context of
development should be oriented towards the observance of the principles
214
Seventh United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and social Affairs, UN, 1986 hlm. 9.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
contained in the caracas Declaration, the Milan Plan of Action, The Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in the context of
development and a New International Economic Order and other relevan resolutions and recommendations of Seventh United Nations Congress on the
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.”
215
Berdasarkan pernyataan dalam kongres PBB yang ke-7 dan kongres yang ke-8 jelas sekali terlihat adanya penegasan bahwa pemabangunan itu sendiri pada
hakikatnya tidak bersifat kriminogen, terlebih bila didistribusikan secara adil kepada masyarakat untuk menunjang kondisi sosial masyarakat. Dari sudut kriminal, masalah
strategis yang harus ditanggulangi adalah penanganan masalah dan kondisi sosial yang secara tidak langsung menumbuh suburkan kajahatan. Penanganan masalah
inilah yang menajadi strategi menanggulangi kejahatan dari sudut politik kriminal criminal politic. Dari hasil uraian tersebut di atas dapat juga diketahui bahwa
keberhasilan untuk menanggulangi kejahatan harus ada integralitas berbagai pendekatan baik itu penal maupun non penal.
Pertumbuhan dan perkembangan suatu masyarakat yang berbentuk negara merupakan suatu pertumbuhan dan perkembangan yang sengaja direncanakan untuk
tujuan tertentu yang umumnya dilakukan melalui pembangunan yang dilakukan secara terencana untuk mencapai kualitas harus tercipta suatu keselarasan dalam
kehidupan manusia dan masyarakat. Untuk menjamin keutuhan dan kelangsungan hidup manusia dan masyarakat yang selaras, sehingga diperlukan adanya norma atau
215
Eighth United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and social Affairs, UN, 1991 hlm. 9.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
tatanan tata tertib dan melanggar tatanan tat tertib yang sudah diatur melalui peraturan perundang-undangan adalah merupakan tindakan kriminal yang
mengganggu tatanan masyarakat. Meningkatnya kriminalitas dapat mengganggu kebijakan perencanaan kesejahteraan masyarakat yang ingin dijaga. Oleh karena itu
kebijakan perencanaan untuk meningkatnya kesejahteraan sosial harus dibarengi dengan perencanaan perlindungan sosial.
Salah satu bentuk dari perencanaan perlindungan sosial adalah usaha-usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan yang biasa disebut
dengan politik kriminal criminal politic.
216
Tujuan akhir dari politik kriminal adalah ialah suatu perlindungan masyarakat. Dengan demikian politik kriminal adalah
merupakan bagian dari perencanaan perlindungan masyarakat, merupakan bagian pula dari keseluruhan kebijakan sosial.
Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku yang menyimpang, yang selalu ada dan melekat pada setiap perilaku masyarakat, dan
tidak ada masyarakat yang sepi dari masalah kejahatan. Seperti yang telah diuraikan oleh Saparinah Sadli di atas, bahwa perilaku menyimpang itu adalah merupakan
ancaman yang sangat nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan
216
G. Peter hoefnagels, op. cit, hlm. 57, di sini hoefnagels mengemukakan berbagai rumusan :” the science of responses”; the science of crime prevention”; a policy designating human behavior as
crime”. Politik kriminal dalam arti sempit, luas dan paling luas dikemukakan pula oleh Sudarto dalam Kapita Selekta Hukum Pidana.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
individu maupun ketegangan-ketengan sosial dan merupakan ancaman dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
Salah satu upaya untuk menanggulangi kriminalitas sebagai suatu gejala sosial adalah dengan melakukan pendekatan penal dengan cara pelaksanaan peraturan
perundang-undangan pidana oleh Sistem Peradilan Pidana criminal justice sistem yang dibentuk oleh negara dan melakukan pendekatan non penal yaitu kebijakan
penanggulangan kejahatan tanpa penerapan hukum pidana, melainkan ditekankan padaberbagai kebijakan sosial dan upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana
non penal ini dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial atau pembangunan nasional.
Tujuan utamanya adalah untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.
Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif non penal sebenarnya memiliki kedudukan yang sangat strategis. Kegagalan dalam
menggarap posisi yang strategis justru akan berakibat fatal bagi usaha untuk menanggulangi kejahatan.
Pendekatan dengan menggunakan sarana penal terus menerus dilakukan dengan melakukan berbagai usaha penyempurnaan sistem peradilan pidana, baik dari
aspek legislasi kriminalisasi, dekriminalisasi dan depenalisasi, perbaikan sarana sistem, peningkatan kualitas sumber daya manusia, maupun peningkatan partisipasi
masyarakat dalam sistem peradilan. Pelaksanaan kebijakan kriminal oleh sistem peradilan pidana harus memiliki keterpaduan kerja. Komponen-komponen sistem
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
peradilan pidana adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan dalam sub sistem sendiri.
a. Politik Kriminal Criminal Politic dengan menggunakan sarana penal
hukum pidana.
Masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal hukum pidana ialah masalah penentuan:
1. perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana itu, dan
2. aksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
217
Pengenalan terhadap dua masalah ini tidak dapat terlepas dari konsep integral antara kebijakan kriminal dan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional.
Konsepsi kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral mengandung konsekuensi bahwa segala usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan harus
merupakan satu kesatuan yang harus terpadu. Ini berarti kebijakan untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, harus pula dipadukan
dengan usaha-usaha yang bersifat non penal.
218
Seperti yang sudah dikemukan sebelumnya dalam bab I bahwa, menurut G.P Hoefnagels, suatu politik kriminal criminal politic harus rasional, kalau tidak
demikian tidak sesuai dengan definisinya sebagai a rational total of responses to crime. Pendekatan rasional merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada
217
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, 1984, hlm.160.
218
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996, hlm. 33.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
setiap langkah dalam mengambil kebijakan, hal ini penting karena konsepsi mengenai kejahatan dan kekuasaan sering ditetapkan secara emosional.
Berdasarkan hal tersebut di atas bahwa suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah
yang di buat secara sadar. Ini berarti pula bahwa memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar sudah
memperhitungkan semua faktor-faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataan.
219
Sehingga diperlukan pula pendekatan yang fungsional, ini merupakan pendekatan yang melekat inheren pada
setiap kebijakan yang rasional. Dalam Suatu Seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 di semarang antara lain
menyatakan, hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence. Pemilihan pada konsepsi ini inipun membawa konsekwensi
pada pendekatan yang rasional, seperti yang dikemukakan oleh J. Andenaes sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arif, berikut ini:
220
“Apabila orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan masyarakat social defence maka tugas selanjutnya adalah
mengembangkannya serasional mungkin. Hasil-hasil maksimum yang harus dicapai dengan biaya yang minimum bagi
masyarakat dan minimum penderitaan bagi individu. Dalam tugas demikian,
219
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana Bandung: Penerbit Alumni, 1986, hlm. 153.
220
Barda Nawawi Arief, Op. Cit. J. andenaes: “if one bases the penal law on the consept of social defence, the task will then be to develop it as rationally as possible. The maximum results must
be achieved with the minimum of expense to society and the minimum of suffering for the individual. In this task, one must build upon the results of scientific research into the causes of crime and
effectiviness of the various form of sanction”.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
orang harus mengandalkan pada hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan dan efektivitas dari bermacam-macam sanksi.”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pidana dapat dibenarkan bila ada suatu kebutuhan yang berguna bagi masyarakat. Sebaliknya apabila pidana tidak
diperlukan maka tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bila tidak ada sesuatu kebutuhan bagi masyarakat. Menurut Bassioni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh
pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan tersebut
menurut Bassioni adalah:
221
1. Pemeliharaan ketertiban dalam masyarakat.
2. Perlindungan masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang
tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain. 3.
Memasyarakatkan kembali resosialisasi para pelanggar hukum. 4.
Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan, dan keadilan
individu. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dalam melakukan kebijakan hukum
pidana diperlukan pendekatan yang beriorentasi pada kebijakan policy oriented- approach yang lebih pragmatis dan rasional dan juga pendekatan yang beriorentasi
pada nilai. Pidana yang hendak dijatuhkan kepada si pelanggar harus sesuai dengan
221
Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit, hlm. 165-166.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
nilai-nilai kemanusiaan yang beradap, tetapi harus juga membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan masyarakat.
Penggunaan upaya penal sanksihukum pidana dalam mengatur masyarakat melalui peraturan perundang-undangan yang pada hakikatnya merupakan bagian dari
suatu langkah kebijakan policy. Dalam hal ini Nigel Walker mengemukakan prinsip-prinsip pembatas the limiting principles yang sepatutnya mendapat
perhatian, antara lain
222
: 1.
Jangan menggunakan hukum pidana semata-mata untuk tujuan pembalasan. 2.
Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan membahayakan.
3. Jangan menggunakan sarana hukum pidana sebagai tujuan yang dapat dicapai
secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan. 4.
Jangan menggunakan hukum pidana bila kerugian atau bahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugian bahaya dari perbuatan atau tindak
pidananya sendiri. 5.
Larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah.
6. Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat
dukungan kuat dari publik.
222
Heru Permana, Politik Kriminal Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2007, hlm: 49.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
Secara lebih singkat Hebert L. Parker pernah mengingatkan bahwa menggunakan sanksi pidana secara sembarangan menyamaratakan dan secara paksa
akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu pengancaman yang utama.
223
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa keterbatasan pidana untuk menanggulangi kejahatan adalah karena penanggulangan atau penyembuhan lewat
hukum pidana selama ini hanya merupakan penyembuhan atau pengobatan simptomatik bukan pengobatan kausatif dan pemidanaannya hanya bersifat
individual personal tidak bersifat fungsional struktural. Usaha-usaha penanggulangan kejahatan telah banyak dilakukan dengan
berbagai cara, namun kenyataannya hasilnya kurang memuaskan. Habib_ur-Rahman khan dalam tulisannya yang berjudul Prevention –it is Society Which Needs The
Treatment and not The Criminal, mengemukakan: “Dunia modern sepenuhnya menyadari akan problem yang akut ini. Orang
demikian sibuk melakukan penelitian, seminar-seminar, konfrensi-konfrensi internasional dan menulis buku-buku untuk mencoba memahami masalah
kejahatan dan sebab-sebabnya agar mengendalikannya. Tetapi hasil bersih dari semua usaha ini adalah sebaliknya kejahatan bergerak terus”.
224
Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang
berupa pidana. Dan hal tersebut masih dipersoalkan seperti yang telah dikemukan oleh Herbert L. Parker. Penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana adalah
upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk di dalamnya kebijakan hukum.
223
Ibid.
224
Barda Nawawi Arif, op.cit, hlm. 16-17.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
b. Politik Kriminal Criminal Politic dengan menggunakan sarana non penal.
Kebijakan kriminal adalah merupakan usaha yang rasional dari masyarakat dapat menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal disamping dapat dilakukan
secara represif melalui sistem peradilan sarana penal dapat juga dilakukan dengan sarana non penal dengan berbagai usaha pencegahan tanpa menggunakan sistem
hukum, pembaharuan hukum perdata, dan administrasi. Kebijakan penanggulangan pidana dengan menggunakan sarana non penal
atau dengan kata lain menanggulangi kejahatan tanpa menggunakan sarana pidana prevention without punishment, pada hakikatnya sarana ini adalah merupakan
tindakan preventif tindakan pencegahan. Oleh sebab itu, tujuan utamanya adalah menangani factor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada
masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Usaha non penal
dapat meliputi berbagai bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial atau pembangunan nasional.
Tujuan utama dari usaha non penal adalah untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu yang secara tidak langsung memiliki pengaruh preventif terhadap
kejahatan. Dengan kata lain dari sudut politik kriminal keseluruhan usaha penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana non penal mempunyai
kedudukan yang strategis. Sarana non penal dikatakan memiliki posisi yang strategis karena lebih bersifat pencegahan terjadinya suatu tindak pidana.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
Pencegahan kejahatan pada dasarnya merupakan tujuan utama kebijakan kriminal, pada dasarnya pencegahan kejahatan adalah segala tindakan yang memiliki
tujuan khusus untuk membatasi meluasnya kejahatan dan kekerasan. Pada umumnya strategi preventif dalam menanggulangi kejahatan:
225
1. Pencegahan Primer primary prevention adalah strategi melalui kebijakan sosial
ekonomi serta kebijakan sosial lainnya, secar khusus mencoba mempengaruhi krimonegenik dan akar kejahatan. Hal ini misalnya dilakukan melalui pendidikan,
perumahan, lapangan kerja dan rekreasi yang sering disebut dengan pre-offence intervention. Dalam hal ini target utama masyarakat umum.
2. Pencegahan Sekunder secondary prevention hal ini dapat dilihat dalam sistem
peradilan pidana dan penerapannya secara praktis, seperti peranan polisi dalam pencegahan kejahatan. Misalnya kegiatan polisi dalam Badan Narkotika Nasional
BNN. 3.
Pencegahan Tersier terutama mengarah pada residivisme oleh polisi dan lembaga- lembaga lain. Targetnya adalah mereka yang pernah melakukan kejahatan.
Sasaran utama dari usaha non penal adalah menangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana. Sebagai
suatu usaha yang strategis untuk menanggulangi kejahatan maka kebijakan kriminal harus dapat diintegrasikan dengan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif
225
Heru Permana, op. cit, hlm. 90.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal Criminal Policy Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009
USU Repository © 2008
yang non penal dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu. Dalam hal ini Radzinowicz mengemukakan:
226
Kebijakan kriminal harus mengkombinasikan bermacam-macam kegiatan preventif dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga membentuk suatu
mekanisme tunggal yang luas dan akhirnya mengkoordinasikan keseluruhannya dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur.
2. Sistem Peradilan Pidana Anak