Pengaturan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia

Selain itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga memiliki tugas dan wewenang antara lain : 1. Pemberian dan pencabutan izin pendirian Perguruan Tinggi dan izin pembukaan Program Studi, selain Pendidikan Tinggi Keagamaan meliputi izin pendirian dan perubahan Perguruan Tinggi Swasta PTS serta pencabutan izin PTS, dan izin pembukaan Program Studi dan pencabutan izin Program Studi pada PTN 2. Penetapan biaya operasional Pendidikan Tinggi dan subsidi kepada Perguruan Tinggi Negeri PTN 3. Pemberian kesempatan yang lebih luas kepada calon mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi, dan calon mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Mengenai Pengelolaan Perguruan Tinggi Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 menegaskan, Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi. Otonomi dimaksud terdiri atas : 1. Otonomi dibidang akademik meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat; 2. Otonomi di bidang nonakademik meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagakerjaan, dan sarana prasarana. 5 Yayasan Perguruan Tinggi Swasta hendaknya terdaftar pada Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Status legalitas berdampak pada hukum, sehingga pihak Yayasan Perguruan Tinggi Swasta harus mendaftarkan diri di Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memperoleh pengakuan dalam bentuk Surat Keputusan SK. Mengenai Statuta Perguruan Tinggi Swasta ditetapkan oleh badan penyelanggara perguruan tinggi Yayasan atas usul Senat Perguruan Tinggi yang bersangkutan dengan berpedoman pada lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 85 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Statuta Perguruan Tinggi 6

C. Penerapan Konsep Badan Hukum Pendidikan Pada Yayasan

Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Pada masa berlakunya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan 16 Januari 2009 – 31 Maret 2010 jika ternyata telah ada masyarakat yang mendirikan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat sebagai produk hukum Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, maka pemerintah harus mengatur 5 Desik Informasi, “Pemerintah Terbitkan Aturan Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi”, diakses pada Minggu 27 April 2014 dari www.setkab.go.id 6 Kemendikbud Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta, “Kewajiban Yayasan PTS”, diakses pada Minggu 27 April 2014 dari www.kopertis12.or.id hal tersebut agar kepastian hukum bagi penyelenggara pendidikan yang telah Mendirikan Badan Hukum Pendidikan mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum. Hal ini didasarkan bahwa wajah sistem hukum dalam suatu negara hukum menurut Lon L. Fuller dalam Bukunya The Morality of Law, menyebutkan bahwa : 1. Hukum harus dituruti oleh semua orang, termasuk oleh penguasa negara. 2. Hukum harus dipublikasikan 3. Hukum harus berlaku ke depan, bukan untuk berlaku surut. 4. Kaidah hukum harus tertulis secara jelas, sehingga dapat diketahui dan diterapkan secara benar. 5. Hukum harus menghindari diri dari kontradiksi-kontradiksi. 6. Hukum jangan mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi. 7. Hukum harus bersifat konstan sehingga ada kepastian hukum.Tetapi hukum harus juga diubah jika situasi politik dan sosial telah berubah. 8. Tindakan para aparat pemerintah dan penegak hukum haruslah konsisten dengan hukum yang berlaku. 7 Salah satu hal yang ditekankan dalam sistem hukum adalah hukum harus berlaku kedepan dan bukan untuk berlaku surut, tentu saja pengertian ini memiliki arti yang tegas bila kita kaitkan terhadap pembatalan Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi antara lain : 7 Lon L. Fuller, The Morality of Law, Amerika : Yale University Press, 1969 h. 67. 1 Pasca putusan mahkamah konstitusi nomor 11-14-21-126-136PUUVII 2009 maka produk hukum yang telah lahir pada masa berlakunya Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan misalnya Badan Hukum Pendidikan Masyarakat harus tetap diaku i dan ”hidup” dalam lalu lintas hukum. 2 Terhadap akta badan hukum pendidikan yang telah didirikan pada masa berlakunya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan tidak boleh dibatalkan karena hal tersebut melanggar sistem suatu negara hukum. Guna Tercapainya kepastian hukum, maka terhadap kedudukan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat akta dan badan hukum maupun pengesahannya maka diterapkan kaidah ex nunc yaitu bahwa suatu perbuatan dan akibat dari akta surat tersebut dianggap ada sampai dilakukan pembatalan. 8 Yayasan Nusa Jaya yang diketuai oleh Nurdin Rivai, telah menerapkan tata kelola sebagaimana yang dikenalkan oleh Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, dan dengan tata kelola tersebut yayasan memang telah berhasil menurunkan biaya pendidikan karena yayasan menerapkan comercial ventures dalam tata kelola tersebut. Yayasan Nusa Jaya yang mengadopsi tata kelola dalam Badan Hukum Pendidikan banyak memberikan konstribusi terutama berkurangnya beban dari masyarakat dan mahasiswa. Namun yayasan tersebut perlu melakukan perubahan anggaran dasar yang membutuhkan proses yang cukup panjang. 8 Wikipedia, “Ex nunc” diakses pada Senin, 28 April 2014 dari id.wikipedia.org Disampaikan pula oleh seorang praktisi notaris yang berulang-ulang memproses pengesahan yayasan, perubahan anggaran dasarnya melalui Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, mengalami banyak sekali kendala yang akan dihadapi dan sudah mulai dihadapi untuk penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Sejak tanggal 16 Januari 2009, hak hidup yayasan untuk menjalankan kegiatan pendidikan sudah tercabut karena apabila notaris membuat akta yayasan maka tidak dapat lagi memasukkan kegiatan pendidikan formal di dalamnya. Kalaupun memasukkan, maka akan dicoret oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Begitu pula kalau mengubah anggaran dasar yayasan di bidang kegiatan, tidak boleh lagi dicantumkan pendidikan formal. Dalam badan hukum pendidikan tidak ada lagi pengurus yayasan menjalankan haknya mengelola pendidikan, bahkan eksistensinya tidak ada lagi. Hal ini karena hak mengelola yayasan yang juga merupakan hak asasi tercabut dengan adanya kewajiban harus berbentuk tata kelola seperti badan hukum pendidikan. Pada ketentuan tersebut diatas tidak ada peran pengurus yayasan, akibatnya peran pengurus diserahkan kepada Organisasi Penyelenggara Pendidikan OPP. Hal ini adalah sesuatu yang kontradiktif, karena OPP di satu sisi akan memimpin satu sekolah, satu unit, tetapi OPP juga bertindak ke luar mewakili unit pendidikannya. Dengan dasar ini, maka pengurus yang