Hukuman Bagi Pelaku Korupsi

Ê 42 Artinya: Dari ‘Ali bin Munzir al-Kufi dari Muhammad bin Fudhail dari Fudhail bin Marzuq dari ‘Athiyah dari Abi Sa‘id, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah dan paling dekat tempatnya dari-Nya di Hari Kiamat adalah pemimpin yang adil. Dan sesungguhnya manusia yang paling dibenci Allah dan paling jauh tempatnya dari Allah di Hari Kiamat adalah pemimpin yang menyimpang.”

B. Hukuman Bagi Pelaku Korupsi

Korupsi sebagaimana dijelaskan adalah perbuatan yang dengannya menyebabkan kerugian terhadap negara atau masyarakat dan berdampak pada keuntungan pribadi maupun golongan dengan cara penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan. Sejalan dengan hal tersebut, Islam sebagai rahmatan lil ‘âlamin tentu ikut serta menjadi control bagi kehidupan manusia yang berkembang dengan peradaban zaman. Yang disinilah kemudian Islam al-Quran dan hadis sebagai sumber dalam beragama dimaknai sebagai sumber yang salih li kulli zamân wa makân. Hukum Islam selalu menjadi acuan dalam berbagama. Sistem hukum tersebut tentu adalah hal yang selalu dikembalikan kepada nas agama al-Quran dan hadis. Pada dasarnya hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan mashlahah di dunia dan juga di akhirat. Dari faktor sumbernya bisa terbagai menjadi dua yakni: pertama, aspek Syari’ah berupa nas atau wahyu yang kebenarannya dinilai 42 Al-Tirmizi, Sunân, Kitâb al-Ahkâm, Bâb Mâ Jâ’a fi al-Imâm al-‘Adil, no. 1329 Beirut: Dar al-Ma’arif, 2002 h. 558 ; Menurut Tirmizi, hadis ini berstatus hasan gharib. mutlak. Kedua, aspek fiqh berupa aturan yang telah diinterfensi oleh pemikiran dan akal menusia yang kebenarannya bersifat nisbi 43 . Dalam perumusannya hukum Islam mempunyai tujuan untuk mewuudkan dan memelihara lima pokok tujuan al-maqâshid al-khams yakni berupa agama, jiwa, akal, kehormatan atau keturunan, dan harta. Kelima hal tersebut wajib diwujudkan sebagai bagian untuk kebaikan di dunia dan akhirat. Dengan demikian Islam tidak membenarkan adanya penganiayaan dan tindakan yang mengancam kemaslahatan umum maupun individu. Disinilah kemudian diperlukan adanya aturan hukum dan juga hukuman bagi pelaku kejahatan tersebut. Hukuman tersebut secara sederhana dibagi menjadi dua yakni hukuman di akhirat dan hukuman di dunia. Hukuman di akhirat adalah hukuman yang akn diterima manusia nanti dengan eksekusinya adalah neraka yang jenis hukuman dan kualitasnya disamakan dengan dosa yang dilakukan di dunia. Sedang hukuman di dunia adalah hukuman yang diputuskan oleh hakim dengan lokasi tentu di dunia 44 . Hukuman di dunia inilah yang kemudian menjadi pembahasan dalam hukum pidana Islam. Dimana setiap kejahatan jarîmah memiliki hukuman di dunia untuk menjadikan jera pelakukanya dan menjadikan dia tobat dan tidak lagi melakukan perbuatn itu. Mengenai sumbernya hukuman jika telah terdapat dalam nash ia dikenal dengan hudûd, qishâs dan diat, sedang yang memang belum 43 Jaenal Arifin dan M.Arskal Salim GP, Pidana Islam di Indonesia : Peluang, Prospek, dan Tantangan, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001 hal.57 44 Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992, h.227 terdapat dalam nash kejelasan hukumannya bukan hukumnya dinamai dengan ta’zîr. Disinilah kemudian korupsi dimasukkan kedalam hukuman ta’zîr, kenapa demikian? Sebagaimana di jelaskan di awal bahwa korupsi tidak dijelaskan hukumannya dalan nas. Namun hal tersebut telah jelas kejahatannya karena memang memiliki beberapa unsur dalam kejahatan yang dilarang oleh nas yakni, perampasan hak, penyelewengan kewenangan, dan merugikan orang lain. Sehingga dalam hal ini bisa dimasukkan pada hukuman ta’zîr yang berkaitan dengan harta, kemaslahatan individu, serta kemashlahatan umum sebagaimana pembagian yang dilakukan oleh Abdul Aziz Amir dalam bukunya at-Ta’zîr fi as- Syari’ah al-Islamiyah. 45 Selain memang ta’zîr menjadi hukuman bagi pelaku koruspi karena tiadanya nash yang menjelaskan tentang hukuman korupsi tersebut, perkembangan hukum modern seringkali harus memiliki pilihan-pilihan yang bisa disesuaikan dengan besar-kecilnya kerugian yang diakhibatkan dari tindakan korupsi tersebut. Disamping ketentuannya ditentukan oleh ulil amri yang dalam hal ini adalah pemimpin negara, undang-undang dan juga hakim. Ibn Taimiyah menyebut beberapa model hukuman jarimah ta’zîr yang pernah dicontohkan oleh nabi dan para sahabatnya : “ Batas minimal hukuman ta’zir tidak dapat ditentukan, tapi intinya adalah semua hukuman menyakitkan bagi manusia, bisa berupa perkataan, tindakan atau perbuatan dan diasingkan. Kadang-kadang seseorang dihukum ta’zir dengan memberinya nasehat atau teguran, menjelekakannya dan menghinakannya. Kadang-kadang seseorang dihukum ta’zir dengan mewngusirnya dengan meninggalkan negerinya sehingga ia bertaubat. Sebagaimana nabi pernah mengusir tiga orang yang berpaling, mereka itu adalah 45 Abdul Aziz Amir, at-Ta’zir fi as-Syari’ah al-Islamiyah, Beirut: Darul Fikr, tt Ka’ab bin Malik, Mararah bin Rabi’ dan Hilal bin Umaiyyah. Mereka berpaling dari Rasulullah pada perang Tabuk. Maka nabi memerintahkan untuk mengasingkan mereka, kemudian nabi memaafkan mereka setelah turun ayat-ayat al-Quran tentang diterimanya taubat mereka. Dan kadang-kadang hukuman ta’zir berbenuk pemecatan dari dinas militer bagi prajurit yang melarikan diri dari medan perang, karena melarikan diri dari medasn perang merupakan dosa besar. Begitu pula pejabat apabila melakukan penyimpangan maka ia diasingkan”. 46 Dalam konteks Indonesia sebagaimana yang dijelaskan panjang dalam Undang-Undang no. 31 tahun 1999 hukuman memang hanya berkutat pada penjara dan dengan dengan berbagai ukurannya. Namun disini penulis akan memberikan beberapa opsi lain mengenai hukuman korupsi ini, karena ia dirasa lebih dari hanya sekedar mencuri, bahkan membunuh. Inilah yang kemudian ia dijuluki sebagai extra ordinary crime yakni bentuk kejahatan luar biasa. Sehingga hukumannya pun bisa variatif tergantung pada apa dan berapa kerugian yang berikan dari tindakan korupsi tersebut. Hukuman sanksi dari jenis ta’zir tersebut adalah sebagai berikut:

a. Sanksi fisik yakni hukuman mati atau dera

Dalam pandangan fiqih, hukuman ta’zir dalam bentuk hukuman mati cukup beragam pendapat. Ada yang tidak sepakat dengan adanya hukuman mati bagi ta’zir, namun banyak pula yang setuju dengan adanya ta’zir hukuman mati seperti ulama Syafi’iyah 47 dan juga ulama Hanabilah semisal Ibnu Uqail. Pembolehan ini didasarkan pada adanya sebuah hadis yang mebolehkan adanya ta’zir hukuman mati bagi pelaku homoseksual. Di mana nabi menghendaki 46 A.Fathi Bahansi, al-Mas’uliyah al-Jinaiyyah al-Islamy, Beirut: Dar al-Syuruq, 1984, h.23 47 Abd Al-Aziz Amir, at-Ta’zir Fii As-Syari’ah al-Islamiyah, Beirut: Dar al-Fikr al- Arabi, 1969, hal 305 - 306 baik pada pelaku maupun objeknya untuk di hukum mati, sebagaimana riwayat Ibnu Abbâs sebagai berikut; ƒ ƒ ƒ ƒ ƒƒ 48 Artinya: Dari Abdullah bin Muhammad bin Ali an-Nufaili dari Abdul Aziz bin Muhammad bin Amru bin Abi Amr dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa Rasul bersabda; “barang siapa yang kamu dapati melakukan perbuatan kaum nabi Luth homoseksual maka bunuhlah pelaku dan objeknya”. Selain hadis tersebut ada pula riwayat lain yang menyatakan adanya hukuman mati bagi peminum khamr yang melakukannya berulang kali, sebagai berikut; ƒ ƒ ƒ ƒ ƒ ƒ ƒ ƒ ƒ 49 Artinya: Dari Hannad bin As-Sari dari Abduh dari Muhammad Ibnu Ishaq dari Yazid bin abi Habib dari Marsad bin Abdillah al-Yazani dari Dailami al-Himyari berkata; Saya bertanya kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah, kami berada di suatu daerah untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang berat , dan kami membuat minuman dari gandum untuk menambah kekuatan kami dan menahan rasa dingin negeri kami. Rasul bertanya; ‘Apakah minuman itu memabukkan?’, 48 Abû Daud, Sunân, Bâb fî man Amila Amala Qoumi Lût, Aman; Dar al-A’alam, 2003 hadis no. 3869 hal 38 49 Abû Daud, Sunân, Bâb fii Nahy An Musykir, Aman; Dar al-A’alam, 2003, hadis no. 3189 hal 108 saya menjawab; ‘benar’, Nabi berkata: ‘kalau demikian jauhilah’, saya berkata: ‘orang-orang tidak mau meninggalkannya’, maka Rasul mengatakan; ‘Apabila mereka tidak mau meninggalkannya maka bunuhlah mereka”. Dengan demikian, memang ta’zir hukuman mati hanya dilaksanakan pada pidana yang sangat berat dan berbahaya. Adapun sayarat-syaratnya, sebagaimana yang ditulis H.A. Djazuli dalam bukunya Fiqih Jinayah adalah sebagai berikut 50 : a. Bila pelaku adalah residivis yang tidak mempan oleh hukuman selain hukuman mati. b. Harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan terhadap masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan di bumi. Sehingga dalam kaitannya dengan korupsi, untuk alasan pertama diatas adalah mungkin terjadi. Hal ini karena jika korupsi telah menjadi bagian dari hidup seseorang baca. Laten dan telah berulang kali melakukannya, maka hukuman ini bisa dilakukan. Sedang untuk alasan kedua, hal inilah yang menjadi penting karena korupsi seringkali dan bahkan selalu menimbukan kerugian bukan pada satu atau dua orang namun tetapi masyarakan banyak bahkan suatu negara. Yang kemudian alasan kedua adalah alasan yang sangat bisa dialami oleh seseorang pelaku korupsi yang memegang kebijakan tinggi dalam suatu daerah atau negara, terutama pada kasus-kasus Gurita Corruption yang telah di jelaskan pada bab sebelumnya. 51 Sedang terkait dengan hukuman fisik berupa dera, banyak ulama fiqih yang membahasnya dan mayoritas sepakat dengan adanya ta’zir hukuman dera. Kendati demikian hukuman dera yang dipermasalahkan sejatinya bukanlah pada 50 H.A. Djazuli, Fiqh Jinayat, Jakarta:Bulan Bintang, 1996 hal. 191 51 Untuk membandingkan sanksi-sanksi yang ada dalam tulisan ini bisa di bandingkan dengan tabal tindak pidana korupsi yang berlaku di Indonesia pada lampiran 1 berapa keras dan berapa kali dera yang diterima. Namun lebih pada penunjukkan tempat umum sebagai social punishment. Selain memang hukuman ini tidak dilakukan di Indonesia, namun juga pukulan atau dera dianggap tidak manusiawi dan menyalahi HAM.

b. Sanksi materi berupa denda

Denda yang dimaksud tentu bukan hanya sekedar mengembalikan uang atau harta hasil korupsi. Selain itu hasil dengan haruslah untuk kas umum atau negara dan bukan untuk hakim. Yang dalam hal ini Abdul Aziz Amir membaginya ke dalam tiga hal yakni penghancuran terhadap suatu benda, menggantinya dan memilikinya atau merampasnya sebagai kas negara. 52 Dalam hukum pidana korupsi di Indonesia hukuman ini telah berlaku lama. Namun yang seringkali menjadi momok sebagian orang di Indonesia adalah bahwa hukum bisa dibeli. Sehingga denda yang dikenakan pada pelaku korupsi kadang bisa lebih ringan dari hanya sekedar pencemaran nama baik.

c. Sanksi kemerdekaan berupa penahanan

Sebagaimana hukuman denda, penahanan atau penjara telah berlaku saat ini pada pelaku korupsi. Walau demikian lamanya penahanan bisa saja dikurangi dengan berbagai macam remisi yang berlaku dan juga pasal karet. Sehingga tak jarang seorang yang mencuri emas seharga 1 juta bisa jadi lebih lama ditahanan dari pada pelaku korupsi 1 milyar. Dalam sejarah hukum Islam, memang penjara belum berlaku pada masa Nabi maupun Abû Bakar. Namun hal ini berlaku tatkala khalifah dipegang oleh 52 Abd Al-Aziz Amir, at-Ta’zir Fii As-Syari’ah al-Islamiyah, Beirut:Dar al-Fikr al- Arabi, 1969, hal 401 Umar bin Khattab. Bahkan dalam sebuah riwayat menjelaskan bahwa Umar pernah membeli rumah seharga 40.000 dirham kepada Shafwan bin Umayyah yang kemudian beliau menfaatkan sebagai penjara 53 . Selain sanksi-sanksi diatas, nabi sendiri mengenalkan beberapa hukuman bagi pelakunya. Seperi pada suatu riwayat yang mengatakan bahwa shadaqah hasil korupsi tidaklah akan diterima. Dengan redaksi hadis sebgai berikut: ƒ ƒ ƒ 54 Artinya: Said bin Mansur, Qutaibah bin Said dan Abû Kamil al-Jahdari menceritakan kepada kami, sementara lafaz milik Said. Mereka berkata Abû Awanah telah menceritakan sebuah hadis kepada kami dari Simak bin Harb dari Mush’ab bin Sa’ad ia berkata, Abdullah Ibn Umar masuk ke ruman Ibn ‘Amir untuk menjenguknya karena sakit. Kemudian Ibn Amr berkata, “kenapa engkau tidak berdoa kepada Allah untuk kesembuhanku, hai Ibnu Umar?”, Ibnu Umar menjawab: “Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Shalat tanpa bersuci tidaklah diterima sebagaimana tidak diterimanya sadaqah hasil ghulûl. Selanjutnya adalah tentu bahwa tindakan korupsi menjadi penghalang bagi pelakunya untuk masuk surga. Sebagaimana riwayat berikut; 53 Ibn al-Qayyim al-Jauzi, at-Thurûq al-Hukmiyah fii as-Siyasah as-Syari’ah, Kairo: Mathba’ah as-Sunnah al-Muhammadiyah, 1953 hal. 103 54 Muslim, Sahih, Bâb Tahârah, Beirut: Dar al-Fikr, 2003 hadis no. 329 hal 54 ƒ ƒ ƒ Æ ƒ ƒ ƒ 55 Artinya: Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami, Ibn Abi ‘Ad telah menceritakan kepada kami, dari Said dari Qatadah, dari Salim bin Abi al-Ja’di dari Ma’dan bin abi Thalhah dari Tsauban berkata, Rasulullah bersabda; “ Siapa saja yang ruhnya telah berpisah dari jasadnya sedang ia terbebas dari tiga perkara yaitu; penimbunan harta, korupsi, dan hutang niscaya ia akan masuk surga.” Selain hukuman diatas yang bentuknya tidak terlihat oleh kasat mata di dunia, ada hukuman yang diberikan nabi sebagai bentuk social punishment yang mampu menjadi hikmah bagi semua manusia tidak hanya bagi pelaku, yakni dengan tidak bersedianya Nabi untuk menshalati jenazahnya. Sebagaimana riwayat berikut: ƒ ƒ 56 Artinya: Dari Musaddad bercerita dari Yahya bin Said dan Basyir bin Mufadhal dari Yhaya bin Said dari Muhammad bin yahya bin Hibban dari abi ‘Amrah dari Zaid bin Khalid al-Juhaini diriwayatkan bahwa salah seorang sahabat nabi meninggal dunia pada waktu peperangan Khaibar. Sahabat memberitahukan hal itu kepada Rasulullah, kemudian beliau berkata: “Shalatkanlah kawanmu itu”. berubahlah wajah orang-orang itu karena 55 Al-Tirmidzi, Sunân, Bâb As-Sir an Rasulillah, Beirut: Dar al-Ma’arif, 2002 hadis no. 1498, hal. 85 56 Abû Daud, Sunân, Kitâb Jihâd, Aman; Dar al-A’alam, 2003 hadis no. 2335 hal 336, selain itu ada juga pada Al-Nasai, Sunân, Kitâb Jinayah, Beirut: Dar Ahya’ al-Turts al-islami, tt hadis no. 1933 hal. 49 mendengar sabda tersebut. Kemudian Rasul mengatakan bahwa temanmu itu telah melakukan ghulûl di jalan Allah”. Kamipun segera memeriksa barang- barangnya lalu kami menemukan perhiasan milik orang Yahudi yang harganya tidak sampai dua dirham”. Inilah bentuk hukuman yang diberikan nabi, bahkan kepada sahabatnya sendiri. Karena bagaimanapun tindakan itu sangat bertentangan dengan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad tentang kejujuran dan amanat bagi seseorang.

BAB V KONTEKSTUALISASI HADIS-HADIS KORUPSI