Dengan demikian, kritik matan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari studi kontekstual terhadap hadis nabi.
C. Latar Belakang Kontekstualisasi Hadis
Dari pemahaman terhadap sejarah diatas, sering kali hadis yang termasuk pada zanni al-wurûd menjadi sorotan tajam bahkan sebagai bahan eksperimen
terhadap kekudusan agama yang berujung pada pengingkaran terhadap autentitas hadis atau sunnah tersebut. Hal inilah yang kemudian banyak dilakukan oleh
banyak orientalis terhadap kajian hadis dalam Islam. Hadis dalam sejaranya dan keberadannya sendiri berbeda dengan al-
Quran. Bagaimanapun al-Quran dari segi redaksinya dipercaya bahwa ia disusun langsung oleh Allah swt. Malaikat Jibril adalah penyambung lidah agar sampai
kepada umatnya melalui Muhammad, yang kemudian umatnya menghafalnya dan menulisnya. Sehingga tidak mengalami perubahan, bahkan Allah sendiri diyakini
telah menjaga keotentikan al-Quran
10
. Atas dasar inilah kemudian wahyu Allah dalam al-Quran digolongkan sebagai qat’iy al-wurûd. Sedangkan berbeda dengan
hadis, ia hanya berdasarkan pada hafalan dan beberapa catatan para sahabat dan tabiin. Walaupun memang biografi dari para sahabat dan tabiin tersebut telah
tercatat dalam pena sejarah yang cukup jelas dan kredibel dalam pembuktian kejujuran, keadilan, ketulusan dalam membawa amanah dalam menyeleksi hadis
dan periwayatannya dari generasi ke generasi selanjutnya. Di samping itu, kondisi yang stabil dalam kehidupan mereka menunjukkan bahwa pantaslah jika memang
hadis atau sunnah ditempatkan pada tingkatan kedua dalam sumber hukum Islam.
dimilikinya Lihat al-Hujurat: 13 . Kedua, untuk saat ini, ketika sudah terbentuk banyak negara maka hal itu tak mungkin lagi digunakan.
10
Lihat al-Hijr: 9
Yang kemudian menjadi persoalan adalah para internal Nabi sebagai akhirul anbiya’ yang dimaknai sebagai nabi yang membawa risalah hingga akhir
zaman karena tiadanya nabi setelahnya. Ia menjadi figur kepada semua zaman, sementara itu hadis turun dalam situasi dan kondisi nabi, yang tentunya memiliki
kultur yang berbeda dengan yang lain. Selain itu tidak semua hadis secara eksplisit mempunyai asbâb al-wurûd yang menjelaskan status hadis apakah ia
bersifat umum atau khusus. Sehingga kadang hadis difahami sebagian umatnya dengan pendekatan tektual dan sebagian lagi dengan kontekstual.
Disini kemudian muncul beberapa yang melatarbelakangi perlunya pemahaman kontektual terhadap hadis nabi, diantaranya
11
; a. Jumlah kaum muslim yang semakin banyak dengan berbagai kultur,
wilayah goegrafis, dan kondisi sosial yang berbeda adalah alasan utama sebagai permasalahn tekstualisasi hadis. Hal ini tentu karena
hadis hanya muncul pada kultur, zaman, dan situasi Nabi dan tidak setelahnya.
b. Dalam kenyatannya umat Islam tidak lagi menyatu dalam daulah Islamiyah, maka sebagai konsekuensi mereka harus mengikuti aturan
negara masing-masing dimana mereka berbada, selain mereka memiliki budaya yang berbeda pula. Terlebih jika jumlah kaum
muslim adalah minoritas. Sebagai contoh adalah pada negara sekuler
11
Sejatinya banyak yang menyampiakan latar belakang pentingnya kontektualisasi hadis selain memang banyak alasan lain selain yang penulis sebutkan disini. Adapun yang penulis
sebutkan disini adalah pokok yang penulis anggap sangat perlu dipahami oleh pembaca hadis saat ini. contoh lain lihat, Suryadi, rekontruksi metodologis Pemahaman Hadis atau Hanim Ilyas,
Kontekstualisasi Hadis dalam studi Agama yang terkumpul dalam bunga rampai Wacana Hadis Kontemporer Yogjakarta: PT Tiara Wacana. 2002 h. 138 - 180
yang ektrim, maka rasanya sulit untuk melakukan ibadah qurban disana, kecuali memang memiliki komunitas muslim tersendiri.
c. Dalam keputusan yang diambil nabi sendiri telah memberikan gambaran perubahan hukum yang berbeda disebabkan karena kondisi
dan situasi yang berbeda. Misalnya tentang ziarah kubur yang pada awalnya nabi melarangnya karena khawatir munculnya kekufuran,
namun ketika hal itu cukup difahami masyarakat maka hal itu pun diperbolehkan
12
. Sebagai contoh saat ini adalah perubahan hukum rokok dalam Muhammadiyah yang dulunya Mubah namun sejak tahun
2010 menjadi Haram. d. Adanya peran sahabat sebagai pewaris nabi yang paling dekat dengan
Nabi sekaligus
mengayati dan
memahami hadisnya
telah mencontohkan adanya pemahaman kontekstualisasi. Seperti keputusan
Umar untuk tidak memotong semua pencuri dalam masa kekhalifahannya sebagai konsekuensi terhadap konteks yang terjadi
saat itu. e. Implementasi pemahaman tekstual terhadap hadis seringkali tidak
sejalan dengan kemashlahatan yang justru menjadi alasan utama Islam itu sendiri. Hal ini kemudian pemahaman kontekstual digunakan untuk
menemukan ide universal dari setiap perintah tersebut.
12
Hadis ini diriwayatkan oleh Abû Sulaiman bin Burdah sebagai berikut:
ƒ
Lihat; al-Tirmizi, Sunan, bâb mâ ja’a fî rukhsah fî ziarah al-kubur hadis no. 974 Beirut: Dar al- Ma’arif, 2002 h. 210
f. Dan yang terakhir tentu adalah bahwa Islam sebagai agama rahmatan
lil ‘âlamîn akan selalu difahami bahwa dengan segala ajarannya ia akan selalu sâlih li kulli zamân wa makân.
D. Batasan-Batasan Kontekstualisasi Hadis