Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mengajar adalah kata kunci yang mempengaruhi proses pendidikan. 1 Mengajar berhubungan dengan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Dalam melaksanakan proses pembelajaran, kegiatan tersebut bermuara pada : madzhab behavioristik 2 dan konstruktivis. 3 Asri Budiningsih dalam bukunya mengatakan bahwa kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas. Pendapatnya ini untuk menjelaskan teori belajar konstruktivis. 4 Teori belajar behavioristik menekankan pada perilaku yang dapat diamati dan diukur. Teori koneksionisme merupakan teori yang paling awal dari aliran behavioristik. 5 Teori koneksionisme yang dipelopori oleh Thorndike, memandang bahwa yang menjadi dasar terjadinya 1 Dede Rosyada, Paradigman Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan Jakarta: Kencana, 2004, 89. 2 Diperkenalkan oleh John B. Watson dan Adward L. Torndike di Amerika Serikat pada awal abad ke 20 : Anderson J.R 1994: 3. Menurut aliran Behavioristik, memandang manusia sebagai organisme yang pasif dan dipengaruhi oleh stimulus yang ada di lingkungannya. Aliran Behavioristik ini melahirkan teori Connectionism, Classical Conditioning, Contiguous Conditioning, serta Descriptive Behaviorisme atau yang lebih dikenal dengan nama Operant Conditioning. Muh. Hizbul Muflihin, “Aplikasi dan Implikasi Teori behaviorisme Dalam Pembelajaran: Analisis Strategi Inovasi Pembelajaran”, Khazanah Pendidikan : Jurnal Ilmiah Pendidikan, Vol I, No. 1, Maret 2009, 123. Baca juga Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung-Alfabeta, 2008, 42. Baca juga Winfred F. Hill, Theories of Learning, Penerjemah M.Khozim, Bandung: Nusa Media 2009, 168. Baca juga Toeti Soekamto dan Udin Saripudin Winataputra, Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran, Jakarta: Depdiknas, 1997, 13. 3 Pembelajaran secara konstruktivisme lahir dari pandangan mengenai cara manusia belajar. Teori konstruktivisme mengatakan bahwa murid membina makna mengenai dunia dengan mensintesis pengalaman baru terhadap apa yang mereka telah pahami sebelumnya. Melalui konstruktivisme, guru akan mengenal pasti tahap pengetahuan murid dan dapat merancang kaedah pengajarannya berdasarkan tahapsifat ciri pengetahuan tersebut. Abdul Jalil Othman dan Bahtiar Omar, “Aplikasi Pembelajaran Secara Konstruktivisme Dalam Pengajaran Karangan Berpadu”, Jurnal “Masalah Pendidikan”, Universitas Malaya, 2005, 1. 4 Asri Budianingsih, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta 2004, 58. 5 Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung : Alfabeta, 2003, 42. Baca juga Winfred F. Hill, Theories of Learning , penerjemah, M. Khozim, Bandung : Nusa Media 2009, 35. 2 belajar adalah adanya asosiasi antara kesan panca indera sense of impression dengan dorongan yang muncul untuk bertindak impuls to action. 6 Ini artinya belajar akan terjadi pada diri anak, jika anak mempunyai ketertarikan terhadap masalah yang dihadapi. Siswa dalam konteks ini dihadapkan pada sikap untuk dapat memilih respon yang tepat dari berbagai respon yang mungkin bisa dilakukan. Thorndike sebagaimana dikutip oleh John A. Nevin, mengembangkan teori tiga macam hukum belajar, yaitu : “1 The Law of Readiness hukum kesiapan belajar, yaitu jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. 2 The Law of Exercise hukum latihan, yaitu semakin sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin kuat. dan 3 The Law of Effect hukum pengaruh adalah hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah bila akibatnya tidak memuaskan”. 7 Kemudian Ivan Pavlov seperti dikutip Theresia Kristanti mengembangkan teori belajar classical conditioning. Ivan Pavlov mengembangkan pembiasaan conditioning melalui Stimulus S dan Respon R yang menekankan pada analisis prilaku yang objektif. Pavlov melakukan percobaan pada seekor anjing. Dalam eksperimennya ia menunjukkan makanan kepada anjing yang kemudian memakan makanan itu. Setiap kali ditunjukkan makanan, anjing itu mengeluarkan air liur. Tampak bahwa makanan yang di sini disebut unconditional stimulus UCS menyebabkan respons R, keluarnya air liur. 8 Sejalan dengan Pavlov dan Thorndike, Jhon B. Watson mendukung teori behavioristik. Menurut Watson pembelajaran yang terjadi bersandar pada dua 6 Muh. Hizbul Muflihin, “Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme Dalam Pembelajaran : Analisis Strategis Inovasi Pembelajaran”, Khazanah Pendidikan : Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol I, No. 1, Maret 2009, 123. 7 John A Nevin, “Analyzing Thorndike’s Low Of Effect: The Question of Stimulus- Respons Bonds”, Journal of The Experimental Analysis Of Behavior, University of New Hampshire, Number 3, November, 1999, 447-450,. Baca juga Muh Hizbul Muflihin, “Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme Dalam Pembelajaran : Analisis Strategis Inovasi Pembelajaran”, Khazanah Pendidikan : Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol I, No. 1, Maret 2009,124. 8 Theresia Kristianty, “Pandangan-pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme tentang Pemerolehan Bahasa Pertama”, Jurnal Pendidikan Penabur - No.06Th.VJuni 2006. Baca juga Winfred F. Hill, Theories Of Learning, penerjemah M. Khozin, Bandung : Nusa Media 2009, 35. 3 prinsip, frekuensi dan resensi . Frekuensi menyatakan semakin sering kita melakukan respon terhadap suatu stimulus, semakin cenderung respon tersebut menjadi stimulus lagi. Maksudnya adalah respon siswa terhadap suatu stimulus, respon tersebut akan menjadi stimulus baru dan akan menimbulkan respon baru. Contoh mengerjakan tugas adalah respon siswa atas tugas dari guru sebagai stimulus, pekerjaan mengerjakan tugas menjadi stimulus bagi siswa untuk memperoleh reward yang menjadi sebuah respon dari guru atas stimulus mengerjakan tugas dari siswa. Resensi menyatakan bahwa semakin baru respon yang diberikan terhadap stimulus, semakin cendrung kita melakukannya lagi. Artinya stimulus dan respon S-R tersebut dapat diamati. Sebagai contoh, seorang anak akan mendapatkan reward bila mengerjakan tugas, maka dia akan rajin mengerjakan tugas. Sebaliknya jika seorang anak akan mendapatkan hukuman karena tidak mengerjakan tugas, maka dia akan berusaha mengerjakan tugas agar tidak mendapat hukuman. Reward hadiah dan punishment hukuman dilakukan secara periodik adalah resensi yang mempengaruhi perilaku anak. 9 Sayangnya kaum behavioristik tidak menjelaskan secara detil respon tersebut berbanding lurus dengan stimulus yang diberikan dan apakah respon tersebut sangat dipengaruhi oleh informasi awal yang dimiliki oleh siswa pengalaman, sosial dan lingkungan siswa serta faktor lain yang mempengaruhi psikologis siswa. Seperti iklim kelas, motivasi belajar, materi, cara guru mengajar dan lain sebagainya. Kaum behavioristik memang lebih menekankan pada perubahan tingkah laku akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon yang diberikan kepada siswa. Dengan demikian proses belajar menurut behaviorisme lebih dianggap sebagai suatu proses yang bersifat mekanistik dan otomatik tanpa membicarakan apa yang terjadi selama itu dalam diri siswa yang belajar. 10 9 Winfred F. Hill Theories of Learning , penerjemah, M. Khozim, 49 10 Galloway, dalam Toeti Soekamto dan Udin Saripudin Winataputra, Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran, Jakarta, Depdiknas, 1997, 13 4 Sementara menurut pandangan konstruktivisme, keberhasilan belajar tergantung bukan hanya pada lingkungan atau kondisi belajar. Siswa harus menemukan sendiri dan mengkonstruksi informasi yang dia butuhkan. Tokoh dari aliran ini antara lain adalah Pieget. 11 Menurut Pieget sebagaimana dikutip Syaiful Sagala, proses belajar anak terjadi dalam dua tahap : assimilation dan accommodation. Assimilasi adalah proses menyesuaikan dan mencocokan informasi baru dengan apa yang telah diketahui sebelumnya. Akomodasi adalah menyusun dan membangun kembali atau mengubah informasi awal sehingga ada penyesuaian dan pembaruan informasi atau pengetahuan. 12 Teori kontruktivisme ini kemudian berkembang dan melahirkan teori-teori belajar. Diantaranya teori belajar learning cycle. 13 Pada awal-awalnya teori behavioristik mendominasi warna kurikulum di Indonesia. Ini terlihat dari dominasi capaian nilai akhir yang menjadi perhatian. Proses pembelajaran tidak menjadi fokus utama tetapi bagaimana siswa bisa menjawab soal dan mendapat nilai tinggi menjadi tujuan utama atau goal orientation. Hal semacam ini bisa dilihat dari warna kurikulum 1974, kurikulum 1984 yang menekankan kepada hasil output oriented. Perkembangan kurikulum pendidikan Indonesia akhirnya menemukan bentuk yang dianggap ideal dengan keluarnya Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi 14 dan Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar 11 Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung : Alfabeta, 2003, 24 12 Sardiman A.M. Interaksi Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008, l37 13 Dalam perkembangannya Learning cycle memiliki lima fase : engagement, exploration, explanation, elaboration, dan evaluation, lihat Kusdian Kurniahadi, Penelitian, : “Pengaruh Metode Perubahan Konseptual Conceptual Change Methodes dalam Setting Model 5 E Terhadap Pemahaman Konsep Siswa SMA Lan Undhiksha Singaraja,” Fak.Pendidikan MIPA Univ. Udayana, 2006, 12. Permendiknas No. 41 tahun 2007 pada bab III bagian B yang menjelaskan kegiatan pembelajaran memasukan unsur learning cycle yaitu eksplorasi, elobarasi dan konfirmasi. 14 Dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan BSNP Permendiknas No 22 dan 41 berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendiknas No. 19 Standar Nasional Pendidikan yang kemudian mengeluarkan delapan standar pendidikan. Dan diantaranya adalah Permendiknas No. 22 dan Permendiknas No. 41. 5 Proses. Dimana dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 ini peran pemerintah hanya menjadi penyedia Standar Nasional saja sementara pelaksanaan kurikulum semua menjadi kewenangan di satuan pendidikan sekolah. Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi yang terdiri atas Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SKKD sebagai besaran pengembangan kurikulum yang akan dilakukan oleh satuan pendidikan sekolah. 15 Permendiknas No. 41 tahun 2007 hanya mengatur proses pembelajaran yang mengatur bagaimana kegiatan pembelajaran mulai awal hingga akhir termasuk evaluasi dilakukan. Permendiknas No. 22 tahun 2006 sendiri sebenarnya mengadopsi konsep madzhab behavioristik, sementara Permendiknas No. 41 tahun 2007 mengadopsi kontruktivisme. Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi yaitu Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SKKD. SK dan KD ini merupakan kompetensi yang harus dikuasai atau dicapai oleh siswa dalam proses pembelajaran. Bentuk SK dan KD sebenarnya adalah pengajaran terprogram untuk mencapai kompetensi yang diinginkan seperti pada madzhab behavioristik. 16 Permendiknas No. 41 tahun 2007 menjelaskan proses pembelajaran yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru dan siswa. Dimana 15 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar ini dikembangkan oleh satuan pendidikan sekolah yang lebih dikenal dengan KTSP, kurikulum tingkat satuan pendidikan. KTSP ini terbagi menjadi dua bagian Dokumen I yang memuat penyusunan visi, misi, tujuan sekolahmadrasah, struktur dan muatan kurikulum mata pelajaran, mulok, pengembangan diri, ketuntasan belajar, kenaikankelulusan serta kalender pendidikan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing satuan pendidikan. Dokumen II yang berisi panduan teknis menyusun silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran RPP yang baik sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas yang dimulai dari pemetaan kompetensi dasar dan penjabarannya menjadi komponen silabus dan RPP. Kebijakan Pemerintah untuk menyusun kurikulum di tingkat satuan pendidikan merupakan perwujudan dari reformasi di bidang pendidikan yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ini merupakan upaya untuk mewujudkan setidak-tidaknya tiga strategi dari tiga belas strategi pembaharuan yang diamanatkan, yaitu: a pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, b pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; dan c pemberdayaan peran serta masyarakat 16 Contoh terkenal dari penerapan prinsip behaviorisme di dunia pendidikan adalah pengajar terprogram program learning dimana materi disajikan dalam unit-unit kecil yang mudah dipelajari. Unit-unit kecil ini dilambangkan dengan kompetensi yang harus dipelajari atau dikuasi oleh siswa. Permendiknas No. 22 tahun 2006 yang memuat standar isi menjelaskan begaimana kompetensi-kompetensi yang harus dikuasi oleh siswa dalam setiap semester untuk semua jenjang pendidikan SD, SMP, SMASMK atau yang untuk madrasah dijelaskan melalui Permenag No. 2 tahun 2007 tentang Standar Isi Madrasah. 6 proses pembelajaran tersebut berpusat kepada siswa. Proses pembelajaran ini dilakukan dengan mengedepankan aktivitas yang harus dilakukan oleh siswa untuk mencapai kompetensi. Dan hal ini sesuai dengan teori konstruktivisme yang juga mengedepankan kegiatan pembelajaran dari segi prosesnya. 17 Namun demikian, dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi menekankan bahwa penyampaian SK dan KD yang merupakan pengajaran terprogram dengan proses pembelajaran, didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya. Dalam hal ini peserta didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis dan menyenangkan. 18 Masih dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tersebut dijelaskan kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan memadai antar kelas, dan jenis serta jenjang pendidikan. Sementara dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran yang mengandung tiga tahap kegiatan : pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. Dalam kegiatan inti harus mencakup tiga aspek : eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Kedua Permendiknas tersebut banyak membicarakan bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan serta kompetensi yang harus dicapai setelah proses 17 Dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 dijelaskan bagaimana proses belajar siswa dikelas dilakukan. Permendiknas No. 41 menjelaskan tahapan kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru dan siswa. Ada kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutupan serta evaluasi. Dalam kegiatan pendahuluan seorang guru harus mempersiapkan peserta didik siswa baik secara psikis atau materi dengan berbagai macam cara seperti pemberian motivasi, apersepsi dan sebagainya. Dalam kegiatan inti seorang guru harus mempersiapkan peserta didik untuk melakukan berbagai macam aktivitas pembelajaran yang terangkum dalam tiga fase : eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Dan dalam kegiatan penutup, guru memberikan penugasan dan evaluasi terhadap proses pembelajaran. Kegiatan inti yang terdiri atas tiga fase ini sebenarnya mengadopsi konsep konstruktivis melalui Learning Cycle yang memiliki lima fase : engagement, exploration, explanation, elaboration, dan evaluation.. 18 Permendiknas No. 22 tahun 2006 Bab 2:5 7 pembelajaran. Permendiknas No. 22 tahun 2006 yang berisi Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SKKD sebenarnya menjadi goal orientation dari proses pembelajaran di kelas. Sementara Permendiknas No. 41 tahun 2007 menjadi guidance bagaimana goal orientation yang di tetapkan dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tersebut dicapai. Permendiknas No. 41 tahun 2007 memang mengarahkan pembelajaran yang berorientasi kepada student center dalam prosesnya. Istikah SK dan KD menurut pendapat penulis sendiri sebenarnya merupakan penyempurnaan dari istilah Tujuan Instruksional Umum TIU untuk SK dan Tujuan Instruksional Khusus TIK untuk KD yang digunakan dalam kurikulum 1994. Dalam kurikulum 1994 program pengajaran seluruh mata pelajaran harus mengacu kepada GBPP atau Garis Besar Program Pengajaran. Sementara saat ini program pengajaran di dasarkan atas Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi yang berisi SK dan KD dan Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses. Baik dalam GBPP atau pun Permendiknas No. 22 tahun 2006 dan Permendiknas No. 41 tahun 2007 tersebut faktor motivasi yang berpengaruh dalam proses pembelajaran belum mendapat perhatian. Motivasi hanya disinggung sedikit dalam kegiatan awal sebagai apersepsi. Pencapaian kompetensi masih menjadi isu utama dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas. Pencapaian kompetensi sebagai hasil dari proses belajar tersebut banyak dilakukan ketika proses pembelajaran berlangsung. Proses pencapaian kompetensi lebih banyak dipengaruhi oleh bagaimana proses pembelajaran dilakukan oleh guru. Apakah ketika proses pembelajaran dilakukan guru menggunakan metode, model, strategi dan media pembelajaran yang menyebabkan siswa bisa memahami kompetensi atau sebaliknya. Kurangnya kemampuan guru mengembangkan 8 metode, model, strategi dan media pembelajaran menyebabkan siswa kurang mampu menguasai kompetensi yang telah ditentukan dalam satu mata pelajaran. 19 Prestasi belajar yang dicapai oleh siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang berasal dari diri siswa faktor internal 20 maupun dari luar siswa faktor eksternal. 21 Faktor internal diantaranya adalah minat, bakat, motivasi, tingkat intelegensi. Sedangkan faktor eksternal diantaranya adalah faktor metode pembelajaran dan lingkungan. Dalam kegiatan belajar, motivasi merupakan keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar. Motivasi mempunyai peranan penting dalam proses belajar mengajar baik bagi guru maupun siswa. Bagi guru mengetahui motivasi belajar dari siswa sangat diperlukan guna memelihara dan meningkatkan semangat belajar siswa. Bagi siswa motivasi belajar diperlukan untuk menumbuhkan semangat belajar sehingga siswa terdorong untuk melakukan perbuatan belajar. Siswa melakukan aktivitas belajar dengan senang karena didorong adanya motivasi belajar. 19 Semakin guru menguasai metode, model, strategi dan media pembelajaran maka semakin mudah siswa mencapai kompetensi yang diajarkan. Semakin rendah kemampuan guru menguasai metode, model, strategi dan media pembelajaran semakin sulit siswa mencapai kompetensi. Penggunaan metode pembelajaran, model pembelajaran, strategi pembelajaran dan media pembelajaran bisa sangat variatif. Seorang guru ketika melaksanakan satu kegiatan pembelajaran harus menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran RPP yang didasarkan atas Silabus. rencana pembelajaran pada suatu danatau kelompok mata pelajarantema tertentu yang mencakup standar kompetensi dan kompetensi dasar, kegiatan pembelajaran, materi pokokpembelajaran indikator pencapaian kompetensi, penilaian, sumber, dan alokasi waktu belajar. Di Indonesia, silabus merupakan pengaturan dan penjabaran seluruh kompetensi dasar suatu mata pelajaran dalam Standar Isi Dari Silabus ini dijabarkan kedalam RPP. Dalam RPP seorang guru harus menggambarkan metode, model, setrategi dan media pembelajaran. 20 M.Sobri Sutikno: ”Peran Guru dalam Membangkitkan Motivasi Belajar Siswa”, makalah seminar pendidikan, diakses dari http:smkn2.padangpanjang.orgindex.php?option=com_contenttask=viewid=48Itemid=41 pada tanggal 17 Maret 2010. 21 Sobri menyebut motivasi ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar. M. Sobri Sutikno: ”Peran Guru dalam Membangkitkan Motivasi Belajar Siswa”, makalah seminar pendidikan. Diakses dari http:smkn2.padangpanjang.orgindex.php?option=com_contenttask=viewid=48Itemid=41 pada tanggal 17 Maret 2010. 9 Sebagai ranah internal, motivasi termasuk bagian dari psikologi. Ada banyak faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Selama ini pembelajaran Pendidikan Agama Islam PAI dinilai masih konvensional. Kompetensi Pendidikan Agama Islam yang harus dikuasi oleh siswa sebagaimana diamanatkan oleh Perendiknas No 22 tahun 2006 diuraikan dalam bahan ajar, dan materi pelajaran. Dalam penyampaiannya kompetensi tersebut, para guru PAI kebanyakan menggunakan metode ceramah. Padahal ada banyak aspek kognitif, afektif dan psikomotor yang tidak hanya bisa diselesaikan –disampaikan dengan metode ceramah. Penyampaian kompetensi tersebut berhubungan dengan model taksonomi 22 Bloom. Kenneth D. Moore merumuskan beberapa indikator menyangkut tiga taksonomi Bloom: afektif, kognitif dan psikomotor. 23 Proses pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar KBM PAI relatif belum menemukan bentuk yang ideal. Hal ini menyangkut penanaman nilai kepada siswa sebagai bagian integral dari PAI. 24 Guru PAI belum memberikan perhatian yang fokus terhadap siswa sebagai individu. 25 Dimana siswa ketika mengikuti proses KBM memiliki atensi yang fluktuatif. Atensi tersebut bisa naik dan bisa turun dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Seperti motivasi belajar, media pembelajaran, metode pembelajaran, dan lain sebagainya. 22 Taksonomi adalah alat yang mengklasifikasikan dan menunjukkan hubungan di antara berbagai hal. Richard I Arends, Learning to Teach, penerjemah, Helly Prajitno Soetjipto Sri Mulyantini Soetjipto, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007, 116. 23 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Jakarta : Remaja Rosda Karya,2004, 140. Baca juga Richard Kindsvatter, William Wilen Margareth Ishler, Dynamics of Effective Teaching, USA : Longman Publisher, 1996, 161-163. Baca juga Muhammad Abduh Ahmad, Mustofa Abdullah Ibrahim, Tadr īs al Tarbiyat al-dīnīyat al-islāmīyat bi al-ta’līm al’ām wa al-azhar ī falsafatut ijrāātut, Kairo: Al-Azhar, 2000, 49. 24 Zakiah Daradjat Dkk., Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam,Jakarta :Bumi Aksara, 2008, 68-72 25 Abuddin Nata, Prespektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta: Kencana, 2009, 152-155. 10 Selain itu proses pembelajaran di kelas yang melibatkan guru dan siswa banyak mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran. Menurut Richard I Arends, kelas merupakan sebuah komunitas belajar yang memiliki fitur-fitur sosial. Kelas adalah lingkup sosial tempat berinteraksinya siswa yang bercirikan persahabatan dan konflik. 26 Memahami problem yang melingkupi proses pembelajaran dari sisi iklim kelas, materi pembelajaran, metode pembelajaran dan faktor motivasi belajar siswa merupakan bagian dari tugas guru. Seseorang siswa dalam melakukan aktivitas belajar selalu didasari oleh dorongan yang terjadi di kelasnya. 27 Pemahaman terhadap kondisi kelas oleh seorang guru bisa menghantar kepada tercapainya tujuan pembelajaran yaitu penguasaan kompetensi. Kompetensi atau kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa yang diamanatkan oleh Permendiknas No. 22 tahun 2006 menjadi pegangan guru dalam melaksanakan proses belajar di kelas. Selama ini guru menggunakan berbagai macam strategi, metode pembelajaran untuk membantu siswa mencapai kompetensi yang diajarkan. Kompetensi tersebut diuraikan menjadi bahan ajar, materi ajar, dan disampaikan dengan berbagai macam strategi pembelajaran dan metode pembelajaran sesuai konteks kompetensi dan kondisi pendukung lainnya. Seperti sarana prasarana, media pembelajaran, kemampuan siswa, kemampuan guru sendiri dan lain sebagainya. 28 Untuk mencapai kompetensi tersebut guru menyiapkan dokumen berupa rencana pelaksanaan pembelajaran RPP, lesson plan sebelum kegiatan belajar mengajar di mulai. RPP ini digunakan sebagai pegangan atau guidance dalam proses KBM untuk satu atau dua kali pertemuan. Tergantung keluasan dan kedalaman materi yang dijabarkan dari SK dan KD. Dalam RPP dituliskan kegiatan pendahuluan yang meliputi apersepsi dan pemberian motivasi. Dan 26 Richard I Arends, Learning to Teach, 148. 27 Denis Coon, Introduction to Psychology : Exploration and Application, St Paul, 1983, 40. 28 Thoifur, Menjadi Guru Inisiator, Jakarta : Rasail Media Group, 2007, l22. 11 selama itu pula pada prakteknya banyak guru mengabaikan – atau belum banyak memperhatikan- bagaimana membangun motivasi belajar siswa pada kegiatan pendahuluan dan pada kegiatan inti. Model pembelajaran Learning Cycle pertamakali diperkenalkan oleh Robert Karplus. Karplus sebagaimana dikutip oleh John Settlage Sherry A Shotherland menjelaskan konsep learning cycle terdiri atas tiga fase, yaitu exploration, concept introduction, and concept application. 29 Namun menurut John Settlage Sherry A Southerland, konsep learning cycle dengan model 5 E dikembangkan oleh Rodge Bybee : “when you hear or read about the five “E” models you should give appropriate acknowledgment to Bybee’s promotion of this varety of the learning cycle. However, this shouldn’t lead any one to believe that all learning cycle have five phase”. 30 Model Learning Cycle yang popular dengan sebut 5 E, engagement, exploration, explanation, elaboration and evaluation. 31 Engagment 32 adalah bagaimana guru merangsang keterlibatan siswa dalam berbagai kegiatan pembelajaran. Exploration adalah bagaimana siswa mengembangkan dan menemukan sendiri pengetahuan awal mereka dengan berbagai aktivitas pembelajaran seperti membaca, mendengarkan, menirukan, berdiskusi dan lainnya. Explanation adalah bagaimana siswa menyampaikan pemahaman mereka terhadap hasil explorasi mereka dalam satu materi. Evaluation adalah memberikan kesempatan kepada guru untuk memberikan penilaian terhadap hasil belajar siswa 29 John Settlage Sherry A Shotherland, teaching Science to every Child : Using Culture as a starting Point, Wasingthin, D.C. : The National Academios Press, 2007, 129. 30 John Settlage Sherry A Shotherland,Teaching Science to every Child : Using Culture as a starting Point, 129. 31 Rodger W. Bybee, Joseph A. Taylor et all, The BSCS 5E Instructional Model: Origins, Effectiveness, and Applications, Colorado :Springs, BSCS, 2006, 2. 32 Kusdian Kurniahadi, Penelitian, : “Pengaruh Metode Perubahan Konseptual Conceptual Change Methodes dalam Setting Model 5 E Terhadap Pemahaman Konsep Siswa SMA Lan Undhiksha Singaraja”, Fak.Pendidikan MIPA Univ. Udayana, 2006, 12. 12 atau memberikan kesempatan guru untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan kompetensi yang telah dicapai oleh siswa. 33 Menurut penulis, model Learning Cycle LC 5 E ini kemudian diadopsi oleh Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Isi. Permendiknas No. 41 tahun 2007 ini menurut penulis mengadopsi model LC 5 E. Dimana dalam Permendiknas No. 41 ini LC hanya terdapat 3 E : eksplorasi, elaborasi dan evaluasi. 34 Bagi penulis sendiri, model LC yang ada dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 tersebut mereduksi dari LC model 5E. Sebab ada beberapa bagian dari LC 5 E yang tidak bisa diwakili dalam aktivitasnya seperti engagment dan explanation. Sementara evaluation dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 tersebut masih diakomodir dalam kegiatan penutup. Faktor motivasi yang mendasari siswa untuk belajar dan faktor proses pembelajaran yang berbasis pada Permendiknas No. 41 tahun 2007 inilah yang akan menjadi penelitian dari tesis ini. Model Learning Cycle yang akan digunakan adalah model Learning Cycle yang ada dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 yaitu eksplorasi, elobarosi dan konfirmasi. Integrasi faktor motivasi dan LC ini akan coba diterapkan dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam PAI. Diharapkan integrasi tersebut akan menjadi model pendekatan pembelajaran PAI. 35 Hipotesa 36 yang dibangun 33 Baca juga Titik Harsiati, makalah “Learning Cycle” dalam workshop AIBEP Australia Indonesia Basic Education Programs, 2007. Baca juga Rodge W Bybee, et all, The BSCS 5E Instructional Model : Origins, Effectiveness, and Application, 3. 34 Lihat, Permendiknas No. 41 tahun 2007, bagian III B: Pelaksanaan Pembelajaran. 35 Dalam Permendiknas No. 22 dijelaskan Pendidikan Agama Islam termasuk dalam kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dikelompokkan ke dalam kelompok mata pelajaran : Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian seperti PKn, Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi seperti IPA, IPS, Matematik, TIK, Kelompok mata pelajaran estetika seperti Seni Budaya, Keterampilan, Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan seperti Penjasorkes. 36 Hipotesa adalah pernyataan dugaan tentang hubungan antara dua variabel atau lebih dan selalu menggunakan kalimat pernyataan. Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral,Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996, 30. 13 adalah semakin besar keterlibatan proses belajar siswa yang dipadukan dengan menggunakan model Motivasi dan Learning Cycle , 37 maka semakin besar keberhasilan kompetensi yang akan dicapai. Semakin guru memahami bagaimana menumbuhkan motivasi belajar dan menguasai pembelajaran LC, semakin besar motivasi belajar siswa. Semakin besar motivasi belajar siswa,maka semakin besar peluang siswa mencapai kompetensi.

B. Permasalahan

Dokumen yang terkait

ANALISIS TERHADAP MOTIVASI SISWA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMAN11 TANGERANG SELATAN

0 3 108

UPAYA PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI SISWA MELALUI METODE PEMBELAJARAN ACTIVE LEARNING Upaya Peningkatan Motivasi Belajar Pendidikan Agama Islam Bagi Siswa Melalui Metode Pembelajaran Active Learning Di Sma Negeri Jumapolo Tahu

0 2 17

UPAYA PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI SISWA MELALUI METODE PEMBELAJARAN ACTIVE LEARNING Upaya Peningkatan Motivasi Belajar Pendidikan Agama Islam Bagi Siswa Melalui Metode Pembelajaran Active Learning Di Sma Negeri Jumapolo Tahu

0 4 18

PENERAPAN PROBLEM BASED LEARNING DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Penerapan Problem Based Learning Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Kelas V Sumayyah Di Sekolah Dasar Islam Internasional Al Abidin Surakarta Tahun Pelajaran 2013/2014.

0 1 17

PENERAPAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Penerapan Contextual Teaching And Learning Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Sebagai Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Di Sekolah Dasar Islam Al-Azhar 2

0 0 16

PENERAPAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Penerapan Contextual Teaching And Learning Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Sebagai Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Di Sekolah Dasar Islam Al-Azhar 2

0 1 15

IMPLEMENTASI MEDIA PEMBELAJARAN E-LEARNING DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA POKOK BAHASAN PENGURUSAN JENAZAH.

3 13 56

Pengaruh Motivasi Guru Terhadap Kompetensi Guru dalam Mewujudkan Mutu Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

0 3 9

PEMBELAJARAN BERBASIS WEB (E-LEARNING) TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

0 3 27

REFLECTIVE LEARNING SEBAGAI PENDEKATAN ALTERNATIF DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN DAN PROFESIONALISME GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

0 0 10