Batasan-Batasan Kontekstualisasi Hadis KONTEKSTUALISASI HADIS

f. Dan yang terakhir tentu adalah bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil ‘âlamîn akan selalu difahami bahwa dengan segala ajarannya ia akan selalu sâlih li kulli zamân wa makân.

D. Batasan-Batasan Kontekstualisasi Hadis

Adapun batasan yang dimaksud disini adalah batasan yang menyangkut tema-tema hadis dan pembahasannya yang bisa dan dianggap perlu untuk ditampilkan pemahaman kontekstual terhadapnya. Secara jelas memang tidak bisa semua diambil nilai kontekstual dan hanya diamalkan nilai universalnya saja dan tidak berbentuk dalam tindakan ibadah. Secara umum M. Sa’ad Ibrahim menjelaskan bahwa konteskstualisasi hadis meliputi dua hal yakni; pertama, dalam bidang ibadah mahdah murni tidak ada kontekstualisasi. Karena jika ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian situasi dan kondisi maka hal tersebut akan masuk dalam bid’ah. Kedua, bidang diluar ibadah mahdah. Dengan demikian kontekstualisasi dialkukan dengan tetap berpegang pada nilai universal hadis , untuk selanjutnya dirumuskan legal specific berupa tindakan aplikatif baru yang menggantikan legal specific lamanya. 13 Hal ini kemudian memunculkan anggapan bahwa hadis diharuskan adanya kontekstualisasi guna peletakannya sebagai ajaran yang tetap bisa diajarkan dan tidak hanya sebagai tulisan yang mati. Yang selanjutnya memiliki ruang tertentu terhadap tema kontekstualisasi dari hadis-hadis sebagai berikut; a. Menyangkut hal sarana dan prasarana yang tertuang secara tekstual. Hal ini menyangkut bagaimana penggunaannya pada masa Nabi 13 M. Sa’ad Ibrahim, dalam Orisinalisitas Dan Perubahan Dalam Ajaran Islam, Jurnal At-Tahrir, Vol. 4 no. 2 Juli 2004 hal. 170 dengan adanya perkebangan zaman saat ini. Misalnya pada pakaian gamis yang digunakan pada budaya Arab juga penggunaan bahasa Arab. Semua itu adalah produk budaya yang tentunya setiap wilayah pun berbeda. b. Menyangkut aturan manusia sebagai individu dan biologis. Sebagaimana yang dilakukan nabi ketika makan hanya dengan tiga jari, karena konteks saat itu adalah kurma dan roti. Tentu hal ini akan sangat berbeda dengan budaya Indonesia yang makan sayur asem dan nasi. Dari sinilah selanjutnya yang diambil adalah pesan moral untuk tidak berlebih- lebihan. c. Menyangkut aturan manusia sebagai makhluk sosial dalam. Yakni bagaimana manusia berhubungan dengan sesama, alam sekitar dan juga binatang dalam wilayah kontekstual. Hal ini sejalan dengan isyarat nabi “antum a’lamu bi umûri dunyâkum”. 14 d. Yang terakhir adalah mengenai sistem bermasyarakat dan bernegara, dimana kondisi sosial, ekonomi, politiik dan budaya masa nabi sangat berbeda dengan kondisi saat ini di negara yang berbeda. Disisi lain memang nabi tidak mengisyararatkan bentuk pembagian wilayah seperti negara, kerajaan dan lain-lain. Dengan demikian kondisi pada masa nabi tidak bisa dijadikan parameter sosial. Adapun mengenai bagaimana proyeksi kontekstualisasi ini dilakukan, M Sa’ad Ibrahim mencoba menjelaskan dengan tiga tahapan guna mendapatkan pesan yang memang benar dari nabi dan mampu terlaksana pada kondisi yang berbeda sebagai berikut; pertama. Memahami teks-teks hadis atau sunnah untuk 14 Muslim, Sahih, bâb wujûbu imtitsali mâ qalahu syar’an duna mâ dzakarahu Beirut: Dar al-Fikr, 2003 hadis no. 4358 hal. 54 menemukan dan mengidentifiasi legal specific dan pesan moral dengan cara melihat konteks lingkungan awal seperti madinah, makkah sebagai bagian dari asbab al-wurûd hadis. Kedua, memahami lingkungan baru dimana teks-teks hadis itu akan digunakan atau diaplikasikan, sekaligus membandingkan dengan lingkungan awal untuk menemukan perbedaan dan persamaannya. Ketiga, jika ternyata ditemukan perbedaan-perbedaannya lebih dominan dari pada persamaan yang ditemukan maka dilakukan penyesuaian legal specific terhadap teks-teks tersebut dengan konteks lingkungan baru, dengan tetap berpegang teguh pada pesan moral yang dibawa teks tersebut 15 . Maka dengan demikian pesan nabi tetap akan bisa terlaksana dimanapun dan kapanpun berada. Sebagai konsekuensi bahwa Muhammad adalah pembawa risalan bukan bagi umat tertentu dan kondisi tertentu, namun sebaliknya Islam yang dibawa Muhammad adalah Islam yang sâlih li kulli zamân wa makân. 15 M. Sa’ad Ibrahim, Orisinalitas dan Perubahan dalam Ajaran Islam, dalam Jurnal At- Tahrir, vol. 4 no. 2 Juli 2004, hal. 168

BAB IV KORUPSI DALAM PANDANGAN HADIS