Wacana Kontekstualisasi Hadis Nabi Pemahaman Tekstual dan Kontekstual atas Sejarah Hadis

BAB III KONTEKSTUALISASI HADIS

A. Wacana Kontekstualisasi Hadis Nabi

Teks selalu membawai konteks yang ada, dan hampir atau bahkan bisa dikatakan semua teks memiliki konteksnya tersendiri karena bagaimanapun tidak ada teks yang begitu saja muncul tanpa sebuah sebab ataupun kejadian yang mengharuskan teks tersebut ada. Yang dalam hal agama tidak mungkin Allah menciptakan sesuatu tanpa adanya alasan apalagi hanya untuk kesia-siaan 1 . Kontekstual berasal dari kata context yang berarti “menggantungkan” yang dalam kamus bahasa Indonesia berarti “suatu uraian atau kalimat yang mendukung atau menambah kejelasan makna, atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian dengan suatu kejadian atau lingkungan sekelilingnya” 2 . Yang dalam bahasa Arab di gunakan dalam istilah 3 dan . Sehingga dalam pembahasan ini memiliki makna bahwa kontekstualisasi hadis –yang diberi imbuhan isasi- berarti penjelasan terhadap hadis-hadis baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun ketetapan atas segala yang disandarkan kepada nabi yang kemudian disebut sebagai hadis berdasarkan situasi dan kondisi ketika hadis itu disampaikan atau terjadi. 1 Lihat Ali Imran: 191 2 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, hal. 458 3 Imam Basyari Anwar, Kamus Lengkap Indonesia-Arab, Kediri; Lembaga Pondok Pesantren al-Basyari, 1987. Hal. 216 34 Berbeda dengan pemahaman tekstual, bahwa tekstual adalah pemahaman terhadap sesuatu dari teks itu sendiri sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Sehingga seringkali pemahaman atau pendekatan ini terjadi pada ranah bahasa Arab itu sendiri, yang kadang menyingkirkan sebab-sebab serta situasi dan kondisi saat hadis itu muncul.

B. Pemahaman Tekstual dan Kontekstual atas Sejarah Hadis

Para sahabat generasi pertama dalam sejarahnya akan mendasarkan segala fatwa atau pendapatnya kepada nash-nash al-Quran yang disampaikan nabi dan juga hadis nabi sendiri dianggap sebagai penjelasannya. Kemudian, jika mereka tidak menemukan dalam al-Quran maupun hadis nabi mereka akan melakukan ijtihad dengan membuat analogi-analogi qiyas. Dalam pendekatan ini kemudian menggunakan rasio ra’yu yang tentu berpegang pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-Quran dan hadis. Justufikasi bagi adanya pendekatan rasio dalam bentuk ijtihad ini secara umum dijelaskan dengan adanya hadis masyhur yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ketika akan diutus nabi menuju ke Yaman 4 . Sebagaimana tergambar dalam hadis sebagai berikut: ƒ ƒ ƒ Æ ƒ ƒ ƒ ƒ ƒ 4 Hadis ini diriwayatkan oleh Hafs bin Umar dari Syu’bah dari Abi ‘Aun dari Haris bin Amr bin Ibn Akhi al-Mughirah bin Syu’bah dari Anas. Lihat Abû Dawud, Sunân, Bâb Ijtihad Ra’yu Fî al-Qadhâ, hadis no. 3592 Aman; Dar al-A’lam, 2003 h. 587-588 Namun hal ini memang tidak terjadi kepada banyakan para sahabat, karena memang ketika mereka memiliki masalah atas sesuatu mereka bisa bertanya langsung kepada Nabi. Yang kemudian setelah wafatnya nabi sangat berbeda karena para sahabat saat itu telah ditinggal oleh sang masdârul hukmi sebagai pembawa risalah tuhan. Hal ini pula berpengaruh pada penerimaan para sahabat terhadap periwayatan sahabat yang lain, disini kemudian dinilai bahwa permulaan tentang kritik matan itu dimulai. Contoh yang cukup masyhur adalah terjadinya penolakan ‘Aisyah terhadap periwayatan yang menurutnya bertentangan dengan nash al-Quran. Ia menolak periwayatan ‘Umar dan Ibnu ‘Umar yang mengatakan bahwa “mayit akan di siksa karena tangisan keluarganya” 5 , lantaran hadis ini dianggapnya bertentangan dengan ayat al-Quran yang berbunyi, “wa lâ taziru wâziratan wijra ukhrâ”. 6 Seiring perkembangan ilmu hadis dan periwayat hadis, kemudian dirumuskanlah kriteria umum terhadap kesahihan hadis oleh para ulama hadis dengan lima syarat, hal ini menunjukkan betapa telitinya mereka dalam menyeleksi hadis demi menjaga otentitas hadis. Kelima syarat tersebut diantaranya tiga berkenaan dengan sanad dan dua berkenaan dengan matan hadis. Yang beraitan dengan sanad yakni a. sanad harus bersambung, b. perawi harus dabit dan c. perawi pun harus tsiqqah. Sedangkan yang berkaitan dengan matan, adalah keharusan tiadanya syadz dan ‘illah. Seleksi ini guna menunjukkan mana hadis yang nantinya bisa diamalkan dan tidak ma’mûlun bih aw ghairu ma’mûlun bih. Dari sinilah kemudian para ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai sahih, 5 Hadis ini diriwayatkan oleh Abdillah bin Abi Mulaikah, Lihat Muslim, Sahih, Bâb al- Mayyit Yu’adzab bi Buka’I Ahlihi ‘Alaihi, Beirut: Dar al-Fikr, 2003 Hadis no. 1543 hal 500 6 Lihat al-Isra’ ayat 15, al-An’am; 164, Fathir; 18, Zumar; 7 dan Najm; 38 dhaif, hasan dan seterusnya. Yang dalam hal ini tentu yang dibahas adalah hadis- hadis yang tidak mutawattir, karena para ulama berpendapat bahwa hadis mutawatir sudah menjadi kesepakan untuk ma’mûlun bih. Dari beberapa seleksi itu, memunculkan pula dua macam kritik hadis, yakni kritik sanad dan kritik matan. Namun sayang, pada perkembangannya lebih banyak konsentrasi ulama tertuju pada kritik sanad, sebagaimana yang terjadi seperti Imam al-Bukhari misalnya, ia menulis dalam kitab Sahih-nya adalah bentuk dari kritik sanad, sebagaimana Ia memberi judul sebagai Jâmi’ al-Musnad al-Shahih yakni himpunan hadis yang shahih sanadnya. Lebih sayang lagi, bahwa dewasa ini muncul anggapan bahwa penyeleksian yang dilakukan oleh Imam al- Bukhari atas hadis-hadis yang sudah dimuatnya dalam kitab tersebut telah mencakup pada kritik sanad dan kritik matan. Sehingga melakukan kritik matan terhadap hadis-hadis yang ada dalam kitab al-Bukhari dianggap tabu. Disinyalir terdapat banyak hadis yang dari segi sanad ia termasuk sahih, namun dari segi matan ia bertentangan dengan al-Quran, dari sini orang-orang seperti Ahmad Amin, Abû Rayyah 7 kemudian menolaknya. Bahkan Muhammad al-Ghazali, dalaam bukunya al-Sunnah al-Nabawiyyah Bain ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadits, mengatakan bahwa betapa pun sahihnya sanad suatu hadis, sepanjang ia bertentangan dengan al-Quran ia tidak ada artinya 8 . 7 Dalam hal ini Abû Rayyah menyatakan bahwa kritik yang dilakukan para sahabat terhadap periwayatan Abû Hurairah, seperti ‘Aisyah, ‘Ali bin Abi Thalib dan yang lain adalah bentuk dari kritik hadis yang pertama dilakukan dalam dunia Islam. lihat Abû Rayyah dalam ‘Adwa’ al-khala al-Sunnah al-Muhammadiyah, Kairo; Dar al-Ma’arif, 1980 hal. 177 8 Muhammad al-Ghazali, Terj. M. al-Baqir, Studi Kritis atas Hadis Nabi saw. : antara pemahaman tekstual dan kontekstual, Bandung: Mizan, 1991 hal. 26 Dalam buku tersebut, Muhammad al-Ghazali juga mempersoalkan banyak hadis yang bertentangan dengan al-Quran dan menentang keras terhadap orang- orang yang mamahami dan mengamalkannya secara tekstual. Yang kemudian dalam buku tersebut Muhammad al-Ghazali menggunakan kaidah diatas sebagai tolok ukur pengujian kesahihan suatu hadis. Kesahihan hadis memang tidak bisa ditentukan hanya oleh kesahihan sanad saja. Tetapi matannya pun mesti di telaah lebih lanjut guna memastikan apakah ia tidak syadz dan tidak mengandung illat’ cacat terhadap hadis kendati hal ini cukup sulit dilakukan. Pertama-tama matannya harus dibandingkan dengan matan yang senada yang terdapat dengan sanad-sanad yang lainnya. Bila ia merupakan satu-satunya hadis yang menggunakan matan yang berbeda, ia jelas merupakan hadis yang syadz. Kemudian, bila kandungan isinya bertentangan dengan al-Quran dan hadis-hadis lain yang senada, ia dinyatakan illat. Kegiatan inilah yang kemudian dilakukan oleh orang-orang seperti Abû Rayyah dan Muhammad al-Ghazali yang sekaligus menjadikannya sebagai salah satu kaidah dalam menentukan kesahihan sebuah hadis. Contoh lain dari pemahaman ini adalah terhadap hadis yang menyatakan bahwa pemimpin harus dari Quraisy sebagai berikut: ƒ È ƒ ƒ ƒ ƒ ƒƒ ƒ 9 9 . Lihat Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, Bab Musnad Anas bin Malik, Beirut: Dar al-Fikr, tt hadis no. 11859 hal. 405. Hadis ini termasuk sahih sanadnya, namun jika digunakan dengan pendekatan kontektual tentu ia tertolak. Minimal dengan dua alasan, pertama; karena ia bertentangan dengan al-Quran yang menyatakan tidak adanya diskriminasi dalam Islam, dan bahwasanya nilai seseorang tidak ditentukan dari kesukuan namun dari ketaqwaan yang Dengan demikian, kritik matan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari studi kontekstual terhadap hadis nabi.

C. Latar Belakang Kontekstualisasi Hadis